Thursday, June 13, 2013

Arti kata taqnin (تقنين) TIDAK SEMUA MUSLIM ITU ALIM



PIAGAM MADINAH BAGIAN DARI TAQNIN





Secara terminologis, taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan hukum-hukum dan kaidah-kaidah penetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.[4]
Dalam makna yang sempit pemakaian istilah qanun dalam Islam adalah untuk menerangkan hukum non-agama atau hukum buatan manusia, di mana hukum-hukum yang dihasilkan adalah hasil ijtihad seseorang atau sekelompok ulama dalam suatu masalah. Ini berbeda dengan definisi canon yang dalam agama Kristen menerangkan hukum agama atau hukum Gereja. Menurut Atjep Djazuli taqnin adalah kewenangan pembentukan hukum yang diserahkan kepada Negara, khususnya lembaga legislative. Dengan demikian taqnin identik dengan legislasi di mana leislasi menurut Jazuni adalah proses pembentukan hukum tertulis yang dilakukan oleh Negara.[5]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa taqnin adalah proses legalisasi fiqh (hukum) Islam ke dalam sebuah perundang-undangan yang berlaku di suatu Negara khususnya Negara dengan system hukum sipil (civil law).   
Sejarah Awal Taqnin al-Ahkam
         Taqnin al-Ahkam pada dasarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia Islam, jika kita runut jauh ke masa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam maka akan kita dapati bagaimana sebuah “undang-undang” juga telah diberlakukan pada masa beliau. Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam telah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam saat itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut, Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak ditemukan dalam sejarah hukum Islam.
          Dalam perjalanan sejarah hukum Islam selanjutnya, upaya menyatukan masyarakat dalam satu pandangan atas suatu putusan hukum juga dipelopori oleh Abdullah bin al-Muqaffa. Ironisnya, Ibnu al-Muqaffa kemudian dihukum mati oleh penguasa saat itu dengan tuduhan sebagai seorang zindiq.[6] Saat itu, ia menyarankan kepada Abu Ja’far al-Manshur untuk menetapkan taqnin dalam sebuah surat yang ia namakan Risalah ash-Shahabah. Ia mengusulkan kepada sang khalifah untuk mengumpulkan hukum-hukum fikih dan mewajibkan para hakim menggunakannya dalam memutuskan perkara. Abu Ja’far Al-Mansur dalam suratnya menyarankan agar undang-undang civil segera di ambil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ketika tidak ada nash maka cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan umat. Ketika beliau melihat banyak terjadi perbedaan pendapat dalam satu masalah, ia berkata,”Di antara perkara yang harus diperhatikan oleh Amirul Mukminin dari urusan dua orang Mesir dan yang lainnya dari setiap kota dan pelosok wilayah adalah terjadinya perselisihan pendapat yang sudah memuncak, jika saja Amirul Mukminin dapat memerintahkan agar semua perbedaan ini bisa dihilangkan, memberikan apa yang menjadi hajat setiap kaum dari sunnah dan qiyas dengan cara menulis sebuah kompilasi undang-undang. Hal tersebut bertujuan menyatukan semua pendapat yang bisa saja salah atau benar dengan satu pendapat yang pasti benar.”
          Usul Ibnu al-Muqaffa kemudian betul-betul ditindaklanjuti oleh al-Manshur. Saat itu, sang khalifah bertemu dengan Imam Malik, salah seorang tokoh ulama besar saat itu. Sang ulama diminta oleh al-Manshur diminta untuk menyusun kompilasi hukum Islam. Namun, Imam Malik menolak permintaan itu dan berkata, “Masyarakat sudah terbiasa dengan berbagai macam pendapat. Mereka mendengar banyak hadis dan meriwayatkan banyak riwayat. Mereka mengambil pendapat yang diarahkan kepada mereka dan mengamalkannya meskipun mereka juga terbiasa dengan perbedaan pendapat di tengah para sahabat Rasulullah. Melarang mereka untuk meyakini apa yang mereka yakini adalah sesuatu yang berbahaya. Biarkan saja masyarakat apa adanya. Biarkan setiap anggota masyarakat memilih pandangan yang sesuai dengan kondisi mereka.”[7]
Di dua abad terakhir ini, di kalangan dunia Islam, memang sudah ada upaya untuk melakukan taqnin al-ahkam. Salah satunya adalah al-Fatawa al-Hindiyahyang disusun oleh para ulama India. Dalam karya itu, disusun oleh undang-undang yang berkaitan tentang ibadah, sanksi (uqubah), dan mu’amalah.  Selain al-Fatawa al-Hindiyah, ada juga al-Ahkam al-Adliyyah yang mengandung sejumlah hukum tentang jual beli, dakwaan, dan vonis. Kompilasi ini disahkan pada tahun 1869 oleh Kekhalifahan Utsmani dan memuat 1.851 masalah yang umumnya berdasarkan pada mazhab Hanafi. Kompilasi ini diberlakukan di kebanyakan negara-negara Arab hingga pada pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini kemudian tidak lagi mencukupi segala persoalan-persoalan baru yang timbul di masyarakat. Pada perkembangan berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui dan dimasukkan pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil
PIAGAM MADINAH PIAGAM JAKARTA BERLAKU UNTUK NON-MUSLIM JUGA

Mari kita merenung sejenak,  pelajari berbagai teknologi dan pelajari istilah-istilah  hukum, misalnya istilah Taqnin : Definisi dan Sejarah
          Secara etimologis, kata taqnin (تقنين) merupakan bentuk masdar dari qannana (قَنَّنَ), yang berarti membentuk undang-undang. Ibnu Mandzur menyatakan bahwa kata taqnin bukan berasal dari bahasa Arab, kata ini merupakan serapan dari bahasa Romawi yaitu kata conan, namun ada juga yang berpendapat berasal dari Bahasa Persia.[1] Seakar dengan taqnin adalah kata qanun (قََانُوْن) yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara (thariqah). Dalam Kamus Munawwir dicatat bahwa kata qanun berasal dari bahasa Arab dengan asal kata qaanuun atau qānūn yang artinya kompilasi, himpunan peraturan atau Undang-undang, atau norma-norma yang telah mapan.[3] Menurut Sayyed Hossein Nasr, qanun berasal dari bahasa Yunani canon, yang juga merupakan asal dari kata canonical dalam hukum Barat.
Secara terminologis, taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan hukum-hukum dan kaidah-kaidah penetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.[4]
Dalam makna yang sempit pemakaian istilah qanun dalam Islam adalah untuk menerangkan hukum non-agama atau hukum buatan manusia, di mana hukum-hukum yang dihasilkan adalah hasil ijtihad seseorang atau sekelompok ulama dalam suatu masalah. Ini berbeda dengan definisi canon yang dalam agama Kristen menerangkan hukum agama atau hukum Gereja. Menurut Atjep Djazuli taqnin adalah kewenangan pembentukan hukum yang diserahkan kepada Negara, khususnya lembaga legislative. Dengan demikian taqnin identik dengan legislasi di mana leislasi menurut Jazuni adalah proses pembentukan hukum tertulis yang dilakukan oleh Negara.[5]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa taqnin adalah proses legalisasi fiqh (hukum) Islam ke dalam sebuah perundang-undangan yang berlaku di suatu Negara khususnya Negara dengan system hukum sipil (civil law).   
Sejarah Awal Taqnin al-Ahkam
         Taqnin al-Ahkam pada dasarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia Islam, jika kita runut jauh ke masa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam maka akan kita dapati bagaimana sebuah “undang-undang” juga telah diberlakukan pada masa beliau. Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam telah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam saat itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut, Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak ditemukan dalam sejarah hukum Islam.
          Dalam perjalanan sejarah hukum Islam selanjutnya, upaya menyatukan masyarakat dalam satu pandangan atas suatu putusan hukum juga dipelopori oleh Abdullah bin al-Muqaffa. Ironisnya, Ibnu al-Muqaffa kemudian dihukum mati oleh penguasa saat itu dengan tuduhan sebagai seorang zindiq.[6] Saat itu, ia menyarankan kepada Abu Ja’far al-Manshur untuk menetapkan taqnin dalam sebuah surat yang ia namakan Risalah ash-Shahabah. Ia mengusulkan kepada sang khalifah untuk mengumpulkan hukum-hukum fikih dan mewajibkan para hakim menggunakannya dalam memutuskan perkara. Abu Ja’far Al-Mansur dalam suratnya menyarankan agar undang-undang civil segera di ambil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ketika tidak ada nash maka cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan umat. Ketika beliau melihat banyak terjadi perbedaan pendapat dalam satu masalah, ia berkata,”Di antara perkara yang harus diperhatikan oleh Amirul Mukminin dari urusan dua orang Mesir dan yang lainnya dari setiap kota dan pelosok wilayah adalah terjadinya perselisihan pendapat yang sudah memuncak, jika saja Amirul Mukminin dapat memerintahkan agar semua perbedaan ini bisa dihilangkan, memberikan apa yang menjadi hajat setiap kaum dari sunnah dan qiyas dengan cara menulis sebuah kompilasi undang-undang. Hal tersebut bertujuan menyatukan semua pendapat yang bisa saja salah atau benar dengan satu pendapat yang pasti benar.”
          Usul Ibnu al-Muqaffa kemudian betul-betul ditindaklanjuti oleh al-Manshur. Saat itu, sang khalifah bertemu dengan Imam Malik, salah seorang tokoh ulama besar saat itu. Sang ulama diminta oleh al-Manshur diminta untuk menyusun kompilasi hukum Islam. Namun, Imam Malik menolak permintaan itu dan berkata, “Masyarakat sudah terbiasa dengan berbagai macam pendapat. Mereka mendengar banyak hadis dan meriwayatkan banyak riwayat. Mereka mengambil pendapat yang diarahkan kepada mereka dan mengamalkannya meskipun mereka juga terbiasa dengan perbedaan pendapat di tengah para sahabat Rasulullah. Melarang mereka untuk meyakini apa yang mereka yakini adalah sesuatu yang berbahaya. Biarkan saja masyarakat apa adanya. Biarkan setiap anggota masyarakat memilih pandangan yang sesuai dengan kondisi mereka.”[7]
Di dua abad terakhir ini, di kalangan dunia Islam, memang sudah ada upaya untuk melakukan taqnin al-ahkam. Salah satunya adalah al-Fatawa al-Hindiyahyang disusun oleh para ulama India. Dalam karya itu, disusun oleh undang-undang yang berkaitan tentang ibadah, sanksi (uqubah), dan mu’amalah.  Selain al-Fatawa al-Hindiyah, ada juga al-Ahkam al-Adliyyah yang mengandung sejumlah hukum tentang jual beli, dakwaan, dan vonis. Kompilasi ini disahkan pada tahun 1869 oleh Kekhalifahan Utsmani dan memuat 1.851 masalah yang umumnya berdasarkan pada mazhab Hanafi. Kompilasi ini diberlakukan di kebanyakan negara-negara Arab hingga pada pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini kemudian tidak lagi mencukupi segala persoalan-persoalan baru yang timbul di masyarakat. Pada perkembangan berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui dan dimasukkan pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil.[8]
Di Arab Saudi saat diperintah oleh Raja Abdul Aziz, Ahmad bin Abdullah al-Qari, ketua Mahkamah Tinggi Syari’ah di Mekkah, juga menyusun suatu kompilasi hukum Islam berdasarkan mazhab Ahmad bin Hanbal. Al-Qari meringkas pandangan-pandangan hukum Imam Ahmad yang bersumber dari berbagai karya utamanya. Kompilasi ini mengandung 2.382 masalah dan diterbitkan dengan judul Majallah al-Ahkam al-Adliyyah. Sayang, para ulama saat itu ramai-ramai menolak kompilasi tersebut.[9]


Kaum kafir telah menemukan berbagai Ilmu Pengetahuan, hampir semua hasil temuan teknologi yg kita gunakan setiap hari hasil temuan kaum kafir, bahkan yang melekat dalah tubuh kita seperti HP, Pakaian, Jam, dls adalah hasil produksi orang kafir. Obat obatan yang kita makan hasil riset orang orang kafir, tapi kita membenci orang orang kafir, HAI SAUDARAKU JADI DIMANAKAH POSISI KITA SAAT INI, Mengapa kita tidak di berikan hidayah ?, Kalau Anak anak kita bertanya kepada kita, ttg orang orang kafir apa kah jawaban kita, Buktinya yang mereka lihat dan rasakan, kaum kafir itu telah banyak membawa kebajikan kepada umat manusia melalui temuan mereka diberbagai bidang kehidupan.

Mari kita merenung sejenak,  pelajari berbagai teknologi dan pelajari istilah-istilah  hukum, misalnya istilah Taqnin : Definisi dan Sejarah
          Secara etimologis, kata taqnin (تقنين) merupakan bentuk masdar dari qannana (قَنَّنَ), yang berarti membentuk undang-undang. Ibnu Mandzur menyatakan bahwa kata taqnin bukan berasal dari bahasa Arab, kata ini merupakan serapan dari bahasa Romawi yaitu kata conan, namun ada juga yang berpendapat berasal dari Bahasa Persia.[1] Seakar dengan taqnin adalah kata qanun (قََانُوْن) yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara (thariqah).[2] Dalam Kamus Munawwir dicatat bahwa kata qanun berasal dari bahasa Arab dengan asal kata qaanuun atau qānūn yang artinya kompilasi, himpunan peraturan atau Undang-undang, atau norma-norma yang telah mapan.[3] Menurut Sayyed Hossein Nasr, qanun berasal dari bahasa Yunani canon, yang juga merupakan asal dari kata canonical dalam hukum Barat.
Secara terminologis, taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan hukum-hukum dan kaidah-kaidah penetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta Jika mengungkapkannya, taqnin dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.

Dalam makna yang sempit pemakaian istilah qanun dalam Islam adalah untuk menerangkan hukum non-agama atau hukum buatan manusia, di mana hukum-hukum yang dihasilkan adalah hasil ijtihad seseorang atau sekelompok ulama dalam suatu masalah. Ini berbeda dengan definisi canon yang dalam agama Kristen menerangkan hukum agama atau hukum Gereja. Menurut Atjep Djazuli taqnin adalah kewenangan pembentukan hukum yang diserahkan kepada Negara, khususnya lembaga legislative. Dengan demikian taqnin identik dengan legislasi di mana leislasi menurut Jazuni adalah proses pembentukan hukum tertulis yang dilakukan oleh Negara.[5]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa taqnin adalah proses legalisasi fiqh (hukum) Islam ke dalam sebuah perundang-undangan yang berlaku di suatu Negara khususnya Negara dengan system hukum sipil (civil law).   
Sejarah Awal Taqnin al-Ahkam
         Taqnin al-Ahkam pada dasarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia Islam, jika kita runut jauh ke masa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam maka akan kita dapati bagaimana sebuah “undang-undang” juga telah diberlakukan pada masa beliau. Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam telah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam saat itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut, Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak ditemukan dalam sejarah hukum Islam.
          Dalam perjalanan sejarah hukum Islam selanjutnya, upaya menyatukan masyarakat dalam satu pandangan atas suatu putusan hukum juga dipelopori oleh Abdullah bin al-Muqaffa. Ironisnya, Ibnu al-Muqaffa kemudian dihukum mati oleh penguasa saat itu dengan tuduhan sebagai seorang zindiq.[6] Saat itu, ia menyarankan kepada Abu Ja’far al-Manshur untuk menetapkan taqnin dalam sebuah surat yang ia namakan Risalah ash-Shahabah. Ia mengusulkan kepada sang khalifah untuk mengumpulkan hukum-hukum fikih dan mewajibkan para hakim menggunakannya dalam memutuskan perkara. Abu Ja’far Al-Mansur dalam suratnya menyarankan agar undang-undang civil segera di ambil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ketika tidak ada nash maka cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan umat. Ketika beliau melihat banyak terjadi perbedaan pendapat dalam satu masalah, ia berkata,”Di antara perkara yang harus diperhatikan oleh Amirul Mukminin dari urusan dua orang Mesir dan yang lainnya dari setiap kota dan pelosok wilayah adalah terjadinya perselisihan pendapat yang sudah memuncak, jika saja Amirul Mukminin dapat memerintahkan agar semua perbedaan ini bisa dihilangkan, memberikan apa yang menjadi hajat setiap kaum dari sunnah dan qiyas dengan cara menulis sebuah kompilasi undang-undang. Hal tersebut bertujuan menyatukan semua pendapat yang bisa saja salah atau benar dengan satu pendapat yang pasti benar.”
          Usul Ibnu al-Muqaffa kemudian betul-betul ditindaklanjuti oleh al-Manshur. Saat itu, sang khalifah bertemu dengan Imam Malik, salah seorang tokoh ulama besar saat itu. Sang ulama diminta oleh al-Manshur diminta untuk menyusun kompilasi hukum Islam. Namun, Imam Malik menolak permintaan itu dan berkata, “Masyarakat sudah terbiasa dengan berbagai macam pendapat. Mereka mendengar banyak hadis dan meriwayatkan banyak riwayat. Mereka mengambil pendapat yang diarahkan kepada mereka dan mengamalkannya meskipun mereka juga terbiasa dengan perbedaan pendapat di tengah para sahabat Rasulullah. Melarang mereka untuk meyakini apa yang mereka yakini adalah sesuatu yang berbahaya. Biarkan saja masyarakat apa adanya. Biarkan setiap anggota masyarakat memilih pandangan yang sesuai dengan kondisi mereka.”[7]
Di dua abad terakhir ini, di kalangan dunia Islam, memang sudah ada upaya untuk melakukan taqnin al-ahkam. Salah satunya adalah al-Fatawa al-Hindiyahyang disusun oleh para ulama India. Dalam karya itu, disusun oleh undang-undang yang berkaitan tentang ibadah, sanksi (uqubah), dan mu’amalah.  Selain al-Fatawa al-Hindiyah, ada juga al-Ahkam al-Adliyyah yang mengandung sejumlah hukum tentang jual beli, dakwaan, dan vonis. Kompilasi ini disahkan pada tahun 1869 oleh Kekhalifahan Utsmani dan memuat 1.851 masalah yang umumnya berdasarkan pada mazhab Hanafi. Kompilasi ini diberlakukan di kebanyakan negara-negara Arab hingga pada pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini kemudian tidak lagi mencukupi segala persoalan-persoalan baru yang timbul di masyarakat. Pada perkembangan berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui dan dimasukkan pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil.[8]
Di Arab Saudi saat diperintah oleh Raja Abdul Aziz, Ahmad bin Abdullah al-Qari, ketua Mahkamah Tinggi Syari’ah di Mekkah, juga menyusun suatu kompilasi hukum Islam berdasarkan mazhab Ahmad bin Hanbal. Al-Qari meringkas pandangan-pandangan hukum Imam Ahmad yang bersumber dari berbagai karya utamanya. Kompilasi ini mengandung 2.382 masalah dan diterbitkan dengan judul Majallah al-Ahkam al-Adliyyah. Sayang, para ulama saat itu ramai-ramai menolak kompilasi tersebut.[9]

[1] Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab, Dar Al-Fikr : Beirut, tahun 1997, jilid XIII hal. 351
[2] Al-Mu’jam al-Wasith, juz 2, hal. 763.
[3] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Munawwir, Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Tahun 1984,  hal. 1252
[4] Mushtafa az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Am, juz 1, hal. 313.
[5] Jazuli, Ha, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam, Kiblat Press : Bandung, tahun 2002, hal. xxi
[6] Al-Bidayah wa an-Nihayah, juz 13, hal. 384.
[7] Siyar A’lam an-Nubala, juz 8, hal. 78.
[8] Manna’ al-Qaththan, at-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam, hal. 404.
[9] Kitab at-Taqnin baina at-Tahlil wa at-Tahrim, hal. 15.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook