Sunday, May 26, 2013

Sanksi adat perkawinan sesuku



KATA PENGANTAR

     Penulis pernah tinggal di Airtiris, Kampar Riau daratan Indonesia  yang mewarisi adat matririnial dari Sumatra Barat, yang disebut Adat dari Datuk Parapatih Nan Sabatang. Siapa yang kawin sesuku, akan disumpahi oleh Nenek Moyang. Begitulah aturan dalam adat Minangkabau:

"KE ATAS TIDAK BERPUCUK,
KE BAWAH, TIDAK BERAKAR
DI TENGAH-TENGAH, DILOBANGI KUMBANG"
(Di ateh indak bapucuak. di bawah indah baurek.
Di tangah digiriak kumbang.)

Pantangan adat ini, sifatnya sakral. Setiap anak cucu yang melanggarnya, akan terkena kutukan yang sangat dahsyat. Tapi kini titian sudah lapuk, janji sudah mungkir. Jangankan adat, bahkan agama pun sudah dilanggar orang. Yang kini sedang laku adalah emansipasi, kesamaan hak dan HAM Universal.


PENDAHULUAN
          Sanksi adat perkawinan sesuku yaitu di buang sepanjang adat sangat berpengaruh sekali terhadap kehidupan pelaku di dalam masyarakat, terutama di dalam kaumnya. Pelaku akan dikucilkan dari kaum serta menerima berbagai cemoohan di lingkungan tempat tinggalnya. Pada umumnya tokoh adat maupun tokoh agama, melarang dengan sangat tegas terjadinya perkawinan sesuku. Walaupun ada salah satu dari tokoh agama yang membolehkan terjadinya pekawinan sesuku yang tidak sepayung, namun beliau tetap tidak sepakat apabila terjadi perkawinan sesuku yang sepayung. Adapun menurut ajaran Islam, perkawinan sesuku ini sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. 

    Dalam setiap masyarakat dan kebudayaan, perkawinan merupakan hal penting. Perkawinan menurut masyarakat Minang adalah masa peralihan yang paling kompleks yang mencakup faktor-faktor fisik, fisikis, sosiologi dan status sosial individu di dalam masyarakat yaitu peralihan dari Zaman kuda pacuan ke Zaman Jawi pembajak. Adat Minangkabau menganut pola perkawinan eksogami dengan batasan eksogami suku, setiap individu dilarang kawin dengan individu lain yang memiliki suku yang sama dengannya. Hal ini diatur dalam adat nan babuhua mati, yang memiliki Sanksi dibuang sepanjang adat terhadap pelakunya. Namun kenyataannya masih saja terdapat pelaku perkawinan sesuku di dalam masyarakat Nagari Matur, di Pangkalan Kotobaru, di Bangkinang, di Taluk Kuantan Riau daratan. Sedangkan perkawinan tersebut dilarang oleh adat yang berlaku.

        Tulisan  ini bertujuan untuk mendeskripsikan sekilas tentang pelaku perkawinan sesuku dalam sistem kekerabatan di Minangkabau dengan studi kasus, di beberapa daerah. Larangan kawin sesuku yang sebenarnya tidak dilarang dalam adat Melayu Kepri dan Hukum Islam sendiri. Lain halnya di Ranah Minang dan Kampar. Diteliti Lima keluarga yang pernah menjadi pelaku perkawinan sesuku, menjelaskan bagaimana pendapat tokoh adat dan tokoh agama dengan perkawinan tersebut, dan bagaimana pula menurut ajaran Islam. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan teknik observasi dan wawancara. Penelitian tersebut menggunakan beberapa informan, yakni pelaku, tokoh adat, tokoh agama, dan tetangga atau teman.

          Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menemukan adanya kelemahan dari sistem adat itu sendiri yang menjadi penyebab adanya individu di dalam masyarakat yang menjadi pelaku perkawinan sesuku. Kelemahan dari sistem adat tersebut yaitu individu dalam masyarakat yang tidak mentaati adanya adat sedangkan mereka memahami adat, serta ringannya sanksi adat terhadap pelaku, bahkan sanksi tersebut dapat pula dihapuskan apabila pelaku telah bercerai dan membayar sanksi adat. Dampak dari sanksi adat perkawinan sesuku yaitu di buang sepanjang adat sangat berpengaruh sekali terhadap kehidupan pelaku di dalam masyarakat, terutama di dalam kaumnya. Pelaku akan dikucilkan dari kaum serta menerima berbagai cemoohan di lingkungan tempat tinggalnya. Pada umumnya tokoh adat maupun tokoh agama, melarang dengan sangat tegas terjadinya perkawinan sesuku.

            
        Dalam hal ini, adat bersendi Syara', syara' bersendi Kitabullah, mendapatkan  ujian berat, karena aturan adat kian sulit dipertahankan.

PEDAS: "Diskriminasi Hukum Adat dan Agama Akibatnya Terjadi Instabilitas di Masyarakat"


Ketua Forum PEDAS, HL. Anggawa Nuraksi
MATARAM - Melihat banyaknya permasalahan ditengah masyarakat terkait tidak singkronnya hukum adat dan agama dengan hukum formal yang berakibat terjadinya disharmoni dan instabilitas di masyarakat NTB. Terkait permasalahan tersebut, Forum Masyarakat Pembela Budaya dan Adat Sasak (PEDAS) yang selama ini konsen terhadap keberadaan hukum adat dan agama angkat bicara dan menilai selama ini telah terjadinya kriminalisasi hukum adat dan agama.
        "adat dan agama sering dikriminalisasi dalam kehidupan bermasyarakat oleh pihak penyelenggara pemerintahan," ucap Ketua Forum PEDAS, HL. Anggawa Nuraksi, pada sejumlah wartawan, Rabu (30/1/13) siang. Menurutnya, ada banyak hukum adat yang dikriminalisasi dan dibawakan kehukum pidana, contohnya seperti kasus adat merariq (selarian) ini dianggap sebagai perbuatan tindak pidana padahal ini tidak bertentangan dengan hukum adat dan agama.

"dalam kenyataan hukum di Indonesia tidak lagi konsisten dengan komitemen pendirian NKRI, hukum yang kita miliki warisan penjajah, tumpul keatas tajam kebawah dan ini sering terjadi ditingkat bawah,' jelas HL. Anggawa didampingi oleh       Sekretaris PEDAS, Lalu Prima Wira Putra.Terkait dengan dianggap seringnya terjadi diskriminasi terhadap hukum adat dan agama, maka untuk membedah persoalan tersebut PEDAS akan melaksanakan sarasehan "Kriminalisasi adat dan agama" yang akan dilaksanakan pada akhir bulan Februari mendatang.

       Sarasehan tersebut bertujuan untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada penyelenggara negara dalam penyelesaian permasalahan suapaya kembali dengan mengakomodir kearifan lokal yang kita miliki sesuai dengan jatidiri bangsa sesuai amanat Undang-Undang yang kita miliki dan juga agar terciptanya kerukunan, ketentraman hidup ditengah-tengah masyarakat dengan suasana yang faporable saling pengertian dan hormat menghormati."pesertanya, para penyelenggara pemerintahan, Gubernur, Kapolda, Kepala Kejaksaan, ketua DPRD, toma, toga se-pulau Lombok dan organisasi kebudayaan dan kemasyarakat se pulau Lombok," katanya.
ABSTRAK
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku dan beraneka ragam budaya, setiap suku mempunyai corak yang berbeda. Perbedaan adat pada setiap daerah yang ada di Indonesia yang menyebabkan pula terjadi perbedaan dalam hukum adat yang berlaku disetiap daerah tertentu.Hal ini disebabkan oleh hukum adat itu merupakan aturan yang hidup dalam masyarakat serta terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlaku pada rakyat Indonesia. Keanekaragaman hukum adat tersebut dapat dilihat pada masyarakat Minanagkabau. Salah satu factor penyebab perbedaan tersebut adalah dalam cara menarik garis keturunan. Cara menarik garis keturunan ini menyebabkan perbedaan hukum perkawinan adat dan kewarisannya. Perkawinan merupakan masa yang sangat penting dalam kehidupan. Karena pada masyarakat Minangkabau menurut garis keturunan ibu, maka orang yang melakukan perkawinan harus dengan suku yang berbeda, dan tidak diperbolehkan kawin dengan suku yang sama, karena jika dengan  suku yang sama  di anggap bersaudara. Disinilah hukuman-hukuman adat itu diberlakukan. Oleh sebab itu kawin dengan suku yang sama pada masyarakat Minangkabau dilarang.

Kata kunci : Larangan Kawin Satu Suku


PENDAHULUAN

Banyak kritik terhadap adat, bahkan banyaknya pelanggaran terhadap adat oleh masyarakat disebabkan kurangnya pemahaman terhadap adat anak karena tidak saling mengenal satu sama lain dalam satu persukuan. Apalagi keluarga besar makin berkembang sehingga hubungan semakin jauh dan banyak pula yang bermukim di tempat lain. Selama tidak slaing mengenal, juga ada terjadi pertikaian karena mereka tidak slaing mengenal, juga terjadi perkawinan satu suku yang dilarang oleh persukuan di Minangkabau.

            Dari realita sosial yang pernah saya dengar, di Kampung Batu Dalam ada satu pasangan ingin menikah, tetapi mereka mempunyai suku yang sama. Karena suku mereka sama, mereka tidak boleh kawin menurut adat, jadi mereka kawin lari.Ada juga pasangan yang satu suku sudah melakukan perkawinan, tetapi mereka membayar denda kepada nagari. Saya juga mendengar bahwa kawin satu suku itu menyebabkan anak berakhlak buruk, ada yang rumah tangganya  tidak harmonis, dan mungkin masih ada penyebab yang lain lagi.

Berdasarkan kasus diatas, saya mengangkat sebuah topik yaitu “Larangan Kawin Satu Suku di Nagari  Kampung Batu Dalam”. Saya ingin sekali mengetahui apa penyebab dilarangnya kawin satu suku, apa  akibat kawin satu suku, Sanksi Pelanggar kawin satu Suku, dan dampak dari kawin satu suku tersebut.

1. Pengertian Perakawinan
            Saat peralihan yang ada pada semua masyarakat dianggap penting adalah peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga, yaitu perkawinan. Dalam kebudayaan manusia, perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan kelaminnya. Perkawinan membatasi seseorang untuk bersetubuh dengan lawan jenis lain selain suami atau isterinya. Selain sebagai pengatur kehidupan kelamin, perkawinan mempunyai berbagai fungsi dalam kehidupan bermasyarakat manusia, yaitu member perlindungan pada anak-anak hasil perkawinan itu, memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi, tetapi juga untuk memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu.

2.   Perkawinan Adat Minangkabau
Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimana perkawinan memerlukan penyesuaian dalam banyak hal.Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulahttp://www.cimbuak.net/mambots/content/glossarbot/info.gifi dan anak dara tetapi juga antara kedua keluarga.
                    Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian.
Perkawinan juga menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan.
            Diminang kabau kawin dengan suku yang sama dilarang, karena dianggap bersaudara, bagi yang melakukan akan mendapatkan hukuman. Hukuman itu tidak kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang. Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau.
Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah Kedua calon mempelai harus beragama Islam,Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain, Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak, Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
          Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Karena  itu jika perkawinan satu suku dilakukan maka akan dianggap perkawinan sumbang.
3.  Pengertian Suku di Minang Kabau
Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu per-empat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama.
Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah rumah gadang secara bersama-sama.
4. Penyebab dilarangnya kawin satu suku
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan beraneka ragam budaya, salah satunya adalah suku Minangkabau. Suku atau matriclan ialah unit utama dari struktur sosial di Minangkabau. Seseorang tidak dapat dipandang sebagai orang Minangkabau jika ia tidak mempunyai suku. Setiap suku mempunyai adat yang satu sama lain memiliki corak yang berbeda.
Di Minangkabau, salah satu masa peralihan yang sangat penting dalam adat adalah pada saat masa perkawinan. Masa perkawinan merupakan masa permulaan bagi seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok keluarganya dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri, yang secara rohaniah tidak lepas dari pengaruh kelompok hidupnya semula. Dengan demikian, perkawinan dapat juga disebut sebagai titik awal dari proses pemekaran kelompok.
Adat Minangkabau menentukan bahwa orang Minangkabau dilarang kawin dengan orang dari suku yang serumpun, misalnya seseorang yang berasal dari suku jambak tidak boleh kawin dengan seseorang yang dari suku jambak juga, karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis keturunan ibu, jadi jika kawin dengan suku yang sama di anggap bersaudara.
Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat kalau kawin dengan saudara-saudara kandungnya,  maka disebut “eksogami keluarga batih”. Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai marga yang sama, maka disebut ‘eksogami marga”. Kalau orang dilarang kawin dengan dengan orang yang berasal dari nagari yang sama, disebut “eksogami nagari”. Di Minangkabau garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu, maka disebut “eksogami matrilokal atau eksogami matrilineal”.
Jadi, di Minangkabau dilarang kawin dengan suku yang sama termasuk di kenagarian Kampung Batu Dalam. Larangan kawin satu suku ini tidak dalam konteks halal dan haram, kesepakatan untuk tidak kawin satu suku adalah soal raso jo pareso. Berdasarkan kekerabatan matrilineal, masyarakat Minangkabau merasa badunsanak (bersaudara) dengan orang-orang sekaum atau satu suku. Jika ada yang melanggar terhadap aturan adat, maka akan mendapat sanksi secara adat pula.
Larangan kawin sapasukuan terutama nan sasako jo pusako jangan diartikan sebagai penentangan terhadap hukum-hukum Islam yang menjadi landasan hukum adat Minangkabau tetapi lihatlah sebagai keunikan suatu masyarakat yang menganut system kekerabatan matrilineal yang menjunjung tinggi harkat kaum perempuan dan memegang teguh rasa persaudaraan dengan pijakan raso jo pareso.
Singkatnya penyebab dilarangnya kawin satu suku di Nagari Kampung batu Dalam adalah karena masyarakat yang satu suku merasa bersaudara yang menjunjung tinggi raso jo pareso. Jika dilakukan kawin satu suku, maka sama halnya dengan mengawini saudara sendiri.
           
5.  Akibat Kawin Satu Suku

Nikah sesuku bagi orang Minang masih menjadi sebuah yang tabu dan sangat sakral untuk dilanggar. Mereka yang mencoba kawin sesuku siap-siap saja terjamajinalkan dari lingkungan keluarga dan masyarakat Minang dimana ia berdomisili. Menjadi bahan kasak-kusuk orang satu kampung, cemoohan dan pengucilan. Orang yang satu suku tidak boleh kawin, kendatipun mereka beda kabupaten/kota, kecamatan, desa, jorong, selagi mereka dalam adat Minang satu suku (pisang, chaniago, koto, siumbang, piliang dll.) maka akan susah bagi mereka melangsung sebuah pernikahan.

Jika Kawin satu suku dilakukan maka akan mendapatkan kutukan dalam biduk rumah tangga dan keluarga (TIDAK SAMARA),  diprediksikan tidak akan dikarunia keturunan, Ada pun keturunan yang terlahir akan mengalami kecacatan fisik dan keterbelakangan mental (akibat genetika), Kalau mereka mendapatkan keturunan maka keturunan diperkirakan akan buruk laku (berakhlak buruk), Rumah tangganya akan selalu dirundung pertekengkaran, perseteruan, Mereka yang kawin sesuku diyakin sebagai pelopor kerusakan hubungan dalam kaumnya (kalangan satu suku), Menimbulkan kesenjangan dalam tatanan sosial.
             Berdasarkan hasil  wawancara dengan salah seorang masyarakat di Nagari Kampung Batu Dalam pada tanggal 26 Maret 2011,kawin satu suku memang menyebabkan anak berakhlak buruk, rumah tangga di rundung pertengkaran, perseteruan, dan menimbulkan kesenjangan sosial. Sementara pembicara lainnya, Alis Marajo Dt Sori Marajo dalam makalahnya juga menyimpulkan,  sasuku atau sapayuang adalah status yang tidak elok dan menimbulkan kesenjangan sosial, hingga berakibat terjadinya disporitas sosial di kalangan komunitas masyarakat Minangkabau.

6.  Sanksi Pelanggar kawin satu Suku

Seandainya terjadi perkawinan oleh orang yang se suku (sama sukunya) maka terhadap orang tersebut dikenakan denda dan hukuman secara adat, agar orang tersebut tetap dibawa dan diikut sertakan dalam kehidupan masyarakat adat, dan kepada salah seorang yang telah melakukan perkawinan se suku tersebut juga harus diganti sukunya (agar tidak sesuku). Apabila denda dan hukuman tidak dilakukan serta tidak diadakan penggantian suku, maka orang yang melakukan perkawinan tersebut tidak diikutkan  tidak dibawa serta oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Jadi dengan adanya penggantian suku bagi orang yang melakukan perkawinan se suku tersebut, maka akan terjaga / tetap berlaku sistem eksogami. Kawin satu suku memang mengundang banyak polemik. Namun sebelum kita melihat lebih dalam lagi tentang masalah apapun dalam adat, kita harus menyadari bahwa adat  setiap nagari itu berbeda.

Di Nagari Kampung batu Dalam kawin satu suku dilarang pelarangan kawin satu suku, ada yang melarang sejurai, ada yang melarang saparuik. Khusus jika ada satu suku dalam saparuik yang kawin  maka akan dihukum secara adat yaitu dibuang ke desa yang mau menerimanya.

               Lalu apakah hukuman yang biasa di berikan bagi yang melanggar peraturan adat? Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang masyarakat pada tanggal 26 Maret 2011, maka hukumannya adalah membayar denda kepada nagari yaitu berupa kambing,kerbau atau tergantung kesepakatan para petinggi adat, kemudian diadakan makan bersama dengan mengundang orang sekampung. Apabila yang melakukan pelanggaran tersebut tidak mau membayar denda, maka baru dijatuhkan hukuman yang lebih berat yaitu dibuang sepanjang adat. Lalu apakah ada mekanisme pengampunan ketika sipelanggar telah dibuang dari adat ? Memang ada tetapi harus tetap membayar denda tadi. Jika sudah dibayar maka dia akan diterima lagi.

6.  Dampak Kawin Satu Suku
               Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis dampak perkawinan satu suku dan faktor-faktor yang menyebabkan perkawinan tersebut terjadi serta perkawinan antara anggota suku yang berbeda akan menjamin kelangsungan sistem kekerabatan matrilineal di Kampung Batu Dalam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan perkawinan satu suku berdampak pada rusaknya tatanan adat yang sudah berlaku sejak lama, pemberian sanksi bagi pelaku dan keluarga baik moril maupun materiil, hilangnya hak terhadap harta pusaka dan kaburnya sistem kekerabatan matrilineal dan cenderung mengarah ke sistem parental. Agama, pergaulan bebas, berkurangnya wibawa penghulu adat, pendidikan dan melemahnya daya ikat peraturan adat menjadi faktor- faktor penyebabnya dan oleh karena itu dengan perkawinan antara anggota suku yang berbeda tetap menjamin kelangsungan sistem kekerabatan matrilineal.

Simpulan

            Banyaknya pelanggaran terhadap adat oleh masyarakat disebabkan kurangnya pemahaman terhadap adat anak karena tidak saling mengenal satu sama lain dalam satu persukuan. Kawin satu suku meruapakan salah satu pelanggaran terhadap adat tersebut, di Minang Kabau khususnya di Nagari kampung Batu Dalam, jika ada yang melakukan kawin satu suku, maka akan dikenakan hukuman secara adat. Dan bagi yang melakukan kawin satu suku dapat merusak tatanan sosial atau tatanan adat yang telah berlaku sejak lama.

Bagi yang melakukan kawin satu suku, secara sosiologis berpengaruh terhadap kepribadian anak.  Anak hasil perkawinan satu suku akan berakhlak buruk, dan juga berdampak pada pasangan itu sendiri, rumah tangganya tidak harmonis, sering terjadi pertengkaran da perseteruan dalam keluarga itu.
Sedangkan dikaji secara antropologi,kawin satu suku dapat menyebkan kesenjangan salah satu unsur kebudayaan atau penyimpangan unsur kebudayaan. Salah  satu unsur kebudayaan tersebut adalah adat. Karena itu kawin satu suku merupakan penyimpangan adat.

DAFTAR  PUSTAKA
           
Bandaro.2010.Perkawinan Eksogami Dalam Masyarakat Adat Minangkabau.
Eriandi.2008./http//www. awin Sasuku Bawa penyakit Genetik.Padang : Worspress.
Koentjaraningrat.2005.Pengantar Antropologi II.Jakarta : Prineka Cipta.
No Name. 2010.Matrilineal Hanya Dianaut Lima suku Didunia. http://www.kapan                     lagi.com.
No name 2.2010.htp//www.nusantaranews.net/2010/07/kawin sapasukuan dalam                               perspektif-adat_1837.html
No name 3. - .http.;//www.Re ( Rantau Net.com )

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook