Wednesday, March 6, 2013

Membunuh Karena Cinta


       Pertma kali penulis mengenal istilah qatalurrahmah atau mautu al-Taisir, tahun 2008, ketika penulis mengikuti kuliah fiqih kontemporer dengan Dr.Mawardi M.Saleh, di UIN Suska Pekanbaru-Riau. Sejak saat itu penulis mencari banyak informasi, di buku dan internet. Ternyata sebahagian besar ulama fiqih membolehkan membunuh, karena kasih sayang, dengan alasan yang kuat dari dokter yang benar-benar ahli dalam bidangnya.

          Syari’ah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman Allah SWT :  “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

http://cdn1.searchcompletion.com/images/spacer.gif      Secara bahasa, euthanasia berasal dari bahasa Yunani, eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”. Sementara dalam fiqh Islam, euthanasia ini diistilahkan dengan qatl ar-rahmah (membunuh karena kasihan) atau taisir al-maut (mempermudah kematian). Adapun secara istilah, maka euthanasia adalah praktik memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit -karena kasih sayang-, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif (aktif) maupun negatif (pasif).

        Euthanasia biasa dilakukan dengan alasan bahwa pengobatan yang diberikan kepada pasien hanya akan memperpanjang penderitaannya. Ditambah bahwa pengobatan itu sendiri tidak akan mengurangi penyakit yang diderita yang memang sudah parah. Atau menurut perhitungan medis, penyakit itu sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau si pasien sudah tidak akan bertahan lama. Atau bisa juga dengan alasan bahwa pihak keluarga pasien tidak mempunyai kemampuan finansial untuk membayar pengobatannya sementara walaupun pengobatan dilanjutkan juga tidak akan membawa hasil positif.
[http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia#cite_note-25]

Hukum Euthanasia

A.    Hukum Euthanasia Aktif (Positif)
Euthanasia aktif (tindakan memudahkan kematian si sakit yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat), yang biasanya berupa penyuntikan obat ke dalam tubuh pasien) dengan semua bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar. Hal itu karena euthanasia aktif hakikatnya merupakan pembunuhan dengan sangaja. Dan pembunuhan dengan sengaja atau terencana adalah haram, apapun alasan yang melandasinya. Baik itu dengan alasan kasih sayang, permintaan si pasien sendiri, permintaan keluarga pasien, atau alasan lainnya yang jelas tidak diterima oleh syariat.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al-An’am 151)

Adapun jika itu atas permintaan si pasien, maka si pasien itu telah menanggung dosa yang sangat besar karena dia telah membunuh dirinya atau menyuruh orang lain membunuh dirinya. Sementara dokter dan pihak keluarga yang rela dengan hal itu semuanya mendapatkan dosa karena telah meridhai bahkan bekerja sama dalam perbuatan dosa.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29)

 B. Hukum Euthanasia Pasif (Negatif)
Jika kita memperhatikan praktik euthanasia pasif ini, maka kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya hakikat dari euthanasia pasif ini adalah tindakan menghentikan pengobatan, karena diyakini (atau dugaan besar) pengobatan itu sudah tidak bermanfaat dan hanya akan menambah kesusahan bagi pasien.
Karenanya, hukum euthanasia pasif ini kembalinya kepada hukum berobat itu sendiri. Apakah berobat itu hukumnya wajib, sunnah, atau mubah?
Jika kita katakan berobat hukumnya wajib, maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah haram.
Jika kita katakan berobat itu hukumnya sunnah, maka maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah makruh.
Dan jika kita katakan berobat itu hukumnya mubah (boleh), maka maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah mubah. (http://al-atsariyyah.com)
Untuk menghindari dosa atau balasan kelak di akhirat, menurut saya akan lebih baik jika kita tidak melakukan euthanasia sebagai tenaga medis muslim. Wallahu a’lam bish-shawwab.


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook