Tuesday, March 26, 2013

KURIKULUM SETAN BANGSA PEMALAS


KATA PENGANTAR
          Kurikulum Setan, suatu istilah sejak lama penulis ungkapkan, maksudnya, kurikulum yang mubazir, dalam artian tidak menjawab tantangan zaman. Terlalu banyak hari libur, tanggal merah. Tidak dibutuhkan oleh generasi muda. Bukan merupakan tututan masyarakat. Bukan yang diperlukan secara praktis oleh para remaja. Karena itu perubahan kurikulum yang tengah digarap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus membawa perubahan yang signifikan terhadap sistem pendidikan di Indonesia.
         Penulis diangkat menjadi guru PNS, tahun 1986 dan menjadi guru SMA Plus, tahun 1998-2000, saat itulah penulis melihat seringnya pergantian kurikulum. Kemudian isi kurikulum itu, ada diantaranya yang “ mubazir.”  Yang tidak mubazir ialah kurikulum pendidikan nasional  yang disesuaikan dengan perubahan zaman. ”Kurikulum itu memang harus dinamis dan yang terpenting, perubahan kurikulum itu  dapat menjawab tantangan zaman,” Meski demikian, tetap ada nilai-nilai yang harus dipertahankan dalam kurikulum pendidikan. ”Tetapi, ada beberapa hal yang harus disusun untuk tetap dipertahankan dan diwariskan kepada generasi muda, di antaranya nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, dan nasionalisme.
            Perkembangan dunia pendidikan harus merujuk kepada dua hal, yaitu pembangunan ekonomi dan kebudayaan. Setelah dua hal tersebut memiliki konsep yang jelas, baru kurikulum dan sistem pendidikan bisa diarahkan. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta keselarasan antara dunia pendidikan dengan kontribusi generasi muda terhadap pembangunan bangsa. Karena itu, pendidikan harus sesuai dengan situasi dan kondisi kebangsaan saat ini.”Yang harus dijawab pertama, mau dibawa ke mana ekonomi dan kebudayaan bangsa ini. Setelah dua hal itu jelas, baru pendidikan bisa diarahkan, sehingga dapat tercipta keselarasan. Masalahnya, ekonomi dan kebudayaan Indonesia belum jelas arahnya,” ungkap Abduhzen.
          Terkait dengan wacana dihapuskanya mata pelajaran Bahasa Inggris di jenjang Sekolah Dasar (SD), menurutnya, hal itu tidak perlu dilakukan, mengingat kondisi global yang menuntut kaum muda untuk fasih berbahasa Inggris dan melek teknologi. Di samping itu, pembelajaran tentang sains juga perlu berdiri sendiri. ”Sains memiliki model pemikiran sendiri, berbeda dengan pendidikan agama dan Pancasila yang hanya deduktif. Karena itu, sains perlu bediri sendiri,” imbuh Abduhzen.
          Ketua Departemen Litbang PGRI itu mengatakan, pendidikan olahraga (Penjaskes), kesenian, dan keterampilan sebaiknya masuk ke dalam muatan lokal atau ekstrakurikuler. Alasannya, pendidikan tersebut terkait dengan bakat dan minat siswa.  Dengan demikian, sekolah dapat melihat potensi yang terdapat dalam diri masing-masing siswa. ”Bakat masing-masing anak itu berbeda. Karena itu, sekolah harus sungguh-sungguh memberikan pembinaan dan menyiapkan fasilitas, sehingga bakat mereka benar-benar dapat dikembangkan,” ujar Abduhzen.
         Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wardiman Djojonegoro mengatakan hal senada. Menurutnya, kurikulum pendidikan nasional harus dievaluasi secara berkala, mengingat zaman yang terus berkembang.”Kita semua tahu bahwa zaman terus berubah, sehingga kurikulum harus dievaluasi dan terus disempurnakan. Paling tidak, dilakukan setiap lima tahun sekali,” ungkapnya. Dia mengatakan, tujuan utama dari pendidikan adalah untuk menyiapkan masa depan generasi muda. ”Apa yang dididik sekarang dapat dipakai untuk mereka menuju masa depan. Karena itu, perubahan kurikulum itu tantangan zaman yang harus dijawab,” tuturnya.
INGIN TAHU INDRAGIRI HULU
               BEBATAS DENGAN, TELUK KUANTAN.
              DAYACIPTA PENDIDIKAN  BERMUTU,
          PASIR SEBUTIR, DIJADIKAN INTAN.


PENDAHULUAN
         
Kalau dasarnya, mahasiswa berbakat,
Jatuh ke laut, menjadi pulau,
Dilempar ke udara, menjadi bintang
Dilempar ke gurun, menjadi pohon.

         Beberapa orang dosen mengeluh, ketika ditemukan banyak mahasiswa tidak berbakat, cenderung  manja, malas mengerjakan tugas. Kebanyakan mahasiswa pemalas. Suka libur terus menerus. Mereka malas datang ke kelas tepat waktu. Mereka malas membaca buku dan materi yang diberikan. Mereka malas mengerjakan PR dan tugas. Mereka juga malas bertanya dan berpartisipasi di dalam kelas.
          Bekerja keras itu berisiko tinggi. Kalau Anda sudah berusaha keras dan gagal, Anda tidak mendapatkan reward dan self-protection atas usaha yang sudah Anda keluarkan. Misalkan Anda tidak belajar dengan sungguh-sungguh dan memperoleh nilai C dalam ujian, maka itu bukanlah persoalan besar—-Anda cuma kurang berusaha dengan keras. Tapi semisal Anda sudah belajar dengan serius tapi tetap memperoleh nilai C, maka Anda akan merasa bahwa mungkin Anda memang benar-benar bodoh.
         Dengan kata lain, kalau Anda berusaha keras dan gagal, ada ketakutan yang muncul bahwa Anda mungkin memang tidak berbakat atau tidak ditakdirkan untuk sukses di bidang tersebut. Sebaliknya, kalau Anda tidak berusaha keras dan gagal, Anda bisa menghibur diri Anda sendiri dengan ilusi bahwa seandainya Anda berusaha 100%, pasti Anda akan berhasil. Kalau Anda belum berusaha dengan keras dan gagal, Anda bisa bilang, “I could have gotten an A if only I had tried. But I didn’t. I’m as good as that guy/girl.
Tentu saja, faktanya tidak demikian.
Sewaktu final NBA beberapa waktu lalu, Lebron James berkomentar di televisi, “I’m not going to hang my head low. I know how much work as a team we put into it. I know how much work individually that I’ve put into it… I think you can never hang your head low when you know how much work, how much dedication you put into the game.
          Tak banyak orang yang berani mengakui kegagalan ketika mereka sudah berusaha keras namun belum berhasil. Tak banyak orang yang seperti Lebron James. Kebanyakan orang memilih untuk menjadi pemalas. Kalau ditanya soal pencapaian, mereka lebih suka mencari alibi yang menarik daripada mengejar pencapaian dengan sungguh-sungguh. Saya gagal jadi juara karena kurang latihan. IPK saya jeblok karena saya tak punya buku yang bisa dipakai buat belajar. Penjualan saya tak mencapai target karena orang-orang di tim saya payah. Dan seribu satu alibi lainnya.
           Jadi, buat apa mengejar pencapaian yang tinggi? Achievement doesn’t settle anything permanently. Pencapaian yang kita dapat saat ini harus kita kejar lagi di hari berikutnya, di jenjang yang lebih tinggi, dan seterusnya. Jadi, mengapa harus repot-repot mengejar pencapaian yang tinggi? Kalau kita menang kompetisi tahun ini, toh tahun depan kita harus mempertahankan gelar tersebut. Kalau IPK semester ini di atas 3.5, tetap saja semester depan harus belajar supaya dapat 3.5 lagi. Kalau penjualan bulan ini sudah melebihi target, bulan depan pasti target akan dinaikkan. Jadi, buat apa repot-repot?
          Menjadi pemalas punya banyak keuntungan. Pertama, mereka tak perlu repot mencari role model untuk ditiru. Kedua, di jaman yang penuh tekanan seperti ini, orang berharap banyak kepada Anda. Akibatnya, tekanan itu membuat Anda makin sulit untuk mengakui kegagalan. Ketiga, menjadi pemalas itu tidak berisiko—-Anda hanya perlu mencari alibi untuk melindungi kegagalan Anda.Maka, jadilah orang yang pemalas, jadilah orang yang manja, jadilah orang yang nyaman dininabobokkan dalam comfort zone. Lalu tunggulah hingga alam semesta memaksa Anda dengan tekanan, masalah, bencana, musibah, atau kehilangan–sampai mau tidak mau Anda dipaksa harus bangun, dipaksa harus berusaha lebih keras dalam menjalani hidup.

BAB     I
BELAJAR KEPADA KURIKULUM CINA
1.Menghsilkan uang

          Beberapa teman, mengajak penulis mendirikan pesantren, lalu penulis bertanya, apakah, tamat pesantren itu nanti bisa menghasilkan uang?. Mari kita ciptakan pesantren model baru, yang  mengnghasilkan uang. Tapi bukan berarti penulis ingin menciptakan tamatan sekolah agama, yang materialistis, tapi yang mandiri, kalau bisa bukan sekedar bisa mandiri, bahkan bisa kaya raya, dengan modal pendidikan di madrasah atau pesantren. Yang penulis risaukan, tamatan SMA, tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan tamat S1 ada yang tak bisa apa-apa, walapun jurusannya umum, tapi modal untuk berdikari, harus diberikan di SMA dan Perguruan Tinggi.
     
        Belajarlah kepada Cina, walaupun dengan membuat pinsil, sambil sambilan atau membuat baut yang kecil, anak SD sudah menghasilkan duit, walaupun bukan mata duitan. Tentu saja nilai spiritual tetap ditanamkan, dan bakat lainnya, tetap disalurkan.  Perlu ditinjau Rancangan Kurikulum 2013 memberikan rangkaian dan rentetan permasalahan yang dihadapi oleh Pelaksana di lapangan yakni para Guru / Pendidik . Namun hal ini Guru telah siap untuk mengantisipasi terhadap pemberlakuan Kurikulum baru tersebut.

        Secara Umum , Kurikulum berubah menjadi hal yang wajar demi untuk peningkatan kualitas pendidikan dan dalam rangka mengikuti trend perubahan tehnologi dan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat. Kurikulum tak mungkin berlaku sepanjang masa. Kurikulum memberikan arahan dan acuan serta target yang akan dicapai dalam proses mencerdaskan anak bangsa , dalam rangka menghadapi tantangan zaman yang komplek.

         Perubahan Kurikulum seharusnya tidak lagi mengutak atik, terhadap mata pelajaran yang sudah ada , karena akan dikawatirkan munculnya masalah baru yang dihadapi para Guru. Perubahan seharusnya untuk mengakomodasikan berbagai konten atau belajar / isi materi pembelajaran yang relatif baru, sehingga perlu penyesuaian. Dan bisa diantisipasi dengan penambahan / penerbitan Suplemen pembelajaran yang terbaru, yag dirasakan lebih mudah untuk diterapkan di dalam pendidikan.

        Pendelete - tan terhadap beberapa mata pelajaran boleh dilakukan, tetapi harus dengan kajian yang mendalam, untuk mengetahui seberapa jauh dampaknya terhadap pendidikan, serta sumberdaya Guru yang sudah ada. Masalah mengemuka, akan muncul kekawatiran sebagian Guru akan kehilangan Tugas mengajarnya sesuai dengan bidang yang diampunya.


         Pem-paste - an terhadap mata pelajaran yang sudah ada, membawa problem yang serius pada konten sebuah mata pelajaran. mata pelajaran akan terasa dangkal dan kurang fokus pada aspek pengetahuannya , aspek teori dan sebagainya. Pengintegrasian mata pelajaran dilakukan untuk mengurangai beban siswa dlam menguasai materi mata pelajaran.

PELUANG DAN TANTANGAN

 Jangan terlalu banyak, hari libur,
Agar murid, jangan menganggur,
Jiwa malasnya, harus digempur,
Rajin bekerja, serta jujur.    

          Peluang muncul akibat adanya pemberlakuan kurikulum, Sebuah tren baru perubahan, perlu disikapi dengan kesiapan untuk mengaplikasikannya di lokal dan ruang belajar. Tantangan Guru, tentu saja berkaitan dengan Materi dan bahan ajar  yang bertambah, dan perlu dikuasai dengan cepat oleh pasukan UMAR BAKRI. Inilah yang merupakan kegiatan menyenangkan bagi Guru untuk menguasai bahan ajar baru yang sesuai dengan kurikulum 2013.

       Bagi Guru hal ini  perlu diberikan Diklat untuk menghadapi kurikulum baru, pembekalan metode belajar, penyiapan buku dan materi ajar yang sinkron dengan kurikulum. Guru Indonesia sudah terbiasa dengan perubahan kurikulum sehingga tak begitu kawatir, selalu siap dan menjadi agen perubahan dalam ilmu pengetahuan dan tehnologi.


BAB     II
KURIKULUM ANTI KEMISKINAN
       
          Sekolah TEMPE (Tehnik Mengatasi Penjajahan Ekonomi).Inilah dahulu yang adfa dalam hayalan penulis, ketika masih kuliah tingkat satu, S 1, tahun tahun 1980 di IAIN Suska, yang kini bernama UIN. Lasannya, karena penulis melihat begitu banayak orang miskin.
          Terkejutlah wahai Dikbud, tingkat kemiskinan di Indonesia adalah 11,96 persen. Apabila angka tersebut dikonversikan ke jumlah penduduk, maka ditemukan angka 29,13 juta jiwa penduduk masih masuk dalam kategori sangat miskin. Meski terkesan masih tinggi, Armida mengatakan tingkat kemiskinan saat ini sudah lebih baik dibanding tahun 2011. Pada tahun 2011, di periode yang sama, tingkat kemiskinan nasional adalah 12,49 persen. Angka ini menurun dibandingkan tahun 2010 yang sebesar 13,33 persen. Tingkat kemiskinan tersebut, kata Armida, terus bertahan di kisaran 12 persen hingga akhir tahun 2011. "Sekarang, terhitung pada Maret, sudah 11,96 persen. Jadi bisa dibilang cukup baik," ujar Armida.


        Armida menambahkan, angka tingkat kemiskinan nasional masih bisa turun lebih banyak lagi dibanding apa yang sudah dicapai. Pasalnya, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal pertama sendiri cukup bagus, 6,3 persen. Namun, Indonesia terkendala angka poverty basket inflation (inflasi yang dirasakan masyarakat miskin) yang masih tinggi. Armida menuturkan, pada triwulan pertama, Indonesia mencatat angka poverty basket inflation sebesar 6,52 persen. Angka tersebut karena tingkat konsumsi masyarakat miskin terhadap pangan yang rendah akibat kelangkaan dan naiknya harga pangan. "Sebagai contoh tahun 2005, meski terjadi pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinannya malah naik. Masalahnya, pada tahun itu, poverty basket inflation-nya 12,87 persen akibat melonjaknya harga BBM. Kemampuan konsumsi oleh masyarakat miskin jadi faktor di sini," ucapnya.


          Pada tahun 2013, katanya, pemerintah berharap angka kemiskinan bisa ditekan dikisaran angka 9,5-10,5 persen. “Angka itu, sudah tercatat di RAPBN 2013.”
Masalah kemiskinan dan pengangguran hingga kini masih menjadi masalah di Indonesia. Meski begitu, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebutkan masalah ini bisa diatasi dengan kerja keras seluruh masyarakat. "Kalau semua bekerja keras, saya yakin kita bisa keluar dari kemiskinan dan pengangguran ini," kata Kalla dalam orasi ilmiah pada wisuda mahasiswa Universitas Nasional di Jakarta Convention Center, Selasa, 11 Oktober 2011.


         Menurut Kalla, jika diukur 20 tahun terakhir di atas kertas, pendapatan per kapita Indonesia memang selalu naik. Namun bila dibandingkan dengan negara seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, pendapatan per kapita Indonesia masih jauh di bawah. Indonesia, kata Kalla, belum mampu menjadi negara besar di bidang ekonomi. "Tidak ada bangsa yang bermartabat tanpa adanya kemajuan ekonomi," ujar Kalla.


            Kalla menyebutkan salah satu ciri tingginya kemiskinan adalah masih banyaknya pengangguran. Meski diakuinya tidak semua orang miskin menganggur, rata-rata orang yang menganggur adalah miskin. Karenanya, untuk mengurangi pengangguran, hal pertama yang dilakukan adalah menghilangkan kemiskinan. Menurut Kalla, kemiskinan tidak hanya dilihat sebagai angka statistik semata. Kemiskinan harus dilihat sebagai masalah multidimensional, yang harus ditangani dengan program makro dan komprehensif. Saat ini, dia menilai pemerintah masih saja sibuk melihat seberapa besar ekonomi dapat tumbuh. Padahal, menurut dia, pertumbuhan ekonomi tidak dapat dijadikan indikator tunggal dalam menyatakan adanya perbaikan kesejahteraan rakyat. "Di sinilah diperlukan peran aktif seluruh komponen bangsa, baik negara lembaga keuangan, civil society, maupun akademisi," ujar Kalla.


         Dalam mengurangi kemiskinan ini, Kalla meminta pemerintah lebih memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan kualitas maupun kuantitas pendidikan di Indonesia. Pemerintah, kata Kalla, harus mulai mengembangkan kebijakan ekonomi yang merakyat. Salah satunya dengan mendorong industri dan ekonomi kerakyatan yang meningkatkan nilai tambah dan tidak hanya fokus pada kuantitas. "Tapi ini semua memerlukan kerja keras semua komponen bangsa, tidak ada bangsa yang makmur tanpa kerja keras."


           Selain itu, Kalla juga menyebutkan komponen lain dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran dalam peningkatan peran perguruan tinggi. Perguruan tinggi diminta mampu menghasilkan lulusan yang mampu memahami masyarakat dengan lebih baik. Lulusan perguruan tinggi juga harus mampu merasakan degup jantung rakyat dan mampu berempati pada masyarakat banyak. "Perguruan tinggi harus mampu melahirkan lulusan yang memiliki kemampuan untuk memberdayakan rakyat miskin."
Dalam menyusun kurikulum perguruan tinggi, Kalla menyarankan agar setiap perguruan tinggi memasukkan pembelajaran "experiential learning". "Jadi, salah satu kunci pengentasan kemiskinan dan pengangguran terletak pada peningkatan pendidikan."
         Kata ‘sejahtera’ sangat populer dan tidak asing didengar oleh telinga masyarakat Indonesia. Kata sejahtera biasanya diletakkan paling akhir dari suatu tujuan , seperti contoh berikut: ‘masyarakat adil, makmur dan sejahtera’, ‘keluarga bahagia sejahtera’, ‘bangsa yang maju dan sejahtera’, dsb,dsb. ‘sejahtera’ menjadi sesuatu “impian” yang hendak diwujudkan baik dalam konteks individu, organisasi, masyarakat maupun Negara. Sehingga, kuranglah ‘afdol’ rasanya.. apabila dalam menyusun dokumen perencanaan, pidato-pidato, penyusunan visi-misi organisasi, individu ataupun partai politik tidak dicantumkan kata ‘sejahtera’. Masalahnya sekarang bagaimana mewujudkan ‘sejahtera’ itu?


          Untuk mewujudkan ‘sejahtera’ perlu dipahami terlebih dahulu pengertian, dan indikator kesejahteraan yang akan sangat berfariasi tergantung kepada konteks dan luas cakupannya. Namun, secara sederhana dapat diartikan ; ‘sebagai suatu kondisi dimana terwujudnya (need) kebutuhan pada tingkat tertentu (baik individu, keluarga, masyarakat, bangsa). Moslow mengklasifikasikan kebutuhan (need) setiap individu bertingkat mulai dari kebutuhan akan sandang pangan, perumahan, pendidikan, derajat sosial. Tingkat kesejahteraan sesorang diukur dari sejauhmana tingkat kebutuhan dasar tersebut dipenuhi. Dalam pelajaran ekonomi klasik dikatakan; “welfare (kesejahteraan) terwujud ketika terjadinya full employment ( angkatan kerja tidak ada yang menganggur). Artinya, kesejahteraan bisa tercapai apabila semua angkatan kerja bekerja (produktif), baik sebagai pekerja maupun menciptakan pekerjaan sendiri.


       Dari pemahaman tersebut, dapat kita simpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat tidak mungkin terwujud apabila masyarakat masih banyak miskin dan menganggur. Sehingga kemudian, sejak pemerintahan orde baru s/d sekarang, Program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan tetap menjadi prioritas. Masalahnya, sudah sedemikian banyak program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan namun kemiskinan dan pengangguran tetap tidak bisa ‘terentaskan’ bahkan sepertinya dilapangan semakin meningkat ?!. Alasan klasik seperti resesi ekonomi, gejolak politik, dsb, bisa saja dikemukakan sebagai penyebab. Ada beberapa kelemahan mendasar dalam upaya pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan selama ini (menurut saya) a.l:

1. Tidak adanya indicator yang pasti tentang kemiskinan dan pengangguran yang bisa dijadikan rujukan bersama, serta tidak adanya data pendukung yang lengkap terhadap orang miskin dan menganggur yg bisa diakses bersama, sehingga bisa ditentukan program yang tepat bagi masing-masing individu yang miskin dan menganggur (masalah data dan informasi).

2. Sebagian Program pengentasan kemiskinan dan ketenagaakerjaan lebih bersifat jangka pendek (recovery) dan tidak mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran, Seperti; Bantuan Tunai Langsung (BTL), Program Padat Karya (masyarakat menganggur disuruh bekerja dan dibayar). Selesai program mereka tetap miskin dan menganggur

3. Program kemiskinan dan ketenagaakerjaan sangat diminati (ibarat gula dikerubutin semut). Sehingga pada era sebelum otonomi daerah berbagai departemen meluncurkan program dengan metode dan target sasaran sendiri-sendiri, lemahnya koordinasi antar instansi. Sehingga, kesannya orang miskin dan menganggur menjadi ‘obyek’ bukan lagi ‘subyek’. Parahnya lagi, ada kelompok masyarakat yang senang menjadi penerima bantuan tapi ekonomi mereka tidak meningkat-ningkat juga.

4. Ada bebarapa program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan yang bersifat jangka panjang dan pengembangan kapasitas kelompok sasaran, baik berupa pelatihan, pembukaan lapangan usaha, maupun modal bergulir. Namun, tetap saja selesai program tidak ada lagi kelanjutan pengelolaan, atau diciptakan program yang kelihatannya baru tapi sebenarnya sama. Alhasil, tetap saja program tersebut putus ditengan jalan.


        Untuk itu kedepan pada era-otonomi daerah ini, diharapkan daerah kabupaten/kota berani untuk berinofasi dan melaksanakan program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan dengan konteks dan metode yang lebih terarah dan focus pada sararan. Dengan mempertimbangkan hal-hal sb:

1. Penetapan indicator kemiskinan dan pengangguran serta memiliki data yang lengkap tentang masing-masing individu, sehingga bisa diciptakan program yang sesuai dengan karaketristik kelompok masyarakat miskin dan pengangguran.

2. Program yang dilaksanakan didasarkan kepada prinsip ‘membuat mereka produktif dengan skill kemampuan yang ada pada mereka’. Selemah-lemahnya manusia, pasti tuhan menciptakan sesuatu kelebihan pada masing-masing individu. Masalahnya, bagi orang miskin menganggur ada hambatan-hambatan yang membuat mereka tidak bisa untuk megaktualisasikan kemampuannya. Mungkin saja karena pendidikan yang kurang, modal yang tidak ada, motivasi yang tidak kuat, keberanian diri, kemampuan yang belum diasah,dsb. Sehingga, program yang dilaksanakan menjadikan mereka sebagai ‘subyek’ bukan ‘obyek’ dan pihak pelaksana memposisikan diri sebagai ‘fasilitator’ .

3. Program yang dilaksanakan berkelanjutan, step-by-step, terukur, sasaran yang jelas dan terukur, terkoordinasi dengan baik, didasarkan kepada kemanusiaan bukan target politis dan program semata.


          Produktifitas adalah perbandingan antara output yang dihasilkan dengan input yang dikeluarkan. Semakin besar output yang dihasilkan dibandingkan biaya yang dikeluarkan, dikatakan produktifitasnya semkin tinggi. Produktifitas Tenaga Kerja secara riil akan diukur dari upah yang diterima atau balas jasa tehadap barang modal yang dimiliki. Ketika seseoarang tidak bekerja tentu saja tidak ada yang dihasilkan dan menjadi tidak produktif dan tidak akan ada kesejahteraan baginya. Semakin produktif seseorang akan semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Adanya korelasi positif antara produktifitas dan kesejahteraan.


          Kemiskinan terjadi apabila seseorang yang bekerja, tapi balas jasa yang ia terima tidak sesuai biaya yang ia keluarkan, ‘besar pasak daripada tiang’. Jika sebuah keluarga yang terdiri dari 5 anggota keluarga, hanya seorang bekerja dengan penghasilan yang sebenarnya hanya bisa untuk membiayai kehidupan dia sendiri atau satu orang lagi tambahan, jelas kemudian keluarga tersebut akan jatuh kemiskinan. Jadi, antara produktifitas, penganguguran, kemiskinan dan kesejahteraan sesuatu yang saling berkaitan.


          Dari paparan yang telah disampaikan, disimpulkan bahwa kesejahteraan tidak bisa terwujud apabila: seseorang tidak bekerja (menganggur), atau dia bekerja tapi balas jasa diterima tidak bisa mencukupi kebutuhan anggota keluarga (kemisikinan). Idealnya untuk mencapai sejahtera, semua orang bisa bekerja dan bisa membiayai dirinya sendiri, atau ketika dia tidak bekerja (sekolah atau mengurus rumah tangga) ada anggota keluarga lain yang membiayainya. Artinya, Program pengentasan kemiskinan dan pengangguran harus didasarkan kepada’framework’ BAGAIMANA SEMUA ANGKATAN KERJA BISA BEKERJA (PRODUKTIF) DAN KELUARGA MISKIN BISA MENINGKATKAN KEMAMPUAN DAN PENGHASILANNYA (PRODUKTIFITAS). Pemahaman konseptual seperti ini perlu, agar program yang dimunculkan lebih terarah, terukur, efektif, dan efisien.

          Apabila kita lihat disekeliling kita, bahkan dikeluarga sendiri, berapa banyak yang tidak bekerja atau bekerja tidak sesuai dengan kemampuan dan investasi pendidikan yang dikeluarkan. Lebih jauh, kalau kita lihat Demografi penduduk kita, sebagian besar penduduk Indonesia adalah balita, anak-anak, usia sekolah, belum bekerja dan mengurus rumah tangga. Secara rata-rata seorang pekerja di Indonesia harus membiayai 4 orang lainnya yang tidak bekerja. Dan mereka berpotensi untuk miskin ketika tidak bekerja atau biaya hidup meningkat. Ternyata, mewujudkan ‘sejahtera’ tidak segampang diucapkan oleh jargon-jargon politik, pidato-pidato, ataupun proposal-proposal program. Dibutuhkan, terobosan baru, inovasi dan kerja keras, agar bangsa ini tidak selalu terpuruk dengan masalah kemiskinan dan pengangguran.

        Sebelumnya saya minta maaf bila judul diatas terkesan extreem dan melecehkan, bukan tanpa alasan saya menulis judul diatas, tapi lebih kepada kemirisan hati ketika melihat sebuah liputan di sebuah televisi swasta pada acara news tanggal 22 Desember 2012, tentang air bersih , yang sebenarnya telah diulang dan diulang terus oleh hampir semua media , yayasan dalam acara apa aja, dan juga tidak kurang oleh pemerintah sendiri melalui himbauan spanduk, media iklan, sampai pada undang-undang yang mempunyai sanksi berat, tapi tetap saja tidak ada hasilnya malahan sampai dengan saat ini bertambah parah.
          Sayang sekali saya tidak bisa mencantumkan foto dari kejorokan warga Jakarta (daerah dimana tempat saya tinggal, mungkin di daerah lain juga punya hal yang sama), mulai dari pintu air yang tersumbat oleh sampah sampai kepada warganya sendiri yang bodoh dengan melakukan pembuangan sampah secara sembarangan baik di jalan ataupun kali bahkan di tempat-tempat publik yang lain seperti taman, rumah sakit, kantor-kantor pemerintaha, dan tempat umum lainnya.
         Berita yang saya lihat dan dengar pada tanggal 22 desember 2012 itu adalah tentang bagaimana pemerintah tidak bisa mengolah secara mandiri air bersih sehingga harus bekerja sama dengan swasta asing, dan juga bagaimana pula harga air per m3 bisa lebih mahal daripada malaysia yang dimana harganya lebih murah 5x dari harga air di jakarta dengan standar langsung bisa diminum. Dari hasil kesimpulan berita itu adalah mempertanyakan bagaimana pemerintah khususnya pemda Jakarta bisa terlepas dari transaksi yang tidak menguntungkan dengan swasta asing yang punya kontrak sampai dengan 2023.
        Menurut saya , pemerintah tidak bisa sepenuhnya bisa disalahkan tentang tata kelola mandiri dan penetapan harga air untuk rakyat, karena disini juga ada peran serta masyarakat yang tidak kecil bahkan mungkin berperan lebih besar daripada pemda itu sendiri.Mari kita lihat asalnya kenapa air di Jakarta bisa mahal dan kurang memenuhi standar kelayakan konsumsi serta kurang lancar dalam penyalurannya, sedangkan bila menunggak sebentar saja aliran air bisa langsung terhenti.
         Dari tahun ke tahun populasi manusia di jakarta terus meningkat , dan diikuti oleh tingkat konsumsi para manusianya itu sendiri. Ketika populasi meningkat maka masalah pun akan meningkat walaupun berarti untuk bisnis juga berarti bagus karena potensial buyer akan lebih besar, tetapi hal ini tidak didasari oleh kesadaran manusianya itu sendiri serta penegakan hukum yang tidak konsisten serta aparat yang kurang tegas dan disiplin serta jumlah yang kurang memadai (bahkan ada oknum aparat yang juga berlaku sama dengan warganya yang suka nyampah sembarangan).
         Seperti yang selalu kita ketahui peraturan dibuat supaya suatu daerah bisa memberikan kenyamanan dan keamanan untuk manusia yang berada di dalamnya. Tetapi yang saya tahu di Indonesia ini kalau peraturan itu dibuat untuk dilanggar, karena kalau tidak dilanggar berarti tidak gaul. Ini yang jadi masalah besar di negara ini. Padahal kalau kita renungkan sebentar saja sebetulnya peraturan itu membantu kita bahkan bisa menolong kita disaat tertentu yang sangat penting bagi kita.
          Sebagai contoh bila Yang Maha Kuasa tidak membuat peraturan dan tidak mendisiplinkan aturannya maka dunia tempat kita tinggal ini bisa jadi apa, matahari selalu terbit dan disebut pagi hari dan pada saat pagi itu angin dari laut ke darat, nah kalau para nelayan mencoba melanggarnya dengan mencari ikan pada siang hari karena lebih nyaman ,terang dan bisa liat ikan yang mau ditangkap maka hasilnya adalah perlu tenaga ekstra karena melawan arus angin, dan ikan ada di dasar laut karena suhu air di bagian atas sangat panas, memang ada yang bisa yaitu dengan membuat keramba apung di laut sehingga bisa menangkap ikan setiap saat tetapi untuk jenis ikan tertentu akan sulit diperoleh.
          Sama dengan peraturan “Tolong jangan buang sampah sembarangan” atau “Jaga agar kali kita tetap bersih”, tujuannya adalah supaya lingkungan sekitar tetap bersih sehingga polusi atau debu tidak mengganggu kesehatan kita , juga supaya sungai/kali tidak jadi kotor dan terkontaminasi dengan cairan yang berbahaya.
         Tetapi yang lucu-nya di Jakarta (saya tidak tau di  daerah lain, mungkin juga bisa sama tetapi juga bisa pula berbeda), jumlah manusia yang “sadar” kebersihan makin bertambah jumlahnya, bukan saja yang tinggal di bantaran kali atau di perkampungan padat , tetapi merambah ke perumahan mewah atau lingkungan eksklusif. Mereka seringkali membuang sampah sembarangan supaya “lingkungan” mereka sendiri tetap bersih dan nyaman, padahal ini adalah tindakan yang bodoh karena tidak disiplin juga tindakan yang bodoh untuk mengeluarkan biaya yang lebih besar.
        Ketika suatu waktu di sebuah taman ada serombongan ibu2 beserta anak mereka yang masih tk berjalan pulang setelah mengikuti sebuah acara tentang lingkungan hidup.”Bu udah abis nich minumannya , dibuang kemana botolnya?”, tanya si anak, lalu si ibu bilang”Udah lempar aja di rumput”, dan si anak langsung melakukkannya dengan wajah innocence-nya . Kalau 1 orang tua saja sudah mengajarkan anak umur 7 thn melakukan hal seperti itu, bayangkan saja kalau 1000 orang tua yang melakukan lalu ketika anak itu bertumbuh dan dia mempunyai anak lagi dan melakukan yang sama bayangkan berapa kali lipat jumlah sampah yang tdk terangkut setiap harinya.
Lalu kalau ada yang bilang bagaimana dengan pemda dan dinas kebersihannya, jumlah petugas dan peralatan selalu lebih sedikit dibanding dengan jumlah penduduk di suatu daerah, kalau tidak dibantu bagaimana bisa menjaga daerah itu nyaman untuk ditinggali.
Makin jorok makin miskin,
        Coba telaah kata-kata ini , kok bisa begitu, begini contohnya, kalau ada 1 keluarga kelas menengah tinggal di suatu lingkungan perumahan padat di tengah kota , dengan pendapatan diatas nilai umr 2013 dengan 1 mobil , 1 motor dan 2 lantai rumah serta pembantu. Di dalam kesehariannya keluarga ini berlaku jorok, buang sampah di luar rumah, bahkan dibuang ke got, lalu sebagian ada yang di masukan ke tong sampah, di dalam rumah memang bersih dan selalu dijaga, tetapi di luar ketika si ayah setelah selesai merokok lalu puntungnya dibuang ke jalan, si anak ketika membeli es bungkusnya dibuang ke got, si ibu beserta pembantunya setelah menyapu sebagian tidak diangkat tetapi dibuang ke got, begitu pula bila ada tinta isi ulang atau cairan kimia non-food lainnya dibuang ke got bukan dimasukkan ke tong sampah.  Pada saat2 awal tidak akan terasa bahwa biaya itu akan semakin meningkat , yang pasti terlihat adalah air minum yang pada tahun-tahun sebelumnya cukup bersih dan biayanya murah tetapi pada saat2 sekarang ini mulai meningkat dan airnya pun tidak selancar sebelumnya, warnanya suka keruh bahkan terkadang ada cacing2 kecil yang terselip masuk ke bak tampungan,  sehingga keluarga ini harus membeli saringan air lagi untuk menyaring airnya supaya lebih bersih, hal ini berarti menambah biaya lagi.
        Bila kita lihat saja contoh kecil ini dan kalkulasi dengan baik, bagaimana kita bisa mandiri dalam pengelolaan air bersih, bagaimana kita bisa mendapatkan air bersih dengan biaya murah, bagaimana kita bisa menjadi keluarga sejahtera, bagaimana kita bisa mendapatkan biaya lebih untuk ditabung untuk masa tua kita, atau bahkan bagaimana kita bisa menyekolahkan anak-anak kita di perguruan tinggi? dan masih banyak bagaimana lagi bila kita tidak merubah sikap hidup kita untuk merawat air.
      Lalu siapa yang diuntungkan bila kita tidak mengubahnya? Yang pasti si Swasta asing itu, karena dengan alasan bahan baku air yang makin kotor sehingga harus ditambah cairan pemurni airnya lebih banyak dan disini seperti kita ketahui banyak celahnya untuk mengeruk keuntungan lebih besar, lalu kita salahkan si Swasta itu? Sulit untuk membuktikannya, kemudian siapa lagi, ya oknum-oknum pejabat yang dekat dengan perusahaan itu , lalu siapa lagi, ya yang terakhir adalah para pengusaha yang melihat ada peluang usaha dari kesulitan akan air bersih ini.
        Lalu rakyat banyak bagaimana? Ya kesimpulannya adalah bila rakyat selalu menuntut untuk ditingkatkan kesejahteraannya, coba untuk membaca artikel ini, dan lakukan tindakan untuk jaga kebersihan dan tegur yang melakukan pelanggaran. Dan lihat hasilnya, bila air sungai telah bisa terlihat dasarnya dan sampah tidak menumpuk lagi di pintu-pintu air, tetapi biaya air masih mahal maka rakyat bisa menuntutnya dan bila biaya ini bisa turun, bayangkan kesejahteraan yang bisa diperoleh. Bahkan bisa dinikmati oleh rakyat kalangan bawah karena mereka pun akan dapat kesehatan lebih baik sehingga taraf hidup mereka akan lebih meningkat, yang tadinya kesehatan mereka buruk tetapi ketika lingkungan dan air telah bersih maka hidup mereka lebih sehat dan lebih produktif sehingga hasil yang diperoleh dari pekerjaan mereka pun lebih meningkat. Makin Bersih Makin Kaya.
        Makin Disiplin Makin Pintar, Setelah kita bisa membuat lingkungan bersih maka selanjutnya yang kita lakukan adalah mendisiplinkan diri supaya tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Ketika hidup kita semakin disiplin maka kita pun akan semakin pintar terutama pintar menggunakan waktu. Contohnya ; Ketika kita sudah disiplin tidak membuang sampah sembarangan , maka sampah yang telah dibuang ditempatnya itu akan dibawa ke TPA (tempat pembuangan akhir) dan disana mulai disapih dan sisanya akan dikubur, yang telah disapih itu akan didaur ulang , dan hasil dari daur ulangnya adalah kesejahteraan dan mengurangi barang sisa. Kita juga bisa disiplin dalam penggunaan kertas bungkus atau plastik bungkus , semakin kita bisa menguranginya maka akan semakin dikit sampah yang dikeluarkan.
         Lalu makin pintarnya dimana? Nah disinilah makin pintarnya, setelah kita tidak membuang sampah sembarangan dan mengurangi penggunaan pembungkus, maka kita akan semakin kreatif dan pintar dalam cara menghemat pengeluaran kertas pembungkus, dan kita pun akan semakin pintar dalam mengatur keuangan kita baik dalam menghemat ataupun dalam pengeluaran. Setelah itu hal-hal pintar lainnya akan menyusul, karena polusi yang semakin menurun sehingga udara juga semakin bersih dan air pun semakin baik, maka hidup kita akan semakin sejahtera dan sehat.
        Buku  ini ditulis karena saya merasa terbeban untuk menyampaikan kepada masyarakat luas, bahwa kemiskinan dan kebodohan bukan hanya dari pengaruh atau tekanan luar , tetapi lebih daripada prilaku pribadi dan gaya hidup yang tidak tepat. Bila pemerintah selalu dituntut itu sudah merupakan tugas rakyat, tetapi rakyat yang Smenuntut juga harus menjadi rakyat yang tau tanggung jawab dan kewajibannya. Karena pemerintah tidak akan pernah ada tanpa adanya rakyat.
       Marilah mulai saat ini kita bersama mensejahterakan diri kita dan orang sekitar kita dimulai dengan merawat lingkungan kita, dengan membuang sampah ditempatnya dan tidak mengotori sumber-sumber bahan baku air dengan bahan2 kimia yang beracun.Semoga buku ini bisa membantu dan bersama kita akan mampu menolong diri sendiri dan orang lain.
Salam Sejahtera. God Bless You All. Assalamu’alaikum.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook