Thursday, June 20, 2013

CATATAN PERUBAHAN HUKUM


CATATAN  PERUBAHAN HUKUM

           Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi hukum Islam yang telah berjalan berabad-abad telah mempunyai akar yang kuat dalam berbagai aspeknya. Lebih jauh, baca misalnya Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Jakarta: Teraju, 2003), 70
            [Jawahir Thontowi, Pesan Perdamaian Islam (Yogyakarta: Madyan Press, 2001), 133. Baca juga misalnya idem, Islam, Politik, dan Hukum: Esai-Esai Ilmiah untuk Pembaruan (Yogyakarta: Madyan Press, 2002), 188.



CATATAN  PERUBAHAN HUKUM


KATA PENGANTAR

        Antasari Azhar, menurut penulis terkena jebakan hukum, yang di belakangnya ada permainan kotor yang dilakukan oleh orang mengerti hukum dan mampu mempermainkan hukum. Begitu juga Susno Duaji, telah dijebak dari belakang oleh tangan-tangan tersembunyi. Menurut analisis penulis dan sebagian pengamat lainnya.

PENDAHULUAN

 Dalam hukum Islam, orang yang menjadikan hukum sebagai jebakan, adalah pembuat fitnah yang sangat besar kejahatannya. Karena itu hukum dalam Islam, tidak boleh dilepaskan dari aqidah dan akhlaq.








BAB      I

HUKUM YANG TERUS BERUBAH

       Dalam konteks ini, dapat difahami kenapa kata iman di dalam Al-Qur’an seringkali disandingkan dengan kata ‘amal saleh;[1] dan sekaligus bisa dipahami ungkapan: al-‘ilm bi-la ‘amal, ka al-shajar bi-la thamar (ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah).[2] Dengan demikian bisa dikatkan bahwa hukum Islam “peduli” dunia sekaligus akhirat, karena mengusung nilai-nilai ketuhanan yang universal dan dikemas berdasarkan realita local. Persoalan muncul ketika istilah-istilah Latin tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab atau bahasa kitab kuning (kutub al-Sakhra’). Ternyata tidak semua orang sepakat, sebagian mengatakan bahwa istilah-istilah tersebut dalam literature Arab dikenal dengan istilah shari’ah, sementara sebagian yang lain mengatakan fiqh[3].Di sini persoalan menjadi krusial.

        Secara luas syari’ah diartikan dengan “totalitas perintah-perintah Allah”.[4]  Dalam pengertian ini, syari’ah dapat diidentikkan dengan agama itu sendiri yang semua persoalan, baik teologi, etika, maupun hukum tercover di dalamnya. Sedangkan secara sempit diartikan sebagai “aturan-aturan (di luar teologi dan etika) yang ditetapkan oleh Allah untuk dipedomani manusia dalam berhubungan dengan-Nya dan semua makhluk lainnya.” [5] Di sisi lain, fiqh pada mulanya berarti “pemahaman dalam pengertiannya yang luas.”

           Kemudian dibatasi hanya pada pemahaman yang berkaitan dengan hukum.[6] Oleh karenanya, menurut salah satu definisi, fikih diartikan sebagai “himpunan hukum-hukum yang bersifat praktis yang dipahami dari dalil-dalil spesifik.[7]Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa shari’ah adalah aturan Allah yang bersifat absolut, kekal-abadi, suci dan sakral karena merupakan aturan atau wahyu dari Allah. Sebagai wahyu, shari’ah belum tersentuh oleh pemahaman manusia, dan karenanya ia masih bersifat universal, ideal, statis, tunggal dan belum operatif.

            Sedangkan fiqh adalah ilmu tentang shari’ah (the science of shari’ah). Jadi, fiqh termasuk dalam kategori sebuah ilmu, dan sebagai sebuah ilmu maka fiqh bersifat relatif, temporal dan profan yang rumusan-rumusannya sangat dipengaruhi oleh kondisi tempat dan waktu, plural, dinamis, dan operatif. Pengertian shari’ah dan fiqh ini menjelaskan apa yang dalam ilmu agama disebut sebagai perbedaan sekaligus relasi antara universalitas-globalitas dan pluralitas-lokalitas, serta sakralitas dan profanitas.

           Bertolak dari paparan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa jika yang dimaksud hukum Islam itu adalah semua sistem tatanan yang mengatur kehidupan orang-orang Islam, individu maupun kelompok, dahulu maupun sekarang, atau mungkin yang akan datang, maka ia tidak diragukan lagi adalah fiqh. Alasannya adalah karena semua karakteristik fiqh sbagaimana telah disebutkan cocok dengan kenyataan pada apa yang disebut sebagai “hukum Islam”. Berbagai kajian tentang sejarah hukum Islam menunjukkan bahwa hukum Islam (fiqh), dalam rentang sejarahnya, tidak betul-betul terbebas dari pengaruh faktor-faktor sosial maupun kultural yang melingkupinya.[8] 

          Hal ini tercermin dalam praktik hukum Islam di dunia Islam modern. Hukum Islam, baik pidana maupun perdata, yang berlaku di beberapa negara Islam saat ini menunjukkan dinamika dan perbedaan yang cukup berarti antara satu negara dengan negara lainnya.[9]Berdasarkan kenyataan tersebut di atas pula, maka pernyataan yang mengatakan bahwa hukum Islam “berada di luar dan di atas fakta-fakta kehidupan sosial,”[10] secara historis dan sosiologis, terbukti tidak tepat. Meskipun benar adanya bahwa hukum Islam itu bersumber dari Tuhan yang bersifat mutlak. Harus dicatat bahwa kebenaran itu hanya sejauh menyangkut hukum Islam pada tataran ontologis bukan pada tataran praksis. Sebab pemahaman dan cara pandang yang terlalu menekankan aspek transendental dari hukum Islam juga bisa menimbulkan citra yang tidak kondusif bagi eksistensi hukum Islam di dunia modern, termasuk Indonesia. Image yang akan muncul dari cara pandang seperti ini adalah bahwa hukum Islam itu, kolot, rigid, dan tidak bisa mengakomodasi perubahan dan pluralitas yang terjadi pada masyarakat.
              Indonesia, seperti ditegaskan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 pada bagian “Sistem Pemerintahan Negara,” ialah negara yang berdasarkan atas hukum. Ada dua tradisi hukum yang dipakai oleh negara-negara di dunia: Eropa Kontinental dan Anglo Saxon. Kedua tradisi ini memiliki karakteristik masing-masing namun mencerminkan esensi yang sama, yakni bahwa kehidupan bernegara harus diatur oleh hukum. Dilihat dari karakteristiknya yang ada, negara hukum Indonesia tampaknya lebih condong kepada tradisi Eropa Kontinental (rechsstaat).[11]

             Salah satu ciri dari tradisi ini adalah dianutnya sistem hukum civil law yang mengkonsepsikan hukum sebagai peraturan yang dibuat oleh badan legislatif. Jadi, hukum adalah identik dengan undang-undang itu sendiri (enacted law).[12] Norma-norma atau kaidah yang lain, selama belum ditetapkan sebagai undang-undang oleh badan yang berwenang, tidak bisa disebut hukum.[13]Seperti diketahui, karakteristik yang menonjol dari kultur hukum yang ada di Indonesia adalah adanya pluralisme hukum (legal pluralism). Secara garis besar ada tiga jenis hukum yang berlaku di Indonesia: hukum Barat, hukum adat, dan hukum Islam.[14]

             Kodifikasi dan unifikasi hukum dimaksudkan untuk menekan kultur pluralisme hukum yang ada ke tahap yang serendah mungkin dan sebaliknya untuk mendukung terciptanya satu hukum nasional. Dari uraian di atas, kita bisa mengetahui bahwa dalam politik hukum Indonesia dan sekaligus dalam konteks negara kebangsaan yang plural, norma-norma hukum Islam, meskipun dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, tidak dengan sendirinya menjadi hukum nasional. Hukum Islam, seperti juga hukum adat, posisinya baru merupakan “bahan mentah” (raw material) bagi pembangunan hukum nasional. Oleh karenanya, hukum Islam baru dapat dijadikan sebagai norma hukum nasional manakala ditetapkan menjadi undang-undang.

         Tantangan Hukum Islam di Indonesia, terdapat pada salah satu rumusan arah kebijakan pembangunan hukum di dalam GBHN 1999, antara lain disebutkan:

Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial yang diskriminatif, termasuk ketidak adilan gender dan tidak sesuai dengan tuntutan reformasi melaluiprogram legislasi(Bab IVA. 2).Dari arah kebijakan tersebut dapat dicatat beberapa hal:
  1. Sumber hukum  nasional tidak tunggal. Menurut Qadry Azizy, sumber hukum nasional ada tiga:  Agama, Hukum Adat dan Hukum Barat.[15]
  2. Masih ada, bahkan banyak hukum nasional yang merupakan warisan kolonial, sehingga tidak relevan lagi dengan era reformasi sekarang ini. Diantara warisan kolonial tersebut adalah KUH Piana dan KUH Perdata.
  3. Pembaharuan hukum dilakukan melalui legislasi, yaitu suatu proses untuk menghasilkan peraturan perundang-undangan yang ditempuh secara prosedural dan demokratis.
             Peluang suatu ajaran agama untuk menjadi sumber hukum nasional tergantung pada dua hal. Pertama, secara internal, sejauh mana suatu agama memiliki ajaran yang bisa diadopsi untuk menjadi hukum nasional. Jika sebuah agama memang tidak memiliki sistem hukum yang dapat diadopsi, ia maksimal hanya akan menjadi kekuatan moral, tidak dapat menyumbangkan formula hukum untuk diadopsi menjadi hukum nasional. kedua , sejauh mana agama itu dianut oleh masyarakat. Jika ia dianut oleh mayoritas masyarakat, secara politis, ia akan menjadi kekuatan perekat.[16]
Dalam Al-Qur’an, menurut al-Suyuti terdapat tidak kurang dari 500 ayat yang mengandung perintah hukum.[17] Namun, kesiapan materi hukum Islam tersebut di Indonesia dapat dikatakan belum mendapat tempat yang signifikan dalam tata hukum nasional. Hal ini dikarenakan beberapa hal. Pertama, Indonesia dijajah oleh bangsa Asing selama berabad-abad. Implikasinya sangat telak bagi perjalanan bangsa selanjutnya, termasuk perjalan hukumnya.

        Akibatnya terciptanya dua dunia yang seolah-olah berbeda sama sekali, yaitu dunia hukum Islam dan dunia hukum umum. Padahal seharusnya tidaklah demikian. Hukum Barat maupun hukum Islam sama-sama hukum. Apalagi hukum Islam juga diakui sebagai salah satu sistem hukum di dunia disamping Roman Law dan Anglo Saxon.[18] Sedangkan syarat kedua, bahwa agama yang ajaran hukumnya akan dijadikan hukum [19]nasional seyogianya dianut oleh mayoritas masyarakat, secara formal telah dipenuhi oleh Islam. Syarat demikian ini selain penting secara politis sebagai daya perekat, juga secara sosiologis, agama dapat dipandang sebagai hukum yang hidup (living law). [20]
           Konsepsi mengenai hukum yang hidup (living law) kali pertama dikemukakan oleh mazhab Sociological Jurisprudence,[21] yang dimotori oleh Roscoe Pound dan Eigen Ehrlich. Menurut mazhab ini,[22] secara umum, hukum dapat dilihat baik sebagai law in books maupun sebagai law in action. Law in books (hukum tertulis) merupakan suatu fenomena normatif otonom yang berupa kumpulan norma-norma yang mengatur hubungan-hubungan dalam masyarakat, dan law in action atau living law diartikan sebagai suatu gejala sosiologis yang berupa interaksi antara norma-norma otonom tersebut dengan faktor-faktor sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain, law in actionadalah hukum yang berlaku dalam masyarakat yang sifatnya konkrit dijelmakan dalam tingkah laku para anggotanya.[23]
          Peraturan perundang-undangan tertulis (law in books) seyogyanya sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat (law in action). Hukum yang demikian lebih mudah diterima oleh masyarakat. Konsep law in book (hukum tertulis/fenomena normatif) dan law in action (gejala sosiologis) ini pada dasarnya menjelaskan apa yang dalam ilmu agama disebut sebagai perbedaan sekaligus relasi antara normatifitas dan historisitas, serta globalitas-universalitas dan pluralitas-lokalitas.[24]

               Selanjutnya, ilustrasi pasang-surut upaya legislasi hukum Islam dalam dinamika sejarah ketatanegaraan Indonesia yang belum sepenuhnya berhasil tersebut, setidaknya memberikan pelajaran (hikmah) yang sangat berharga kepada kita, yaitu: pertama, bahwa realitas empiris bangsa Indonesia adalah plural tidak tunggal. Benar adanya, bahwa mayoritas bangsa Indonesia adalah kaum muslimin namun aspirasi dan cara pandang terhadap obyek persoalan yang sama ternyata beragam. 
            Hal demikian nampak jelas dari dua kelompok besar organisasi Islam di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan NU yang enggan mendukung upaya formalisasi syari’at Islam tersebut. [25] Kedua, berkenaan dengan soal hukum Islam itu sendiri. Hukum Islam versi siapa yang hendak dipositifkan dalam hukum nasional. Secara obyektif, di Indonesia menganut paling kurang empat mazhab besar anutan hukum Islam, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Keempatnya berdimensi plural. Menambah khazanah keilmuan kalangan internal umat Islam sendiri.

 Gagasan dan Gerakan Ekonomi Syari’ah
Sejumlah ulama dan cendekiawan muslim Indonesia mulai melihat fakta bahwa sistem ekonomi kapitalis dan sosialis tidak bisa diharapkan terlalu banyak, karena telah terbukti dampak buruk dari kedua sistem ekonomi ini. Mereka pun berfikir perlu dikembangkannya sistem ekonomi alternative selain dua sistem ekonomi tersebut. Setidaknya ada dua upaya yang dilakukan, yaitu :
1. Mengombinasikan dua sistem ekonomi tersebut ke dalam sistem ekonomi baru, seperti yang telah dikembangkan oleh China selama dua dekade ini; dan
2. Memunculkan sistem ekonomi yang benar-benar berbeda dari semangat kedua sutistem ekonomi terdahulu.
Ternyata upaya yang kedua diatas yang menjadi pilihan sebagai pintu masuk bagi sistem ekonomi syariah di Indonesia.
Pada mulanya pihak-pihak yang meyakini dan memperjuangkan sistem ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi alternatif yang berkeadilan dianggap sebagai “igauan” yang menjadi bahan cemoohan. Sikap optimis bahwa sistem ekonomi syariah dapat menutupi kelemahan dan kekurangan sistem ekonomi kapitalis atau sosialis/komunis dianggap sebagai ide yang berlebihan dan bahkan dianggap sebagai sebuah pernyataan bombastis-idealistis. Kondisi seperti ini merupakan fakta sejarah yang terjadi di negara-negara Islam, tidak terkecuali di Indonesia. Sampai dengan awal tahun 1990an cemoohan dan pandangan sinis terhadap pihak-pihak yang gigih memperjuangkan sistem ekonomi syariah masih nyaring terdengar. Namun pelan-pelan perjuangan untuk pengakuan sistem ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi alternatif mulai diterima.
Kebijakan politik di Indonesia memberikan dukungan pertama kali dengan legislasi UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memungkinkan beroperasinya bank dengan sistem bagi hasil (pasal 6). UU ini kemudian dirubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara eksplisit menyebutkan istilah "bank berdasarkan prinsip syariah".
Terbitnya UU No. 10 Tahun 1998 tersebut, menjadi moment penting bagi dimulainya gerakan ekonomi syariah di Indonesia. Setelah itu, gerakan ekonomi syariah terus digaungkan dan diperjuangkan oleh para aktivis ekonomi syariah, baik para ulama, akademisi maupun praktisi tidak kenal lelah. Gerakan ini pun menggelinding bagaikan gerakan bola salju yang semakin membesar yang tidak dapat terbendung lagi. Terus dikawal oleh lembaga-lembaga yang lahir dari gerakan ini, seperti Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), dan sebagainya. Gerakan dan perjuangan ekonomi syariah ini kemudian melahirkan lembaga-lembaga teknis di lingkungan pemerintah, seperti Direktorat Perbankan Syariah di Bank Indonesia, Direktorat Pembiayaan Syariah di Departemen Keuangan, dan berbagai biro di Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM).
Gerakan ini juga melahirkan sejumlah undang-undang dan peraturan perundangan lainnya, misalnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Berbagai Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Bapepam, dan peraturan-peraturan lainnya. Di samping itu, gerakan ini juga melahirkan lembaga-lembaga keuangan syariah meliputi: perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, pembiayaan syariah, pasar modal syariah, bursa komoditi syariah, bisnis syariah, dan sebagainya.
Lahirnya Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari?ah adalah merupakah langkah politik hukum yang luarbiasa dalam melengkapi kelembagaan “hukum” untuk mewujudkan gerakan ekonomi syari?ah di Indonesia, sehingga kini gerakan ekonomi syari?ah riil mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.
Urgensi Pembaruan Hukum Ekonomi Syari’ah
Perkataan ekonomi berasal dari bahasa Latin : Oikonomia. Kata oikonomia terdiri dari dua kata oikos yang berarti rumah-tangga, dan nomos artinya mengatur. Sehingga secara literar oikonomia diindonesiakan menjadi ekonomi, diartikan hal-hal yang berkaitan dengan mengatur rumah-tangga. Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan ilmu ekonomi adalah ilmu untuk mengatur rumah-tangga.
Dalam tataran masyarakat internasional-global menterjemahkan kata ekonomi dengan pengertian management of householt or estate (tata laksana rumah tangga atau kepemilkan) yang kemudian diartikan sebagai suatu ilmu bagaimana cara tiap individu atau segolongan masyarakat bertindak dalam proses produksi, konsumsi dan alokasi barang dan jasa untuk memuaskan kebtuhan yang tidak terbatas jumlanya dengan sumber-sumber yang terbatas jumlahnya.
Dalam literatur Arab, ilmu ekonomi disebut dengan ilmu al-iqtishad yang diambil dari kata qashada, yaqshudu, qashdan yang berarti niat, maksud, tujuan, atau jalan lurus. Selain itu dari akar kata Al-Qashdu kemudian menjadi kata al-muqtashid, yang berarti penghematan dan kesederhanaan (economze-simplicty), dalam arti inilah padanan kata ekonomi yang tepat dalam bahasa arab.
Perkataan syari?ah dari bahasa Arab seracara etimologi kata syari?ah berarti “jalan ke sumber air” atau “tempat orang-orang bisa minum”. Orang Arab sendiri menggunakan istilah ini dengan arti “ jalan setapak menuju sumber air yang tetap dan diberi tanda yang jelas sehingga tampak oleh mata”. Mahmud Syalthut mendefinisikan syari?ah sebagai “Peraturan-peraturan yang diciptakan Allah agar menjadi pegangan bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya”. Dari penggabungan dua kata “ekonomi” dan “syari?ah” tersebut yang dimaksudkan adalah produk keuangan/transaksi ekonomi yang dilihat dari berbagai sudut pandang kislaman terutama aspek hukum atau syari?ahnya. Dari itu kegiatan ekonomi dalam Islam harus berlandaskan pada nilai-nilai ilahiyyah dengan perpaduan antara pencurahan tenaga dan pikiran yang dimiliki manusia dengan wahyu (Al-Qur-an) yang bersumber dari Allah SWT sehingga kegiatan ekonomi dalam Islam mempunyai keseimbangan antara dua dimensi alam yaitu dunia dan akhirat. Karena adanya dua faktor yaitu dimensi insaniyah dan dimensi ilahiyat dalam sistem ekonomi Islam, maka ekonomi Islam lebih akrab disebut “ekonomi syari?at”.
Dalam perspektif fikih, kegiatan perekonomian termasuk bagian dari mu?ammalah. Dalam perspektif methodologi (ushul fikih), masalah-masalah mu?ammalah adalah bagian dari masalah-masalah “taaqquli” yang menjadi domain ummat untuk merekayasa sistem dan tekniknya, sehingga sistem maupun hukum ekonomi syari?ah senantiasa menerima perkembangan dan berubahan, “qoobilun li al-taghyir wa al-niqas wa tajdiid” agar bersifat dinamis sejalan dengan arus perubahan zaman yang melingkupi kehidupan ummat manusia. Walaupun demikian kebebasan melakukan perubahan dan pembaruan tersebut tidak mutlak tetapi ada batasan-batasan syar?i yang bersifat universal. Dalam kaitannya dengan ini kaidah yang terkenal: “taghayyur al-hukmi bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwâl wa al-niyyât wa al-„awâid“(perubahan fatwa hukum karena perubahan zaman, tempat, kondisi, niyat dan adat kebiasaan).
Kaidah ini menunjukkan karakteristik fikih (hukum Islam) yang fleksibel dan kontekstual terutama dalam menjawab persoalan-persoalan baru dan yang terbarukan (al-masail al-jadidah wa al-mustajaddah). Kaidah ini sekaligus menegasikan anggapan sebagian orang bahwa hukum Islam (fikih) merupakan suatu yang sakral yang tidak mungkin berubah.
Fikih memang sering dipahami oleh sebagian masyarakat Islam Indonesia sebagai hukum yang sepenuhnya baku bahkan diasumsikan sama kuat dan sakralnya dengan nushush syari?yyah yang terdapat dalam al-Qur'an. Padahal tidaklah demikian, pembaruan hukum Islam (fikih) merupakan suatu keniscayaan, karena teks al-Qur'an maupun al-Haditsh sudah berhenti, sementara masyarakat terus berubah dan berkembang dengan berbagai permasalahannya.
Para ulama menjelaskan hal ini dengan ungkapan: li anna an-nushus mahdudah walakin al-hawadits wa an-nawazil ghair mahdudah, aw li anna an-nushus tatanaha walakinal-hawadits wa an-nawazil la tatanaha, (Sesungguhnya nash itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang timbul tidaklah terbatas, atau karena sesungguhnya nash itu telah berhenti sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti). Untuk keperluan ini para ulama sudah cukup menyediakan landasan metodologi (manhaj) yang kokoh.
Di era yang sangat cepat perubahannya ini sebagai akibat kemajuan di bidang industri, perdagangan, jasa, kontrak perjanjian, teknologi, komunikasi, dan lain-lain. Di antara faktor-faktor yang mendorong mendesaknya pembaruan hukum Islam dewasa ini antara lain:
1. Perubahan sosial, yang meliputi perubahan budaya, ekonomi dan politik pada masa kini mengharuskan para ahli hukum Islam (fuqoha) untuk melakukan telaah ulang terhadap pendapat-pendapat ulama terdahulu yang tidak sesuai lagi dengan konteks sosial saat ini.
2. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berpengaruh terhadap upaya mencari pendapat yang lebih kuat (rajih) di antara pendapat-pendapat yang berkembang dalam fikih klasik di mana pada masa klasik ilmu pengetahuan dan teknologi belum berkembang pesat, khususnya ilmu-ilmu eksakta. Dengan bantuan ilmu dan teknologi, para ahli hukum Islam (fuqoha) dapat menelaah kembali ketentuan hukum-hukum lama yang telah menjadi diskursus pada abad pertengahan untuk dikontekstualisasikan dengan kondisi kekinian jauh lebih kompleks. Pada saat ini, penentuan pendapat yang lebih kuat (rajih) tidak hanya didasarkan pada argumen tekstual dengan pendekatan deduktif, atau bahkan sekedar pendekatan madzhab fikih ansich, tetapi juga relevansinya dengan perubahan masyarakat.
3. Tuntutan perkembangan zaman mengharuskan para ahli hukum Islam (fuqoha) kontemporer untuk melihat kompleksitas masalah kontemporer dan memilih pandangan-pandangan dan fatwa hukum yang lebih memudahkan (taisir) dan menghindari kesulitan (al-haraj) dalam hukum-hukum furu?, baik dalam masalah ibadah maupun muamalat.
4. Munculnya kasus-kasus baru dan yang terbarukan mengharuskan adanya ijtihad baru karena masalah-masalah tersebut belum pernah dijawab oleh para fuqaha klasik.
Pembaharuan Hukum Ekonomi Syari’ah Kontemporer
Kehadiran ekonomi syari?ah di Indonesia tidak hanya semata-mata meperkaya khazanah intelektual para ilmuwan, tetapi juga turut serta menjadi solusi terbaik bagi perkembangan dan pembangunan suatu negara, karena ia menjadi alternatif sistem perekonomian tidak saja di Indonesia tetapi juga dunia dan kelanjutan peradaban umat manusia. Hanya saja ekonomi Islam itu harus terus dikaji secara mendalam sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa harus melanggar norma-norma atau etika yang diajarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Karena itu Ijtihad atau fatwa ulama mempunyai perananan penting untuk menjawab permasalahan-permasalahan baru yang timbul seputar masalah ekonomi syaria?ah. Sebab sistem dan kegiatan perekonomian yang terjadi saat ini seakan-akan tidak terjamah oleh konsep-konsep fikih klasik yang telah ada sehingga terjadi kesenjangan antara realitas masa kini dengan konsep-konsep fikih klasik. Pada proporsi seperti inilah mutlak diperlukan adanya rekonstruksi-dekonstruksi pemikiran diakibatkan adanya tuntutan dan kebutuhan zaman.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam bidang keagamaan yang terkait dengan kepentingan umat Islam Indonesia telah membentuk satu dewan syari?ah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk bank dan lembaga-lembaga keuangan syari?ah. Lembaga itu dikenal dengan nama Dewan Syari?ah Nasional (DSN-MUI) yang berdiri pada tanggal 10 Pebruari 1999. Lembaga ini merupakan salah satu institusi berscala nasional yang dijadikan payung bagi semua pihak dalam mengemban tugas mengawasi, mengarahkan dan mendorong tumbuh kembangnya lembaga-lembaga keuangan syari?ah agar kegiatan perekonomian dan keuangan lembaga syari?ah tersebut sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dengan demikian produk hukum dalam bentuk fatwa DSN-MUI memiliki kredibitas tinggi karena merupakan hasil ijtihad kolektif sehingga telah menghapus kesan selama ini bahwa ijtihad hukum tentang ekonomi syari?ah dilakukan oleh mujtahid tertentu (fardhi) yang bersifat informal. Padahal ijtihad dalam era modern ini perlu melibatkan para ahli yang berkompeten dan memiliki kemampuan luarbiasa dalam melahirkan sebuah hukum serta perlu pula bekerjasama dengan pemerintah sehingga dapat diperlakukan sebagai perundang-undangan. Jika tidak demikian maka hasil ijtihad tersebut hanya akan bersifat teoritis semata dan bahkan mungkin akan terjadi benturan pendapat antara pemerintah dengan mujtahid.
Kemudian untuk menyokong kredibilitas kedudukan Dewan Syari?ah Nasional (DSN) sebagai lembaga yang berkompeten dibidang fatwa hukum ekonomi syari?ah, maka Pemerintah telah mengundangkan Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998, dengan undang undang tersebut maka fungsi fatwa DSN-MUI lebih otoritatif sekaligus merupakan positivisasi terhadap hasil ijtihad sehingga dipandang mengikat semua pihak, antara lain Bank Indonesia dan pihak-pihak terkait lainnya untuk menerima bagian dari jalan Islam dalam bidang ekonomi Islam di Indonesia.
Prinsip-prinsip Umum Fatwa DSN Majelis Ulama Indonesia
Prinsip fatwa DSN-MUI dalam tataran teoritis memang tidak dimaksudkan untuk melakukan pembaruan hukum ekonomi Islam dalam arti menciptakan hukum baru yang sama sekali tetapi lebih pada menguji validitas „illah yang terhadap dalam kitab-kitab mu?tamad dan pendapat ulama terdahulu, jika „illahnya masih dipandang relevan dengan kondisi kekinian maka pendapat ulama tersebut akan dipakai, sedangkan jika „illahnya dianggap sudah tidak cocok lagi dengan kondisi kekinian maka pendapat tersebut ditinggalkan. Walaupun demikian manhaj istinbatul hukm-nya tetap dipakai oleh DSN-MUI. Sehingga kadang-kadang ada beberapa fatwa DSN-MUI dianggap tidak sejalan dengan pendapat lahiriah ulama terdahulu dalam kitab-kitab fikih mu?tabarah. Dan fatwa tentang ekonomi syariah yang ditetapkan oleh DSN-MUI selain dibangun di atas manhaj tertentu juga tidak terlepas dari landasan umum hukum ekonomi syariah.
Setidaknya ada tujuh prinsip yang dijadikan landasan dalam penetapan-penetapan fatwa hukum ekonomi syariah sama halnya dengan prinsip mu?ammalah pada umumnya, yaitu :
1. Pertama adalah Al-maslahah, artinya aktifitas ekonomi syariah harus dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat (jalb al-mashalih wa dar?u al-mafasid). Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa segala bentuk mu?amalat yang dapat merusak atau mengganggu kehidupan masyarakat tidak dibenarkan, seperti perjudian, penjualan narkotika secara tidak sah, prostitusi dan sebagainya.
2. Kedua adalah Ar-ridha, artinya aktifitas perekonomian syariah harus dilakukan atas dasar sukarela (taradhi), dengan tanpa mengandung unsur paksaan (ikrah). Kaidah saling sukarela antara pihak yang melakukan transaksi ini merupakan prinsip yang fundamental dalam setiap aktifitas perekonomian syariah, sehingga kedua belah pihak dapat terhindar dari aktifitas ekonomi yang di dalamnya terdapat unsur tekanan, paksaan, penipuan atau ketidakjujuran. Namun demikian, semua aktifitas perekonomian yang didasarkan atas prinsip saling rela itu tidak secara otomatis dianggap sah secara syar?i, karena pada dasarnya saling rela merupakan prinsip dalam aktifitas perekonomian, bukan menjadi penyebab dibolehkannya sesuatu yang dilarang (ar-ridha ruknun li al-„aqdi wa laisa sababan li al-hilli). Selain itu, aktifitas ekonomi syariah juga harus didasarkan atas prinsip ketidak-terpaksaan (ghair ikrah). Prinsip ini merupakan prinsip dasar dalam fiqh mu?amalat dan merupakan prinsip dasar pula dalam hukum perjanjian (akad). Pihak-pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, baik dalam menentukan yang diperjanjikan (obyek perjanjian) maupun syarat-syaratnya, termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian jika terjadi sengketa. Kebebasan menentukan syarat-syarat ini dibenarkan selama tidak bertentangan dengan ketentuan syari?ah lainnya.
3. Ketiga adalah ‘Adamul-Gharar, artinya praktik perekonomian syariah harus jauh dari tipu daya (?adam al-gharar). Dalam fikih klasik Imam al-Khithabi menyatakan bahwa setiap jual-beli yang tidak diketahui maksudnya dan tidak bisa diukur maka itu termasuk gharar. Misalnya menjual ikan yang masih di lautan, atau menjual burung yang masih terbang di udara, atau menjual barang dalam bungkus yang tidak diketahui kondisinya. Setiap transaksi ekonomi yang mengandung penipuan (gharar fahisy) maka dianggap tidak sah.
4. Keempat adalah Al-Khidmah, artinya aktifitas ekonomi syariah harus mampu mewujudkan pelayanan sosial (tahqiq al-khidmah al-ijtima?iyah). Aktifitas ekonomi syariah harus diorientasikan pada terciptanya pelayanan sosial yang bisa meringankan beban kaum yang lemah secara ekonomi atau At-Ta?awun. Prinsip ini harus menjadi tujuan dari setiap aktifitas ekonomi syariah, karena dalam ekonomi syariah selain diperbolehkan untuk menambah keuntungan dan kekayaan yang berlimpah, juga harus memperhatikan kondisi sosial di sekitarnya.
5. Kelima adalah Al-Adilu, artinya setiap aktifitas ekonomi harus mengarah pada terciptanya keadilan dan keseimbangan (al-?adlu wa at-tawazun). Ekonomi syariah harus dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan dan menghindari unsur-unsur kezaliman. Segala bentuk aktifitas ekonomi yang mengandung unsur penindasan tidaklah dibenarkan. Setiap aktifitas ekonomi harus memperhatikan keseimbangan antara pihak-pihak yang melakukan transaksi. Prinsip ini menekankan perlu adanya keseimbangan sikap dalam melakukan aktifitas perekonomian. Misalnya, setiap upaya untuk mendapatkan keuntungan tentu saja di situ ada resiko-resiko kerugian yang harus ditanggungnya. Jika keuntungan yang diharapkan lebih besar, di situ faktor resiko kerugiannya juga lebih besar. Sebaliknya, setiap transaksi bisnis yang mempunyai resiko besar, biasanya juga menjanjikan keuntungan yang besar pula. Harus ada sikap proporsional antara upaya meraih keuntungan dan kesiapan untuk menanggung kerugian, sesuai kaidah al-ghunmu bil-ghurmi wal-ghurmu bil-ghunmi.
6. Keenam adalah Al-Ibahah, artinya segala bentuk aktifitas dalam ekonomi (mu'amalat) pada dasarnya hukumnya adalah boleh (mubah), kecuali jika ditentukan lain oleh suatu dalil. Prinsip dalam kaidah tersebut merupakan landasan dalam menentukan hukum suatu transaksi ekonomi. Dan kaidah ini menunjukkan bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas bagi perkembangan bentuk dan macam mu?amalat baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.
7. Ketujuh adalah Al-Istirbah, artinya aktifitas ekonomi syariah juga harus memperhatikan prinsip profitable (al-istirbah), karena setiap kegiatan ekonomi tentunya mengharapkan adanya keuntungan. Jadi, tidak logis jika transaksi ekonomi tidak mengharapkan keuntungan. Methodologi Pembaruan Hukum Ekonomi Syariah DSN-MUI Bidang ekonomi syariah merupakan lahan baru untuk ijtihad karena perkembangannya yang begitu cepat dan masih sedikitnya pendapat ahli fikih tentang masalah ini. Untuk merespons hal ini dilakukan ijtihad jama?i melalui perumusan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Dalam proses penetapan fatwa ini, DSN-MUI mempergunakan tiga pendekatan, yaitu:
- pendekatan nash qath?i;
- pendekatan qauli, dan;
- pendekatan manhaji.
Pendekatan nash qath?i dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur?an atau al-Hadits dalam menetapkan suatu masalah yang sudah terdapat dalam nash al-Qur?an ataupun al-Hadits secara jelas. Apabila masalah itu tidak terdapat dalam nash al-Qur?an maupun al-Hadits, maka proses perumusan fatwa dilakukan dengan pendekatan qauli dan manhaji. Pendekatan qauli dilakukan apabila permasalahan yang ada telah ditemukan jawabannya melalui pendapat ahli fikih yang terdapat dalam al-kutub al-mu?tabarah yang „illah hukumnya sesuai dengan yang terjadi saat ini dan hanya terdapat satu pendapat (qaul). Dalam kondisi seperti itu maka fatwa akan memakai pendapat ulama tersebut. Namun jika pendapat yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena ta?assur atau ta?adzdzur al-„amal atau shu?ubah al-„amal, sangat sulit untuk dilaksanakan, atau karena illat-nya berubah, maka dalam hal ini perlu dilakukan telaah ulang (i?adah an-nadhar) pendapat tersebut.
Apabila jawaban terhadap masalah yang dimintakan fatwa tidak dapat dipenuhi oleh nash qath?i dan pendapat yang ada dalam al-kutub al-mu?tabarah, maka penetapan fatwa dilakukan melalui pendekatan manhaji, yakni dengan menggunakan metode: al-jam?u wat taufiq, tarjihi, ilhaqi dan istinbathi. Jika dalam masalah yang dimintakan fatwa itu terjadi khilafiyah di kalangan imam madzhab, maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat-pendapat madzhab melalui metode al-jam?u wa al-taufiq. Namun jika usaha al-jam?u wa al-taufiq tidak berhasil, maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode tarjihi, yaitu dengan menggunakan metode muqaran al-madzahib dan dengan menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh al-muqaran.
Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada qaul yang menjelaskan secara persis dalam al-kutub al-mu?tabarah namun terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al-mu?tabarah. Jika metode ilhaqi ini tidak bisa dilakukan karena tidak ada mulhaq bih dalam al-kutub al-mu?tabarah, maka penyelesainnya dilakukan dengan metode istinbathi. Metode istinbathi ini dilakukan dengan memberlakukan metode qiyasi, istishlahi, istihsani dan sadd al-dzari?ah.
Di samping metode-metode tersebut, secara umum penetapan fatwa harus pula memperhatikan kemaslahatan umum (mashalih „ammah) dan maqashid al-syari?ah. Metode-metode di atas selama ini telah mencukupi untuk dijadikan kerangka paradigmatik dalam menjawab permasalahan ekoomi yang muncul melalui fnatwa DSN-MUI.
Dalam menguplaud pendapat fukoha klasik, ada kaidah-kaidah yang secara spesifik mendasari banyak fatwa DSN-MUI, yaitu kaidah tafriq al-halal min al-haram dan i?adah an-nadhar.
a. Tafriq al-halal nin al-haram
Kaidah ini relevan dikembangkan di bidang ekonomi syariah, mengingat bahwa kegiatan ekonomi syariah belum bisa terlepas sepenuhnya dari sistem ekonomi konvensional yang ribawi. Paling tidak, lembaga ekonomi syariah akan berhubungan dengan ekonomi konvensional yang ribawi dari aspek permodalan, pengembangan produk, maupun keuntungan yang diperoleh. Kaidah tafriq al-halal min al-haram (pemisahan unsur halal dari yang haram) dapat dilakukan sepanjang yang diharamkan tidak lebih besar atau dominan dari yang halal. Bila unsur haram dan halal telah dapat diidentifikasi maka unsur haram harus dikeluarkan.
b. I’adah al-nadhar
Pembaruan hukum ekonomi syariah juga dapat dikembangkan dengan mengedepankan teori i?adah al-nadhar (telaah ulang) dengan cara menguji kembali alasan hukum („illah) dari pendapat ulama terdahulu tentang suatu masalah. Telaah ulang ini dilakukan, karena „illah hukumnya telah berubah atau karena beberapa pendapat para ulama terdahulu dipandang tidak aplikatif dan tidak memadai dengan kondisi kontemporer. Pendapat itu dianggap sudah tidak cocok lagi untuk dipedomani, karena sulit diimplementasikan (ta?assur, ta?adzdzur aw shu?ubah al-amal). Salah satu cara yang bisa dipakai untuk melakukan telaah ulang adalah dengan menguji kembali pendapat yang mu?tamad dengan mempertimbangkan pendapat hukum yang selama ini dipandang lemah (marjuh bahkan mahjur), karena adanya „illah hukum yang baru dan atau pendapat tersebut lebih membawa kemaslahatan. Selanjutnya pendapat tersebut dijadikan pedoman (mu?tamad) dalam menetapkan hukum.



              [1] Misalnya Al-Qur’an (18:88; 19:60; 20:82; 25:70; 28:67; 64:9; 65:11; 103:3).
              [2] Dalam studi agama-agama pada umumnya, Emile Durkheim menyatakan: “In fect, they feel that the real function of religion is not to make us thi nk, to enrich our knowledge…but rather, it is to make us act, to aid us to live”, Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, terj. Joseph Ward Swaim (New York: The Free Press, 1969), 463-4.
               [3] Memang harus diakui bahwa selama ini ada semacam kerancuan tata makna dalam perbendaharaan hukum Islam, kadangkala disebut shari’ah dan suatu saat diterjemahkan fiqih. Shufi Hasan Abu Thalib dalam Bayna al-Shari’ah al-Islamiyah wa al-Qanun al-Rûmî, misalnya, lebih berselera menyebut hokum Islam dengan istilah “shari’ah” dari pada “fiqih”. Sebaliknya Mushthafâ Ahmad Zarqâ dalam al-Fiqh al-Islam fi al-Tsaubih al-Jadid lebih suka menggunakan term “fiqh” dari pada “shari’ah”. Hal demikian terjadi pula dalam kepustakaan Inggris, di mana hokum Islam terkadang diterjemahkan dengan Islamic Law, seperti karya JND Anderson, Islamic Law in the Modern World, dan terkadang pula dengan memakai istilah Islamic Jurisprudence seperti karya Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence.
            [4] A.A. Fyzee, Outline of Muhammadan Law (New Delhi: Oxford University Press, 1981),16.
          [5] Mahmud Shaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Shari’ah (ttp.: Dar al-Qalam, 1966), 16.
          [6] Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 103.
          [7] ‘Abd Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh (ttp.: Dar al-Qalam, 1978), 11.
          [8] M. Atho’ Mudzhar, “Social History Approach to Islamic Law,” dalam Al-Jami’ah, No.61 (1998).
              [9] Baca misalnya Ann Elizabeth Mayer, “The Syari’a: A Methodology or A Body of Subtantive Rules?” Dalam Islamic Law and Jurisprudence, ed. Nicholas Heer (Seattle and London: University of Washington Press, 1990), 192-97; juga Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries  (New Delhi: Academy of Law & Religion, 1987),46
              [10] Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum: Perbedaan Konsepsi Hukum Barat dan Hukum Islam,” dalam  Al-Jami’ah, Vol VI, No. 63 (1999), 29-49. Perlu dicatat bahwa dalam perbandingan ini Mahfud hanya mengambil konsep al-Maududi, seorang pemikir Muslim literalis, tentang hukum Islam. Oleh karenanya, menganggap pemikirannya seorang diri sebagai representasi konsep Islam secara umum belum cukup memadai tanpa menyertakan dan mengeksplorasi konsep-konsep yang berbeda dari para pemikir Muslim lainnya yang lebih moderat.

             [11] Mahfud MD, “Hukum, Negara Hukum, dan Lembaga Peradilan,” dalam Dadan Muttaqien (eds.),Peradilan Agama & Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 1999), 187-195.
             [12] Salah satu proponen mazhab positivisme, John Austin, mendeskripsikan hukum sebagai “The law as the Command of Government (the law as command the lawgiver). Implikasi dari pandangan ini adalah kendati di dalam masyarakat terdapat begitu banyak norma-norma sosial religius yang dipedomani dan ditaati, tidak begitu saja dapat dikategorikan sebagai hukum, sebelum ia diformalkan oleh lembaga khusus yang ditunjuk untuk itu. Dianutnya paradigma positivisme hukum di Indonesia, dapat dirujuk pada prinsip legalitas yang tercantum dalam pasal 1 KUHP Pidana.
                [13] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm.224.
                [14] Ibid., 134.

             [15] Qadry Azizy, Eklektisisme Hukum Islam, 174.
              [16] Ayah Edi, Mengapa Anak Saya, Suka Melawan Dan Susah Diatur, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, (Jakarta: 2010) Cet.10, 45
               [17] Ibid.
                  [18] Ibid.
                [19] Thontowi, Pesan Perdamaian, 133.
                  [20] A. Syafi’i Ma’arif (ketua PP Muhammadiyah) dan Hasyim Muzadi (ketua PBNU) jauh-jauh hari sebelum sidang tahunan MPR 2002 menegaskan, NU dan Muhammadiyah tidak mendukung pemberlakuan syari’at Islam di Indonesia dalam arti formalisasi yang akan mengarah kepada pembentukan negara Islam. lihat Zuly Qodir, Pemberlakuan Syari’at Islam: Belajar dari Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Kompas, 24-4, 2002.
             [21]  Inti pemikiran madzhab ini adalah bahwa “hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat”. Sesuai di sini berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai yang hidup di dalam masyarakat. Lebih jauh baca W. Friedmann, Legal Theory, 4th Edition (London: Stevens and Sons Limited, 1960), 194-204.
              [22] Madzhab ini (sociological jurisprudence) hendaknya dibedakan dengan apa yang kita kenal dengan “sosiologi hukum”. Perbedaan di antara ke duanya adalah kalau sociological jurisprudenceitu merupakan suatu madzhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya sedang sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum. Dengan kata lain, kalau sociological jurisprudencecara pendekatannya dari hukum ke masyarakat, sedang sosiologi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum. Lihat Roscoe Pound, “Kata Pengantar”, dalam Georges Gurvith, Sosiologi Hukum, terj. Sumantri Mertodipuro (Jakarta: Bhratara, 1988), x-xi.
              [23] Lihat misalnya Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), 9-10.
               [24] Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi hukum Islam yang telah berjalan berabad-abad telah mempunyai akar yang kuat dalam berbagai aspeknya. Lebih jauh, baca misalnya Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Jakarta: Teraju, 2003), 70
            [25]Jawahir Thontowi, Pesan Perdamaian Islam (Yogyakarta: Madyan Press, 2001), 133. Baca juga misalnya idem, Islam, Politik, dan Hukum: Esai-Esai Ilmiah untuk Pembaruan (Yogyakarta: Madyan Press, 2002), 188.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook