Thursday, June 13, 2013

DALAM KEBUSUKAN ADA SETITIK KEHARUMAN (BERBAIK SANGKALAH KEPADA TUHAN)

DALAM SETIAP KEGALAUAN 
ADA SETITIK KETENANGAN

DALAM KEBUSUKAN 
ADA SETITIK KEHARUMAN
PANDAI-PANDAILAH MENYIKAPINYA
BERBAIK SANGKALAH
KEPADA TUHAN

Muhammad Rakib Jamari

                       PENDAHULUAN


Ibarat Durian Yang Busuk



Sebagai dosen ilmu perbandingan Agama, penulis mengajak pembaca membuka
 al-Qur'an dan Injil

Ayat bacaan: 2 Korintus 2:16
========================
"Bagi yang terakhir kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan. "
QS Al-Baqarah  : 216
Bolehjadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu. Bisa saja kamu sangat mencintai sesuatu, tapi ia tidak baik bagimu.Umar bin Khattab awalnya sngat membenci Muhammad SAW., tapi akhirnya malah beliau yang paling membela Muhammad SAW.
INI SEKEDAR ILUSTRASI

Buah durian bagaikan buah surga yang dibawa alien dari luar angkasa. Sebagian besar mengatakan bahwa durian memiliki bau seperti bawang putih,  entah dari mana mereka bisa mengatakan mirip. Rasanya menjijikkan, ada yang sampai hampir muntah sebelum mencoba dan sebagainya. Ada yang mengatakan, baunya seperti kaus kaki, tapi rasanya lezat seperti piza. Lucu sekali rasanya melihat pola dan tingkah laku orang Bule  mereka ketika mencoba durian. Jangankan mencoba, membelahnya saja sudah salah. Anda termasuk penggemar atau pembenci durian? Begitu unik dan kontroversialnya buah durian ini, bagi yang suka akan rela mengeluarkan kocek berapapun untuk bisa mendapatkan durian, sementara bagi sebagian lainnya buah ini dianggap menjijikkan. Bahkan di beberapa negara buah durian dinyatakan sebagai buah terlarang untuk masuk ke negaranya. Durian itu harum dan lezat bagi sebagian orang, tapi busuk dan menjijikkan bagi sebagian lainnya. 

Seperti apa "bau" kita bagi orang lain? Paulus pernah pada suatu kali menggambarkan hal ini.
 "Tetapi syukur bagi Allah, yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangan-Nya. Dengan perantaraan kami Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana-mana." (2 Korintus 2:14). Keharuman pengenalan akan Kristus seharusnya tercermin lewat sikap, perbuatan dan tingkah laku kita, duta-dutaNya di dunia ini. Hidup kita seharusnya memancarkan keharuman Kristus dengan menjadi terang dan garam di mata dunia. Berbagai kesaksian-kesaksian dalam hidup kita seharusnya bisa menyebarkan keharuman akan Kristus kemanapun kita pergi. Tapi seperti durian tadi, bau dari diri kita bisa saja dinilai berbeda. Bagi sebagian orang kita bisa dipandang sebagai suatu keharuman. Mereka akan suka berada di dekat kita, merasa sukacita dan damai ketika kita ada bersama mereka. Namun sebaliknya bagi yang menolak. Mereka akan menganggap kita bagaikan sampah yang berbau busuk, menjijikkan, dan harus dihindari atau ada pula yang lebih ekstrim lagi hingga ingin menghancurkan. Dan itulah yang kita hadapi sebagai pengikut Kristus. Akan ada saja orang-orang yang membenci kita karena kita menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Paulus mengatakannya demikian "Bagi yang terakhir kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan." (ay 16). Ayat ini hadir mengikuti ayat sebelumnya yang berbunyi: "Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa." (ay 15). Jadi yang dimaksud Paulus dengan "yang terakhir" itu adalah bagi yang binasa, sedangkan "yang pertama" merupakan orang-orang yang diselamatkan.Seperti apapun orang mengira bau yang kita pancarkan, apakah itu keharuman atau kebusukan dalam pandangan orang-orang disekitar kita, jika kita melakukan tepat seperti apa yang diinginkan Tuhan, maka itu tetaplah berbau harum bagi Tuhan. Itu yang dinyatakan Paulus dalam ayat 15 di atas. 

Dalam prakteknya, manusia seringkali lebih mementingkan status di hadapan manusia dibandingkan di hadapan Allah. Mereka akan terus berkompromi untuk mengikuti apa yang salah agar tidak dikucilkan, tidak jarang pula mereka akan merasa malu menjadi pengikut Yesus dan menyangkal iman mereka agar mereka tidak dimusuhi. Dan ini sudah terjadi sejak jaman ketika Yesus hadir di tengah-tengah manusia.
 "Namun banyak juga di antara pemimpin yang percaya kepada-Nya, tetapi oleh karena orang-orang Farisi mereka tidak mengakuinya berterus terang, supaya mereka jangan dikucilkan." (Yohanes 12:42). Mengapa harus demikian? Inilah jawabannya:"Sebab mereka lebih suka akan kehormatan manusia dari pada kehormatan Allah." (ay 43). Ini jelas salah. Berhati-hatilah agar kita tidak terjebak dalam perilaku seperti ini, karena menyangkal Kristus akan membuahkan sesuatu yang fatal akibatnya. "Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga." (Matius 10:32-33). Dan kita tahu apa konsekuensinya ketika Yesus tidak mengakui kita di hadapan Bapa. Jurang kebinasaan kekal penuh siksaan pun akan segera menanti kita. Itulah sebabnya Paulus mengatakan bahwa kita harus terus "berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan di hadapan-Nya." (2 Korintus 2:17). Tidak perlu malu atau takut untuk mengakui iman kita. Apakah itu akan dianggap harum atau busuk di hadapan orang, di mata Tuhan itu akan selalu dianggap sebagai keharuman.

Bagaimana bau yang kita pancarkan hari ini? Apakah kita sudah menyebarkan aroma keharuman Kristus lewat hidup dan kesaksian kita? Apakah orang bisa mencium aroma Kristus melalui pekerjaan, keluarga, sikap, tingkah laku, gaya hidup, perkataan dan perbuatan kita? Apakah itu yang kita lakukan, atau justru sebaliknya menyingkirkan keharuman itu karena takut dikenali orang sebagai pengikut Kristus? Tampillah sebagai orang-orang yang berani berbicara sebagaimana mestinya. Banggalah sebagai pengikut Kristus karena sesungguhnya Dia telah menganugerahkan keselamatan bagi kita semua yang percaya kepadaNya. Apakah itu dianggap harum atau busuk di mata manusia bukanlah soal. Apa yang penting adalah bagaimana bau kita di hadapan Tuhan.
 

MUTIARA KAEDAH USULIYAH  HUKUM KEHIDUPAN

I. Latar Belakang Masalah

Qawaidul Ushuliyah (kaidah-kaidah Ushul) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya orang yang cinta ilmu, calon mujtahid yang akan meneruskan perjuangan pendahulu-pendahulu kita dalam membela dan menegakkan kebenaran  dimanapun berada. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul ushuliyah. Maka dari itu, kami selaku penyusun mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah ushul, mulai dari pengertian, perkembangan, sumber-sumbernya, dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah ushul.

II. Rumusan Masalah

Mengerti dan memahami pengertian kaidah ushul.
Menyebutkan sumber-sumber pengambilan kaidah-kaidah ushul.
Menyebutkan rukun serta syarat-syarat kaidah-kaidah ushul.
Mengerti persamaan serta perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqh?
Mengeerti hubungan antara kaidah-kaidah ushul dengan ushul fiqh itu sendiri?
Mengetahui faedah serta kedudukan kaidah-kaidah ushul.
Mengetahui buku-buku yang di karang ulama tentang kaidah-kaidah ushul.
III. Tujuan Pembahasan

Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah ushul, mulai dari definisi, sumber-sumber, rukun, syarat, perbedaannya dengan kaidah-kaidah fiqh, hubungannya dengan ilmu ushul fiqh dan buku-buku yang menjadi subernya.

BAB II

PENGERTIAN

Sebagai studi PERBANDINGAN ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah ushul diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah ushul fiqh, kita kita akan mencoba menjelaskan beberapa permasalahan mulai dari defenisi kaidah secara bahasa dan istilah, defenisi ushul fiqh secara bahasa dan istilah, defenisi kaidah-kaidah ushuliyyah secara bersamaan. Didalam seluruh defenisi tadi terdapat perbedaan pendapat dalam kalangan ulama, penyusun akan mencoba menulis beberapa defenisi dari kalangan ulama atau hanya sekedar menulis defenisi yang menurut penyusun lebih rajih atau lebih kuat.

Defenisi kaidah

Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Dalam bahasa arab, kaidah memilik banyak arti diataranya: al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Al Qi’dah (cara duduk, yang baik atau yang buruk), Qo’id ar rojul (Istrinya), Dzul Qo’dah (nama salah satu bulan qomariyah yang mana orang orab tidak mengadakan perjalanan didalamnya) dan lain sebagainya.

Dari seluruh arti tadi dapat kita simpulkan bahwa kaidah secara bahasa artinya tidak akan keluar dari dasar atau pondasi dan tempat sesuatu.

Adapun secara istilah banyak sekali defenisi yang di buat oleh para ulama, tetapi yang paling lengkap dan paling baik menurut penyusun adalah:
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagiannya.“

Defenisi Ushul Fiqh

Untuk defenisi ushul fiqh sengaja penyusun tidak sebutkan karena sudah ada yang membahasnya..

Defenisi kaidah-kaidah ushuliyah

Dr. Jailany mendefinisikan sebagai:” hukum kulli (berifat umum) yang berdiri diatasnya furu’ fiqhiyah yang di bentuk dengan bentuk umum dan akurat”.

Defenisi ini belum maani’ karena kaidah-kaidah fiqh masih masuk didalamnya.

Prof. Dr. Muhammad Syabir mendefinisikan sebagai:” ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum syar’iyyah al far’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci”.

Defenisi yang menurut penyusun lebih akurat adalah:” Hukum kulli (umum) yang dibentuk dengan bentuk yang akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil”.


BAB III

SUMBER-SUMBER PENGAMBILAN KAIDAH-KAIDAH USHUL

Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Al-Qur’an dan Sunnah), ‘Akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), bahasa (Ushul at tahlil al lughawi), yang secara terperinci kita jelaskan dibawah ini.

Pertama: Al Qur’an.

Al Qur’an merupakan firman Allah SAW yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, untuk membebaskan manusia dari kegelapan. Kitab ini adalah kitab undang-undang yang mengatur seluruh kehidupan manusia, firman Allah yang Maha mengetahui apa yang bermanfaat bagi manusia dan apa yang berbahaya, dan merupakan obat bagi ummat dari segalah penyakitnya. Allah berfirman :

“dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. (QS. AL Isra: 82)

Dan firman Allah:

“dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS An Nahl: 89)

Ini adalah kedudukan al Qur’an. Penyusun yakin semua orang tahu itu, maka tidak perlu di perpanjang di sini.

Diantara kaidah-kaidah ushul yang di hasilkan dari Al Qur’an adalah:

1. Sunnah adalah sumber hukum yang di akui, dengan dalil

وما ينطق عن الهوي  إن هو إلا وحي يوحي

2. Al Qur’an bisa difahami dari uslub-uslub bahasa arab, dengan dalil

إنا أنزلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون

3. Adat atau kebiasaan di akui sebagai hukum pada permasalahan yang tidak memiliki dalil, dengan dalil

حذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين

Kedua: As Sunnah

Allah memberikan kemuliaan kepada nabi Muhammad SAW dengan mengutusnya sebagai nabi dan rasul terakhir untuk umat manusia dengan tujuan menyampaikan pesan-pesan ilahi kepada umat. Maka nilai kemuliaan Rasulullah bukan dari dirinya sendiri tetapi dari Sang Pengutus yaitu Allah SWT, karena siapapun yang menjadi utusan pasti lebih rendah tingkatannya dari yang mengutus. Allah Berfirman yang artinya:” Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul”. (QS. Ali Imran: 144).

Jika seluruh perintah Allah telah disampaian oleh Rasulullah kepada umat, selesailah tugasnya dan wajib bagi umat untuk memperhatikan risalah yang di sampaikan oleh rasulullah. Allah berfirman yang artinya:

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (QS. Ali Imran: 144)

Banyak sekali ayat Al Qur’an yang menjelaskan bahwa sunnah Rasulullah adalah merupakan salah satu sumber agama islam, diantaranya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat: 53,132,144, 172  juga didalam surat An Nisa ayat: 42, 59, 61, 64, 65, dan masih banyak lagi. Bahkan didalam surat Al Hasyr Allah berfirman:

“apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.“

Diantara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari hadits adalah:

Perintah yang mutlak hukumnya wajib (الأمر المطلق يفيد الوجوب)
Ijma’ merupakah hujjah yang di akui secara syar’I (الإجماع حجة معتبرة شرعا)
Jika berkumpul perintah dan larangan maka larangan di dahulukan (إذا اجتمع الآمر والمحرم قدم المحرم)
Qiyas merupakan hujjah yang di akui secara syar’I (القياس حجة معتبرة شرعا)
Ketiga: Ijma’

Diantara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari ijma adalah:

Ijma’ Sahabat bahwa “hukum yang di hasilkan dari hadits ahad dapat di terima”.
Ijma’ Sahabat bahwa “hukum terbagi menjadi 5 macam”.
Ijma’ Sahabat bahwa “syariat nabi Muhammad menghapus seluruh syariat yang sebelumnya”.
Keempat: Akal

Akal memiki kedudukan yang tinggi didalam syariat islam, karena kita tidak akan faham islam tanpa akal. Sebagai contoh, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Allah itu ada? Jika dijawab Al Qur’an, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Al Qur’an benar-benar dari Allah? Jika dijawab I’jaz, apa dalil yang menunjukkan bahwa I’jazul quran sebagai dalil bahwa alqur’an bersumber dari Allah SWT? Dan seterusnya. Dengan demikian dapat kita fahami bahwa islam tidak akan kita fahami tanpa akal, oleh karena itulah akal merupakan syarat taklif dalam islam.

Meskipun demikian, ada satu hal yang harus di perhatikan dengan seksama, bahwa akal tidak bisa berkerja sendiri tanpa syar’I. Akal hanyalah sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah melalui dalil-dalil al quran dan hadits. Allah lah yang menjadi hakim, dan akal merupakan sarana untuk memahami hukum-hukum Allah tersebut.

Diantara kaidah-kaidah ushul yang di hasilkan dari akal adalah:

Al Qur’an merupakan dalil yang di akui.
Baik dan buruk hanya di ketahui melalui syar’I bukan akal.
Yang lebih kuat didahulukan dari yang lemah.
Kelima: Perkataan Sahabat

Diantara kaidah-kaidah ushul yang diambil dari perkataan-perkataan sahabat Rasulullah adalah:

Hadits-hadits Ahad zonniyah
Qiyas adalah hujjah
Hukum yang terakhir menghapus hukum yang terdahulu (naskh)
Orang awam boleh taqlid
Nash lebih di utamakan dari qiyas maupun ijma’
Diantara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari ilmu-ilmu islam

Ilmu Ushuluddin
Baik dan buruk dapat diketahui dengan syar’I bukan dengan akal
Rasulullah tidak menetapkan ijtihad yang salah
Tidak ada yang ma’sum kecuali nabi
Syari’at islam menghapus syari’at sebelumnya
Domir goib kadang-kadang kembali pada kalimat yang tidak tertulis, dan itu bisa di ketahui melalui siyaaq kalimat.
Kalimat Aina (أين) menunjukkan tempat (syarat ataupun istifham) dan (  متي و أيان) menunjukkan waktu (syarat atupun istifham)
Fi’il madi jika menjadi fiil syarat, ia berubah menjadi kaliamat insyaa menurut kesepakatan ahli nahwu.
(إلي) menunjukkan akhir sesuatu (waktu maupun tempat)
Dan sebagainya.
Kaidah  سد الذرائع
Kaidah adat dan kebiasaan merupakan dalil yang di akui
Kaidah المصالح المرسلة
2.  Ilmu Bahasa Arab

Domir goib kadang-kadang kembali pada kalimat yang tidak tertulis, dan itu bisa di ketahui melalui siyaaq kalimat.
Kalimat Aina (أين) menunjukkan tempat (syarat ataupun istifham) dan (  متي و أيان) menunjukkan waktu (syarat atupun istifham)
Fi’il madi jika menjadi fiil syarat, ia berubah menjadi kaliamat insyaa menurut kesepakatan ahli nahwu.
(إلي) menunjukkan akhir sesuatu (waktu maupun tempat)
Dan sebagainya.
3. Ilmu Fiqih

Kaidah  سد الذرائع
Kaidah adat dan kebiasaan merupakan dalil yang di akui
Kaidah المصالح المرسلة
BAB IV

RUKUN DAN SYARAT KAIDAH-KAIDAH USHUL

Rukun-rukun kaidah Ushuliyyah

Ketika kita melihat sebuah kaidah ushul, النهي للكرار (larangan menunjukkan pengulangan) umpamanya kita akan menemukan 4 rukun didalamnya:

Pertama      : Maudu’ (tema) yaitu النهي
Kedua        : Mahmuul yaitu التكرار
Ketiga        : Penisbatan antara keduanya yaitu kebergantungan rukun kedua dengan rukun pertama
Keempat     : Terjadi atau tidaknya rukun ketiga pada keduanya.. (Apakah perintah menunjukkan pengulangan benar-benar terjadi atau tidak?)

Jika keempat-empatnya adalah tasowwurot dimanakah hukumnya atau at tasdiq ??
Ahli mantiq ketika berusaha menyelesaikan permasalahan ini berbeda pada 2 pendapat:
1. Al Falasifah mengatakan bahwa at tasdiq adalah rukun ke empat saja, dengan kata lain menurut falasifah, kaidah-kaidah ushul cukup dengan satu rukun saja yaitu rukun yang keempat.
2. Imam Ar Razi mengatakan bahwa at tasdiq tidak cukup dengan rukun ke empat saja tetapi gabungan dari keempat rukun tersebut.



Syarat-syarat kaidah Ushuliyyah

Harus dalam bentuk yang singkat
Merupakan perkara yang sempurna
Maudu’nya (temanya) harus kulli bukan juz’I (umum)
Kaidah-kaidah ushul tersebut tidak bertentangan dengan syari’at dan maqosid syari’ah
Tidak bertentangan dengan kaidah lain (baik itu kaidah ushul ataupun kaidah fiqh) yang sebanding dengannya atau lebih kuat darinya.
Kaidah-kadiah ushul tersebut harus tegas dan tidak ragu-ragu

           HUBUNGAN ANTARA KAIDAH-KAIDAH USHUL DENGAN USHUL FIQH

Ketika kita melihat defenis dari ushul fiqh dan kaidah-kaidah ushul, akan jelas sekali perbedaan atara keduanya. Tetapi meskipun demikian, keduanya tidak akan bisa dipisahkan karena ilmu kaidah-kaidah ushul merupakan bagian dari ilmu ushul fiqh. Hubungan antara keduanya adalah hubungan atara umum dan khusus (ilmu ushul fiqh lebih umum dari ilmu kaidah-kaidah ushul).

Adapun perbedaan atara keduanya adalah sebagai berikut:

Mayoritas kaidah-kaidah ushul adalah nilai yang di ambil dari ushul fiqh (ushul fiqh jauh lebih luas pembahasannya daripada kaidah-kaidah ushul).
Perbedaan dalam segi maudu’ (tema). Tema kaidah-kaidah ushul adalah ushul fiqh itu sendiri adapun tema ushul fiqh adalah al- adillah al ijmaliayah min hautsu dobthi al fiqh.
Dari segi Tujuan. Tujuan dari kaidah-kaidah ushul adalah menyempurnakan ushul fiqh dengan cara menyempurnakan nilai-nilai ushul dengal lafaz yang singkat, dan mengembalikan nilai-nilai tersebut kepada nilai yang lebih umum yang menjadi kaidah buat kaidah tersebut.  Dengan demikian tujuan ilmu kaidah-kaidah ushul adalah ingin memberikan bentuk lain untuk ushul fiqh dalam bentuk kaidah yang lebih singkat dan sistematis. Adapun tujuan ushul fiqh adalah pencapaian nilai-nilai yang dapat menyempurnakan ijtihad dalam fiqh.
Dari segi histories (Apakah ushul fiqh muncul terlebih dahulu atau kaidah-kaidah ushul?)
Sahabat-sahabat Rasulullah, tabi’in dan yang mengikuti mereka sejak dahulu telah berijithad dengan memakai kaidah-kaidah ushul.  Kemudian pembahasan semakin luas hingga muncullah ilmu ushul fiqh. Demikian juga ilmu ushul fiqh semakin luas hingga di butuhkan kaidah-kaidah singkat yang dapat dengan mudah diterapkan oleh seorang mujtahid, dan inilah yang menjadi tonggak munculnya ilmu kaidah-kaidah ushul. Dengan demikian kaidah-kaidah ushul lebih dahulu muncul dari ilmu ushul fiqh, dah ilmu ushul fiqh muncul sebelum munculnya ilmu kaidah-kaidah ushul.


PERBEDAAN ANTARA KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH DENGAK KAIDAH-KAIDAH FIQHIYYAH

Persamaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqh terletak pada kesaaman sebagai wasilah pengambilan hukum. Keduanya merupakan prinsip umum yang mencakup masalah-masalah dalam kajian syari’ah. Oleh karena itu, dalam perspetif ini kaidah ushul sangatlah mirip dengan kaidah fiqih.

Namun, kita pun bisa melihat perbedaan yang signifikan dari kedua kaidah tersebut, secara ringkas perbedaan kedua kaidah tersebut adalah sebagai berikut :

Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.
Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain
Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’I. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid ‘alim dan bukank hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh



FAEDAH KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQH

DAN KEDUDUKANNYA DIANTARA ILMU-ILMU SYARA’

1. Faedah Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh

Manfaat sesuatu bisa dilihat dari buah atau nilai yang di hasilkannya, begitu juga dengan kaidah-kaidah ushul. Jika kita ingin mengetahui manfaat serta kedudukannya maka hendaklah kita melihat kepada nilai atau buah yang dihasilkan oleh kaidah-kaidah ushul fiqh itu sendiri.. Setiap manusia berbuat sesuai dengan kemaslahatannya, jika tidak ada maslahat (minimal dalam pandangannya), ia tidak akan melaksanakannya. Maslahat dibagi dua, dunia dan akhirat. Sebagai muslim tentu berkeyakinan bahwa maslahat dunia adalah sarana untuk mencapat kebahagiaan utama di akhirat nanti.

Setelah ilmu aqidah, ilmu yang membahas tentang hukum-hukum praktis merupakan ilmu yang paling penting dan harus dikuasai. Hukum-hukum ini bisa di ketahui, baik dengan cara taqlid atau ijtihad. Beribadah atas dasar taqlid tidak sama derajatnya jika dibandingkan dengan beribadah atas dasar ijitihad. Imam Ghazali berkata:” Sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang menggabungkan antara akal dan as-sam’ (Al-Qur’an dan Sunnah) dan yang menyertakan pendapat dan syara’”.

Abu Bakar Al-Qoffal As-Syasyi berkata dalam bukunya “al-ushul”:” Ketahuilah bahwa Nash yang mencakup segala kejadian tidak ada, dan hukum-hukum memiliki ushul dan furu’ , dan furu’ tidak bisa diketahui kecuali dengan ushul, dan nilai-nilai itu tidak dapat di ketahui kecuali dengan ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ilmu ini diambil dari syara’ dan akal yang suci secara bersamaan. Ia tidak menolak syara’ tidak pula menolak akal. Karena keutamaan ilmu ini lah, banyak orang yang mempelajarinya. Ulama yang faham ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya adalah ulama yang tinggi derajatnya, tinggi wibawanya ,memiliki banyak pengikut dan murid. Maka hendaklah memulai dengan ushul untuk mengetahui hukum-hukum furu“.

Diantara faedah kaidah-kaidah ushul fiqh adalah:

Dapat mengangkat derajat seseorang dari taqlid menjadi yaqin. Allah berfirman yang artinya:” niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan“. (QS. Al-Mujadalah: 11)
Kaidah-kaidah ushul merupakan asas dan pondasi seluruh ilmu-ilmu islam lainnya. Maka ilmu fiqh, tafsir, hadits dan ilmu kalam tidak akan sempurna tanpanya. Kaidah-kaidah ushul menjadikan pemahaman terhadap al-quran dan sunnah dan sumber-sumber islam lainnya menjadi akurat.
Dengan memahami kaidah-kaidah ushul, seseorang dapat dengan mudah mengambil kesimpulan-kesimpulan hukum syari’ah al-far’iyyah dari dalil-dalilnya langsung dan terus melaksanakannya. Karena kaidah-kaidah ushul merupakan sarana yang menghantarkan seseorang pada hukum-hukum fiqh.
kaidah-kaidah ushul berusaha membentuk kembali ilmu ushul fiqh dalam bentuk yang baru, lebih singkat dan akurat yang dapat membantu seorang mujtahid dalam pengambilan hukum.
Seorang yang faham ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya akan dapat dengan mudah mengcounter pemikiran-pemikiran yang berusaha menyerang hukum-hukum islam yang telah mapan seperti wajibnya rajam, hudud dan lain sebagainya.
Tujuan akhir adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Kedudukan Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh

Kedudukan dan keutamaan sebuah ilmu tidak lepas dari tema, objek, tujuan, apa yang di bahas, besar kebutuhan, kekuatan dalilnya serta maslahat yang dihasilkannya. Semakin besar faedahnya semakin tinggi pula kedudukannya. Kaidah-kaidah ushul memiliki kedudukan tinggi, yaitu berada pada urutan pertama setelah ilmu akidah.

Penjelasannya:

Dari segi faedah dan buah yang di hasilkan oleh kaidah-kaidah ushul, penyusun telah jelaskan pada penjelasan faedah-faedah ushul fiqh diatas.
Dari segi objeknya, penyusun telah jelaskan bahwa objek kaidah-kaidah ushul adalah ushul fiqh itu sendiri dari segi keakuratannya. Juga membahas nilai-nilai ushul fiqh untuk di undang-undangkan. Jika ilmu ushul fiqh memiliki kedudukan tinggi dalam islam, bagaimanakah kedudukan sebuah ilmu yang bertugas menambah keakuratan ushul fiqh?
Dari segi tujuannya, tujuannya adalah pengambilan hukum syara’ yang praktis dari dalil-dali syara’ dan memperjuangkannya serta memberikan keakuratan dalam berijtihad dan kondisi mujtahid.  Usaha untuk mengetahui hukum-hukum Allah adalah merupakan kewajiban terpenting dan merupakan tujuan penciptaan kita di dalam kehidupan ini. Ilmu apapun yang memiliki tujuan ini adalah ilmu yang memiliki kedudukan tinggi.
Dari segi kebutuhan. Tidak ada kebahagiaan didunia maupun di akhirat tanpa syari’at Allah. Dan syariat Allah tidak akan dapat diketahui tanpa kaidah-kaidah ushul. Ma la yatimmu al-fadil illa bihi fahuwa faadhil.

BAB VIII

BUKU-BUKU KARANGAN ULAMA TENTANG KAIDAH-KAIDAH USHUL

Sebenarnya banyak sekali buku-buku tentang kaidah-kaidah ushul yang dikarang para ulama sejak dahulu hingga awal abad 20 dan dari awal abad 20 hingga sekarang, tetapi pada bab ini penyusun hanya akan menyebutkan nama-nama buku yang membahas tentang kaidah-kaidah ushul yang merupakan referensi utama dalam masalah ini. Bagi yang ingin mengetahui lebih, bisa membaca buku Nadzoriyah at taq’id al Ushuly karya Dr. Aiman Abdul Hamid Al-Badaroin atau buku-buku lainnya.

Diantara buku-buku itu adalah:

Ta’sis An Nazor karya Ubaidillah bin Umar bin Isa Ad Dabusy (364-430 H)
Takhrijul Al-Furu’ Ala Al-Ushul karya Mahmud bin Ahmad bin Mahmud Abu Al Manqib Al Jinzani (573-656 H)
Miftah Al-Wusul ila takhrij al-furu’ ala al-Ushul karya Syarif At Tilmisany (710-771 H)
At Tamhid fi at-takhrij al-furu’ ala al-ushul karya Al Isnawi (7.4-772 H)
Al-Qowaid wa al-Fawaid Al-Ushuliyah wa ma yata’allaqu biha min al-Ahkam al-far’iyyah karya Ibn Al-Liham Al Hanbaly ( wafat tahun 803 H)
Al-Wusul ila Qowaid al-ushul karya imam Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Al Hanafy ( wafat tahun 1007 H)
At-Tahrir karya Kamal bin Al Hamam (matan)
At-Tanqih karya Ibnu Mas’ud Al-Hanafi (matan)
Mu’tasar al-muntaha al-ushuly karya Ibnu Al-Hajib (matan)
Al-Waroqot fi Ushul Al-Fiqh karya Al-Juwaini
Minhaj Al-Ushul ila ilmi al-ushul karya Al-Baidawy
Raudhatunnazir wa jannatul muanzir karya Ibnu Qudamah
Al-Ihkam fi Ushul al-ahkam karya Al-Amadi
Al-Irsyad wa at-taqrib karya Abu Bakar Al-Baqillani
Ushul Fiqh karya Syekh Al-Hadary (wafat tahun 1927 M)
Ilmu Ushul fiqh karya Syekh Abdul Wahab Khalaf (1888 – 1956 M)
Taqnin Ushul Fiqh karya Dr. Muhammad Zaki Abdul Bar

PENUTUP

Kesimpulan

Kaidah-kaidah ushul fiqh adalah ilmu yang mandiri. Seluruh ulama sepakat bahwa perbedaan antara ilmu dengan ilmu yang lain disebabkan oleh faktor tema atau objek serta tujuan dari ilmu itu sendiri. Ilmu Kaidah-kaidah ushul fiqh memiliki objek dan tujuan yang berbeda dengan ilmu lainnya bahkan berbeda dengan objek serta tujuan ilmu Ushul fiqh. Itu artinya ilmu kaidah-kaidah ushul fiqh adalah ilmu yang berdiri sendiri.
Kaidah-kaidah ushul, apakah merupakan dalil atau tidak dapat dikategorikan pada dua kategori yaitu: Pertama: Kaidah-kaidah ushul yang berdiri sendiri yaitu yang berpatokan pada sumber-sumber islam seperti Al qur’an adalah hujjah, begitu juga dengan sunnah, ijma’ qiyas, masholih mursalah, saddu ad dzaroi’ dan Istishab. Diantara kaidah ini ada yang disepakati oleh ulama sebagai hujjah dan ada yang masih dalam perdebatan dikalangan ulama.  Kedua: Kaidah-kaidah yang tidak berdiri sendiri tetapi hanya sebuah alat. Kaidah-kaidah itu adalah  yang diambil dari bahasa arab dan lainnya. Yang kedua ini bukan merupakan dalil yang mandiri tetapi hanya berfungsi sebagai sarana.
Ilmu kaidah-kaidah ushul fiqh tidak bisa dipisahkan dari ilmu ushul fiqh itu sendiri. Karena ilmu ini merupakan bagian dari ilmu ushul fiqh. Hubuangan antara keduanya adalah hubungan antara umum dan khusus.
Saran

Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan sedikit buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul Ushuliyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, seperti buku-buku yang penyusun tulis dalam bab VIII atau buku-buku lain yang tidak kalah pentingnya dari buku-buku tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Aiman Abdul Hamid Al-Badrain, 2005, Nadzoriyyah At-Taq’id Al-Ushuly, Kairo: Dar Ibn Hajm

Dr. Muhammad Dzuhaily, 2004, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah ala Al-Madzhab Al-Hanafy wa As-Safi’I, Kuwait: Majlis Al-Nasr Al-’Ilmy

Dr. Abdul Karim Zaidan, 2006, Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qowaid Al-Fiqhiyah fi As-Syari’ah Al-Islamiyah, Beirut-Libanon: Muassasah Ar Risalah Nasyirun

Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi ilm Al-Ushul, Beirut : Dar El-Kutub El-Ilmiyah, cetakan tahun 1413 H

Al-Jailany Al-Marini, Al-Qowaid Al-Ushuliyah wa tatbiqotiha ‘inda Ibn Quddamah fi kitab Al-Mugni, Kairo : Dar Ibn Affan, cetakan pertama tahun 2002 M

Syabir, Muhammad Utsman, Al-Qowaid al-Kulliyah wa ad-Dhowabit Al-Fiqhiyah, Yordania : Dar El-Furqon, cetakan pertama, tahun 2000

* Makalah disampaikan dalam kajian fakultatif di Bagas Godang KPTS, hari kamis tanggal 15 Oktober 2009 pukul 18.00 waktu Kairo.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook