Tuesday, April 23, 2013

TIDAK KAWIN DENGAN BERBAGAI ALASAN (Analisis Filosofis)




Alasan pemberian nasehat untuk tidak kawin
1 Korintus 7 (atau "I Korintus 7", disingkat "1Kor 7") adalah bagian surat rasul Paulus yang pertama kepada jemaat di Korintus dalam Perjanjian Baru di Alkitab Kristen. Dikarang oleh rasul Paulus dan Sostenes di Efesus.
  1. Mengingat waktu darurat.] Misalnya saat penulisan surat 1 Korintus ini: menjelang penganiayaan orang Kristen oleh orang Romawi, sehingga Paulus menulis bahwa: "Waktu telah singkat! ... Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu."]
  2. Supaya dapat hidup tanpa kekuatira
  3. Melayani Tuhan tanpa gangguan, supaya tubuh dan jiwa menjadi kudus Alasan: orang yang tidak beristeri/bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Sebaliknya: orang yang beristeri/bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya/suaminya.
ISA  berkata mengenai orang yang tidak kawin:
"Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti."]

i Alkitab rasul Paulus menulis, masalah kawin

 1Kor 7:1   Dan sekarang tentang hal-hal yang kamu tuliskan kepadaku. Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin, 
 1Kor 7:8   Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku. 
 1Kor 7:9   Tetapi kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu. 
 1Kor 7:10   Kepada orang-orang yang telah kawin aku--tidak, bukan aku, tetapi Tuhan--perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. 
 1Kor 7:28   Tetapi, kalau engkau kawin, engkau tidak berdosa. Dan kalau seorang gadis kawin, ia tidak berbuat dosa. Tetapi orang-orang yang demikian akan ditimpa kesusahan badani dan aku mau menghindarkan kamu dari kesusahan itu. 
 1Kor 7:36   Tetapi jikalau seorang menyangka, bahwa ia tidak berlaku wajar terhadap gadisnya, jika gadisnya itu telah bertambah tua dan ia benar-benar merasa, bahwa mereka harus kawin, baiklah mereka kawin, kalau ia menghendakinya. Hal itu bukan dosa. 
 1Kor 7:37   Tetapi kalau ada seorang, yang tidak dipaksa untuk berbuat demikian, benar-benar yakin dalam hatinya dan benar-benar menguasai kemauannya, telah mengambil keputusan untuk tidak kawin dengan gadisnya, ia berbuat baik. 
 1Kor 7:38   Jadi orang yang kawin dengan gadisnya berbuat baik, dan orang yang tidak kawin dengan gadisnya berbuat lebih baik. 
 1Kor 7:39   Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya. 

Dan anda betul, keputusan untuk mengharuskan para imam (pastor hingga Paus) hidup selibat baru ditentukan kemudian, saya lupa data persisnya (harus cari dulu).

Cinta dan Perkawinan Menurut Plato

Plato tidak kawin seumur hidupnya
       Cinta dan perkawinan terkadang menjadi sesuatu yang suka dipermainkan. Patutkah itu semua? Belajarlah dari Plato, seorang filsuf Yunani. Saya mengutip artikel ini melalu pencarian saya di internet.
Cinta dan Perkawinan Menurut Plato

           Satu hari, Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?  Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta”
 
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.

              Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?”
Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik). Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat ku melanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak ku ambil sebatang pun pada akhirnya.”
Gurunya kemudian menjawab “Jadi ya itulah cinta”
Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, “Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?”
        Gurunya pun menjawab, “Ada hutan yang subur didepan saja. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan”
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar/ subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.
Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?”
Plato pun menjawab, “Sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi di kesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya.”
Gurunya pun kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan.”

Catatan kecil:

           Cinta itu semakin dicari, maka semakin tidak ditemukan. Cinta adanya di dalam lubuk hati, ketika dapat menahan keinginan dan harapan yang lebih. Ketika pengharapan dan keinginan yang berlebih akan cinta, maka yang didapat adalah kehampaan…tiada sesuatu pun yang didapat, dan tidak dapat dimundurkan kembali. Waktu dan masa tidak dapat diputar mundur. Terimalah cinta apa adanya.
Perkawinan adalah kelanjutan dari Cinta. Adalah proses mendapatkan kesempatan, ketika kamu mencari yang terbaik diantara pilihan yang ada, maka akan mengurangi kesempatan untuk mendapatkannya, Ketika kesempurnaan ingin kau dapatkan, maka sia-sialah waktumu dalam mendapatkan perkawinan itu. Karena, sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.
Inilah cinta dan perkawinan yang berhasil dirumuskan oleh Plato lewat pengalamannya sendiri. Pelajarilah, renungkanlah, dan praktikkanlah.

Imam Nawawi, Makan Sedikit, Tidur Pun Sedikit  (Read 4710 times)







Imam Nawawi, Makan Sedikit, Tidur Pun Sedikit



Ketika kanak-kanak lain seusianya sibuk bermain, budak lelaki berusia 10 tahun itu mengelak. Walaupun diajak kawan-kawannya itu, dia tetap menolak, sebaliknya dia sibuk membaca al-Quran. Jarang budak lelaki seusia itu tidak berminat untuk bermain, tetapi dia lain, walau dipaksa kawan-kawan pun dia tidak menunjukkan minat.

Melihat tingkah lakunya, seorang alim, Syeikh Yasin Yusuf Marakashi memberitahu gurunya, “Jagalah budak ini baik-baik kerana dia bakal menjadi seorang ulama besar dan ahli ibadah.” Guru yang mendengar kata-kata Syeikh Yasin itu bertanya, “Adakah tuan seorang ahli nujum atau penilik nasib?” Jawab Syeikh Yasin, “Bukan, tetapi Allah menghendaki aku mengeluarkan kata-kata itu.


Guru tersebut kemudian menceritakan insiden itu kepada bapa anak muridnya. Bapa budak itu pula memang ingin anak lelakinya yang begitu ghairah belajar, mengabdikan dirinya kepada agama Islam.

Terbukti budak lelaki itu bukanlah seorang insan biasa, tetapi Abu Zakaria Muhyiddin Yahya atau lebih dikenali sebagai Imam Nawawi. Nama tersebut digunakan kerana beliau berasal dari Nawa, yang terletak berdekatan Damsyik, di pinggir daerah Hauran.

Imam Nawawi dilahirkan di sana pada Muharram 631H dan bapanya adalah seorang alim yang menyedari kelebihan anaknya itu sejak kecil lagi. Malangnya Nawa bukanlah tempat yang sesuai untuk anaknya mengembangkan ilmu dan bakatnya kerana tempat itu tidak mempunyai akademi atau institusi pengajian agama.

Menimba Ilmu

Jadi bapanya membawa Imam Nawawi ke Damsyik yang ketika itu terkenal sebagai pusat pengajian dan ilmu, serta menjadi tumpuan pelajar dari serata tempat. Damsyik sudah pun mempunyai lebih 300 institut, kolej dan universiti dan Imam Nawawi belajar di Madrasah Rawahiyah yang bergabung dengan Universiti Ummvi. Pengasasnya ialah seorang saudagar bernama Zakiuddin Abul Qassim, yang juga dikenali Ibnu Rawahah.

Di madrasah inilah Imam Nawawi menimba ilmu daripada guru-guru terkenal selama dua tahun tanpa mengenal penat lelah. Pihak madrasah hanya menampung sedikit makan minumnya, tetapi itu sudah mencukupi bagi Imam Nawawi. Itu bukanlah satu keperluan yang amat dipentingkannya, malah tidur pun dihadkan sedikit sahaja pada waktu malam. Baginya masa adalah sesuatu yang amat berharga, apabila keletihan, dia akan berehat sebentar sahaja di hadapan kitab-kitabnya, sebelum meneruskan pelajarannya.

Guru-Guru Beliau

Di Damsyik, Imam Nawawi berguru dengan lebih 20 ulama. Sesetengah mereka terkenal sebagai pakar dalam bidang masing-masing. Beliau mempelajari ilmu hadis, perundangan Islam dan pelbagai ilmu lain daripada ulama-ulama terkenal waktu itu, antaranya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghribi, Abu Muhammad Abdurrahman bin Ibrahim al-Fazari, Abul-Abbas Ahmad bin Salim al-Misri, Abu Abdullah al-Jiyani, Abu Muhammad at-Tanukhi dan ramai lagi.

IMAM  NAWAWI  TIDAK MENIKAH SEUMUR  HIDUPNYA
Re: Imam Nawawi, Makan Sedikit, Tidur Pun Sedikit

Sikap Imam Nawawi terhadap ilmu memang jarang terdapat pada orang lain. Beliau sentiasa dahagakan ilmu dan dalam amalan seharian, dia akan membaca 12 bab, menulis ulasannya dan membuat penambahan-penambahan penting. Apa jua buku yang ditelaahnya, dia akan membuat nota dan penerangan mengenainya.

Sikap ini, kecerdikan, usaha keras dan kecintaannya terhadap pelajaran mendapat pujian daripada gurunya. Mana tidaknya, beeliau memperuntukkan sepenuh masanya untuk mendalami ilmu. Selain membaca dan menulis, beliau memperuntukkan masa untuk berfikir mengenai isu-isu yang kompleks dan mencari rumusannya.

Kelebihan daya ingatan tinggi dan ketajaman fikiran yang dikurniakan Allah SWT kepadanya digunakan sepenuhnya oleh Imam Nawawi sehingga mencapai tahap keilmuan yang amat membanggakan.

Selain itu, beliau juga disenangi kerana keindahan budi dan akhlak, serta dikenali sebagai seorang yang warak. Imam Nawawi gemar berpakaian sederhana dan hanya mekan sedikit sahaja. Beliau tidak mudah leka dengan hal-hal keduniaan sebaliknya memberi sepenuh tumpuan untuk mencari dan menyebarkan ilmu. Bagaimanapun Imam Nawawi tidak menjauhkan diri daripada masyarakat, malah beliau mempunyai kedudukan yang tinggi di kalangan ilmuan pada zamannya.

Beliau seorang yang begitu bertaqwa menurut erti kata sepenuhnya, wara’nya dan kebersihan jiwanya. Seorang ulama yang amatlah sukar ditemui. Ada juga riwayat yang mengatakan bahawa keengganan beliau untuk makan buah-buahan di Damsyik itu bukan hanya khuatir akan mengantuk tetapi kerana buah-buahan di Damsyik dikala itu terlalu banyak mengandungi syubhat.

Tiga kualiti yang dimilikinya menyebabkan Imam Nawawi menjadi ulama rujukan ketika itu, keilmuan tinggi dan kesediaan menyampaikannya, tidak cenderung dengan hal-hal keduniaan, dan sentiasa mengamalkan yang makruf dan mencegah kemungkaran.

Murid-Murid Beliau

Di antara murid-murid beliau ialah Sulaiman bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad bin Farah al-Isybili, Ali bin Ibrahim Ibnul Atthar, Syamsuddin bin Naqib, Syamsuddin bin Ja’wan dan yang lainnya.


Di Antara Keadaan-Keadaan Beliau


Ibnu Atthar berkata, “Guru kami an-Nawawi menceritakan kepadaku bahawa beliau tidak pernah sama sekali menyia-nyiakan waktu, tidak di waktu malam atau di waktu siang bahkan di jalan pun beliau terus dalam menelaah dan menghafal.”

Rasyid bin Muallim berkata, “Syeikh Muhyiddin an-Nawawi sangat jarang masuk kamar kecil, sangat sedikit dalam makan dan minumnya, sangat takut mendapat penyakit yang menghalangi kesibukannya, sangat menghindari buah-buahan dan mentimun kerana takut membasahkan jasadnya dan membawa tidur, beliau sehari semalam makan sekali dan minum seteguk air di waktu sahur.
Fatwa Imam Nawawi Yang Menggemparkan


Menurut riwayat bahawa apabila baginda Sultan al-Malik al-Zahir telah mengadakan persiapan perang untuk memerangi orang-orang Tatar (Monggol) lalu digunakanlah fatwa ulama yang mengharuskan mengambil harta rakyat untuk kepentingan perang melawan musuh. Ulama fiqh Syria telah menulis menerangkan fatwa tersebut, tetapi baginda belum merasa senang hati kalau imam Nawawi tidak memberi fatwanya. Lalu baginda bertitah “Masih adakah lagi orang lain.” “Masih ada, Syeikh Muhyiddin an-Nawawi,” demikian jawapan yang disampaikan kepada baginda.

Kemudian baginda menjemput Imam Nawawi dan meminta beliau memberi fatwanya bersama ulama fiqh mengenai pengambilan harta rakyat untuk peperangan. Beliau berterus terang tidak mahu memberi fatwanya dan enggan. Baginda bertanya: “Apakah sebabnya kamu enggan?” Lalu beliau memberi penjelasan mengapa beliau terpaksa menerangkan sikapnya dan keenggannya memfatwakan sama seperti para ulama.


Beliau dalam penjelasan kepada baginda menerangkan seperti berikut:

“Ampun Tuanku! Adalah patik sememangnya mengetahui dengan sesungguhnya bahwasanya tuanku adalah dahulunya seorang tawanan tidak ada sebarang harta benda. Tetapi pertolongan Allah telah dilimpahkan kurnianya kepada tuanku dengan dijadikan tuanku seorang raja. Ampun Tuanku! Adalah patik telah mendengar bahawanya tuanku ada memiliki seribu orang hamab tiap-tiap seorang ada mempunyai beberapa ketul emas. Manakala dua ratus orang khadam wanita milik tunaku, masing-masing mempunyai perhiasan yang bernilai. Andaikata tuanku sendirian membelanjakan kesemua itu untuk keperluan pernag sehingga mereka tidak lagi mempunyai barang-barang itu, maka patik bersedia memberi fatwa untuk membenarkan tuanku mengambil harta rakyat.”

Kesimpulannya, beliau berfatwa tidak membenarkan baginda mengambil harta rakyat selama kekayaannya sendiri masih dapat dipergunakan. Baginda al-Malik al-Zahir murka kepadanya kerana fatwanya yang amat menggemparkan sehingga baginda mengeluarkan perintah supaya beliau segera keluar dari Damsyik. Imam Nawawi terima saja perintah pengusirannya itu dengan nada yang tenang. Lalu beliau pun keluar ke Nawa. Para ulama Syria telah berusaha menjemput beliau balik semula ke Damsyik, tetapi beliau enggan dengan berkata: “Saya tidak akan balik ke Damsyik selama baginda masih berkuasa.”

Beliau bukanlah seorang ulama yang mencari kebenaran untuk dirinya sahaja, beliau hidup di dalam masyarakat. Beliau tidak menjual ilmu yang dimiliki dengan harta benda dunia. Beliau mencurahkan ilmu kepada masyarakat umat. Beliau memimpin umat bukan umat yang memimpin beliau. Mengeluarkan fatwa tanpa memandang sesiapa, walaupun fatwanya itu meyusahkan kedudukannya. Inilah contoh ulama pewaris nabi (warisatul anbiya).


Karya-Karya Beliau

Di antara tulisan-tulisan beliau dalam bidang ilmu hadis ialah Syarah Sahih Muslim, Al-Adzkar, Arbain, Syarah Sahih Bukhari, Syarah Sunan Abi Daud dan yang terkenal, Riyadus Shalihin.


Di antara tulisan-tulisan beliau dalam bidang fiqh ialah Raudhatu Thalibin, al-Umdah fi Tashhihi Tanbih dan Majmu Syarah Muhadzdzab.


Di antara tulisan-tulisan beliau dalam bidang ilmu al-Quran ialah at-Tibyan fi Adabi Hamalatil Quran.

Wafat Beliau


         Malang sekali insan yang cukup istimewa ini lebih disayangi Penciptanya. Selepas mengabdikan dirinya selama 28 tahun kepada ilmu, khususnya di Damsyik, Imam Nawawi kembali ke kampungnya di Nawa. Beliau kemudian jatuh sakit dan wafat pada 24 Rejab 676H dalam usia 45 tahun dan dikuburkan di Nawa, setelah sekian lama beliau hidup dengan membujang tidak beristeri di tengah-tengah suasana masyarakat Damsyik dan telah berjaya menyumbangkan tenaga fikiran dan ilmunya kepada Islam dan umatnya.


      Namun sehingga hari ini, Imam Nawawi seolah-olah masih hidup, hasil karyanya yang tidak ternilai masih menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia. Semoga Allah meredhai dan menempatkan beliau dalam keluasan jannahNya.
HUKUM TIDAK MAU KAWIN 


SOAL:

Saya seorang hamba Allah yang telah separuh usia tetapi hingga kini Gue  masih belum berkawin karena masalah-masalah peribadi. Sejak akhir-akhir ini saya kerap dipermainkan oleh kawan-kawan kononnya saya membelakangkan sunah nabi dan sekali gus saya tidak diakui umatnya.
       Pertanyaan  saya, apakah hukumnya seseorang lelaki seperti saya yang tidak kawin sepanjang usianya? Sebesar manakah dosa yang bakal ditanggung oleh saya? Benarkah saya tidak diakui umat Nabi Muhammad s.a.w? Jika perkahwinan itu merupakan usaha menghayati sunah nabi, sebesar manakah pula pahala yang bakal diterima, terutama bagi lelaki yang berjaya berkahwin lebih daripada satu?

JAWABANNYA:

        Islam adalah agama yang menggalakkan seseorang yang mampu kawin dan bersedia menikah menjalankan tanggungjawab sebagai suami dan ketua keluarga supaya berkahwin dan membina rumah tangga. Rasulullah s.a.w. tidak menyukai orang yang membujang seumur hidup, kecuali dia mempunyai masalah yang tidak mengizinkannya untuk berkahwin. Mungkin anda termasuk dalam golongan yang dikecualikan.
Nabi Muhammad s.a.w. dan rasul-rasul terdahulu terdiri daripada golongan orang yang berkahwin dan mempunyai zuriat keturunan. Kebanyakannya beristeri lebih daripada satu. Hakikat ini dinyatakan dalam firman Allah yang bermaksud: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka isteri-isteri dan zuriat keturunan (al-Ra'd: 38).
Dalam hadis pula, nabi s.a.w. mengecam segolongan sahabat yang pernah menyatakan hasrat mereka untuk berkasi dan terus membujang sepanjang hayat bagi menumpukan sepenuh usia mereka kepada ibadat dan solat malam. Baginda menasihati mereka: ``Kahwinlah kamu dengan wanita yang penyayang dan ramai anak. Sesungguhnya aku berbangga dengan ramai bilangan umatku pada hari kiamat.''
      Meskipun rangsangan kawin begitu jelas, namun hukumnya berbeza antara seorang individu dengan yang lain, mengikut keperluan dan keadaan. Bagi mereka yang mampu berkahwin, berkemahuan tinggi serta menaruh kebimbangan terjebak dalam maksiat, maka hukumnya wajib kahwin dan berdosa jika ditangguhkan.
       Bagi mereka yang ada kemauan kawin, tetapi tidak mendatangkan apa-apa masalah jika hidupnya membujang, maka hukumnya sunat kahwin. Bagi mereka yang yakin tidak mampu melaksanakan tugas-tugas sebagai suami isteri, atau sebenarnya dia tidak berminat kepada hidup berpasangan, maka haram baginya kahwin. Hukum ini sama sahaja bagi lelaki mahupun wanita.
Anda tidak menyatakan dengan terus terang masalah yang dihadapi yang menghalang anda untuk meneruskan perkahwinan. Jika halangan itu disebabkan tekanan nafsu yang rendah, atau kerana tidak mampu menjalankan kewajipan selepas kahwin, atau mungkin ada sebab-sebab lain lagi yang munasabah, maka saya sependapat dengan sikap anda untuk terus membujang sepanjang usia. Mungkin anda termasuk dalam golongan orang yang haram kahwin.
Anda tidak perlu melayani suara kawan-kawan yang suka bergurau kerana mereka sebenarnya tidak tahu masalah anda. Jika anda berasa cukup bahagia dengan hidup tanpa kahwin dan memangpun anda telah menjalani kehidupan itu hingga ke separuh usia, maka anda tidak perlu risau terhadap masa depan yang masih ada. Mungkin usia yang tinggal tidak sepanjang yang telah pergi.
       Anda perlu tenangkan fikiran dan hadapi masa depan dengan penuh kepercayaan. Sebagai ganti kepada kahwin, berikan sumbangan kepada masyarakat sebanyak yang anda mampu. Carilah kebahagiaan melalui sumbangan anda kepada masyarakat. Anda sebenarnya tidak keseorangan dalam kehidupan seumpama itu, malah masih ramai orang yang hidup membujang sepanjang usia tetapi menikmati kebahagiaan yang sungguh bermakna sama ada lelaki atau wanita. Saya cuba kemukakan di sini beberapa ulama dan ilmuwan Islam yang tidak pernah berkahwin dan membujang sepanjang usia. Nama-nama mereka masih disebut-sebut oleh para pencintanya.
Anda mungkin terkejut apabila saya menyebutkan nama-nama ulama yang membujang sepanjang usia seperti Ibn Jarir al-Tabari (224-310H). Beliau ialah pengarang kitab Tafsir al-Quran yang terkemuka, pakar dalam bidang sejarah dan pengasas sebuah mazhab Fiqh pada zamannya. Demikian juga dengan Imam Jar Allh al-Zamakhsyari (467-538H), Jalal al-Din al-Suyuti (849-911H) dan lain-lain.
        Tiga tokoh yang disebutkan ini ialah antara tokoh-tokoh besar dalam tafsir al-Quran yang sukar ditandingi. Pemikiran mereka masih segar dalam ingatan umat Islam, nama-nama mereka selalu disebut dalam majlis-majlis forum dan seminar-seminar akademik. Kitab-kitab karangan mereka memenuhi rak-rak buku dalam perpustakaan di seluruh dunia.
Ratusan penyelidik pula berjaya mendapatkan ijazah sarjana atau doktor falsafah hasil kajian tentang sejarah dan sumbangan mereka kepada ilmu-ilmu Islam.
Penulis sendiri ialah salah seorang peminat al-Suyuti dan berjaya memperoleh ijazah sarjana dengan mengkaji sumbangannya kepada ilmu hadis. Sesetengah orang berpendapat keilmuan al-Suyuti boleh dikaji dalam apa jua bidang sekalipun, semuanya layak untuk dinilai pada peringkat sama ada sarjana atau doktor falsafah.
Ramai lagi ulama dalam berbagai-bagai bidang ilmu yang memilih untuk hidup tanpa kahwin seperti Imam al-Nawawi iaitu pakar hadis dari negeri Syam, Ibn al-Nafis ahli perubatan Arab, Ibn Yunus ahli nahu dari Basrah, Bisyr al-Hafi ahli Sufi, Abu Ali al-Farisi sasterawan Arab dan lain-lain. Meskipun mereka tidak pernah mendidik anak-anak kandung kerana tidak pernah membina keluarga, tetapi mereka pernah membangunkan ummah dan pernah mengasaskan beberapa institusi dalam pemikiran Islam melalui anak-anak murid mereka.
Kembali kepada sindirian tajam sesetengah kawan terhadap anda kerana tidak kahwin, kononnya anda tidak mengikuti sunah nabi dan kemungkinan nabi tidak mengaku anda sebagai umatnya.
Anda boleh sebut kepada kawan-kawan anda itu nama-nama ulama yang disenaraikan di atas. Pastinya mereka lebih tahu tentang hukum dan keperluan sebenar dalam kehidupan mereka dan pastinya juga mereka tidak rela diri mereka tidak menjadi umat Nabi Muhammad s.a.w.
Terdahulu telah disebutkan hukum kahwin dalam fiqh Islam yang banyak bergantung pada suasana dan kedudukan seseorang. Ulama yang memilih hidup tanpa kahwin tentu ada sebab-sebabnya sama ada peribadi atau lain-lain.
Biasanya mereka memilih cara hidup seumpama itu disebabkan kewajipan dan tanggungjawab mereka yang besar terhadap masyarakat dan ummah. Mereka rela hidup tanpa kahwin sepanjang usia sebagai bayaran kepada hidup sepenuh masa sebagai ulat buku, sebagai ahli ibadat, sebagai pengarang dan lain-lain.
Ramai ulama beranggapan kahwin membunuh cita-cita sebagai ilmuwan. Umar ibn al-Khattab radiallahuanhu pernah menasihati muridnya supaya belajar bersungguh-sungguh sebelum kahwin. Setelah berkahwin, masa akan tertumpu kepada keluarga, tidak lagi kepada ilmu.
Imam Abu Hanifah radiallahuanhu menasihati murid pintarnya Abu Yusuf. Katanya: Hati-hati engkau dengan wanita. Jangan kahwin semasa belajar, nanti masa kamu terbuang kerana melayani isteri dan anak-anak.'' Nasihat Imam Abu Hanifah ini perlu diamati pelajar-pelajar di sekolah-sekolah tinggi hari ini. Ramai pelajar yang tidak sabar-sabar lagi untuk berkahwin sebaik sahaja menjejak kaki ke universiti.
Imam Abu Hamid al-Ghazali (505 H) dalam kitabnya Ihya `Ulum al-Din berpendapat sebaik-baiknya ulama memilih hidup tanpa kahwin kerana kesibukan keluarga biasanya menjejaskan kehidupan seseorang sebagai ulama. Jika tidak dibimbangi menjejaskan kewibawaan sebagai ulama, maka kahwin lebih afdal daripada hidup membujang.
Ibn Taimiyyah (660 H) sependapat dengan al-Ghazali. Beliau hidup selama 67 tahun tanpa isteri dan anak-anak yang menghiburnya. Beliau akhirnya meninggal dunia ketika dalam penjara di Syam setelah dihalangnya daripada menyentuh kitab, memegang pena dan kertas yang sangat dicintainya.
Ibn Taimiyyah tidak kesempatan menjadi suami atau ketua keluarga kerana beliau sibuk dengan urusan masyarakat dan negara. Beliau berjuang dengan lidah dan penanya yang tajam, kadang-kadang tenang buat seketika, tetapi belumpun sempat berkahwin, suasana dengan tiba-tiba kembali menjadi kacau bilau. Beliau terpaksa menangguh perkahwinannya hingga akhirnya meninggal dunia.
Ada orang berpendapat kelatangan Ibn Taimiyyah menegur dan mengkritik sesuatu yang dilihatnya salah, termasuk dasar-dasar kerajaan yang dilihatnya sebagai mungkar, adalah disebabkan beliau ketiadaan isteri dan anak-anak. Andainya beliau mempunyai isteri dan anak-anak, kemungkinan sikapnya tidak sekasar itu.
Saya berpendapat kemungkinan inilah menjadikan Ibn Taimiyyah memilih untuk hidup tanpa kahwin. Beliau menyedari lebih awal bahawa jika dia hidup sebagai seorang suami dan ketua keluarga yang mempunyai anak-anak, nescaya banyak prinsip beliau gagal pertahankan. Bukankah pengaruh isteri itu sangat besar bagi seorang suami. Wallah A'lam.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook