Thursday, June 27, 2013

AWAS KETIKA PENEGAKAN HUKUM TANPA ETIKA


PENEGAKAN HUKUM 
 TANPA  ETIKA 

KATA PENGANTAR

        Antasari Azhar, menurut penulis terkena jebakan hukum, terjadi pemisahan hukum dari etikadan akhlakul  karimah. Hal yang di belakangnya ada permainan kotor yang dilakukan oleh orang mengerti hukum dan mampu mempermainkan hukum. Begitu juga Susno Duaji, telah dijebak dari belakang oleh tangan-tangan tersembunyi. Menurut analisis penulis dan sebagian pengamat lainnya.





PENDAHULUAN

 Dalam hukum Islam, tidak pernah terjadi pemisahan hukumdari etika, sehingga orang yang beretika, tidak menjadikan hukum sebagai jebakan. Keputusan hukum tanpa pertimbangan etika adalah pembuat fitnah yang sangat besar kejahatannya. Karena itu hukum dalam Islam, tidak boleh dilepaskan dari aqidah dan akhlaq.
(Drs.Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag. Riau.)




PENEGAKAN HUKUM  TANPA  ETIKA

 1.Jangan pisahkan hukum dari etika dan akhlakmulia.

             Bahkan sanksi hukum,tanpa disertai akhlak dan etika, tidak jarang ketika siswa masih dalam masa sekolah, tidak memandang pengajarnya sebagai “guru” yang harus dihormati. Sering  terjadi siswa melakukan tindak kekerasan terhadap para pengajarnya sendiri. Hukum perlindungan anak, tanpa etika dan akhlak, cenderung bersifat materialistis. Wali murid memandang guru sebagai orang yang mencari nafkah dengan mengajar anaknya. Bukan lagi sebagai orang yang “mewakili Allah” penegak hukum dan moral  mendidik anaknya.

            Sebaliknya, guru pun memandang siswa bukan lagi sebagai “amanah Allah “ yang harus dbina dan ddidik. Namun sebagai “komoditi” untuk mendapatkan berbagai keuntungan yang bersifat material. Dengan demikian, hubungan antara “guru” dan “murid’ telah termaterialisasi menjadi hubungan ekonomi. Wali murid membayar guru agar mau mempersiapkan dirinya untuk memasuki dunia kerja. Sementara guru  guru pun mengajar muridnya dengan tujuan utama untuk mendapatkan gaji, tunjangan ataupun insentif. Bukan lagi untuk tujuan ibadah.

               Dalam kurun seribu tahun lebih, masyarakat muslim tmengembangkan tatakrama/etika pendidikan yang khas. Dengan landasan etika ini, muncul ilmuwan muslim yang bukan hanya memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni, namun juga kapasitas akhlak yang memukau. Berikut ini beberapa etika guru dalam hubungannya dengan murid dalam komunitas ilmuwan Islam yang sebagian dnukilkan dari kitab, “ Adabul ‘Alim wal Muta’allim” oleh Syaikh Hasyim Asy’ari.

      Pertama, Seorang guru dalam mengajar muridnya hendaklah berniat semata-mata untuk menggapai ridho Allah SWT. Bukan menjadikan ilmu sebagai alat/komoditi perekonomian.
    Etika ini berangkat dari hadist Rasulullah SAW,” Amal itu hanya tergantung dari niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan dari apa yang diniyatkannya” ( H.R. Bukhari dan Muslim ).

          Khidupan  kapitalis dan materialis saat ini, masih ada lembaga-lembaga pendidikan  yang konsisten dengan doktrin keikhlasan ini. Bahkan di Syiria, Makkah, Pakistan, India dan beberapa bagian  dunia masih banyak ditemui lembaga-lembaga pendidikan yang membebaskan muridnya dari biaya pendidikan. Bahkan  di Makkah, bukan hanya membebaskan mahasiswanya dari biaya, namun juga memberi mereka uang saku. Di Syiria, seorang Syaikh bahkan memberikan beasiswa bagi mahasiswanya di mana beasiswa tersebut mencukupi untuk menghidupi seorang mahasiswa beserta isteri dan anaknya.

           Kedua, walaupun seorang  murid harus ikhlas dalam menuntut ilmu, namun seorang guru hendaknya tetap mengajar mereka sambil terus membimbing mereka untuk ikhlas dalam menuntut ilmunya. Seorang Ulama berkata, “ Kami dahulu menuntut ilmu dengan tidak ikhlas, namun akhirnya kami bisa ikhlas karena keberkahan ilmu kami”.
            Ketiga, seorang guru hendaknya mencintai muridnya sebagaimana seorang guru mencintai dirinya sendiri. Seorang guru hendaknya juga tidak menyukai sekecil apapun musibah menimpa muridnya sebagaimana ia tidak menyukai jika musibah tersebut menimpa dirinya.
           Keempat, seorang guru hendaknya bersikap kepada muridnya dengan baik dan santun. Syaikh Hasyim Asy’ari bahkan mengatakan bahwa seorang guru hendaknya bergaul dengan muridnya sebagaimana ia bergaul dengan anak-anak kandungnya yang paling baik.

            Jika seorang murid lemah semangatnya, seorang guru hendaknya  tidak bosan-bosan untuk memberikan motivasi. Jika seorang murid terlalu bersemangat, seorang guru hendaknya bias mengenalikan semangat tersebut agar tidak menimbulkan kebosanan. Dan jika seoran murid bersalah, seorang guru sebisa mungkin memaafkan dan membimbing kea rah yang lebih baik.

          Namun ada satu hal yang perlu diperhatikan oleh seorang guru. Jika seorang murid melakukan seringkali  kesalahan dan menularkan kesalahan dan pembangkangan tersebut kepada teman-temannya, maka seorang guru tidak perlu ragu untuk mengeluarkan muridnya tersebut dari majelisnya. Hal ini demi menjaga murid-murid yang lain dari pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh murid yang membangkang tersebut. Walaupun demikian, seorang guru hendaknya tetap mendoakan murid yang  dikeluarkan tersebut agar ia mendapatkan jalan yang lurus suatu saat nanti.

          Kelima, seorang guru dalam mendidik dan mengajar menerapkan doktrin “ Selama sesuatu bisa dipermudah, hendaknya dipermudah. Bukan dipersulit”. Karena itu, seorang guru  hendaknya mengajar dengan kata-kata serta metode yang mempermudah pemahaman muridnya. Bukan mengejar hal-hal yang dianggap canggih, namun justru mempersulit muridnya dalam belajar.

            Keenam, seorang guru hendaknya memiliki tekad yang kuat untuk mengantarkan muridnya untuk mengantarkan muridnya memahami pelajaran. Bahkan untuk mengantarkan muridnya mencapai kesuksesan di masa depan. Bukan sekedar memenuhi kewajiban terhadap jam pelajaran dan setelah itu selesai.

           Ketujuh, Seorang guru      hendaknya banyak memperhatikan keadaan muridnya dan selalu mendoakan keselamatan mereka meskipun muridnya tersebut sudah tidak lagi belajar kepadanya. Karena itulah, tidak berlebihan jika dalam sebuah riwayat, ada seorang ilmuwan Islam yang menghabiskan nyaris seluruh malamnya untuk mendoakan kesuksesan bagi murid-muridnya di masa depan.

             Satu hal lagi, seorang guru janganlah sekali-kali mendoakan keburukan menimpa muridnya. Betapapun mereka telah menyakiti dirinya. Hal ini sebagaimana diteladankan oleh Rasulullah SAW ketika beliau ditolak dan disakiti oleh penduduk Thaif. Beliau tidak mengutuk mereka. Malah beliau mendoakan agar mereka mendapatkan petunjuk dari Allah SWT.


GURU BUKAN DITAKUTI
CUKUP HANYA, DISYANGI
TAMBAH LAGI, DISEGANI
PENDIDIKAN, SANGAT BERARTI

GURU JANGAN, RINGAN TANGAN
SALAH SEDIKIT,KENA PUKULAN
PERBNYAKLAH, MEMBERI PUJIAN
CALON PEMIMPIN, DIPERSIAPKAN

       Kadang-kadang guru kini bukan lagi untuk digugu dan ditiru melainkan untuk ditakuti. Para guru ringan tangan itulah yang berhasil menciptakan citra tersebut, dimana tangan dan penunjuk papan tulis bukan lagi alat untuk mengajar, melainkan untuk menghajar. Seperti banyak kasus penganiayaan yang dilakukan para guru terhadap muridnya yang masih sering hingga saat ini. Seperti yang terjadi di Banyumas,Jawa Tengah, Jumat, 24 Februari lalu, seorang guru diduga menendang dan memukul siswanya di kantin, dikarenakan siswa tersebut tidak mengikuti pelajaran tambahan. Kejadian itu menimpa Adam Bisno, murid kelas 9 di SMP Negeri 2 Baturraden Banyumas.
        Berikut ini, penulis kutip alasan guru menghukum dengan menyakiti Murid secara fisik adalah agar memberi efek jera terhadap murid-murid yang melanggar tatatertib. Namun sangat disayangkan, hukuman fisik yang diberikan tidak hanya meninggalkan bekas luka ditubuh namun juga meninggalkan efek buruk secara psikologis. Pukulan, cambukan atau cubitan yang diberikan guru memicu anak untuk memberontak dan berbohong. Mengapa berbohong? Ya, si anak akan berbohong karena untuk menghindari hukuman berat yang akan menimpanya apabila diketahui telah melanggar peraturan. Selain itu, memberikan pukulan hingga meninggalkan bekas luka akan mengakibatkan si murid dendam terhadap gurunya. Sudah tentu secara psikologis itu adalah sebuah penyimpangan.
          Sebuah studi berjudul Issue of Child Development yang dilakukan oleh Victoria Talwar dan Kang Lee pada bulan November 2011 lalu menjelaskan bahwa anak-anak usia 3-4 tahun yang tumbuh dalam lingkunganyang penuh dengan hukuman akan membuat mereka lebih sering berbohong. Studi ini disusun berdasarkan penelitian yang melibatkan murid sekolah di Afrika Barat, negara yang memiliki sejarah dimana para murid mengalami kekerasan dan hukuman fisik. Penelitian ini memilih sampel dari sekolah swasta yang masih menerapkan hukuman fisik, dan sekolah swasta lain yang tidak menggunakan hukuman fisik. Hasilnya, di sekolah swasta yang menerapkan sistem hukuman fisik, sekitar 90 % anak berbohong dan mengatakan bahwa mereka tidak melihat mainan tersebut. Sedangkan di sekolah yang tidak menggunakan hukuman fisik ini, hanya setengah dari mereka yang berbohong.
         Memang benar apabila anak dianggap berperilaku buruk dan tidak mengindahkan larangan guru, hukuman pantas diberikan sebagai bagian dari pendidikan anak. Memberikan sangsi anak agar menjadi jera terhadap perilaku buruk mereka merupakan salah satu solusi yang bisa dilakukan para guru. Tetapi hukuman tidak harus bersifat fisik atau kekerasan seperti pukulan, cubitan, cambukan atau hal lain yang malah membuat anak bertindak lebih kasar dan berbohong untuk menghindari hukuman. Hukuman dapat kita berikan melalui penguatan negatif yang kita berikan. Teori bihaviorisme Skinner menyatakan bahwa di dalam pembelajaran terdapat pengkondisian operan. Pengkondisian operan adalah sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari prilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas prilaku itu akan diulangi (Margaret E. Bell Gredler, hlm 122). Teori tersebut juga menyatakan bahwa pembelajaran pada anak terdapat 2 unsur penting yaitu hukuman dan penguatan. Hukuman fisiklah yang sangat dihindari Skinner dalam metodenya. Sebagai pengganti untuk mengatasi siswa-siswa yaitu dengan penguatan, baik positif maupun negatif.
        Penguatan positif betujuan meningkatkan sisi baik yang siswa berikan. Misalnya siswa tepat waktu atau dengan baik telah mengumpulkan tugas, maka bentuk-bentuk penguatan positif yang diberikan diantaranya berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A, Juara 1 dsb). Dengan begitu siswa akan terangsang untuk melakukannya lagi. Namun apabila siswa melanggar peraturan, bertindak nakal atau tidak mengerjakan tugas, para guru dapat memberikan penguatan negatif. Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll). Dengan memberikan respon yang tidak menyenangkan tersebut akan menyadarkan siswa untuk tidak melakukan kenakalan atau pelanggaran lagi.


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook