Monday, May 27, 2013

BISAKAH KEJAHATAN ASING BERLINDUNG DI SEBALIK HAM?




PENDAHULUAN 

         HAM atau yang sering dikenal dengan Hak Asasi Manusia, saat ini merupakan sebuah gagasan yang sangat populer. Ide ini meluas keseluruh penjuru dunia dan dianggap sebagai dewa penolong bagi umat manusia. Bahkan gagasan HAM sudah menjadi standar baik dan buruk bagi manusia. Segala perbuatan yang melanggar HAM dianggap tercela, sedangkan perbuatan yang sesuai dengan HAM dianggap terpuji.

         Berabad-abad lamanya HAM telah mendasari ide perjuangan kemerdekaan di berbagai negara dalam menginspirasi perjuangan rakyat melawan tirani/para diktator. Tetapi, seiring berkembangnya jaman, HAM gagal sebagai spirit perjuangan rakyat terhadap kedzaliman, penindasan, dan kediktatoran. Bahkan lambat laun, secara konsepsi maupun realitanya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan dibalik ide HAM.

Pelaksanaan the Universal Declaration of Human Rights (UDHR) sering menggunakan standar ganda. Korporasi besar (MNCs) lewat aktivitasnya yang merusak lingkungan, menteror manusia, menjarah kekayaan alam sebuah negara, bahkan sering memberangus lembaga-lembaga yang berseberangan. Anehnya, perbuatan tersebut dibiarkan begitu saja atas nama kebebasan. Tetapi, ketika ada seseorang yang mencoba kritis terhadap kebijakan korporasi (MNCs), ia langsung diajukan ke pengadilan dan dikatakan melanggar HAM.

KONTRADIKSI HAM DALAM CENGKRAMAN KORPORASI

        Kemunculan ide HAM berawal dari sebuah pandangan filsafat dan tradisi politik dalam konteks liberalisme. Liberalisme yang menjadikan kebebasan sebagai nilai politik yang utama, mempunyai akar sejarah di Eropa Barat pada abad kegelapan (The Dark Age). Nilai kebebasan menemukan puncaknya ketika Eropa mengalami era pencerahan. Kaum cendekiawan dan filosof berteriak lantang memperjuangkan dan mengagung-agungkan kebebasan demi meraih idealisme kebahagian umat manusia.

          Dalam konteks sosial-kemasyarakatan, liberalisme menyakini bahwa individu-individu yang bebas merupakan pondasi masyarakat yang baik. Hal ini merupakan buah pikiran Locke yang tertuang dalam Two Treatises on Governement (1690), yang berbicara perihal dua konsep dasar kebebasan: (1) kebebasan ekonomi, yaitu hak untuk memiliki dan menggunakan kepemilikan; (2) kebebasan intelektual, di dalamnya termasuk kebebasan berpendapat. Pemikiran khas empirisme dari Locke inilah yang menjadi pelopor lahirnya konsepsi modern HAM.

         Gagasan tersirat dari ide ini menegaskan bahwa manusia akan menemukan eksistensinya ketika diberi kebebasan dalam hidupnya. Dengan akalnya, manusia akan mampu menggunakan kebebasannya secara optimal dalam berkreasi dan berekspresi. Disamping itu, kebebasan individu akan dibatasi oleh kebebasan orang lain sehingga akan memunculkan balance (keseimbangan). Maka dari itu siapapun boleh hidup dengan mengatasnamakan kebebasan dirinya.
Dalam implementasinya, ide kebebasan HAM banyak kontradiksinya. Individu, masyarakat, dan negara yang mengatasnamakan kebebasan HAM justru menimbulkan banyak kerusakan dan konflik sosial. Semakin HAM diterapkan oleh semua pihak, semakin menimbulkan banyak virus yang menghancurkan kehidupan manusia. Beberapa kontradiksi yang muncul pada kebebasan dalam HAM antara lain;

Pertama, HAM mendorong manusia untuk serakah dan membunuh manusia lain secara sistematis. Dengan adanya kebebasan ekonomi dalam konteks kebebasan kepemilikan yang dilandasi rasa ingin memiliki kekayaan sebesar-besarnya. Manusia akan berpikir bagaimana mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara. Prinsipnya cukup sederhana, mengumpulkan kekayaan merupakan hak asasi manusia, maka orang akan berpikir seribu satu cara untuk meraup untung sebesar-besarnya, walaupun cara yang dia tempuh merugikan banyak orang.

         Logika inilah yang diterapkan oleh korporasi multinasional (MNCs). Demi melaksanakan hak asasi manusianya dalam meraup keuntungan, para korporasi ini akhirnya tidak mempedulikan berapa nyawa sekalipun yang sudah jadi tumbalnya. Sebut saja korporasi bernama ‘Merck’, perusahaan ini tercatat telah mengakibatkan tercabutnya 55.000 orang meninggal dunia. Adalah Dr. David Graham, pegawai pada Unit Keamanan Obat, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Food and Drug Administration, FDA) yang kesaksiannya sebelum rapat komite senat mengguncangkan publik AS. Riset Graham mencatat sekitar 88.000 sampai 139.000 orang di AS menderita serangan jantung atau stroke akibat meminum obat radang sendi Vioxx buatan Merck. “Sekitar 40 persen dari jumlah tersebut, atau sekitar 35.000-55.000 orang, meninggal”, kata Graham.
Kedua, Dengan menggunakan HAM, korporasi multinasional tersebut melancarkan isu berkeinginan membantu beberapa negara berkembang. Membantu dalam menyelesaikan problem pengelolaan sumber daya alam yang selama ini belum optimal. Tetapi keyataannya, hal ini hanya merupakan kedok semata untuk bisa merampok kekayaan alam yang ada pada sebuah negara.

         Korporasi multinasional (MNCs) ini akhirnya merampok kekayaan SDA di wilayah negara-negara berkembang. Adanya eksploitasi SDA yang rakus, membawa dampak pada pemiskinan dan penderitaan global rakyat kecil. Ujung-ujungnya kekayaan berkumpul hanya pada segelintir orang saja. Contoh yang sangat nyata terjadi di negeri kita, dimana beberapa korporasi asing telah menjarah, menguasai, mengeksploitasi kekayaan alam. Sedangkan negeri Indonesia di telantarkan dalam kondisi yang serba kekurangan.
Dari hasil perampokan mereka mengatasnamakan HAM, mereka mendapatkan banyak sekali keuntungan finansial.

        Dalam laporan pendapatannya untuk tahun 2007, pihak ExxonMobil memperoleh keuntungan sebesar $40.6 Billion atau setara dengan Rp3.723.020.000.000.000 (dengan kurs rupiah 9.170). Nilai penjualan ExxonMobil mencapai $404 billion, melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari 120 negara di dunia. Setiap detiknya, ExxonMobil berpendapatan Rp 11.801.790, sedangkan perusahaan minyak AS lainnya, Chevron, melaporkan keuntungan yang diperolehnya selama tahun 2007 mencapai $18, 7 billion atau Rp171.479.000.000.000. Royal Ducth Shell menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai $31 milyar atau setara dengan Rp 284.270.000.000.000.

         Keuntungan yang diperoleh korporasi-korporasi Negara imperialis ini tidaklah setara dengan Produk Domestic Bruto (PDB) beberapa Negara dunia ketiga, tempat korporasi tersebut menghisap. Hingga akhir tahun 2007, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia belum sanggup menembus Rp4.000 Trilyun, untuk triwulan ke III tahun 2007 saja hanya mencapai Rp 2.901. trilyun. Untuk Negara penghasil minyak lainnya, Libya hanya 50.320 juta US$, Angola (44, 033 juta US$), Qatar (42, 463US$), Bolivia (11.163 juta US$), dan lain-lain.
Berkuasanya korporasi di beberapa negara berkembang sering menimbulkan kemiskinan secara kolektif dengan berkumpulnya harta segelintir orang kaya saja. Hasil penelitian oleh Prof Robert Reich, guru besar dari Harvard University yang pernah menjabat menteri perburuhan pemerintahan Presiden Clinton. Dia mengatakan bahwa dalam dunia yang sudah tanpa batas atau the borderless world, memang ada yang menikmati dan menjadi sangat kaya raya.
Ketiga, Oleh korporasi multinasional, HAM dijadikan senjata untuk merusak dan mencemari lingkungan. Dengan dalih bahwa mereka punya kebebasan dalam mengelola sebuah usaha/perusahaan tanpa diganggu pihak lain, maka apapun dampaknya merupakan suatu hal yang biasa dalam berusaha/bisnis.

          Termasuk dampak yang ditimbulkan berupa pengrusakan dan pencemaran lingkungan, mereka merasa bahwa hal tersebut tidak masalah. Untuk pembenahan kerusakan lingkungan tersebut tanggung jawab pemerintah, padahal mereka (MNCs) yang menimbulkan kerusakan lingkungan.
Laporan 6 Nopember 2009 dari Organisasi Non Pemerintah dan Masyarakat korban dari 10 propinsi di Pulau Sumatera dan Jawa telah menjadi saksi memburuknya kondisi social ekologis pulau Sumatera dalam lima tahun terakhir. Atas nama pembangunan, kekayaan pulau Sumatera  dieksploitasi sebagai bahan mentah memenuhi kebutuhan Negara-negara industri dengan ongkos yang dibebankan kepada penghuni pulau. Akibatnya, kini krisis listrik akut terjadi di seluruh propinsi dan hampir separuh propinsi mengalami kebakaran hutan.

Pulau Sumatera menjadi tempat nyaman bagi industri boros  lahan, air dan energi, yang tingkatnya telah mengancam ekosistem-ekosistem yang genting di pulau ini. Perusakan terjadi di kawasan pegunungan Bukit Barisan yag menyangga hulu-hulu sungai  pulau Sumatera, deforestasi hutan-hutan dataran tinggi  hingga perusakan kawasan rawa gambut dan hutan bakau di pesisir timur yang rata-rata mencapai 800 ha tiap tahunnya. Kini, lebih 500 perijinan Kuasa Pertambangan batubara, emas dan pasir besi dikeluarkan tanpa mempertimbangkan kerentanan pulau. Pembakaran hutan untuk pembukaan lahan-lahan sawit terjadi pada lahan  PT RAPP, IKPP dan anak anak perusahaannya . Telah membuat warga menanggung ongkosnya, di Pekanbaru tercatat sejak Mei-Agustus 2009 jumlah korban penyakit ISPA karena asap kebakaran mencapai 10.094 orang.

AYO… KAUM MUSLIMIN !!!

Maka dari ketiga realita tersebut, sebenarnya menggambarkan bahwa HAM telah menjebak umat manusia dalam berbagai macam penindasan. Tentu saja dengan adanya wajah baru penindasan via HAM, dunia akan di isi oleh manusia-manusia yang tidak bermoral. Kondisi duniapun berubah menjadi tatanan sosial yang penuh dengan tipu muslihat dan konflik manusia secara makro seperti saat ini.
Adanya kerusakan HAM yang dideklarasikan PBB dari mulai ide dan implementasinya, maka sudah saatnya HAM disingkirkan jauh-jauh dari kehidupan umat manusia. Semakin banyak manusia meninggalkan HAM berarti satu langkah maju untuk melawan dan menolak liberalisme berkedok kebebasan. Banyaknya manusia menolak HAM berarti telah membela umat manusia untuk lepas dari berbagai kedzaliman dan penindasan oleh para korporasi. []

KEJAHATAH BARAT TERHADAP INDONESIA

Kejahatan asing, di Indonesia,
Mendangkalkan, citarasa agama,
Menghancurkan, akhlaqul karimah,
Melalui diskotik, rokok dan ganja.

Barat memperkenalkan, minuman keras,
Ditambah pula, minuman keras.
Filem porno, tanpa batas.
Hasil bumi, terus dikuras. 


Kejahatan Barat, disebut Imperialis
Penjajahannya, berotak Iblis.
Anak jajahan, dijadikan pengemis.
Gerakan pembodohan, susah ditangkis.
PT. Preeffot, di Papua,
Menyimpan emas, tiada tara,
Kini tinggal, sepi merana.
Gunung yang lain, sedang dicerna.

Zalimnya  kolonialisme (colonialism) maupun jahatnya  imperialisme (imperialism) sering digunakan secara bergantian. Kata kolonialisme (colonialism) jika merujuk pada Oxford English Dictionary (OED; kamus Oxford Bahasa Inggris) berasal dari bahasa yunani/romawi, yakni ‘colonia’ yang berarti perkebunan/pertanian (farm) atau perkampungan/penghuni tetap (settlement), dan berhubungan pada bangsa Romawi yang telah mendiami wilayah lain akan tetapi masih menahan atau menguasai masyarakat dari wilayah tersebut, untuk merampas tiga “G” yaitu Gold, Glorie, dan Gospel Bibel (Loomba, 1998: 1).
Menurut pandangan Loomba (1998:2), kolonialisme telah menimbulkan suatu implikasi berupa  perbudakan, penjajahan, perkosaan. perjumpaan antarmanusia dalam bentuk penaklukan, pembantaian  dan dominasi. Model kolonialisasi secara langsung telah berefek pada hubungan traumatik dalam sejarah masyarakat yang dikuasai. Jadi, dalam pandangannya, Loomba memberikan suatu acuan defenisi yang menegaskan bahwa kolonialisme juga berarti penguasaan dan kontrol atas wilayah dan harta benda orang lain (can be defined as the conquest and control of other people’s land and goods).
Kolonialisme dapat dilihat sebagai bentuk penjajahan suatu negara terhadap negara lain. Sistem dominasi yang dilakukan penjajah (misalnya Eropa) terhadap belahan negara lain yang dianggap lebih lemah selama berabad-abad lamanya. Namun, perkembangan kolonialisme dari motif-motif penguasaan dengan instrumen teknologi tradisional ke modern ujung-ujungnya menimbulkan ketumpangtindihan defenisi dengan imperialisme.
Praktik kolonialisme dari fase tradisional ke modern terdapat perbedaan motif. Jika dalam fase tradisional instrumennya adalah senjata maka dalam fase modern (juga berlaku pada masyarakat pasca kolonial) model dominasinya menjadi tersembunyi sehingga seolah-olah tidak disadari oleh wilayah atau negara yang dikuasai.
Mengenai hal ini, Loomba (1998: 3) menganggap bahwa dominasi sebagai ciri khas dari pendudukan, sehingga kolonialisme dibedakan menjadi dua macam, yakni kolonisme lama atau pra kapitalis dan modern atau kolonialisme kapitalis. Kolonialisme lama dijalankan dengan menguasai wilayah-wilayah yang ada di sekitarnya sesuai dengan kemampuan transportasi yang ada saat itu. Kolonialisme modern dilakukan melalui hubungan dua arah meliputi sumber daya manusia, ekonomi dan politik. Dengan kata lain, model kolonialisme modern dilakukan dengan dua cara, yakni perbudakan dan surat perjanjian.
Merujuk pada pendangan Loomba, dua hubungan antara penjajah dan terjajah dalam kolonialisme modern membuat masyarakat pribumi tidak hanya bertindak sebagi budak. Loomba menjelaskan (1998: 4)
Kedua gerakan penjajah dan yang terjajah; pribumi tidak hanya bertindak sebagai budak, tetapi juga sebagai buruh kontrak, pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima dan saudagar, dan pejabat kolonial utamanya sebagai administrator, tentara, perwakilan dagang, wisatawan dan pedagang, penulis, staf domestik, misionaris, guru, dan ilmuan. Hal yang terpenting adalah meskipun kolonialisme Eropa melibatkan berbagai teknik dan pola dominasi, penetrasi mendalam hingga ke beberapa kalangan masyarakat dan melibatkan kontak dengan orang lain relatif dangkal, semua dari mereka menghasilkan ketimpangan ekonomi, yakni semata-mata untuk kepentingan pertumbuhan kapitalisme industri Eropa (Both colonized and the colonizer moved; the former not only as slavers but also indentured laboerers, domestic servants, travelers and traders, and colonial masters as administrators, soldiers, merchants settlers, travelers and traders, writers, domestic staff, missionaries, teachers, and scientists. The essential point is that although European colonialism involved a variety of techniques and patterns of domination, penetrating deep into some societies and involving a comparatively superficial contact with others, all of them produced the economic imbalance that what necessary for the grouth of European capitalism industry).
Berdasarkan pandangan Loomba (1998), diferensiasi antara kolonialisme pra kapitalis dan kolonialisme kapitalis juga berlaku bagi imperialisme. Hal ini karena imperialisme sama dengan kolonialisme, yakni juga berlangsung sejak masa pra kapitalis. Namun beberapa ahli menyebutkan bahwa kolonialisme lebih dahulu dari imperialisme. Imperialisme (imperialism) berasal dari bahasa latin dari akar kata imperare/imerium, yang berarti: a) memerintah, b) hak untuk memerintah, c) kekaisaran atau kerajaan (Kutha Ratna, 2007: 23). Secara sederhana, imperial juga didefinisikan sebagai sesuatu yang bersinggungan dengan kekaisaran, dan imperialisme adalah aturan sebagai kaisar, utamanya kaitannya dengan kelaliman (despotism) dan kesewenang-wenangan (Loomba, 1998: 4-5).
Kolonialisme dan imperialisme memiliki perbedaan, yakni kolonialisme bersifat fisik sementara imperialisme nonfisik. Menurut Loomba (1998: 5), dalam kaitannya dengan sejarah perkembangnnya ada dua pendapat berbeda dalam memandang kolonialisme dan imperialisme. Pertama, mengatakan bahwa secara monolitis kolonialisme melahirkan kapitalisme, sebagai kolonialisme kapitalis. Kolonialisme inilah yang disebut imperialisme. Pendapat kedua mengatakan bahwa baik kolonialisme maupun kapitalisme pada dasarnya sudah ada sebelum kapitalisme, seperti kekaisaran Rusia dan kemaharajaan Spanyol. Imperialisme (Michael Doyle, dalam Kutha Ratna: 23-24) merupakan antarhubungan formal dan informal, dalam hal ini secara politis mengontrol negara lain. Selain kekuatan fisik, imperialisme juga dapat dikontrol melalui kolaborasi politis, sosial, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Saat kolonialisme telah berakhir, imperialisme masih tetap berlangsung dalam bentuk praktik politik, ideologi, ekonomi, dan praktik-praktik sosial lain. Dalam perkembangannya, imperialisme kemudian dianggap sebagai akumulasi konsep untuk menguasai dan bahkan sebagai teori.
Kaitan antara kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme pada prinsipnya menjadi alat dominasi Barat sebagai penjajah kolonial untuk menguasai Timur. Kolonialisasi dan imperialisasi bangsa Barat atas dunia Timur memunculkan suatu kesadaran geopolitis yang diterapkan baik ke dalam naskah estetis seperti karya seni maupun ilmu pengetahuan, seperti ekonomi, sosiologi, sejarah, filologi, dan ilmu-ilmu yang lain. Bentuk kesadaran geopolitis tersebut kemudian disebut sebagai orientalisme.
~ Orientalisme dan Wacana Kolonial
Said (2001) membatasi wacana orientalisme dalam tiga perspektif. Pertama, orientalisme sebagai suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusa Barat Eropa. Timur dalam imajinasi Eropa adalah dunia yang lain (the others), sebab bagi Eropa, Timur tidak hanya dekat, melainkan juga tempat koloni-koloni Eropa terbesar, terkaya dan tertua, sumber peradaban dan bahasa-bahasanya, serta saingan budayanya. Sebagai tambahan, Timur telah mendefenisikan Barat (Eropa) sebagai imaji, ide, kepribadian, dan perlawanan yang berkaitan dengannya.
Kedua, orientalisme sebagai suatu gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara “Timur” (the orient) dan (hampir selalu) “Barat” (the occident). Dengan demikian,pandangan tersebut menjadi titik tolak bagi novelis, penyair, filosof, teoritikus politik, ekonomi, dan para administrator negara menyusun teori-teori, epik-epik, novel-novel, deskripsi-deskripsi sosial dan perhitungan-perhitungan politik mengenai dunia Timur, rakyatnya, adat kebiasaannya, “pikirannya’nya, atau nasib yang telah ditakdirkan baginya.
Ketiga, orientalisme sebagai sesuatu yang didefinisikan secara lebih historis dan material daripada kedua arti sebelumnya. Dengan pijakan dari peristiwa abad ke delapan belas sebagai batasan yang kasar, orientalisme dapat dibahas dan dianalisa sebagai lembaga hukum untuk berurusan dengan dunia Timur. Artinya, berurusan dengan Timur dengan membuat pernyataan-pernyataan tentangnya, mendeskripsikannya, dengan mengajarinya, menjadikannya sebagai tempat pemukiman, dan memerintahnya. Secara sederhana, Said mengatakan bahwa orientalisme sebagai gaya Barat untuk mendominasi Timur.
Ketiga bentuk penafsiran tersebut mengisyaratkan dua hal, yakni orientalisme sebagai rekaan Barat untuk membangun demarkasi dengan Timur, dan kedua, orientalisme sebagai pembenaran Barat untuk melestarikan dominasi pada dunia-dunia Timur. Barat dengan segala instrumen hegemoniknya berupaya membangun suatu pencitraan terhadap dunia Timur. ‘Kelainan’ (otherness) dari Timur direproduksi oleh Barat dengan memproduksi dan menguasai teks-teks yang merupakan pikiran, tingkah laku, dan segala aktifitas kemanusiaan. Dengan kata lain, teks ditafsirkan sebagai keseluruhan hasil kebudayaan yang dihasilkan manusia (Kutha Ratna, 2008: 28).
Orientalisme sebagai struktur yang membedakan Barat dan Timur dalam pandangan Said (2001: 56) pada akhirnya adalah pandangan politis atau realita yang strukturnya menunjang perbedaan yang akrab (Eropa, Barat, ‘Kita’) dengan yang asing (Timur, ‘mereka’). Wacana orientalisme memanifestasikan dirinya sebagai sebuah sistem ide yang berpengaruh atau sebagai jaringan berbagai kepentingan dan makna yang bersifat intetektual yang diimplikasikan dalam berbagai konteks, sosial, politik, dan konstitusional dari hegemoni kolonial.
Hegemoni kolonial Barat melalui reproduksi teks-teks yang menegasikan Timur membangun suatu bentuk oposisi biner dan justru dinikmati Barat sebagai upaya pencerahan di Timur. Para orientalis Barat menciptakan discourse (diskursus) berupa sistem pengetahuan tentang Timur dan lalu berkembang menjadi suatu pranata penjajahan (Said, 2001: 126).
Bagi Said (2001: 129) orientalisme selalu membawa dua sifat; pertama, kesadaran diri ilmiah yang baru ditemukan yang berlandaskan kepentingan linguistik Timur bagi Eropa, dan kedua, kecenderungan untuk membagi, membagi lagi, dan membagi kembali pokok permasalahannya tanpa pernah mengubah pemikirannya mengenai Timur sebagai sesuatu yang selalu sama, tidak berubah-ubah, dan obyek yang benar-benar khas.
Secara tegas orientalisme menjadi suatu sistem pengetahuan yang secara terus menerus digali Barat untuk mengidentifikasi Timur sebagai sesuatu yang berbeda dan berada di bawah Barat. Lebih lanjut, dalam pandangan Said (2001: 134) bahwa situasi semacam itu di satu pihak seola-olah menunjukkan ada lumbung yang dinamakan Timur di mana semua sikap Barat yang otoritatif, anonim dan tradisional terhadap Timur ditumpukkan tanpa banyak pikir. Sementara di sisi lain, sesuai dengan tradisi tukang dongeng, orang bisa saja menceritakan pengalaman mengenai Timur atau yang terjadi di Timur yang dianggap tidak sesuai dengan semua sikap Barat.
Sikap hegemonik Barat atas Timur sebagai sikap relasional yang tidak hanya terbangun dari represi dan intervensi melainkan juga penegetahuan sebagaimana dijelaskan sebelumnya telah memperkokoh imperialisme Eropa atas Timur. Sikap orientalis tersebut menguasai pers dan pikiran masyarakat untuk membentuk suatu situasi oposisional antarperadaban. Meskipun Barat tergolong minoritas dalam suatu koloni, Barat tetap mampu menguasai. Mengenai hal ini, Abdul Malik (dalam Said, 2001: 143) menerangkan situasi tersebut dengan deskripsi; hegemonisme minoritas yang memiliki” dan antroposentrisme yang bersekutu dengan Eropasentrisme: seorang Barat kelas menengah kulit putih yakin bahwa adalah hak preogratif manusiawinya tidak hanya untuk mengatur dan mengurus dunia non-putih tetapi juga untuk memilikinya, hanya karena per defenisi ‘nya’ (it) tidaklah menunjukkan sifat yang betul-betul menusiawi seperti ‘kita’ (we).
Situasi tersebut jelas menunjukkan supremasi Barat yang menelanjangi sistem sejarah, sosial, politik, dan budaya Timur. Bagi Barat, Timur hanya penanggap (reactor) yang pasif sementara Barat adalah aktor (actor) yang aktif. Barat adalah penonton, penilai dan juri bagi setiap tingkah laku Timur (Said, 2001: 144).
Orientalisme didiagnosis sebagai wacana yang menciptakan atau mengorientasi Timur untuk tujuan-tujuan konsumsi imperial. Menurut Said (dalam Gandhi, 2007: xii) bahwa Timur yang muncul dalam orientalisme adalah sebuah representasi yang dikerangkakan oleh seluruh rangkaian kekuatan yang membawa Timur dalam pemahaman Barat, kesadaran Barat, dan kemudian, dalam kekuasaan Barat. Sebagai tambahan, bahwa orientalisme lebih tertarik untuk memberi perhatian pada pembuatan makna-makna kolonial dan pada konsolidasi kolonial.
Wacana kolonial dari orientalisme tersebut didukung oleh sistem tradisi, kekuasaan, dan sistem pengetahuan yang sengaja diciptakan untuk mendomestifikasi Timur menjadi sesuatu yang lain (otherness). Konstruksi superior barat sebagaimana disebutkan bersifat hierarkis dan oposisional yang tidak adil dan menindas karena Eropa dicitrakan sebagai pelopor peradaban sehingga dibenarkan untuk melakukan kolonialisasi, menguasai atau menjinakkan yang lain (Budiantara, dalam Noor dan Faruk, 2003). Penjinakan yang dilakukan oleh Barat terhadap Timur melalui integrasi pencitraan atau stereotipe adalah upaya penegasan dominasi. Wacana kolonial merupakan konsep kunci yang dikritik oleh poskolonial. Di Hindia Belanda, integrasi wacana kolonial dilakukan secara intensif dengan membentuk sosok “inlander” yang jinak dari sistem dominasi kolonial.
Sumber Rujukan
Kutha Ratna, Nyoman. 2008. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Loomba, Ania. 1998. Colonialism/Postcolonialism. London and New York: ROUTLEDGE.
Noor, Rusdian dan Faruk. 2003. Mimikri dan Resistensi Radikal Pribumi Terhadap Kolonialisme Belanda dalam Roman Bumi Manusia Karya PAT. Jurnal Sosiohumanika 16B (2) Edisi Mei. Fakultas Ilmu Budaya UGM. (Online), (http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/detail/detail.php?dataId=2097 .,diakses 18 April 2010).
Said, W. Edward. 2001. Orientalisme. Diterjemahkan oleh Asep Hikmat. Bandung: Penerbit Pustaka.


Hubungan Antara Orientalisme dan Imperialisme”
Kajian Politik:

(Dipresentasikan dalam kajian reguler SASC (Said Aqil Siradj Center), pada hari Kamis, 1 Oktober 2009)

Abstraksi

Bagaimanapun kajian orientalis tak memiliki orientasi tunggal. Orientalisme adalah kajian tetang budaya Timur yang bermula dari misi kristenisasi kemudian berlanjut pada misi imperialisme hingga akhirnya berakhir pada misi ilmiah, seperti berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di universitas-universitas tersohor seperti di Barat.

Makalah saya di bawah ini mencoba menjelaskan hubungan antara kajian orientalis Barat terhadap praktek penjajahan Eropa terhadap negara-negara Timur.
Bab I

[Pengaruh Studi Orientalis Terhadap Imperialisme]

I. Timur Sebagai Basis Kolonialis
Ada dua pembagian Timur yang telah ditetapkan Eropa dan Amerika di abad  ke-19, pertama, Al-Syarq Al-Adnâ atau Timur Dekat, yang mencakup sebelah selatan timur Eropa. Kedua Al-Syarq Al-Aqshâ atau Timur Jauh, meliputi India, selatan timur Asia, Cina dan Jepang.

Namun di awal abad ke-20, pembagian geografis ini lambat laun mulai tergeser dan mengikis seiring terjadinya ekspansi wilayah Timur. Akhirnya kedua kubu ini menyatu menjadi satu kesatuan barisan “Timur Tengah”.

Label Timur Tengah ini tak lain digencarkan oleh seorang sejarahwan-militer Amerika terkemuka, Alferd Thayer Mahan, di tahun 1902, yang mencatat bahwa pelabelan ini tak luput dari siasat politik untuk menguasai kekuatan armada laut dan strategi kekuasaan Timur. Seperti yang digencarkan dalam penguasaan Hawaii, Cuba, Puerto Rico, Philippines dan Amerika Tengah.

Lebih lanjut Alferd Thayer Mahan menguatkan pendapatnya bahwa strategi pembatasan Timur Tengah ini  karena Timur Tengah membentang dari Jazirah Arab hingga Persia, termasuk Afghanistan dan Pakistan.

Beranjak setelah Perang Dunia kedua, istilah Timur Tengah mulai mendominasi hingga disebut dengan “mideast”.

Istilah ini pun akhirnya tak hanya populer dikalangan Barat, namun melintasi pada bahasa daerah Timur Tengah itu sendiri. Sehingga tak sedikit para jurnalis dan protokol-protokol resmi yang menyebut Arab dengan Al-Âlam Al-Arabî atau Negara Arab. Sebagai sebuah isyarat pada seluruh negara yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa nasionalnya, baik yang di Timur Tengah maupun di utara Afrika, dari Irak sampai Maroko.

Karena itu, nampaklah bahwa Timur Tengah merupakan istilah baru yang dirancang sendiri oleh Barat untuk kepentingan politik dan kekuasaan.  

II. Dinamika dan Orientasi Orientalis

Sebenarnya studi peradaban Timur oleh intelektual Barat menjadi diskursus dan wacana kontroversial berkisar pada scholarly knowledge of eastern cultures, languages, and people (Pengetahuan tentang budaya, bahasa, dan bangsa-bangsa Timur).

Kajian orientalis diawali dengan misi kristenisasi akibat pengaruh misionaris yang mulai bergrilya sejak abad ke-8 Hijriah.

Sekedar catatan! Rupanya pengalaman traumatis akibat kekalahan gereja dalam perang Salib menimbulkan dendam kesumat tersendiri. Maka umat kristiani kemudian bersumpah menekuk kekuatan Islam.

Cendekiawan Kristen berpikir keras agar dakwah kristenisasi mengelabuhi pikiran umat Islam. Pemuka gereja juga mulai mendalami ajaran Islam untuk membentengi akidah umat kristiani dari pengaruh ajaran Islam, dan berusaha menggali kelemahan umat Islam.

Sayang misi ini tak berlangsung lama, misi tendensius kristenisasi gereja Latin dan Eropa segera punah seiring melapuknya doktrin gereja yang bersumber dari fanatisme dan kekuasaan membabi-buta gereja Roma.

Pada mulanya studi bahasa Timur sejatinya tak luput dari faktor ideologi kristenisasi, seperti pada Abad Kegelapan gereja tekun belajar bahasa Arab untuk mengenal Islam meski harus mereka akui sendiri semuanya demi niat busuk menghancurkan Islam.

Masa Abad Pertengahan, studi bahasa dan kebudayaan Arab tunduk pada misi misionaris. Sebuah interesting baru dalam mengkaji Timur ini juga tak lain karena terilhami runtuhnya Granada pada tahun 1492 dan hanya meninggalkan sekelompok kecil bangsa Moriscos yang berbahasa Romawi.

Maka seruan untuk mengkaji Timur lebih digaungkan sebagai pengganti dari semakin pudarnya bahasa Romawi, selain juga memasukkan studi Timur setelah menyatu kedalam kurikulum bahasa Semit, sehingga studi Timur pun diupayakan masuk pula di bawah kontrol Vatikan.

Usaha dini ini juga tentunya akan sangat membantu mereka nantinya, dalam usaha peningkatan strategi politik dan komersial yang lebih baik dalam menyambut kebudayaan yang universal dan membantu untuk bisa bergabung bersama studi muslim.

Demi rasa bakhti pada agama, dan jiwa patriotnya pada Perancis, Guillume Postel (1510-1581) ikut berkontribusi besar dalam pembelajaran bahasa Bangsa Timur dengan mengumpulkan sejumlah manuskrip-manuskrip yang bersumber dari Timur.

Murid Postel, Joseph Scaliger (1540-1609), seorang ensiklopedis terkemuka. Scaliger turut berusaha keras meningkatkan bobot kajian orientalis di jamanya.

Abad ke-15 adalah awal kegemilangan Eropa yang  mengawali spirit Renaissence  (arti Renaissence adalah: “lahir kembali”).

Renaissence mampu mereformasi kejumudan berfikir teologi Kristen menuju kebebasan falsafi hakiki. Abad Kebangkitan Eropa mengilhami para orientalis mengkaji Islam dan Timur bukan bermisi kristenisasi, tapi berlajut pada praktik kolonialisasi.

Ada asumsi mengatakan: “pengetahuan berdampak pada penguasaan”. Atau lebih mendetail hubungan ini dijelaskan Focault sebagai keterkaitan antara knowledge and power.

Teori ini kemudian dikembangkan kaum orientalis untuk menguasai wilayah Timur. Artinya, semakin pakar orientalis mempelajari Timur maka semakin banyak kesempatan untuk menjajah wilayah Timur. Penjajahan ini yang dipraktekkan imperialis Eropa.

Seperti India yang dijajah Inggris, Al-Jazaer dijajah Perancis, kemudian Mesir dan Tunis ikut dicaplok juga. Wilayah Asia Indonesia pun tak ketinggalan. Ibu pertiwi Indonesia dijajah Belanda sejak pertengahan abad ke-17.

Pada tahun 1587 percetakan Kardinal Ferdinand de Medici Tuscany mencetak buku-buku Arab di Eropa. Di antaranya adalah karya-karya filsuf Ibn Sina di bidang kedokteran dan filsafat.

Di penghujung abad ke-17 dan awal abad ke-18, isu kristenisasi di kajian orientalis tak lagi mendominasi. Bahkan di abad ke-18, di seluruh Inggris dan Prancis, para orientalis sudah putus relasi dengan ulama-ulama teologia gereja.

Sejak itu riset akademik orientalis murni obyektif. Bahkan tak segan-segan di antara mereka jujur mengakui peradaban Islam.

Periode ini bak masa pencerahan Eropa dalam bidang sains, karya ilmiah, politik, ideologi, dan perekonomian yang ditunjangi oleh ilmu pengetahuan ini.

Kemajuan sains ini terus berkembang dan maju hingga akhirnya tak hanya didasari oleh hasrat misionaris belaka, namun lebih sebagai kebutuhan bagi mereka sendiri.

Pada Abad ke-17 isu kristinisasi pun mulai berkurang. Saat itu Eropa sudah bisa berpikir mandiri. Eropa dapat berpikir sendiri meski tanpa bimbingan gereja.

Seiring dengan bubarnya perang antaragama, dan seiring dengan kesadaran kaum intelektual untuk ilmiah, kajian orientalis cenderung bebas dari misi indoktriner Gereja. Faktor yang membentuk perubahan seperti ini tentunya tak luput dari pengaruh yang rasionalisme .

Sejatinya kemajuan ilmu pengetahuan di zaman Abad Pertengahan dan yang berlanjut pada masa renaissance adalah sebuah pukulan berat yang menghantam ideologi kristiani sendiri.

Barat mulai bergeser menuju sisi obyektifitasnya di abad pertengahan, dikarenakan beberapa faktor: kedekatan geografis, relasi politik yang erat, peningkatan perekonomian, dan perkembangan para misionaris yang berkunjung ke Timur, dan bersatunya umat kristiani di eropa.

Obyektifitas paling besar adalah karena dipengaruhi oleh nilai studi tentang ajaran moral Islam.

Bangsa Eropa melihat bahwa umat Islam di Timur sebagai padang daratan luas yang kaya dan makmur, dan peradaban maju bak sebuah monumen agung mewah yang tak terungkapkan dengan kata.

Zaman renaissance yang identik dengan ciri kosmopolitanisme dan jati diri yang ensiklopedis dengan segala ekspresi budayanya, telah mempersilahkan umat muslim Timur untuk mempelajari hak mereka.

Pada awal abad 20, obyektifitas kajian orientalis mulai nampak mendominasi.  Para orientalis pun berlomba-lomba melakukan riset professional. Bisa kita lihat beberapa Sekolah bahasa Timur dibangun demi kepentingan riset ilmiah seperti di Perancis dan Belanda.

Tak pelak lagi, imperialisme yang digencarkan Eropa rupanya membawa pengaruh yang sangat besar terhadap masyarakat dunia.

Imperialisme berhasil menjajah tak lain berkat dorongan ilmiah orientalis yang mengabdi pada ambisi Eropa untuk menguras kekayaan Timur.

III. Kenapa Barat Menjajah Timur?

Kolonialisasi adalah contoh paling signifikan akan bukti tercorengnya harga diri bangsa Timur. Bagaimana tidak, selama berabad-abad umat Islam berhasil menaklukkan pelbagai belahan dunia dari Eropa Timur, Afrika, Timur Tengah hingga Asia telah lumat, tunduk di bawah kekuasaan Islam. Namun, kemenangan itu kini kabur ditelan puing-puing sejarah belaka. Diawali abad ke-19 umat Islam dipaksa tunduk di bawah Adikuasa kolonial Barat.

Harapan terakhir umat Islam bertumpu pada kekhalifahan Turki Utsmani. Namun ironisnya, tahun 1942 kekhalifahan itu diruntuhkan Kemal attaturk, bangsa Turki sendiri yang menganti sistem khalifah menjadi negara repubrik yang sekular.

Runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani serta koalisi bersama Jerman di Perang Dunia, justru semakin memperpanas keadaan. Yang akhirnya praktik kolonialisasi Barat terhadap Timur semakin merajalela. Saudi Arabia berusaha membebaskan diri justru dipatahkan oleh Turki. Libanon dan Palestina pun dirampas Inggris, Napoleon datang ke Mesir tahun 1789, Belanda pun mendarat di Malaka tahun 1602. Inggris dan Perancis pun berebutan tanah kekuasaan di Afrika. Hingga pada tahun 1914, 85% wilayah Timur menjadi lahan subur adikuasa Barat.

Pada Abad ke-18 Eropa mulai masuk menembus perekonomian dan politik. Sejalan dengan itu pula, negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda dan Perancis saling berebut tanah kekuasaan di negara-negara yang berpenduduk Islam. Seperti India, dan sebelah selatan timur Asia, termasuk Indonesia.

Abad ke-19, adalah abad di mana orientalis mencapai puncaknya dalam membentuk kebudayaan Barat.

Orientalis menkaji hampir semua disiplin ilmu seperti eksotika, ekonomi, histori, dan teks politik. Secara umum, orientalis telah berhasil menjadi bagian signifikan dari kemajuan budaya dan peradaban Barat.

Di abad ini pula Abraham Hyacinthe Anquetil dan william Jones telah menangkap khayal imajinatif mengenai masa “kontemporer” mengenai dunia baru yang eksotis, dari Timur menjadi Barat.

British yang berada di India dan Napoleon yang sedang menduduki Mesir telah mengenal potensi besar untuk memanfaatkan orientalis, seperti Jones, untuk membangun imperium mereka. Berhubungan dengan mutu intelektual para orientalis dengan kepalsuan dominasi politik.

Meninjau kembali pengalaman buruk masa lalu, peristiwa dilematis ini kini mengundang pertaanyaan-pertanyaan tak kunjung usai dari   kaum intelektual Timur, apakah penyebab Barat menjajah Timur? Adakah yang salah dengan Timur (Islam)?

Ada dua kelompok cendekiawan Islam yang mencoba menjawabnya dengan jawaban yang saling kontradiktif. Kelompok pertama lebih menyalahkan pada pihak luar. Adi, kenapa umat Islam terpuruk, menderita, miskin dan malang, tak lain karena orang-orang Eropa sengaja ingin menghancurkan umat Islam diseluruh belahan dunia. Alas an ini tentunya mereka menyudutkan para orientalis yang banyak berpartisipasi aktif dalam membantu kolonialis Barat dalam penguasaan Timur terutama dalam bidang politik dan militernya.

Kelompok kedua, lebih memilih menyalahkan diri sendiri, tubuh umat Islam. Kelompok ini memandang bahwa keterpurukan umat Islam, miskin dan bodohnya adalah dikarenakan  kelalaian dan kemalasan mereka dalam mengkaji Al-Qur’an. Dan tak mengindahkan kekayaan khazanah keilmuan Islam yang yang rupanya telah banyak di adopsi Barat jauh berabad-abad sebelumnya. Kelompok ini pun menguatkan, sepanjang umat Islam kuat dan bersatu, maka mustahil Eropa berani menjajah kita. Umat Islam terpuruk, tak lain karena umat Islam sendiri yang jauh dari ruh-ruh keislaman itu sendiri. Karena tak dipungkiri, Barat pun mau karena mengadopsi keilmuan-keilmuan Islam. Yang darinya pencerahan “Enlightenment” Eropa dimulai.

Maka, kelompok kedua ini tak segan-segan mengajak umat slam untuk belajar pada Barat. Karena, hanya dengan menguasai ilmu, teknik, dan filsafat modern Barat, maka Umat Islam akan menemui kejayaanya kembali. Berbeda dengan kelompok pertama yang ‘anti Barat’. Baginya, cara Islam meraih kembali pencerahannya adalah dengan kembali pada tradisi lama Islam. Karena mempelajari tradisi ilmu dan filsafat Barat hanya akan menjerumuskan umat Islam pada system kebaratan yang tak ada sisi warna keislamannya itu.

Sample yang paling dekat adalah munculnya paham liberalisme yang merupakan cermin paling transparan dalam meramaikan modernisme barat. Ada yang berpendapat, liberalisme adalah racun ganas di era saat ini yang mencoba mengaburkan kajian keislaman dari jati dirinya. Namun, kelompok kedua berpendapat bahwa liberalisme perlu dipelajari, di perdalami, dan dipahami secara benar. Jangan sampai trauma searah kolonialisme terulang lagi.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook