Sunday, April 7, 2013

JIWA KORSA GURU SEDUNIA

PENDAHULUAN

          JIWA KORSA Guru-guru sedunia, bisa saja muncul tiba-tiba, ketika ada oknum guru yang masuk penjara atau dianiaya, lain halnya jika terlibat narkoba. Jakarta - BP (40), guru di SMA swasta di Bandar Lampung ditangkap polisi. BP ditangkap karena menjadi bandar sabu.
Polisi menangkapnya saat hendak bertransaksi narkoba jenis sabu di salah satu warnet di Jalan Haji Agus Salim, Kecamatan Tanjungkarang Pusat, Bandar Lampung.Kasat Narkoba Polresta Bandar Lampung, Kompol Sunaryoto mengatakan, tersangka berhasil ditangkap setelah polisi mendapat laporan dari masyarakat mengenai transaksi narkoba di warnet.

"Polisi menangkap tersangka pada Jumat (1/3/2013). Dari tangan tersangka ada lima paket sabu," kata Sunaryoto usai ekspose perkara, Rabu (6/3/2013).

Selain paket sabu, polisi juga mengamankan timbangan digital warna hitam untuk menakar sabu yang akan dijual, termasuk alat isap bong.

       Tersangka diduga mendapatkan sabu dari temannya berinisial HR yang kini masuk dalam daftar pencarian orang. "Polisi akan memburu rekan BP yang menjadi pemasok sabu," kata dia. Dalam pemeriksaan, BP mengelak dirinya menjadi pengedar. Dia mengaku hanya sebagai pemakai. Dari hasil tes urine, tersangka memang diketahui positif menggunakan sabu. Tersangka akan dijerat pasal berlapis sebagai pengedar sekaligus pemakai dengan pidana pada pasal 114 ayat 1 sub pasal 112 UU No 35 tahun 2009 tentang narkotika. BP terancam hukuman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.

 

BAB    I

KISAH GURU-GURU YANG TERSIKSA DI DUNIA

       Kebijakanjernih.net. Wu Shihai adalah seorang guru di Sekolah Menengah Etnis Zhaojue di Provinsi Sichuan. Dengan mengikuti ajaran Falun Dafa, ia mendisiplinkan diri untuk menjadi orang yang lebih baik dan sangat bertanggung jawab atas pekerjaannya. Namun, Partai Komunis China (PKC) mengirimnya ke Penjara Deyang, di mana ia secara brutal disiksa. Dia ditahan di sana dari 2005 sampai 2009. Kedua mata Wu sekarang hampir buta dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri. Semua kuku kakinya dicabut selama penyiksaan di penjara. Telinganya menjadi berubah bentuk dan berdarah karena pemukulan. Darahnya mengeras dan mengakibatkan pembengkakan merah menghitam. Dia juga kehilangan dua gigi depan karena penyiksaan, dan memar di bibir dan kepalanya.

http://www.clearwisdom.net/emh/article_images/2012-2-3-221256-0--ss.jpg
Foto Wu Shihai sekarang

Pemukulan di Penjara Deyang


Karena Wu mengatakan kepada murid-muridnya fakta tentang Falun Gong, agen-agen kantor 610 daerah Zhaojue menangkap dan menjarah rumahnya. Dia kemudian segera dibawa ke UGD sebuah rumah sakit setelah dianiaya selama proses penangkapan. Pejabat pengadilan Zhaojue setelah itu segera menjatuhkan hukuman dan mengirimnya ke Penjara Deyang.


          Wu dipukuli di Divisi Kedua penjara. Mengakibatkan luka parah, dan pemukulan itu membuatnya kesulitan jalan dan juga tidak mampu berbicara. Para penjaga menyeretnya keluar masuk dari sel. Mereka kadang-kadang mengangkatnya tinggi-tinggi dan kemudian menjatuhkannya ke lantai. Selain itu, para penjaga juga memerintahkan para tahanan untuk memukulinya, dan sering tidak diperbolehkan tidur dan makan. Dia diborgol, dibelenggu, dan ditahan di sel isolasi, dengan sedikit pakaian atau tempat tidur. Dia harus tidur di lantai, bahkan selama musim dingin yang membeku. Tanpa memperdulikan musim, dia diseret keluar setiap pukul 2 malam dan disiram dengan air dingin. Para preman terkadang menyeretnya ke ruang cuci dan memasukkan kepalanya ke dalam tanki air. Ia juga dipaksa berdiri untuk waktu yang lama tanpa tidur. Setiap kali menutup matanya, preman akan memukulinya dengan tongkat bambu, seringkali menyebabkan kepalanya berdarah. Selain itu, para preman sering menusukkan jari-jari mereka ke dalam matanya, yang menyebabkan matanya rusak dan membuatnya menjadi hampir buta. Penyiksaan ini mengakibatkan mental Wu menjadi tidak stabil.

http://www.clearwisdom.net/emh/article_images/2005-3-19-clz-06--ss.jpg
Reka ulang penyiksaan: Pemukulan brutal

        Wu dipukuli lagi pada pukul 1 siang 12 Juli 2006. Narapidana Zhang Tao memukul kepalanya dengan bangku kayu, merontokkan dua giginya. Mulut dan rahang bawahnya juga terluka, dan ia membutuhkan dua puluh jahitan. Kepala Divisi 2 Zeng Guifu dan wakil kepala Ma Chengde bertanggung jawab atas pemukulan tersebut. Wu dipindahkan ke Divisi 10 pada November 2006, dan dipukuli lagi setelah dipindahkan. Para preman di daerah itu termasuk tahanan hukuman mati Song Wenchao, Meng Zhaofu, dan lainnya.  Ketika Wu kembali ke rumah pada 2009, dia sangat pusing dan tidur selama lebih dari sepuluh hari sebelum ia mampu bangun dari tempat tidur dan makan. Ayahnya menangis setelah melihatnya dalam keadaan seperti itu.
 

Penganiayaan  Diderita Guru Selama Juli 1999 dan Agustus 2004

Selama bulan Juli 1999 hingga Agustus 2004, beberapa pejabat memerintahkan Zhang Lifei, kepala Partai PKC, majikan Wu, untuk menganiayanya. Para pejabat termasuk Wu Jinping (wakil Partai kepala Daerah Zhaojue, deputi kepala Partai Wu Jinping, kepala Biro Yudisial Yang Tongcai, dan pejabat Divisi Keamanan Domestik Tian Maoqi. Gaji Wu ditahan, dan ia tidak menerima pembayaran apapun. Sebaliknya, semua biaya penganiayaannya diambil dari gajinya.


        Tian Maoqi dan pejabat lainnya menginterogasi Wu pada tanggal 20 Juli 1999. Mereka mengawasinya sepanjang waktu dan tidak mengizinkan dia untuk mengajar. Ketika ia pergi ke Beijing untuk mengajukan permohonan pada Oktober 1999, ia ditangkap dan dikirim kembali ke Divisi Keamanan Domestik daerah, di mana dia disiksa dan ditahan selama 49 hari. Ia juga dipaksa untuk membayar 5.000 yuan. Setelah dibebaskan pada 7 Desember, para pejabat sekolah menunjuk seseorang untuk mengawasinya dan membayar pengawas itu sepuluh yuan per hari, dengan uang dari gaji Wu.


          Wu tidak mengikuti permintaan tidak masuk akal dari Kantor 610 Zhaojue - bahwa dia tidak dapat meminta dan tidak bisa berbicara dengan praktisi lain. Karena itu, agen Kantor 610 Zhaojue menahannya selama sebulan, dan kemudian menahannya selama satu bulan setelah dibebaskan satu minggu. Satu minggu setelah pembebasan terakhir, mereka menahannya untuk yang ketiga kalinya. Para agen Kantor 610 Zhaojue menghukum Wu kerja paksa satu setengah tahun pada 14 Agustus 2000, dan mengirimnya ke Kamp Kerja Paksa Xinhua di Provinsi Sichuan. Dia diperintahkan berdiri diam dari pagi sampai jam 2 siang setiap hari, dan kadang-kadang sepanjang malam. Selain itu, para penjaga mengikatnya dengan tali, menyetrumnya dengan tongkat listrik, dan memaksa memberinya makan. Penahanannya diperpanjang empat bulan. Dia dibebaskan pada 16 Desember 2001.


        Wu dikirim ke Kamp Kerja Paksa Xinhua lagi pada 15 Januari 2003 dengan hukuman dua tahun. Dia dipaksa berdiri dan jongkok, dan juga berdiri diam, untuk jangka waktu yang lama. Setelah berbagai siksaan, para petugas kamp kerja paksa mengirimnya ke Rumah Sakit Ketiga Kota Mianyang – sebuah rumah sakit jiwa – dan secara paksa menyuntiknya dengan obat-obatan perusak saraf. Obat-obatan tidak diketahui lainnya juga diberikan secara paksa. Akibatnya ia menjadi sulit bergerak, wajahnya sedikit lumpuh dan ototnya mati rasa. Ia juga meneteskan air liur. Dia dibebaskan pada Agustus 2004.

Inilah Makna Jiwa Korsa Itu

"Tapi jika dilihat dari sisi lain, tindakan itu menunjukan adanya rasa kebersamaan yang tinggi diantara pasukan itu,"
Skalanews - Mantan Wakil Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus), Letjen (Purn) Sutiyoso mengakui jiwa korsa memang dimiliki oleh setiap anggota militer. Jiwa korsa adalah semangat kebersamaan dan rasa senasib-sepenanggungan.
Jiwa korsa tersebut, kata Sutiyoso, memang sengaja dikembangkan dan ditanamkan dalam diri pribadi masing-masing anggota militer. Dengan tujuan, supaya setiap anggota militer tidak mudah meninggalkan teman-temannya.

"Misalnya pada saat terjadi luka tembak di lapangan. Kebersamaan tersebut terus dipupuk. Makin kecil satuannya, maka rasa jiwa korsa dan kebersamaan tersebut makin tebal," kata Sutiyoso dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (6/4).

Oleh sebab itu, Sutiyoso menilai wajar jika pengaruh jiwa korsa-lah yang melatarbelakangi peristiwa penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (LP) II B Cebongan, Sleman, Jawa Tengah pada beberapa waktu lalu.


"Ini aksi-reaksi. Saya kira terbunuhnya Sertu Heru Santosa tentu tersebar. Bagaimana cara dia dibunuh, kelompok mana yang membunuh. Setelah tahu Santosa dibunuh, pastilah muncul rasa (dari teman-temannya) untuk membalas," kata Sutiyoso.

Namun demikian, Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) ini menyatakan, tindakan penyerangan yang dilakukan oleh oknum anggota Kopassus dari Grup 2 Kandang Menjangan, Kartasura tersebut memang salah.

"Tapi jika dilihat dari sisi lain, tindakan itu menunjukan adanya rasa kebersamaan yang tinggi diantara pasukan itu," kata Sutiyoso menegaskan. (Risman Afrianda/kgi)
           TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bekas Wakil Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Wadanjen Kopassus), Letnan Jenderal (Purn) Sutiyoso, menegaskan jiwa korsa yang dibina agar para prajurit merasa senasib sepenanggungan. "Tujuannya agar di dalam pertempuran dia tidak mudah meninggalkan teman," kata Bang Yos, sapaan akrabnya, di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (6/4/2013).
           Jiwa korsa tersebut memang sengaja dikembangkan mengingat Kopassus adalah satuan kecil. Mereka direkrut dengan sangat ketat dan dilatih secara berat. Mereka pun dikirim bertugas berdasarkan tugas dari panglima TNI yang pertimbangannya tidak mungkin dilakukan prajurit biasa. "Oleh karena itu kebersamaan kita bangun. Makin kecil satuannya jiwa korsa makin tebal," ujar Bang Yos. Sehingga jika ada teman mereka yang meninggal karena dibunuh, maka perasaan untuk balas dendam itu ada.
Bang Yos pun menilai penyerangan anggota Kopassus ke Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, beberapa waktu lalu karena adanya hubungan sebab akibat.
Bekas anggota Kopassus Sertu Santoso meninggal akibat dibunuh di Hugos Cafe.
Pensiunan jenderal bintang tiga itu pun lebih menekankan pada pengembangan pengendalian diri prajurit mengingat kemampuan mereka yang sangat tinggi.
"Sekali lagi, ini adalah prajurit-prajurit yang punya kemampuan luar biasa. Pengendalian diri yang harus dibina. Itu tugas perwira," katanya.

BAB    II
GURU MEMUKUL MURID BISA MASUK PENJARA
        UU Perlindungan anak, khususnya pasal 13 ayat (1), menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a.       diskriminasi;
b.       eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c.       penelantaran;
d.       kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e.       ketidakadilan; dan
f.       perlakuan salah lainnya.
Apa yang diungkapkan dalam pasal 13 ayat (1) di atas kembali ditegaskan dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
Dengan adanya UU Perlindungan Anak, guru di sekolah tidak lagi berani memberikan hukuman kepada anak. Guru takut karena sanksi hukumannya tidak main-main. Mengenai sanksi hukuman terhadap tindakan penganiayaan anak tertuang dalam pasal 80. Di sana dinyatakan:
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Ternyata bukan cuma UU Perlindungan Anak saja yang menjadi instrumen perlindungan anak, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur soal penganiayaan. Hal itu terdapat dalam pasal Pasal 351 jo. 352 KUHP.
“Penganiayaan” Masih Ada
Sekalipun UU Perlindungan Anak sudah diundangkan, ternyata tindakan memberi hukuman, yang masuk kategori penganiayaan, masih kerap terjadi. Kasus terakhir adalah kasus penamparan oleh oknum guru terhadap siswi SD Harmoni di Batam. Dikatakan bahwa bekas tamparan itu meninggalkan luka lebam di pipi anak kecil itu sehingga dia jadi trauma ke sekolah. Orang tua sudah melaporkan kasus itu ke polisi.
“Sebagaimana diberitakan, M dilaporkan ke Polsek Wuryantoro, Senin (7/2) malam lalu karena dugaan penganiayaan terhadap salah satu muridnya. Murid tersebut, Dias Ganang Fardian mengaku ditampar satu kali oleh gurunya itu sehingga mengalami luka lebam di bawah mata kirinya.
Alasan pemukulan itu, sebagaimana tertulis dalam laporan resmi orangtua korban ke Mapolsek Wuryantoro, karena korban melanggar disiplin saat upacara bendera, Senin pagi. Guru tersebut, belum bisa ditemui maupun dihubungi untuk konfirmasi.
Sedangkan Kepala SMK Gajah Mungkur 1 Wuryantoro, Saryanto membantah perlakuan guru terhadap muridnya itu sebagai tindakan penganiayaan. “Itu cuma pembinaan karena murid ini ramai bercanda dengan temannya saat upacara berlangsung,” jelasnya. Saryanto mengakui pembinaan dan penegakan disiplin siswa di sekolahnya memang cukup ketat.”
Kalau kita perhatikan baik-baik, apa yang dilakukan para guru dengan menghukum muridnya tidaklah salah 100 %. Apa yang dilakukan mereka masih dalam taraf wajar, sekalipun menimbulkan luka memar. Yang dilakukan guru adalah juga demi kebaikan murid itu. Guru memegang prinsip: yang salah harus dihukum. Tak mungkinlah guru menghukum murid yang baik dan benar. Yang salahlah yang dihukum. Dengan hukuman anak disadarkan akan kesalahannya.
UU Perlindungan Anak dapat membuat anak tidak menemukan kesalahan dirinya. Dia merasa dirinya benar. Buktinya, dia dibela dan sang guru dihukum. Karena itu, konsep benar-salah menjadi hilang dengan adanya UU Perlindungan Anak.
Derita Guru: Sebuah Dilema Pendidikan
Keberadaan UU Perlindungan Anak ini, bagi saya, menjadi sebuah penderitaan guru. Mereka dihadapkan pada sebuah masalah yang dilematis dalam proses pendidikan dan pembinaan anak muridnya. Situasi mereka berhadapan dengan UU Perlindungan Anak sama seperti “maju kena mundur pun kena”.
Kita bisa perhatikan contoh kasus di SMK Gajah Mungkur di atas. Demi pembinaan dan penegakan disiplin kepada siswa, guru terpaksa menampar siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan pada jerat hukum. Maksud baik sang guru justru berakibat buruk. Bukankah guru itu ingin menyadarkan murid itu. Ada banyak cara penyadaran. Tempeleng merupakan salah satu cara.
Mungkin orang akan berpikir, kan bisa pakai cara lain yang tanpa kekerasan. UU Perlindungan Anak tidak membolehkan cara kekerasan, padahal cara itu bisa menjadi sarana paling efektif. Tingkat penyadarannya lebih kuat ketimbang hanya menegur dan menasehati. Tempeleng (dan itu hanya sekali) bisa merupakan bentuk shock therapy.
Oleh karena itu, saya katakan bahwa UU Perlindungan Anak menjadi penderitaan para guru di sekolah. Mereka tidak berani bertindak tegas kepada murid karena takut akan sanksi dari UU Perlindungan Anak. Bayangkan saja, kena pasal 80 ayat (1) saja sudah merupakan penderitaan yang amat sangat bagi guru yang berpenghasilan pas-pasan. Mau masuk penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan terus sih tak akan jadi masalah. Tetap mengajar dengan ganti rugi sebesar 72 juta rupiah, jelas akan memberatkan keluarganya.
Saya punya satu contoh kasus. Di sebuah sekolah menengah pertama, ada siswa sedang berkelahi. Datang seorang guru melerai. Eh, malah dia dicaci maki oleh seorang siswa yang berkelahi tadi, karena tidak terima acara duelnya dipisahkan. Karena emosi, maklum sang guru juga masih muda dan caci maki itu terjadi di muka umum, diketahui murid lain, dan demi harga diri, guru itu menampar siswa itu. Cuma sekali saja. Ujung ceritanya sang guru dilaporkan ke polisi dan sempat beberapa hari ditahan di penjara sebelum akhirnya dibebaskan dengan tebusan.
Apa yang terjadi setelah peristiwa itu? Para guru lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa dan para siswa berbuat seenaknya saja. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak berani menegur. Yang terjadi adalah proses pembiaran. Ketika guru mau bertindak tegas, anak dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah mengejek gurunya bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa karena takut dengan UU Perlindungan Anak.
Saya pernah berdiskusi dengan seorang mantan kepala sekolah di dua sekolah ternama di tempat saya, yang sekarang sudah menjadi sepuh. Dia mengatakan bahwa UU Perlindungan Anak merusak dunia pendidikan. Dia sangat tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan anak untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para guru.
Hukuman Bukan Penganiayaan
Saya melihat ada sedikit kekeliruan dalam masalah UU Perlindungan Anak. Kekeliruan itu berkaitan dengan kata “penganiayaan”. Bagi saya yang masuk kategori penganiayaan adalah kekerasan yang bertubi-tubi. Ia mirip dengan penyiksaan. Misalnya, memukul atau menempeleng berkali-kali, sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma sekali, itu bukan penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan baru bisa. Kalau kasus seperti IPDN saya baru setuju jika itu dikatakan penganiayaan dan memang kejam, karena kekerasan yang dilakukan bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang berkali-kali. Karena itu wajar jika ada yang cacat dan bahkan sampai tewas.
Saya tidak setuju jika menempeleng yang hanya sekali saja masuk kategori kekejaman (pasal 13 ayat 1) atau hukuman yang tidak manusiawi (pasal 16 ayat 1). Dalam kasus-kasus penganiayaan yang terjadi di sekolah yang dilakukan oknum guru selama ini, bagi saya masih masuk kategori kekerasan, bukan kekejaman, penganiayaan apalagi hukuman yang tidak manusiawi.
Yang menjadi persoalan, haruskan kekerasan itu dihukum, jika kekerasan itu bertujuan baik, yaitu menyadarkan orang akan kesalahannya. Untuk bisa sampai pada tingkat sadar itu memang sering menyakitkan. Kekerasan itu ibarat shock therapy bagi pasien.
Selain itu harus juga diperhatikan soal kewajiban sang anak. Dalam UU Perlindungan Anak, khususnya bab yang berbicara soal hak dan kewajiban anak, ada begitu banyak pasal berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja (pasal 19). Cukup menarik kalau kita perhatikan bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini:
Setiap anak berkewajiban untuk :
1. menghormati orang tua, wali, dan guru;
2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Muncul pertanyaan, jika anak tidak melaksanakan kewajibannya, adakah sanksi yang dapat diberikan kepada anak? Selama ini tidak ada yang melihat hal ini. Orang hanya disibukkan untuk melihat hak anak, sehingga pelanggaran terhadap hak anak yang selalu ditindak. Apakah berkaitan dengan nominal uang yang cukup banyak sehingga menjadi daya tarik bagi polisi dan pengacara? Namun, bagaimana dengan kewajiban anak? Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak?
Seperti contoh kasus di atas. Anak SD Harmoni itu diberitakan mengganggu temannya yang sedang latihan menari. Artinya, ia tidak melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19) UU Perlindungan Anak. Atau dalam kasus SMK Gajah Mungkur, siswa tersebut tidak melaksanakan kewajiban no. 3 dan 5. Apakah guru punya wewenang melaporkan siswa yang tidak melaksanakan kewajibannya ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut?
Harus diingat bahwa dalam hukum itu, hak dan kewajiban itu mesti seimbang. Orang tidak bisa hanya menuntut haknya saja tanpa melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, berkaitan dengan UU Perlindungan Anak, perlu juga ditinjau soal keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri. Jangan hanya membebani kesalahan pada guru.

1 comment:

Komentar Facebook