Tuesday, April 23, 2013

PERSAINGAN ITU AKIBAT HEDONISME , MELAHIRKAN MANUSIA BINATANG


BAB      I

MANUSIA BERPRILAKU BINATANG

A. Cerita jutaan binatang wukuf di Arafah

Ada seorang ulama sufi  beserta sahabatnya. Sang Sufi bertanya 
  " berapa jumlahnya jamaah haji yang berkumpul di Arafah ini? "Sahabatnya menjawab “jutaan orang, semuanya manusia asli.” Sufi itu menyuruh sahabatnya  mendekatkan wajahnya dan memejamkan matanya , lalu matanya diusap dengan telapak tangan si Sufi yang lembut. Kemudian diperintahkan sahabatnya itu melihat sekelilingnya. Tiba-tiba saja ia terkejut,. Di padang Arafah itu ia hanya melihat kumpulan monyet yang berkeliaran sambil menjerit-jerit. Memang ada juga manusia, tapi jumlahnya hanya sedikit yang terkepung di tengah kerumunan monyet.
          
            Kemudian sang Sufi tersebut mengusap waajah temannya kembali, untuk yang kedua kali.
            Lalu sahabatnya itu, menyaksikan kerumunan babi, yang mengelilingi manusia yang jumlanya sedikit. Nah pada kali ketiga, wajahnya diusaf oleh sang Sufi, ia menyaksikan jutaan serigala, memenuhi padang Arafah. Teman sang Sufi tersebut, kemudian menyaksikan kumpulan tkus-tikus besar di antar sedikit manusua. Kemudian ia berkata “ Bukti-bukti yang kamu tunjukkan, membuat aku menjadi takut. Akhirnya saya menjadi ngeri.

           Berkat sentuhan tangan Seorang Sufi, temannya dapat melihat manusia binatang, walaupun sejenak, bahwa di sebalik tubuh para manusia yang wukuf di Arafah, Tuhan menyingkapkan tirai kebendaannya melalui pandangan mata yang sangat tajam. Kebingungan melihat begitu banyaknya manusia yang tampak pada lahirnya sebagai manusia asli, tetapi kelihatan pada mata batin, sebagai binatang. Kita kebanyakan hanya manusia majazi, dengan kiasan binatang, yang sebenarnya memang binatang secara hakiki. Hal ini harus direnungkan, bagaimana dan siapa jati diri kita ini masing-masing sebenarnya. Pernahkah kita berperilaku sebagai binatang di tempat kerja kita masing-masing?

       Kita sering memakai pakaian sesuai dengan jabatan kita keseharian, menutupi jasad kebinatangan, terutama yang menutupi dengan pakaian ihram. Sudah sampai di tanah sucipun, masih juga bertingkah laku seperti serigala.

Serigala
Sergala, lambang kekejaman, penindasan, penipu dan penjilat, menhina dan membuat penyingkiran  terhadap kelompok lain yang bukan serigala.

Tikus
Tikus adalah lambang, kelicikan, pencurian,  koruptor diktator dan selalu ke tempat maksiat yang kotor-kotor.

Anjing
Anjing adalah lambang dari hedonisme, cinta dunia, yang begitu rakus, penyembah syahwat.

Domba
Domba adalah lambang dari penghambaan diri terhadap sesama makhluk. Merendahkan Allah, demi mengambil muka kepada makhluk.

Sifat-sifat binatang itu, dihapus  melalui tobat di tanah suci. Kemudian diselimuti dengan pakaian ihram.

          Di tanah air, memang pakaian ihram telah dilepas, semuanya sudah bertobat, tapi, kenyataanya, sampai di tanah air, masih bebas menindas dan menipu. Yang kita harapkan, Republik indonesia tercinta para pejabatnya terhindar dari prilaku binatang , sehingga tidak terjadi perpecahan , keretakan, dan tercabik-cabiknya kesatuan. Indonesia adalah satu potong, dari taman surga di bumi. Dalam bahasa Arab disebut “ QITH’UN MIN  QITHO’IL  JANNAH”.
        
        Nanun sayang, kini banyak hal yang  digambarkan bayangan  surga itu sudah hilang, tercabik-cabik. Karena itu janganlah kita mengingkari jati diri dan fitrah manusia yang cinta damai dalam rido Allah, Baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.


         Sifat kebinatangan di dunia diamalkan pemegang modal para bos, yang disebut kapitaalisme. “Kapitalisme itu sangat hedonistic!” kata teman saya yang semangat Islamnya menggebu. Karena menurutnya hedonisme  (mencari kenikmatan jasmani) itu sesuatu yang tidak baik. Sementara dipandangnya Amerika itu sebagai pusat kapitalisme. Maka teman saya itupun paling suka memaki, Amerika itu sebagai rajanya Iblis dunia.
            Etika protestan di Amerika itu memang kuat sekali dan etika itu yang mengembangkan kapitalisme. Bekerja keras, berhemat dan beramal itu sudah sama saja dengan beribadah.  Jadi kapitalisme sebagai sebuah system, sebenarnya tidak hedonistic. Tapi bahwasanya dalam kapitalisme itu bias berkembang hedonism, itu memang tidak bias dipungkiri.
            Tulis Daniel Bell, dalam  Cultural Contradictions of Capitalism. Hedonisme di Amerika baru terjadi pada tahun 1950-an keatas. Dengan maraknya usaha kredit dan cicilan yang sekarang juga mewabah di Negara kita. Puncak hedonism, justru terjadi pada saat gelombang anti kapitalisme di tahun 1960-an yang dipelopori oleh kaum hippies. Mereka itu anti etika protestan, anti kerja keras dan hidup berleha-leha dan menghisap gan untuk mendapatkan apa yang disebut dengan spiritual achievement.
            Jadi hedonisme itu bisa tumbuh dimana saja, dalam sosialisme juga bias. Di Kuba misalnya, beberapa tahun setelah Fidel Castro berkuasa, di negeri revolusioner itu ternyata para pejabatnya paling doyan mengendari mobil Alfa Romeo deluxe 1750. Dengan Rolex di tangan dan cerutu Upmann diantara jari, mereka berkotbah tentang pengorbanan kepada massa blab la bla………………….. Sementara beribu tahanan politik di penjara.
             Dalam dunia spiritual atau agama hedonism juga bisa tumbuh.  Dalam sejarah kita kenal raja Kertanegara dari kerajaaan Singasari yang penganut Tantrisme (yang merasa bias lebih dekat pada Tuhan setrelah bernikmat-nikmat}. Doktrinnya; Kalau anda suka makan, jangan berpuasa!. Jusru sebaliknya anda harus makan sekenyang-kenyangnya, hinga anda sendiri tidak punya selera lagi untuk makan. Pada saat itu anda pasti akan bias lebih khusuk dlam beribadah kepada Tuhan, karena apa yang menyenangkan di dunia sudah tidak ada lagi.
            Mungkinkah nabi Muhamad juga pengikut Tantrisme? Terbukti beliau sampai punya istri empat, belum di hitung yang di nikahi secara mut’ah ketika beliau berada di medan perang. Dikalangan mereka yang bias mendapatkan segala sesuatunya dengan mudah, hingga zaman ini saya kira Tantrisme masih cukup banyak penganutnya, tak peduli apa agama orang itu. Tobe continuy

          Tak dapat dipungkiri, bahwa mahasiswa adalah anak muda yang dipenuhi dengan idealisme. Sebagai anak muda, mahasiswa berada dalam tarik menarik antara dua kutub yang berlawanan. Pada biasanya mereka idealis dan suka melukis mimpi yang besar-besar, sementara dalam waktu yang bersamaan mereka tidak bisa mengelak dari kebutuhan sesaat.
         Karena wataknya demikian itulah, mahasiswa seringkali menyuarakan perubahan sosial secara radikal, Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi dan beberapa “bahasa langit” lainnya. Mereka menampilkan sosok yang sedemikian suci ini didasarkan pada argumentasi noblesse oblige. Artinnya, mereka menikmati predikat mahasiswa karena jerih payah dan keringat rakyat, maka sebagai kelompok elit mereka harus menunjukkan balas budinya dengan perbuatan-perbuatan mulia, yaitu sebagai juru bicara rakyat.
         Padahal, diantara mahasiswa yang melakukan gerakan moral, sebagian besar diantara mereka justru menikmati pesta, diskotik, mobil mewah yang kesemuanya tidak mencerminkan sebagai penyambung aspirasi rakyat. Bahkan, mahasiswa gemar melancarkan aksi-aksi dan kritik terhadap pemerintah dan dalam waktu bersamaan mereka nyontek dalam waktu ujian.
         Inilah fenomena obyektif mahasiswa sebagai kalangan anak muda. Membaca dan memberikan label terhadap mahasiswa sebagai “pendekar”. Sebagai anak muda, secara psikologis, mahasiswa menyukai enjoy life (pesta dan cinta), oreintasi status (jabatan pemerintah), external locus of control (meletakkan kesuksesan pada nasib dari pada kerja), bypass disease (jalan pintas) dan tingkat ketergantungan yang tinggi. Karena psikologi anak muda demikian, maka aksi-aksi mereka terkadang hanya menjadi batu loncatan untuk meraih jabatan tertentu. Banyak diantara para aktivis mahasiwa yang kini menjadi pengurus partai bahkan menjadi anggota legislatif. Sebagian yang lain masih enjoy menikmati buah cinta dan lain sebagainya.
         Karena itulah, memandang mahasiswa sebagai sosok suci, “malaikat”perlu dibaca ulang. Jika, dulu, Soekarno menanamkan benih-benih nasionalisme kepada rakyat Indonesia, tetapi sebagian besar diantara mereka enjoy dengan sifat dan psikologi kepemudaannya. Singkatnya, mahasiswa bukan sekedar sosok yang suci dan malaikat yang memperjuangkan rakyat Indonesia.
Jika demikian, harapan yang besar terhadap mahasiswa untuk melakukan gerakan moral dalam menghadapi pemerintah dan memperjuangkan hak-hak rakyat sulit digeneralisasi kepada mahasiswa secara keseluruhan. Kita tidak perlu berharap banyak terhadap kalangan mahasiswa. Sebab, disamping kini menghadapi perbedaan kepentingan diantara elemen mahasiswa, juga aksi-aksi yang mereka lakukan acapkali tidak absen dari kepentingan tertentu dan sebagai upaya untuk menonjolkan diri sendiri (popularitas). Dengan popularitas yang diraih melalui aksi turun jalan (demonstrasi), mereka sebenarnya berharap untuk mendapatkan kesuksesan dan dipandang semua orang bahwa dirinya adalah orang yang membela kepentingan rakyat. Akhirnya, mereka bisa melakukan tawar-menawar politik untuk sebuah jabatan tertentu.
Hal ini tidak bermaksud untuk memandang negatif terhadap mahasiswa. Tetapi sebagai upaya menjelaskan secara obyektif dan apa adanya kondisi mahasiswa. Tanpa ada keterangan yang mendetail tentang mahasiswa, akhirnya rakyat Indonesia terlalu berharap banyak terhadap kawula muda. Sebab, para aktivis yang kerapkali turun jalan kini tengah menghadapi pembungkaman dalam internal kampus. Mahasiswa dalam pengertian birokrasi kampus adalah orang-orang yang taat dosen, capat menyelesaikan studi, dan tidak peduli dengan kehidupan sosial/budaya/ekonomi dan politik bangsa Indonesia. Inikah, implementasi tridharma Perguruan Tinggi.
Redefinisi Makna Aktivis
Disamping itu, istilah pergerakan atau gerakan seringkali hanya dimaknai dengan aksi turun jalan, demonstrasi menyuarakan sebuah aspirasi tertentu. Bahkan, kader yang militan dalam pemaknaan Organisasi Kepemudaan (OKP) adalah orang-orang yang aktif melakukan aksi turun jalan, happening art, dan beberapa aksi jalanan lainnya. Karenanya ia disebut sebagai “aktivis” yang dipenuhi semangat heroisme untuk membela kepentingan rakyat.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak aktif dijalanan tidak dikategorikan sebagai aktivis pergerakan atau “kader militan”. Kelompok-kelompok mahasiswa yang aktif di Lembaga Pers, penulis, budayawan, sastrawan dan lain sebagainya sama sekali tidak dikategorikan sebagai aksi-aksi gerakan moral, walaupun apa yang disuarakan mereka juga memiliki sinergisitas dan pesan yang sama dengan apa yang diperjuangkan “kader jalanan”. Karena itulah, tidak sedikit diantara mahasiswa yang memiliki cita-cita untuk menjadi aktivis jalanan, dengan mengesampingkan kuliah, nilai baik dan ilmu pengetahuan.
Pemaknaan yang sedemikian sempit ini tentu tidak bisa dipersalahkan. Sebab, yang menonjol diantara mahasiswa adalah mereka yang bisa melakukan aksi turun jalan. Akan tetapi, mengikuti pengertian gerakan yang disempit diatas tentu akan membawa akibat yang tidak remeh. Mahasiswa yang memiliki kecenderungan selain jalanan akan hengkang (tidak aktif) atau bahkan tidak berminat untuk mengikuti organisasi pergerakan mahasiswa seperti PMII, HMI, IMM, KAMMI dan lain sebagainya.
Lihat saja ketika organisasi kepemudaan diatas membuka pendaftaran (Pelatihan Kader Dasar, PKD/Latihan Kader, LK/Darul Arqom, DA dsb) cukup banyak diminati mahasiswa, tetapi pasca itu jumlah mahasiswa yang aktif diorganisasi tersebut semakin surut. Semakin minimnya mahasiswa yang aktif diorganisasi pergerakan dikarenakan tidak tersedianya ruang dalam organisasi tersebut. Padahal diakui atau tidak, mahasiswa yang memiliki kecenderungan diluar itu sangatlah tumpah ruah.
Disamping itu, gerakan moral saat ini nyaris sama dengan gerakan politik. Sebab, lazimnya, mahasiswa hanya mampu mengkritisi kebijakan-kebijakan politik pemerintah. Sementara, hal-hal diluar itu yang menjadi problem bangsa jarang disentuh oleh kalangan mahasiswa. Bencana alam, kemiskinan, pengangguran, buruknya pendidikan dan lain sebagainya tidak mendapat ruang yang istimewa dihati mahasiswa.
Dalam kerangka itulah, memaknai ulang terhadap gerakan atau pergerakan sangatlah penting. Hal ini dimaksudkan untuk; pertama, terjalinnya kerjasama diantara elemen mahasiswa yang memiliki kecenderungan yang berbeda-beda, antara aktivis jalanan dengan jurnalis, penulis dan budayawan. Kerjasama diantara elemen mahasiswa yang memiliki kecenderungan yang berbeda-beda ini sangatlah penting dilakukan. Sebab, aksi turun jalan untuk menyuarakan aspirasi tertentu tidaklah se-efektif pada tahun 1998.
Bahkan tidak jarang, sebagian masyarakat merasa risih dengan aksi turun jalan yang dilakukan oleh mahasiswa. Singkatnya, aksi turun jalan bukanlah satu-satunya cara untuk menyuarakan aspirasi tertentu. Melalui tulisan dimedia massa, pamflet, happening art, orasi budaya juga bisa menjadi cara untuk menyalurkan aspirasi tertentu. Disinilah, titik singgung dan sinergisitas antar elemen mahasiswa yang memiliki kecenderungan yang berbeda-beda.
Kedua, masa depan gerakan mahasiswa. Kedepan, mahasiswa tidak hanya dihadapkan pada aksi-aksi gerakan moral dijalanan, tetapi juga bisa mengisi dan siap melanjutkan estafet pemerintah kearah yang lebih baik. Karena itulah, mahasiswa yang memiliki kecenderungan yang berbeda bisa menjadi partner yang baik dalam melakukan aksi-aksi kemanusiaan, menyelesaikan persoalan bangsa dan Negara
Sebenarnya bidang tasawuf paling menarik dalam struktur kehidupan beragama, tetapi sedikit sekali pesantren-pesantren yang secara sungguh-sungguh menggarapnya. Padahal tasawuf ini merupakan bidang yang sangat potensial untuk memupuk rasa keagamaan para santri, dan menuntun mereka memiliki budi pekerti mulia. Mengingat tasawuf merupakan tulang punggung pesantren atau tiang penyangga pesantren dalam rangka membina akhlak mulia, maka dapat dinyatakan bahwa pesantren merupakan lembaga pemelihara dan pengembang esensi tasawuf, sebagai subkulturnya.
Esensi Tasawuf pada hakekatnya adalah tashfiyah al-qalb an al-shifat al- madzmumah, yang berarti membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela. Oleh karena itu yang menjadi sasaran tasawuf adalah hati, atau jiwa, atau rohani, atau batin yang menjadi sumber segala sikap dan tingkah laku manusia untuk menuju kebersihan hati agar memperoleh keridhaan Tuhan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah suatu ajaran dalam Islam yang mengajarkan bagaimana seharusnya seseorang bersikap mental dalam hubungannya dengn Tuhan, dengan sesama manusia dengan alam lingkungannya yang didasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Al-Sunnah.
Tasawuf disini meliputi dua macam bentuk, yaitu tasawuf ammah (yang umum) dan tasawuf yang khashhah (yang khusus). Yang pertama berupa semua bentuk kegiatan dalam usaha peningkatan moral dan akhlak, yaitu meliputi segala perbuatan baik yang dilakukan dengan istiqamah, seperti: shalat, wirid, infak, sedekah, menolong orang lain, amar ma'ruf nahi mungkar, bahkan juga kegiatan mencari nafkah dengan didasari niat yang benar. Yang kedua berupa semua kegiatan tata wirid yang dipraktekkan secara istiqamah, yang diterima dari guru-guru tertentu yang berkesinambungan secara muttasil sampai kepada Rasulullah SAW.

            H.M. Amin Syukur, dalam suatu hasil penelitiannya, menyebutkan bahwa tasawuf adalah kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara seseorang Muslim dengan Tuhan. Tasawuf juga merupakan suatu system latihan dengan penuh kesungguhan untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga dengan itu, maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.
Dengan perkataan lain dapat dinyatakan bahwa esensi tasawuf terletak pada pengejawantahan dari ajaran tentang ihsan, salah satu dari tiga serangkai ajaran Islam, yaitu, islam sendiri, iman dan ihsan. Esoterisme sufi adalah perwujudan dari sabda Nabi sendiri bahwa ihsan adalah keadaan dimana ketika kita menyembah Allah seolah-olah kita melihat-Nya, dan kalaupun kita tidak melihatNya, maka Dia yang melihat kita. Apa yang diajarkan tasawuf tidak lain adalah bagaimana menyembah Allah dengan suatu kesadaran penuh bahwa kita berada di dekat-Nya sehingga kita "melihat" Nya atau bahwa Dia senantiasa mengawasi kita dan kita senantiasa berdiri dihadapan-Nya.

          Sementara itu mengenai esensi tasawuf menurut Prof. Dr. Simuh, pada dasarnya terdapat dua pandangan yang berbeda, yaitu pertama, memandang esensi tasawuf pada ajaran zuhud, yaitu ajaran untuk bertekun dalam beribadah serta membelakangi kemewahan dan perhiasan duniawi. Kedua, memandang esensi tasawuf pada upaya untuk memperoleh penghayatan fana dan ma'rifat secara langsung terhadap dzat Tuhan, yakni mencapai penghayatan face to face atau bahkan bersatu dengan Tuhan di dalam suasana extasy (fana dan ma'rifat).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa esensi tasawuf terletak pada pengejawantahan al-Ihsan, zuhud dan penghayatan fana dan ma'rifat. Dalam hal ini kaum sufi banyak memiliki perumpamaan mengenai kebulatan agama Islam yang tidak dapat terpishkan, yaitu terdiri dari syari'at, thariqat dan hakekat. Ibarat buah kacang, syari'at adalah kulitnya, thariqat adalah bijinya, dan haqiqah adalah minyaknya yang sekalipun tidak tampak tetapi terdapat di mana-mana. Kacang tanpa ketiga unsurnya itu tidak dapat tumbuh jika ditanam di ladang. Begitu juga tasawuf tidak akan memberi kegunaan rohani jika tidak mencakup ketiga bagiannya yang integral tersebut.
Dalam hal ini Imam Malik menyatakan bahwa, pertama, siapa yang mengamalkan fiqih tanpa bertasawuf maka dia adalah fasiq (tidak bermoral), kedua, siapa yang bertasawuf tanpa mengamalkan fiqh maka dia adalah zindiq (menyeleweng), dan ketiga, siapa yang menggabungkan keduanya maka dia telah berhaqiqah (menemukan kebenaran).
Sedanagkan Esensi Pondok Pesantren adalah diartikan sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pondok, masjid , santri, pengajaran kitab-kitab kitab-kitab Islam klasik dan kyai adalah merupakan elemen dasar dari pondok pesantren. Kyai merupakan unsur yang paling esensial dari suatu pesantren, bahkan seringkali merupakan pendirinya. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika petumbuhan suatu pesantren bergantung kepada kemampuan pribadi kyai. Ia sebagai tokoh kunci yang menentukan corak kehidupan pesantren.
         Adapun tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmad kepada masyarakat dengan jadi kawulo atau abdi masyarakat tetapi rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad SAW (mengikuti sunah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indoinesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang ingin dituju ialah kepribadian muhsin bukan sekedar muslim.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa esensi dari pesantren adalah pembinaan kepribadian muhsin, yakni melaksanakan ihsan dalam arti yang sesungguhnya.
PAPARAN DATA
KH.Imam Zarkasyi sebelum mendirikan lembaga pendidikan Gontor dengan corak yang modern, beliua bersama pendiri pondok Gontor lainnya, telah mengkaji lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal dan maju di luar negeri, khususnya yang sesuai dengan sistem pondok pesantren.
Dari lembaga pendidika yang dikunjungi itu yang menjadikan idaman Imam Zarkasyi dan lembaga pendidikan yang hendak ia bangun adalah pondok pesantren yang merupakan perpaduan antara sintesa dari keempat unsur di atas. Semua dipadukan dalam pandangan agama yang tergolong Mazhab Ahlussunah Wal-Jama'ah yang mayoritas dianut umat Islam di Indonesia. Pada seminar pondok pesantren se-Indonesia tahun 1965 di Yogyakarta, Imam Zarkasyi merumuskan jiwa pesantren itu ada lima yang disebutnya dengan PANCA JIWA, yaitu Jiwa keikhlasan, Jiwa kesederhanaan, Jiwa kesanggupan menolong diri sendiri (self help) atau berdikari, Jiwa ukhuwah Islamiyah dan Jiwa yang bebas.
Lima nilai-nilai menurut tersebut menurut KH.Imam Zarkasy dan pendiri lainNya yang harus dijadikan sebagai jiwa semua kehidupan di Pondok Modern Gontor, sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan salah satu ustadz Pondok Modern Darussalam Gontor Ust. Abdullah Rafi, M.Ag yang dikutip dari penrnyataan KH. Abdullah Syukri adalah sebagai berikut
Hal yang paling penting dalam pesantren bukanlah pelajarannya semata-mata, melainkan jiwanya. Jiwa itulah yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menentukan filsafat hidup para santrinya.

Aktualisasi dan pemberdayaan nilai-nilai tersebut terlihat dalam kehidupan sehari-hari santri dan pimpinan serta pengurus Pondok Modern Gontor. Hasil observasi, wawancara dan dokumentasi telah menunjukkan adanya aktualisasi dan pemberdayaan nilai-nilai tersebut, dengan paparan deskriptif sebagai berikut.
Aktualisasi Nilai-nilai "Jiwa Keikhlasan" dalam Hidup dan Kehidupan di Pondok Modern Darussalam Gontor.
Yang dimaksud dengan "Jiwa Keikhlasan" sebagai jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menentukan filsafat hidup para santrinya yaitu sebagaimana yang dirumuskan oleh KH.Imam Zarkasy bahwa yang dimaksud dengan jiwa keikhlasan adalah :

         Sepi ing pamrih (tidak didorong oleh keinginan memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu), tetapi semata-mata karena ibadah, karena Allah. Hal ini meliputi segenap suasana kehidupan di pondok pesantren. Kyai ikhlas dalam mengajar, para santri ikhlas dalam belajar, lurah pondok ikhlas dalam membantu (asistensi). Segala gerak-gerik dalam pondok pesantren berjalan dengan suasana keikhlasan yang mendalam. dengan demikian terdapatlah suasana hidup yang harmonis, antara kyai yang disegani dan santri yang taat dan penuh cinta serta hormat.
Apa yang telah dirumuskan oleh Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor tersebut tentang konsep-konsep "jiwa keikhlasan" selalu diaktualisasikan dalam semua aktifitas, baik aktifitas harian, mingguan, maupun bulanan, sebagaimana hasil observasi dan dokumentasi peneliti yang mencatat bahwa setiap mudabbir rayon yang setiap pagi melakukan tugas membangunkan anggotanya, tanpa kenal lelah dan tanpa pamrih. Hal tersebut dilakukan tidak hanya "sekedar" melakukan kewajiban akan tetapi sebuah pengabdian dan amanat yang harus dilakukan dan dijunjung tinggi tanpa mengharap apapun. Demikian pula mudabbir yang berdiri di depan masjid, menyuruh para santri untuk bergegas dan bersegera ke masjid, kemudian menertibkan shaf santri di dalam masjid. Hal tersebut dilakukannya setiap hari. Tidak ada kata lelah dan bosan. Semua itu dilakukan semata-mata karena amanat yang diberikan kepadanya oleh pimpinan pondok yang tentunya pertanggungjawabannya tidak semata-mata kepada pimpinan akan tetapi kepada Allah. Para ustadz yang yang pagi mengajar dan malam masih harus berkeliling mengawasi dan mengontrol belajar santri kalau dipikir tentu sangat capek dan melelahkan. Apalagi kalau dihitung secara materi tentu tidak sebanding apa yang sudah mereka kerjakan dengan apa yang mereka peroleh. Tetapi kesemangatan, ketulusan nampak dari wajah-wajah mereka. Tidak ada beban berat yang dirasakan. Semua dilakukan karena tanggung jawab dan sadar akan arti sebuah pengabdian.
Aktualisasi Nilai-nilai "Jiwa Kesederhanaan" dalam Hidup dan Kehidupan di Pondok Modern Darussalam Gontor.
Yang dimaksud dengan "Jiwa Kesederhanaan" sebagai jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menentukan filsafat hidup para santrinya yaitu sebagaimana yang dirumuskan oleh KH.Imam Zarkasy bahwa yang dimaksud dengan "Jiwa Kesederhanaan" adalah:

         Dalam kehidupan di pesantren harus diliputi suasana kesederhanaan tetapi tetap agung. Sederhana bukan berarti pasif nrimo (pasrah) dan bukan karena melarat atau miskin, tetapi mengandung kekuatan dan ketabahan dalam diri, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan. Dengan demikian, dibalik kesederhanaan itu terpancar jiwa besar, berani maju dalam menghadapi perjuangan hidup dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan disinilah hidup tumbuhnya mental/karakter yang kuat yang menjadi syarat bagi suksesnya perjuangan dalam segala segi kehidupan.

Apa yang telah dirumuskan oleh Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor tersebut tentang konsep-konsep "Jiwa Kesederhaanan" selalu diaktualisasikan dalam semua aktifitas santri, sebagaimana hasil observasi dan dokumenatsi peneliti bahwa dari cara berpakaian santri sama sekali tidak mencerminkan sebuah kemewahan, dengan baju yang polos namun tidak mengesampingkan aspek keindahan dan kebersihan. Model baju dengan corak dan motif seperti itu kira-kira harganya juga tidak terlalu mahal, artinya adalah bahwa hampir siapapun mampu membelinya. Warna dan motif baju seperti itu memang disisi lain akan meniadakan jarak yang bagaimanapun mesti ada antara santri yang kelas ekonomi orang tuanya tinggi dengan santri yang orang tuanya pas-pasan. Rasa tanggungjawab yang diberikan oleh para mudabbir kepada para santri adalah sebuah nilai yang juga ingin di tanamkan pada diri santri. Seperti bagaimana para santri menyapu dan mengepel kamar serta rayon, mengambilkan nasi bagi kawannya yang sakit, itu semua adalah cerminan dari bagaimana mereka memiliki tanggungjawab terhadap diri dan lingkungannya. Kesahajaan santri juga nampak ketika mereka harus membawa piring ke dapur untuk makan bersama-sama dengan kawan-kawan mereka. Mereka tidak malu dan minder meski harus membawa piring sendiri dan harus antri untuk mengambil nasi di dapur.
Aktualisasi Nilai-nilai "Jiwa Berdikari" dalam Hidup dan Kehidupan di Pondok Modern Darussalam Gontor.
          Yang dimaksud dengan "Jiwa Berdikari" sebagai jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menentukan filsafat hidup para santrinya yaitu sebagaimana yang dirumuskan oleh KH.Imam Zarkasy bahwa yang dimaksud dengan jiwa berdikari adalah:
         Jiwa kesanggupan menolong diri sendiri (self help) atau berdikari; didikan inilah yang merupakan senjata hidup yang ampuh. Berdikari bukan saja dalam arti bahwa santri harus belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi juga pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan tidak menyandarkan kehidupannya kepada bantuan dan belas kasihan orang lain. Itulah self bedruiping system (sama-sama memberikan iuran dan sama-sama dipakai)

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook