Friday, June 28, 2013

ANAK BOLOSORANG TUA DIHUKUM PENJARA



ANAK BOLOSORANG TUA    DIHUKUM PENJARA

 Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag
 Kejadian di Inggris, murid membolos, orang tua dipenjarakan. Sudah lebih dari 11.000 orang tua di Inggris mendapatkan sanksi karena membiarkan anak mereka bolos sekolah. Hukuman ini diberlakukan oleh pemerintah Inggris bahkan pemerintah setempat masih menganggap hukum ini terlalu ringan, lebih fantastis lagi mereka akan memperketat peraturan tentang bolos sekolah ini, seperti yang dikutip dari vivanews.com. Dilansir laman The Guardian, Selasa 8 November 2011, terdapat 11.757 orang tua yang dihukum karena ketidakhadiran anak mereka di sekolah.

 Angka ini meningkat di mana 11.188 orang tua dijatuhi sanksi serupa. Sebanyak 25 orangtua di antaranya dihukum penjara, dengan vonis terlama 90 hari. Sejumlah 9.000 orang divonis bersalah dan dua pertiga di antaranya dijatuhi denda. Denda maksimal untuk kejahatan ini adalah 850 poundsterling atau sekitar Rp12 juta. Lebih dari 400 orangtua mendapatkan hukuman kerja sosial, dan 53 lainnya ditangguhkan hukumannya.Jumlah orangtua yang dihukum akibat anak yang membolos di Inggris dari tahun ke tahun bertambah jumlahnya. Pada tahun 2005, tercatat hanya 4.000 orangtua yang dihukum. Jumlah orangtua yang dipenjara konstan, sekitar 15 hingga 20-an.
Adapun pukulan yang dimaksud adalah: a. Pukulan yang dapat diterima oleh si anak, berupa pukulan yang ringan, b. Pukulan yang tidak menimbulkan bekas atau luka pada tubuh si anak, c. Pukulan di bagian tubuh, kecuali wajah.[1] Bersikap adil kepada semua anak dan bersabar dalam menghadapi mereka. Orang tua terkadang memiliki kecenderungan pada salah satu atau sebagian anak dibandingkan dengan anak-anak lainnya, baik dalam hal materi maupun imateri. Padahal, sikap orang tua yang demikian itu tidak akan memberikan dampak yang baik bagi kejiwaan anak-anaknya. Sebab akan ada anak yang merasa tidak disayangi dan tersisihkan, sementara dia melihat saudaranya mendapatkan perlakuan berbeda dari orang tuanya. Hal seperti ini akan sangat mungkin untuk memicu perselisihan bahkan permusuhan antar sesama saudara. Dan sikap seperti ini juga berarti menzhalimi mereka.[2]
Selain itu, orang tua juga harus menyadari bahwa anak adalah fitnah  bagi orang tua maka hendaknya orang tua dapat bersabar dalam menghadapi gangguan dari anak-anaknya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, Artinya: “Dan ketahuilah! Sesungguhnya harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu). Dan sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat ganjaran yang besar.” [3] Artinya: “Hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu). Dan sesungguhnya Allah (yang) di sisi-Nyalah terdapat ganjaran yang besar.” (Qs. Ath-Taghabun: 15).Terutama bagi pasangan orang tua yang memiliki anak perempuan, hendaknya mereka bersabar dalam mengasuh dan mendidiknya, karena anak perempuan yang diasuh dengan baik oleh orang tuanya dapat menjadi penghalang bagi kedua orang tuanya dari api Neraka. Dan hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya berikut ini,. Artinya: “Barang siapa diuji dengan anak-anak perempuan lalu dia memberi asuhan yang baik kepada mereka, maka anak-anak perempuan itu akan menjadi penghalang antara dirinya dari Neraka.[4].
            Secara yuridis, UU Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU No 14/2005. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.Adapun maksud Perlindungan Profesi yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen adalah perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya.Berangkat dari paparan di atas, terlihat bahwa eksistensi UU No 14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya.
              Implementasi terhadap UU tersebut masih belum terlaksana. UU tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas peningkatan kesejahteraan guru/dosen, sementara perlindungan terhadap profesi guru/dosen seringkali lepas dari perhatian.Jalan Tengah. Kita tidak menutup mata terhadap tindakan oknum guru yang kurang mendidik dengan memberikan hukuman di luar nilai pendidikan. Mereka meletakkan peserta didiknya sebagai penjahat yang harus dihabisi, bukan sosok yang perlu dibimbing dan diperbaiki. Demikian pula sikap orang tua/masyarakat yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru.
             Mereka terlalu banyak menuntut guru agar dapat mengahntarkan peserta didik sebagai masyarakat terdidik, namun tidak seiring dengan penghargaan dan perlindungan yang diberikan. Ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan guru dalam menghadapi murid yang bersalah, sebelum mereka menetapkan hukuman, yaitu; Pertama, perlu memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan ikut melibatkan guru BK. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan syarat : (1). Hukuman tidak pada tempat yang vital. (2) hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik. (3) hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik. Sulit menentukan kadar sanksi fisik di lingkungan sekolah.
              Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.[5] (As-Subki berkata, "Wali bagi anak diwajibkan memerintahkan anaknya untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan memukulnya (apabila masih belum melaksanakan shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun.Kami tidak mengingkari wajibnya perintah terhadap perkara yang tidak wajib, atau memukul terhadap perkara yang tidak wajib. Jika kita boleh memukul binatang untuk mendidik mereka, apalagi terhadap anak? Hal itu semata-mata untuk kebaikannya dan agar dia terbiasa sebelum masuk usia balig."[6]

              Anak kecil diperintahkan untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan dipukul saat mereka berusia sepuluh tahun. Sebagaimana mereka juga diperintahkan untuk berpuasa Ramadan dan dimotivasi untuk melakukan segala kebaikan, seperti membaca Al-Quran, shalat sunah, haji dan umrah, memperbanyak membaca tasbih, tahlil, takbir dan tahmid serta melarang mereka dari semua bentuk kemaksiatan.  Disyaratkan dalam masalah memukul anak yang tidak shalat yaitu pukulan yang tidak melukai, tidak membuat kulit luka, atau tidak membuat tulang atau gigi menjadi patah. Pukulan di bagian punggung atau pundak dan semacamnya. Hindari memukul wajah karena diharamkan memukul wajah berdasarkan larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Pukulan hendaknya tidak lebih dari sepuluh kali, tujuannya semata untuk pendidikan dan jangan perlihatkan pemberian hukuman kecuali jika dibutuhkan menjelaskan hal tersebut karena banyaknya penentangan anak-anak atau banyak yang melalaikan shalat, atau semacamnya. Dari Abu Burdah Al-Anshari, dia mendengar Rasulullah bersabda, "Seseorang tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud (hukuman tetap) dari Allah Ta'ala." [7]
            Ibnu Qayim rahimahullah berkata,"Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, 'Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud' maksudnya dalam hal jinayat (pidana kriminal seperti mencuri) yang merupakan hak Allah.  Jika ada yang bertanya, "Kapan harus memukul di bawah sepuluh kali jika yang dimaksud hudud dalam hadits tersebut adalah jinayah?"Jawabannya adalah saat seorang suami memukul isterinya atau budaknya atau anaknya atau pegawainya dengan tujuan mendidik atau semacamnya. Ketika itu tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali.
               Selayaknya hal tersebut dilakukan tidak di depan orang lain untuk melindungi kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain dari teman-temannya atau selainnya. Juga hendaknya diketahui bahwa dalam perjalanan hubungan bapak dengan anak-anaknya dan pengajarannya bahwa sang bapak memukul sang anak semata-mata bertujuan agar dia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya semata-mata untuk kebaikannya secara sempurna dan perhatiannya dalam mendidiknya sesuai ketentuan syari agar jangan sampai timbul perasaan benci sang anak terhadap perkara syar'i yang berat dia lakukan dan karena meninggalkannya dia dipukul. Syaikh Ibn Baz  berkata, "Perhatikanlah keluarga dan jangan lalai dari mereka wahai hamba Allah. Hendaknya kalian bersungguh-sungguh untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera puteri kalian untuk melakukan shalat saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka saat berusia sepuluh tahun dengan pukulan yang ringan yang dapat mendorong mereka untuk taat kepada Allah dan membiasakan mereka menunaikan shalat pada waktunya agar mereka istiqomah di jalan Allah dan mengenal yang haq sebagaimana hal itu dijelaskan dari riwayat shahih dari Nabi SAW.

           Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, Nabi Muhammad Saw telah memerintahkan agar orang tua memerintahkan anak-anaknya melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, atau kita memukul mereka saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu mereka belum berusia balig. Tujuannya adalah agar mereka terbiasa melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka men-cintainya. Begitu pula dengan perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum balig, agar mereka tidak terbiasa dan akrab ketika sudah besar. Beliau juga berkata, Perintah ini bermakna wajib. Akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi tidak ber-manfaat pukulan tersebut. Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat. Kemudian, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan perbaikan bukan mencelakakan.
6. Analisis hukuman fisik dalam Islam
Dalam analisis ini, penulis temukan  dua kaedah yang saling terkait:
Pertama tasharrul imam (kebijakan pemimpim)  Kedua al maslahat (maslahat tujuan dan manfaatnya). Dari dua kaedah ini terdapat kata kunci yang menentukan arah dari konsep kebijakan tersebut, yaitu maslahat, karena itu, hal pokok yang menjadi kajian dalam permasalahan ini adalah bagaimana sebenarnya konsep maslahat pada hukuman fisik. Maslahat inilah yang nantinya akan membawa dan mengantarkan kepada sebuah kebijakan yang akan dibuat oleh seorang pemimpin.
 Ketika memperhatikan kaidah tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al malahat,[8] yang berarti bahwa kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan, maka ada dua kata yang tidak hanya memerikan makna secara retorik saja, tetapi dua kata yang sekaligus memberikan gambaran dan batasan serta suatu konsep yang dimaksud. Dua kata tersebut adalah tasharruful imam (kebijakan dari seorang pemimpin) dan al maslahat (kemaslahatan). Maka dalam hal ini akan lebih banyak mengkaji tentang bagaimana konsep kemaslahatan yang akan dijadikan sebagai landasan tehadap pembuatan suatu kebijakan.
              Kaidah ushul fiqih yang menyatakan Tasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyyati Manutun Bi al- Maslahah .Kaidah ini merupakan kaidah yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpin.[9] Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tasharruful imam ‘ala al ra’iyyati manuutun bi al maslahat mempunyai pengertian retorik (harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada maslahat.
Lebih jauh dari sekedar pengetian retorik tersebut, ada pengertian yang lebih luas yaitu segala aspek kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam suatu kelompok atau golongan tertentu harus ditetapkan dengan mekanisme syura (musyawarah). Hal ini sebagai terjemahan dari pernyataan kaidah tesebut yang menekankan pada aspek kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentu yang riil untuk mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal ini yang juga ditekankan dalam firman Allah.
Artinya: Bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. [10]
             Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’in bin Mansur; Sungguh aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti kedudukan seorang wali anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil daripadanya, jika aku dalam kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku berkecukupan maka aku menjauhinya.
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mengedepankan aspek kemaslahatan rakyat bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya pribadi, atau keinginginan keluarganya atau kelompoknya. Dalam disertasi ini, adalah Kepala Sekolah, guru dan orang tua.
             Ketika  murid beberapa kali mendapat hukuman dari guru, dilihat pada masa kini, bisa merupakan bentuk penganiayaan. Hukuman diberikan karena memang murid  salah. Apapun kesalahan, pasti mendapatkan hukuman. Itulah yang berlaku saat itu. Ketika pelajaran menggambar, beberapa murid  lupa membawa pengaris, lalu disuruh maju ke depan kelas, menyodorkan tangan, guru menghantamkan penggaris kayu besar (panjang sekitar 1 meter dengan ketebalan sekitar 1 cm) mendarat di punggung dan telapak tangan siswa, penggaris hancur. Ada murid perempuan sampai menangis, sedangkan  yang laki-laki hanya bisa meringis. Hasil hukuman hari itu bukan hanya tangan memar, tapi hari itu murid tidak bisa menulis.
          Untuk jenis hukuman tempeleng,  sudah menjadi kebiasaan, karena seringkali guru menempeleng murid untuk kategori pelanggaran ringan. Pernah yang ditempeleng dengan  jari guru mengenai mata. Kalau pelanggaran berat,  dipukul di betis dengan menggunakan kayu rotan. Sekalipun murid sering mendapatkan kekerasan dari guru, tidak ada yang berani melaporkan peristiwa itu kepada orang tua. Bukan lantaran diancam oleh guru, melainkan karena takut mendapat hukuman tambahan dari orang tua. Dahulu di kampung   pada umumnya, jika di sekolah murid  dihukum dan diketahui oleh orang tua, berarti  akan mendapatkan lagi hukuman dari orang tua. Justru karena hukuman itu banyak orang  yang sukses dan berhasil. Mereka-mereka ini berhasil menghadapi hukuman karena bagian dari proses pendidikan dan pembinaan. Dengan hukuman itu murid belajar mengetahui kesalahan dan menemukan kebenaran dan kebaikan. Orang yang tidak berani menghadapi hukuman dengan cara lari meninggalkan sekolah, orang-orang ini yang gagal dalam hidupnya.
         Sejak tanggal 22 Oktober 2002, Pemerintah R.I, memberlakukan UU Perlindungan Anak ( UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Sejak saat itu keberadaan sanksi terhadap anak-anak  di sekolah menjadi sensasi berita. UU Perlindungan anak, khususnya pasal 13 ayat (1), menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan.


                   [1] Lihat Menanti Buah Hati, hlm. 347-348
                   [2] Lihat Ensiklopedi Adab Islam (I/201)] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Aku tidak mau menjadi saksi atas perbuatan zhalim, bertakwalah kalian kepada Allah dan bersikap adillah kepada anak-anak kalian.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari, no. 2586, 2587  dan Muslim  no. 1623, dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu
                   [3] Qs. Al-Anfal: 28
                  [4] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari  no. 1418, 5998) dan Muslim  no. 2629
               [5] Dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa'u Ghalil, no. 247).  Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitab Al-Mughni (1/357): "Perintah dan pengajaran ini berlaku bagi anak-anak agar mereka terbiasa melakukan shalat dan tidak meninggalkannya ketika sudah baligh." 
               [6] Fatawa As-Subki, 1/379
             [7] HR. al-Bukhari, no. 6456, Muslim, no. 3222
                 [8] Lihat Al-Suyuthy Imam Jalaluddin Abd al-Rahman bin Abubakar, Al-Asbah wan Nazha’ir fi al-Furu’,.Kaedah kelima, (Semarang, Karya Toha Putera: Tth), 83.
               [9] Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.
Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).Lihat Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999),21-26
[10]  QS. Al- Syura (42) : 38

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook