Saturday, March 9, 2013

NOVEL BIDADARI SUNGAI KAMPAR


Bahagian
Pertama


          Bukit Ranah Singkuang, suatu bukit yang sangat asing bagiku. Karena aku datang dari sebuah pulau di tengah laut, Kuala Kampar. Penyalai namanya. Aku pendatang baru, ke tepian sungai Kampar ini. Setelah menempuh perjalanan sungai sejauh seribu kilometer.  Nah inilah masalahnya, di tepain sungai itu, saya bertemu bidadari penunggu tepian. Bidadari itulah yang mengantarkann saya, kepada pemikiran filsafat. Ternyata filsafat bukanlah sesuatu yang tinggi di atas langit, tetapi sungguh dekat dengan kehidupan saya sehari-hari dan lahir dari kenyataan hidup manusia. Bidadari juga bukan sejenis Malakat betina, yang hanya bertahta di surga.  Saya ingin  merefleksikan pengalaman mencangkul di sawah berlintah, bertobo atau  arisan mencangkul, dengan ibu-ibu dan gadis-gadis remaja. Sore hari sekolah, berjalan kaki dan kadang-kadang  bersepeda di lembah Bukit Ranah Singkuang, Kampar, yang ternyata mempunyai makna yang demikian dalam justru dari sebuah tindakan sederhana, bersepeda.
         Sebagai filosof  yang baru akan memulai petualangan intelektual saya sadar bahwa saya belajar filsafat cinta, bukan semata-mata karena hukum kanonik mengharuskan setiap religius untuk belajar filsafat, tetapi sungguh karena saya ingin belajar filsafat. Jujur, saya tertarik untuk belajar lebih dalam tentang filsafat agar saya dapat semakin tajam dalam merefleksikan hidup dan sekaligus menjawab persoalan kemasyarakatan secara lebih analitis, sistematis dan logis. Saya berkomitmen untuk terus menerus belajar mencintai filsafat.

Falsafah Kerikil dan Negeri Angin

        Aku, panggil atau sebut saja namaku dengan Aku. Aku lahir di negeri Angin dari sepasang kerikil, kerikil abu-abu dan putih dengan lekuk matahari pada sisi-sisinya. Mereka ciptakan aku dari api yang muncul ketika mereka saling bersinggungan. Kerikil abu-abu dan putih itu bertemu tak sengaja di antara aliran sungai. Suara gemericik ditambah dengan warna kecoklatan dari endapan lumpur-lumpur harum membuat telinga dan mata mereka sedikit mengabur. Sungai yang tidak mengenal kata lelah mendorong mereka, membuat keduanya berpapasan, saling bersentuhan. Aku tidak tahu siapa yang lebih dahulu memulai percakapan, yang pasti, setelah saling menatap, salah satu di antara mereka mulai berbicara,

 “ Sungai ini terlalu deras, ada baiknya kita bersisian.”
“ Ya, setidaknya masing-masing dari kita memiliki teman seperjalanan.”
“ Angin memang tak pernah berhenti di sini.”
“ Ya, negeri Angin memang tidak pernah kehilangan anginnya.”

Kedua kerikil itu lalu membiarkan sungai menghanyutkan mereka, menghanyutkan mereka bersama kerikil-kerikil lainnya.
***


Negeri Angin adalah negeri dengan seribu musim. Musim baru telah tiba, musim yang membuat sungai terpaksa mendangkalkan airnya agar dapat terus bertahan hidup. Kedua kerikil itu kini di antara rerumputan. Sungai menitipkan mereka kepada padang-padang luas. 

“ Terima kasih, sungai,”  keduanya berucap.
Sungai mengerling sambil mengembangkan bibirnya, “ aku hanya membuat kalian saling bertabrakan.”
Kedua kerikil itu tersenyum, “ jangan menyalahkan sesuatu yang tidak bisa kau hentikan.”

Sungai mulai beranjak pergi, cahaya dari kulit lembut kerikil  abu-abu dan putih melambai.

Padang tempat keduanya berada itu sedikit berbukit dan penuh dengan kehidupan. Angin membuat mereka selalu bergerak bersama. Mulanya semuanya terjadi dengan begitu saja dan alami.Adalah angin yang membuat mereka bergumul di antara semak-semak, saling menggelinding. Adalah angin pula yang membuat mata mereka dengan lantang menyala. Mereka membentur dan saling terbentur, mengeluarkan api.

Aku yang terlahir dari kerikil menghembus bersama angin 
 Mendengarkan suara mereka tentang dunia
Tentang api yang muncul dari pergerakan-pergerakan itu
Tentang perjalanan mereka menembus gugus awan
kerikil yang ada pada telapak tangan beliau bertasih.
Orang yang beriman kepada Nabi atau Rasul, kalau tidak, bagaimana mungkin dia bisa mendengar tasbihnya, kecuali atas izin Allah SWT.
SSS
KSisa Sesaat kemudian, kerikil tersebut diberikan kepada Abu Bakar ra, lalu batu tersebut pun bertasbih di tangann
Setelah jatuh cinta,
Kerikil ini, bagiku adalah mutiara.
Airnya  adalah madu yang jernih, teramat manis.
Anginnya yang berhembus, bagikan tiupan bidadari.

           Semua bermula dari sekadar corat-coret di siang dan sore ketika sedang terperangkap di tengah kesunyian. Malam tiba, sekadar corat-coret  di surau, yang dikelilingin jeruk dan bau durian. Jiwa saya memberontak, meminta dibumikan caatatan kecil ini, menjadi cerita utuh. Akhirnya, aku memiliki aktivitas baru: menghabiskan malam demi malam di gubuk Nenek Dukun,  yang dipaksa ngos-ngosan, kerja rodi. Tahu-tahu, entah di malam ke berapa, semua protes dari sang corat-coret tuntas sudah. Segelas air taapai  panas lalu diseduh. Merayakan lahirnya Satu Syair di dalam novel. Nikmat ceritanya tiada tara.... Tapi tunggu... kurang asyik sepertinya jika hanya dirayakan sendiri. Satu Masa di seberang sungai, aku harus memiliki kawan baru. Lalu segala gegap gempita berlanjut. Rencana-rencini disusun. Sederhana saja, tapi dijamin pasti seru!

           Nah, kalau sempat dan tidak sibuk, aku mengundang kawan-kawan untuk merayakan kelahiran Satu buku syair dan pantun penderitaan. Bersenang-senang hanya dalam hayalan, bersama dengan ubi rebus, kerupuk dan segelas kopi panas sambil ngobrol-ngobrol santai tentang Satu Masa di saat  menikmati pertunjukan musik  gambus dari para sahabat. Kapan? Di mana?





Aku, panggil atau sebut saja namaku dengan Aku. Aku lahir di negeri Angin dari sepasang kerikil, kerikil abu-abu dan putih dengan lekuk matahari pada sisi-sisinya. Mereka ciptakan aku dari api yang muncul ketika mereka saling bersinggungan. Kerikil abu-abu dan putih itu bertemu tak sengaja di antara aliran sungai. Suara gemericik ditambah dengan warna kecoklatan dari endapan lumpur-lumpur harum membuat telinga dan mata mereka sedikit mengabur. Sungai yang tidak mengenal kata lelah mendorong mereka, membuat keduanya berpapasan, saling bersentuhan. Aku tidak tahu siapa yang lebih dahulu memulai percakapan, yang pasti, setelah saling menatap, salah satu di antara mereka mulai berbicara,

 “ Sungai ini terlalu deras, ada baiknya kita bersisian.”
“ Ya, setidaknya masing-masing dari kita memiliki teman seperjalanan.”
“ Angin memang tak pernah berhenti di sini.”
“ Ya, negeri Angin memang tidak pernah kehilangan anginnya.”

Kedua kerikil itu lalu membiarkan sungai menghanyutkan mereka, menghanyutkan mereka bersama kerikil-kerikil lainnya.
***

         Negeri Angin adalah negeri dengan seribu musim. Musim baru telah tiba, musim yang membuat sungai terpaksa mendangkalkan airnya agar dapat terus bertahan hidup. Kedua kerikil itu kini di antara rerumputan. Sungai menitipkan mereka kepada padang-padang luas. 

Terima kasih, sungai,”  keduanya berucap.
Sungai mengerling sambil mengembangkan bibirnya, “ aku hanya membuat kalian saling bertabrakan.”
Kedua kerikil itu tersenyum, “ jangan menyalahkan sesuatu yang tidak bisa kau hentikan.”

Sungai mulai beranjak pergi, cahaya dari kulit lembut kerikil  abu-abu dan putih melambai.

Padang tempat keduanya berada itu sedikit berbukit dan penuh dengan kehidupan. Angin membuat mereka selalu bergerak bersama. Mulanya semuanya terjadi dengan begitu saja dan alami.Adalah angin yang membuat mereka bergumul di antara semak-semak, saling menggelinding. Adalah angin pula yang membuat mata mereka dengan lantang menyala. Mereka membentur dan saling terbentur, mengeluarkan api.

Aku yang terlahir dari kerikil menghembus bersama angin 
 Mendengarkan suara mereka tentang dunia
Tentang api yang muncul dari pergerakan-pergerakan itu
Tentang perjalanan mereka menembus gugus awan



Kita pertama kali bertemu di dermaga itu, di sisi sebuah kanal dengan tembaga yang pada beberapa bagiannya tampak terkelupas dan berkarat, empat tahun yang lalu.

“ View yang tepat untuk melihat camar-camar beterbangan,” ujarmu pada hari pertama kita berkenalan. Setelah itu, hampir setiap hari kita bertemu. Menyaksikan camar-camar dengan sayap peraknya menjemput laut.
 
“ Dunia tidak sebatas camar-camar itu,”aku tiba-tiba bergumam.
“ Ya, memang.”
“ Ikan-ikan mati.”


Kau menoleh. Tertawa. Angin laut sejenak memaksa kita berdiam. Tawamu lalu kembali menyerang semua sudut yang membungkus pembicaraan kita.

Diterkam camar? Ah, kau terlalu sentimentil.”
“ Manusia tidak pernah sendiri.”
“ Dan camar itu hanya meneruskan hidupnya.”
“ Dan ikan itu hanya ingin meneruskan hidupnya.”

Kau dan aku bertatapan. Riak mata kita mencoba untuk saling tidak mengalah. Kepalaku menjadi bertambah berat – terbakar matahari. Malam menyalakan lilin. Kepalamu membumbung tinggi. Aku meloncat. Menyelam. Menyesakkan segumpal udara ke dalam rongga paru-paruku. Sesekali kulihat kau berputar mengitar. Matamu tajam. Aku menerjemahkan laut. Kita membiru.   


Apa jadinya jika cokelat menjumpai kehidupan kita? Ia mampir, menelusup pada kisah-kisah yang terdapat di dalam buku ini. Satu Masa di Cielomerupakan kumpulan cerita pendek yang mengungkapkan berbagai hal sederhana, peristiwa-peristiwa mungil yang kerap terlupakan dalam keseharian manusia bersama cokelat.

           Bukankah hidup memang ajaib? Membuat kita terkurung dalam satu keramaian di satu waktu, menyendiri di waktu yang lain. Di kali lain, ia berikan rasa memiliki dunia di suatu hari sambil menerbitkan murung di hari berikutnya. Cokelat lalu membiaskan segala hitam putih, membuat kita teringat betapa keseharian adalah perpaduan di antara keduanya. Pada tempatnya berpijak, Satu Masa dahulu adalah keabu-abuan yang mencoba berkisah. 


Ketika terlalu sibuk bertumbuh dewasa, kita berubah menjadi orang yang mapan dan lupa akan kesenangan-kesenangan kecil kita mengamati hal-hal yang sederhana. Dan hal sederhana itu bisa diceritakan melalui sepotong cokelat. Cerita-cerita pendek dalam buku ini bermaksud untuk mengingatkan kita kembali untuk menjadi dewasa, tanpa lupa bahwa kesenangan-kesenangan kecil itu tidak pernah mati. Kita bisa menemukannya bahkan hanya dari sepotong . Satu Masa di Cielo seperti sebuah kenangan manis nan lengket. Membacanya memberi sensasi secangkir cokelat hangat dengan rasanya yang melekat erat. 
 

Dari kelahiranku yang sederhana, aku kemudian mengembara menyusuri berdepa-depa kehidupan. Pada pengembaraanku ini, lahir beribu-ribu cerita. Aku lalu mengayun. Melangkah setengah berlari menemui pagi cerahmu, bertahan di sengat siangmu, mampir ke dalam petualangan mimpimu. 

Perkenankanlah aku untuk memperkenalkan diri. Namaku cokelat...

1 comment:

  1. ckckckck maling tulisan gk kira2, dr blogku sampai kover blakang bukuku d copast. klo emng suka, minta izin dan cantumkan nama penulisny. as simple as that!

    ReplyDelete

Komentar Facebook