Tuesday, June 18, 2013

dipukul dengan segala tingkatan pukulan tidak mau sadar?.


             
             ANAK YANG TIDAK MAU SADAR

                  By   M uhammad Rakib,S.H.,M.Ag
         Bagaimana jika sudah dipukul dengan segala tingkatan pukulan tidak mau sadar?. Islam melarang untuk menyakiti manusia apalagi istri dengan keras (lebih jauh), untuk itu jika memang demikian daripada takut nanti melukai istri lebih lanjut maka diperbolehkah bercerai meski itu sangat dibenci oleh Allah. Memukul peminum khamar,memang diberlakukan hukum hudud, seorang muslim yang kedapatan dan terbukti meminum khamar oleh pengadilan (mahkamah syar`iyah) hukumannya adalah dipukul.[1] Bentuk hukuman ini bersifat mahdhah, artinya bentuknya sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT. Sehingga tidak boleh diganti dengan bentuk hukuman lainnya seperti penjara atau denda uang dan sebagainya.
          Dalam istilah fiqih disebut hukum hudud, yaitu hukum yang bentuk, syarat, pembuktian dan tatacaranya sudah diatur oleh Allah SWT.[2]  Hudud jamak dari hadd, arti aslinya batas antara dua hal. Menurut bahasa bisa juga cegahan. Sedangkan menurut syari'at yang dimaksud ialah hukuman yang telah ditetapkan dalam al qur'an sebagai hak Allah. Ketetapan Allah SWT mengenai hukuman zina pada (Qs. An-Nisa':15-16). Kegunaannya untuk mencegah perbuatan keji, antara perbuatan zina,  dan semua perbuatan mesum seperti, : zina, homosek dan yang sejenisnya. Keji menurut pendapat Muslim dan mujahid, bahwa yang dimaksud dengan perbuatan keji ialah musahaqah (homosek antara wanita dengan wanita). Menurut Jumhur Mufassirin jalan yang lain itu, itu ialah dengan turunnya ayat 2 surat An Nur. Dasar pensyariatannya adalah hadits Nabi SAW berikut ini :
              "Siapa yang minum khamar maka pukullah". Hadits ini termasuk jajaran hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada tiap thabawatnya (jenjang) dan mustahil ada terjadi kebohongan diantara mereka.  Di tingkat shahabat, hadits ini diriwayatkan oleh 12 orang shahabat yang berbeda. Mereka adalah Abu Hurairah, Muawiyah, Ibnu Umar, Qubaishah bin Zuaib, Jabir, As-Syarid bin suwaid, Abu Said Al-Khudhri, Abdullah bin Amru, Jarir bin Abdillah, Ibnu Mas`ud, Syarhabil bin Aus dan Ghatif ibn Harits.
               Syarat diberlakukannya hudud bagi peminum khamar, para ulama sepakat bahwa agar hukuman pukul atau cambuk itu dapat terlanksana, syarat dan ketentuannya harus terpenuhi terlebih dahulu. Tidak asal ada orang minum khamar lantas segera dicambuk. Di antara syarat dan ketentuannya antara lain :
1. Berakal
Peminumnya adalah seorang yang waras atau berakal. Sehingga orang gila bila meminum minuman keras maka tidak boleh dihukum hudud.[3]
2. Baligh
Peminum itu orang yang sudah baligh, sehingga bila seorang anak kecil di bawah umur minum minuman keras, maka tidak boleh dihukum hudud. [4]
3. Muslim
Hanya orang yang beragama Islam saja yang bila minum minuman keras yang bisa dihukum hudud. Sedangkan non muslim tidak bisa dihukum bahkan tidak bisa dilarang untuk meminumnya.
4. Bisa memilih
Peminum itu dalam kondisi bebas bisa memilih dan bukan dalam keadaan yang dipaksa. 
5. Tidak dalam kondisi darurat
Maksudnya bila dalam suatu kondisi darurat dimana seseorang bisa mati bila tidak meminumnya, maka pada saat itu berlaku hukum darurat. Sehingga pelakunya dalam kondisi itu tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
6. Tahu bahwa itu adalah khamar
Bila seorang minum minuman yang dia tidak tahu bahwa itu adalah khamar, maka dia tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
Jumlah Pukulan
Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam menentukan jumlah pukulan. 
1. Jumhur fuqoha 
Jumhur ulama sepakat bahwa peminum khamar yang memenuhi syarat untuk dihukum, maka bentuk hukumannya adalah dicambuk sebanyak 80 kali. Pendapat mereka didasarkan kepada perkataan  Ali ra."Bila seseroang minum khamar maka akan mabuk. Bila mabuk maka meracau. Bila meracau maka tidak ingat. Dan hukumannya adalah 80 kali cambuk.[5]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ali ra. berkata,
"Rasulullah SAW mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunnah. Tapi yang ini (80 kali) lebih aku sukai",menurut HR. Muslim.
2. Imam Asy-Syafi`i.
              Sedangkan Imam Asy-Syafi`i ra. berpendapat bahwa hukumannya adalah cambuk sebanyak 40 kali. Dari Anas ra. berkata bahwa Rasulullah SAW mencambuk kasus minum khamar dengan pelepah dan sandal sebanyak 40 kali".[6]  Apakah benda atau alat untuk memukul maupun mencambuk? Para ulama mengatakan bahwa untuk memukul peminum khamar, bisa digunakan beberapa alat antara lain : tangan kosong, sandal, ujung pakaian atau cambuk.[7]   Ibnu Qayim  berkata,"Sabda Rasulullah SAW, 'Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud' maksudnya dalam hal jinayat (pidana kriminal seperti mencuri, yang merupakan hak Allah.

             Jika ada yang bertanya, "Kapan harus memukul di bawah sepuluh kali jika yang dimaksud hudud dalam hadits tersebut adalah jinayah?"
Jawabannya adalah saat seorang suami memukul isterinya atau budaknya atau anaknya atau pegawainya dengan tujuan mendidik atau semacamnya. Maka ketika itu tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali. Ini merupakan kesimpulan terbaik dari hadits ini."
[8]  Selayaknya hal tersebut dilakukan tidak di depan orang lain untuk melindungi kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain dari teman-temannya atau selainnya.  Juga hendaknya diketahui bahwa dalam perjalanan hubungan bapak dengan anak-anaknya dan pengajarannya bahwa sang bapak memukul sang anak semata-mata bertujuan agar dia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya semata-mata untuk kebaikannya secara sempurna dan perhatiannya dalam mendidiknya sesuai ketentuan syari agar jangan sampai timbul perasaan benci sang anak terhadap perkara syar'i yang berat dia lakukan dan karena meninggalkannya dia dipukul.

             Syaikh Ibn Baz  berkata, "Perhatikanlah keluarga dan jangan lalai dari mereka wahai hamba Allah. Hendaknya kalian bersungguh-sungguh untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera puteri kalian untuk melakukan shalat saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka saat berusia sepuluh tahun dengan pukulan yang ringan yang dapat mendorong mereka untuk taat kepada Allah dan mem-biasakan mereka menunaikan shalat pada waktunya agar mereka istiqomah di jalan Allah dan mengenal yang haq sebagaimana hal itu dijelaskan dari riwayat shahih dari Nabi SAW. [9]

              Syaikh Ibnu Utsaimin  berkata, "Nabi Muhammad SAW, telah memerintahkan agar kita memerintahkan anak-anak kita melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, atau kita memukul mereka, saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu mereka belum berusia baligh. Tujuannya adalah agar mereka terbiasa melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka mencintainya. Begitu pula dengan perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum baligh, agar mereka tidak terbiasa dan akrab ketika sudah besar." 

              Beliau juga berkata, "Perintah ini bermakna wajib. Akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi tidak bermanfaat pukulan tersebut. Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat. Kemudian, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan perbaikan bukan mencelakakan."[10]  

            Beliau juga berkata, "Tidak boleh dipukul dengan pukulan melukai, juga tidak boleh memukul wajah atau di bagian yang dapat mematikan. Hendaknya dipukul di bagian punggung atau pundak atau semacamnya yang tidak membahayakannya. Memukul wajah mengandung bahaya, karena wajah merupakan bagian teratas dari tubuh manusia dan paling mulia.[11]

Syaikh Fauzan berkata, "Pukulan merupakan salah satu sarana pendidikan. Sorang guru boleh memukul, seorang pendidik boleh memukul, orang tua juga boleh memukul sebagai bentuk pengajaran dan peringatan. Seorang suami juga boleh memukul isterinya apabila dia membangkang. Akan tetapi hendaknya memiliki batasan. Misalnya tidak boleh memukul yang melukai yang dapat membuat kulit lecet
, mematahkan tulang. Cukup pukulan seperlunya." . [12]

            Penting juga diperhatikan bahwa pembinaan terhadap anak, bukan hanya karena dia meninggalkan shalat saja, tapi juga jika sikapnya meremehkan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya dan wajibnya. Kadang sang anak shalat, tapi shalatnya dia jamak, atau dia shalat tanpa wudhu, atau tidak benar shalatnya. Maka ketika itu hendaknya diajarkan semua perkara shalat dan memastikan bahwa dia menunaikan kewajiban, syarat dan rukunnya. Jika mereka lalai dalam sebagiannya, maka kita kuatkan lagi nasehatnya, diajarkan terus menerus. Jika masih juga lalai, boleh diperingatkan dengan pukulan hingga shalatnya benar.
Al-Mubarkafuri dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi mengutip pendapat Al-‘Alaqi, dengan mengatakan: Berkata Al-‘Alaqi: … yang dimaksud dengan pukulan (di hadits tersebut) adalah pukulan yang tidak menyakitkan, dan harus menghindari bagian wajah.[13] 

             Pukulan yang tidak menyakitkan batasannya adalah pukulan yang tidak menyebabkan bekas atau memar, apalagi menyebabkan sobeknya kulit, pecahnya tulang, atau menimbulkan cacat. Sedangkan pukulan yang tidak boleh mengena wajah adalah pukulan baik secara langsung, misalnya tonjokan atau tamparan, atau menggunakan alat pemukul seperti kayu, rotan, kabel, besi. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw berikut. Dari Abi Hurairah dari Nabi saw, beliau ber-sabda:  Apabila salah seorang dari kalian memukul maka hindarilah memukul bagian wajah .[14]Apakah hukuman ini bisa diterapkan oleh selain orang tua, seperti misalnya guru di sekolah atau ustadz di pesantren?[15] dan apakah hukuman ini bisa diterapkan untuk hal lain seperti saat anak didik tidak ikut shalat berjama'ah, ber-shaff dengan tidak lurus, mengantuk saat membaca Al-Qur'an, melanggar disiplin bahasa, tidak masuk kelas tanpa izin.?
              Untuk yang pertama jawabannya tidak bisa, syara' hanya memberikan "kewenangan menghukum" tersebut hanya kepada orang tua tidak kepada yang lainnya. Kedua, hukuman tersebut tidak bisa diterapkan untuk pelanggaran-pelanggaran lainnya sebagaimana yang disebutkan. Menurut para ulama, syara' menjadikan hukuman demikian ini hanya pada syari'at shalat dan tidak pada syari'at-syari'at lainya, tidak lain karena kewajiban shalat merupakan kewajiban yang sangat besar bagi seorang muslim dan akan terasa berat apabila tidak ada pembiasaan sejak dini. Dimana ketika seorang anak sudah memasuki masa baligh, maka meninggalkan shalat dengan sengaja sudah menjadi dosa besar baginya.


C. Hukuman oleh
suami terhadap isterinya

             Syara’ hanya mengizinkan para suami untuk menghukum istrinya yang    nusyuz     (membangkang),[16] dengan tiga macam hukuman, yaitu me-nasihatinya, memisahkannya dari ranjang (pisah ranjang), dan pukulan. berdasarkan ayat:

………….wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.[17] 
               Asbabunnuzul ayat ini ialah: Ibnu Abu Hatim mengetengahkan dari Hasan, katanya, "Seorang wanita datang kepada Nabi saw. mengadukan suaminya karena telah memukulnya, maka sabda Rasulullah saw., 'Berlaku hukum kisas,' maka Allah pun menurunkan, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita...' sampai akhir ayat." (Q.S. An-Nisa 34.) Demikianlah wanita itu kembali tanpa kisas. Ibnu Jarir mengetengahkan pula dari beberapa jalur dari Hasan, yang pada sebagiannya terdapat bahwa seorang laki-laki Ansar memukul istrinya, hingga istrinya itu pun datang menuntut kisas. Nabi saw. pun menitahkan hukum kisas di antara mereka, maka turunlah ayat, "Dan janganlah kamu mendahului Alquran sebelum diputuskan mewahyukannya bagimu." (Q.S. Thaha 114) dan turunlah ayat, "Kaum lelaki menjadi pemimpin kaum wanita..." Dan dikeluarkan pula yang serupa dengan ini dari Ibnu Juraij dan Saddiy. Ibnu Murdawaih mengetengahkan juga dari Ali, katanya, "Seorang laki-laki Ansar datang kepada Nabi saw. dengan membawa istrinya, maka kata istrinya, 'Wahai Rasulullah! Dia ini memukul saya hingga berbekas pada wajah saya.' Jawab Rasulullah, 'Tidak boleh ia berbuat demikian', maka Allah swt. pun menurunkan ayat, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin kaum wanita...sampai akhir ayat.' (Q.S. An-Nisa 34) Maka hadis-hadis ini menjadi saksi, yang masing-masingnya menguatkan yang lainnya."





Tabel  8
Kemiripan ayat dan hadits tentang hukuman pukulan
 dari segi urutan kata.

No
QS An-Nisa’ (4) : 34
Hadits
1
Dinasehati isterimu
Disuruh anakmu
2
Pisahkan dari tempat tidur
Pisahkan tidurnya
3
Pukullah isterimu
Pukullah mereka

             Dari tiga tingkatan, pernyataan  dari ayat Al-Quran  dan hadits tersebut,  yang penulis  soroti adalah  yang nomor tiga,  karena ada kata “ Pukullah mereka”. Kaitannya, dengan penelitian ini ialah , kata pukulan itu, termasuk  kekerasan menurut HAM dan UU RI Nomor 23 Tahun 2002. Akan tetapi menurut analisis penulis, sebenarnya  ada hukuman pukulan yang tidak masuk kategori kekerasan fisik, yaitu memukul yang tidak berdarkan emosi, tidak gores, tidak berbekas, dan tidak boleh memukul wajah.
             Ada tiga jenis hukuman, yang dapat  dilakukan kepada isteri, secara bertahap, tidak menerapkan hukuman berikutnya jika dengan hukuman pertama si istri bisa berubah. Nasihat adalah nasihat yang menyadarkan, jika tidak ‘mempan’ maka dengan pisah ranjang, jika tidak juga mempan maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak diwajah. Hukuman terakhir ini tidak jauh beda dengan hukuman macam ke dua di atas, yaitu hukuman bersifat ta'dib (edukasi) bukan hukuman bersifat ta'dzib (penyiksaan). Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut menjelaskan sifat pukulan tersebut, mengutip perkataan ulama:

Hendaknya tidak merusak anggota tubuh apa pun dan tidak menimbulkan bekas sedikitpun padanya 
.[18]

             Dari penelaahan penulis  terhadap nash-nash baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah tidak ditemukan sama sekali adanya peluang bagi para pendidik untuk menghukum anak-didiknya, selain hanya bagi orang tua terhadap anaknya sendiri, itupun sangat terbatas. Apa yang bisa diperbuat oleh para pendidik ketika menjumpai anak didiknya melanggar, baik terhadap hukum syara' maupun terhadap peraturan-peraturan administratif setempat, untuk anak-anak ditinjau dari segi usianya.
            Batasan yang diajukan dalam menelaah mengenai pengertian anak / remaja, berdasarkan dari pendapat pakar-pakar psikologi oleh Andi Mappiaremengutip Elizabeth B. Hurlock dan peraturan perundang-undangan yang berlaku(Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak)menyebutkan bahwa pengertian remaja adalah suatu batasan usia dengan rentangusia antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 21 (dua puluh satu) tahun. Sedangkan pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapanbelas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga dalambatasan konsep penulisan hukum ini adalah bagi anak / remaja dalam rentang usiaantara 13 – 21 tahun. Di bawah ini tabel perbandinmgan batas usia menurut undang-undang.

              Secara yuridis formal, masalah pertanggung jawaban mengenai kenakalananak atau remaja yang dapat menimbulkan kejahatan ini telah memperolehpedoman yang baku dalam hukum. Pertama-tama adalah hukum pidana yang pengaturannya tersebar dalam beberapa pasal, dan sebagian pasal yang bersifatembrional adalah Pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Di samping itu KUH Perdata punmengatur tentang kenakalan anak atau remaja terutama dalam Pasal 302 dansegala pasal yang ditunjuk serta terkait dengan masalah kenakalan anak atauremaja ini. Kondisi dualistik tersebut membawa konsekuensi logis yang berbedadi dalam sebutannya, walaupun pada prinsip dasarnya sama.Kenakalan anak atau remaja yang melawan kaedah hukum tertulis yaknidalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebut sebagai “Anak Negara” dan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang HukumPerdata disebut sebagai “Anak Sipil”.Berkaitan dengan perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukanoleh anak atau remaja di bawah usia 16 tahun, KUHP Indonesia mengaturnyadalam Pasal 45 KUHP sebagai berikut :“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karenamelakukan suatu perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan,memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, waliatau pemeliharanya tanpa pidana apapun, atau memerintahkan supaya yangbersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatanmerupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal ;
 
42489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540,serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukankejahatan atau pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap,atau menjatuhkan pidana pada yang bersalah”.21
Pasal 45 KUHP di atas dapat dipandang memadai sebagai pasal yangmemuat beberapa ketentuan yuridis mengenai anak atau remaja di bawah usia 16tahun yang telah melakukan perbuatan pidana. Ketentuan-ketentuan yang tertuang di dalamnya menyangkut syarat-syarat penuntutan serta kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipilih oleh hakim di dalam membuat atau memberiputusan apabila :
1. Merupakan kejahatan sebagaimana termaktub dalam buku kedua KUHPidana.
2. Merupakan pelanggaran terhadap salah satu pasal dalam KUH Pidana ;Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532,536, dan 540.

          Jika dikaji dari segi syarat-syarat penuntutannya, maka Pasal 45 KUHPmemuat empat (4) hal yang harus dipenuhi, yakni :1. Anak yang dituntut belum cukup umur (minderjarig) atau lebih dikenalbelum dewasa.2. Tuntutan tersebut mengenai perbuatan pidana yang telah dilakukan olehanak yang bersangkutan pada waktu ia belum berumur 16 tahun danpenuntutan tersebut hanya dapat dilakukan sebelum anak mencapai umur 18 tahun.3. Perbuatan tersebut merupakan :        Kejahatan-kejahatan kekerasan, pencurian,penipuan, penggelapan dan pemerasan.
           Salah satu pelanggaran dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536,dan 540 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.4. Belum kadaluwarsa, yakni belum lewat dua tahun sejak dinyatakanbersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaransebagaimana ditunjuk oleh pasal 45 KUHP.Berikut ini penulis sajikan dalam bentuk tabel.





Tabel  8
Perbandingan Batas Usia Dewasa Menurut Undang-Undang

Skema batas usia dewasa

http://docs.google.com/File?id=dft3vqp2_783rnxhmds_b 
Bandingkan ketentuan umur yang disebut di dalam hadits ini:

“Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.[19]
             Hukuman  untuk anak-anak, tentu saja, hal yang bisa dilakukan adalah tindakan  yang bukan berupa hukuman, melainkan konsekwensi logis yang sejalan dengan syari'at Islam. Misalnya ketika ada seorang santri atau siswa melanggar disiplin administratif berupa lalai atau berbohong saat meminta izin, tindakan yang bisa ditempuh misalnya menasihati dengan nasihat yang baalighoh dengan kata-kata yang menyentuh,  tanpa amarah atau membentak-bentak dengan mengangkat suara, hingga seorang anak menyadari sendiri kesalahannya dan menyesalinya.
             Kemudian ciptakan suasana agara murid, mau meminta maaf seraya bertaubat kepada Allah swt, pendidik bisa memintanya untuk membaca istighfar sebanyak-banyaknya saat itu, atau membangunkannya untuk shalat taubat di malam harinya. Apabila kesalahan sudah mencapai tingkatan yang sangat parah, dan pendidik melihat hal itu berdampak buruk bagi anak-anak didik lainya, selanjutnya bisa menempuh jalan untuk memulangkannya atau mengeluarkannya dari lembaga. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Imam Al-Hasan Al-Bashri terhadap bekas muridnya yaitu Washil bin 'Atho' tatkala beliau menjumpainya menyimpang dan tidak ada harapan untuk kembali ke jalan yang lurus, Al-Hasan Al-Bashri tidak menjatuhkan hukuman apa pun terhadap dirinya, beliau hanya mengusirnya dari majlis ilmu yang beliau bina.

             Terkait hukuman fisik, memang bukan main-main,  dalam bentuk apapun, karena menyakiti sesama muslim adalah dosa di sisi Allah swt. Sedangkan antara para pendidik dan para santri atau siswa pada hakikatnya adalah sesama muslim, yang tidak boleh saling menyakiti satu sama lain. Rasulullah saw bersabda:

Dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda: Siapa-siapa yang menyakiti seorang muslim maka sungguh ia telah menyakitiku, dan siapa siapa yang telah menyakitiku maka sungguh ia telah menyakiti Allah swt 
.[20]
             'Uqubah Syar'iyyah, (hukuman) yang sesuai syari'at ini mungkin penting untuk diketahui sebagai acuan dalam memberlakukan hukuman selama proses pendidikan. Dengan harapan, hukuman yang kita terapkan terhadap anak didik kita yang melanggar aturan berjalan efektif sesuai dengan fitrah syari’at, bukan hukuman yang kontraproduktif, yaitu hukuman yang justru melanggar syari’at itu sendiri, yang pada akhirnya bukan hanya pelanggar aturan yang berdosa tapi juga yang menghukum, selain juga tidak ada bekas ketaatan terhadap penghukum yang dia sendiri tidak taat kepada sang Al-Hakim Asy-Syari’ Allah ‘Azza wa Jalla. Tentu kita tidak menginginkan kondisi yang semacam demikian itu.
            Pertama, perlu tahu macam-macam hukuman yang ada dalam Islam. Secara garis besar dia digolongkan menjadi tiga macam: hukuman oleh pemerintah terhadap rakyatnya, hukuman oleh orang tua terhadap anaknya, dan hukuman oleh suami terhadap isterinya. Adapun terkait hukuman oleh tuan terhadap hamba-sahayanya, tidak kami bahas untuk memperingkas tulisan ini.
                Ada ta’zir, dalam bentuk, kepala-kepala murid  atau santri yang dicukur,[21] dengan acak-acakan, setelah itu tubuh mereka basah kuyup dengan bau yang tidak sedap, ya mereka disiram air comberan. Tak cukup sampai disitu, mereka masih harus berdiri semalaman. “Ritual” itu harus mereka jalankan untuk “menebus” kesalahan yang mereka.

          Ta’zir adalah sebuah hukuman yang dijatuhkan pada santri yang melanggar aturan pondok pesantren. Ta’zir disini lebih diartikan sebagai bentuk hukuman yang berupa kekerasan fisik. Bentuknya bisa bermacam-macam tergantung kebijakan masing-masing pesantren. Entah bagaimana sejarahnya, budaya ini menjadi begitu membumi di kalangan pesantren. Mengamati fenomena tersebut, ada satu kekhawatiran, jika kemudian tradisi itu akan terus berlanjut sampai sekarang. Sebuah institusi pendidikan, apalagi sebuah pesantren yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai luhur pada masyarakat sudah tidak sepantasnya melakukan tindakan yang menurut saya lebih mengarah pada tindakan yang anarkis. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengubah tradisi tersebut menjadi satu hal yang lebih mendidik dan “humanis”, ini menyangkut dengan hukuman yang ditimpakan kepada mereka yang sudah tidak relevan lagi.

            Selain hal di atas, kenapa masyarakat di lingkungan pesantren masih banyak yang menggunakan cara tersebut? Tradisi ta’zir, hampir sama dengan budaya perpeloncoan,[22] saat memasuki tahun ajaran baru bagi siswa sekolah yang sekarang sudah mulai ditinggalkan. Perpeloncoan kemudian diganti dengan cara-cara yang lebih arif semisal olahraga, permaian dan sebagainya. Tampaknya masyarakat sudah bisa menilai bahwa bahwa cara-cara tradisional seperti perpeloncoan merupakan cara yang sudah tidak relevan lagi dan tidak mendidik. Tapi hal itu tidak terjadi pada pondok pesantren. Adanya tradisi ta’zir yang sampai sekarang masih dilestarikan adalah satu bentuk-paling tidak menurut opini masyarakat adalah budaya feodal yang sampai saat ini masih berjalan. Menurut Siti Rofi'ah dar UIN Semarang, dari hasil pengamatan terhadap beberapa (21) pesantren yang ada di Salatiga 17 di antaranya masih menggunakan cara ta’zir untuk menghukum santrinya. Ini menunjukkan bahwa cara tersebut masih sangat “diminati” dan dianggap sebagai cara yang ampuh serta efektif untuk mengatasi masalah pelanggaran yang dilakukan santri.
           Landasan filosofis dari dibuatnya sebuah hukuman itu  adalah untuk membuat pelaku pelanggaran jera dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Di sini Ta’zir sudah tidak mampu memenuhi hal itu. Bahkan dari informasi yang ada, para santri yang sudah pernah terkena ta’zir kebanyakan tidak menjadi jera bahkan malah menjadi semakin penasaran dan kebal dengan hukuman itu. Akhirnya tujuan hukuman itu sendiri tidak tercapai.

              Untuk merubahnya, tentunya harus dimulai pada persoalan yang paling mendasar, yaitu bagaimana tokoh-tokoh pembuat kebijakan dalam pesantren (para pengurus yang juga termasuk santri, dan paling utama adalah Kyai sebagai tokoh sentral dalam sebuah pesantren) memahami esensi sebuah hukuman dan bagaimana efisiensinya terhadap obyek yang terkena hukuman, dalam hal ini adalah santri. Apakah cara-cara seperti ta’zir masih tepat dipertahankan, atau jangan-jangan hanya menjadi tradisi turun temurun yang sia-sia?

           Pada awalnya, ta’zir sangat efektif diberlakukan dalam sebuah pesantren, sampai-sampai banyak pesantren di Indonesia menggunakan cara ta’zir sebagai bentuk hukuman. Akan tetapi dalam konteks sekarang, dengan setting sosial yang berbeda, tampaknya masyarakat di lingkungan pesantren harus mempertimbangkan ulang perihal ta’zir tersebut. Persoalan seperti apa metode yang tepat untuk hukuman tergantung dari keadaan. Yang jelas menurut , hukuman dijatuhkan bukan hanya sebagai cara agar membuat kapok bagi pelanggar, akan tetapi lebih pada pembelajaran agar pelanggar tahu arti kesalahan yang dia perbuat dan mempunyai kesadaran agar tidak mengulanginya. Cara ini akan lebih indah dan menyentuh  dibandingkan cara-cara kasar yang hanya menjadikan fisik sebagai sasarannya.
               Ta’zir (hukuman) dalam pondok pesantren, perlu direformasi, karena begitu banyaknya santri yang tidak mentaati aturan-aturan yang berlaku dalam pondok pesantren. Setiap santri yang melakukan pelanggaran maka akan dita’zir sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan santri tersebut. Akan tetapi ada juga ta’zir yang diberikan santri tidak adil,[23] semisal ada santri yang melanggar aturan podok pesantren tetapi karena santri tersebut kenal atau teman dekat dengan si penta’zir maka ta’zir-an yang diberikan kepada santri tersebut lebih ringan dari pada santri yang tidak dekat dengan si penta’zir.        Kebanyakan santri saat ini ketika dita’zir akan semakin parah bisa juga santri balik mengancam, semisal lapor pada pihak berwajib dan tidak jarang juga santri-santri yang tidak melanggar terkena imbasnya.
              Tidak patut pendidikan yang diberlakukan di negara ini, melanggar hukum yang sudah ditentukan. Jika dilihat dari hukum yang berlaku di negara ini,masih ada yang  melanggar HAM, karena terkadang ta’zir  yang diberikan kepada santri  tidak sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh santri tersebut. Misalnya ketika libur pondok telah usai dan saat kembali ke pondok santri yang terlambat akan dicukur gundul atau beli semen satu bal. Dan ada juga aturan-aturan tertentu di pondok pesantren yang bertolak belakang dengan negara RI, negara yang seperti apa HAM dan hukum dan aturan-aturan yang diberlakukan di dalamnya.[24]
             Penulis berpendapat, hukuman fisik di madrasah dan sekolah, harus di-hapuskan. Kalau ada hukuman yang bersifat mendidik kenapa harus menggunakan hukuman dengan kekerasan, karena kebanyakan ta’zir yang menggunakan kekerasan  akan membuat santri lebih parah, tingkat pelanggarannya dan bisa juga santri-santri yang dita’zir menyimpan dendam. Karena apabila dilihat santri saat ini, terkadang tidak sadar bahwa ta’zir yang diberikan kepadanya itu bermaksud baik agar  kesalahan, tidak diulang kembali.
Analisis Perilaku Bullying di Sekolah Dasar, adalah tentang apa yang mesti dilakukan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan bullying di sekolah? Pertama, di lingkungan sekolah harus dibangun kesadaran dan pemahaman tentang bullying dan dampaknya kepada semua stakeholder di sekolah, mulai dari murid, guru, kepala sekolah, pegawai sekolah hingga orangtua. Sosialisasi tentang program anti bullying perlu dilakukan dalam tahap ini sehingga semua stakeholder memahami dan pengerti apa itu bullying dan dampaknya.
            Kemudian harus dibangun sistem atau mekanisme untuk mencegah dan menangani kasus bullying di sekolah. Dalam tahap ini perlu dikembangkan aturan sekolah atau kode etik sekolah yang mendukung lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua anak dan mengurangi terjadinya bullying serta sistem penanganan korban konflik bullying di setiap sekolah.[25] Sistem ini akan mengakomodir bagaimana seorang anak yang menjadi korban bullying bisa melaporkan kejadian yang dialaminya tanpa rasa takut atau malu, lalu penanganan bagi korban bullying.
Tabel 2. Tempat Terjadinya Bullying
Kekerasan (Bullying)
Jumlah Kasus
Persentase
Di Sekolah
226
54,20%
Di Luar Sekolah
191
45,80%
Total
417
100%
Sumber : Komnas Perlindungan Anak, 2007

Tabel 3. Bentuk bullying
Kekerasan (Bullying)
Jumlah Kasus
Persentase
Kekerasan Fisik
89
21,34%
Kekerasan Seksual
118
28.30%
Kekerasan Psikis
210
50,36%
Total
417
100%
Sumber : Komnas Perlindungan Anak, 2007

             Tidak kalah pentingnya adalah menghentikan praktek-praktek kekerasan di sekolah dan di rumah yang mendukung terjadinya bullying seperti  pola pendidikan yang ramah anak dengan penerapan positive discipline di rumah dan di sekolah. Langkah ini membutuhkan komitmen yang kuat dari guru dan orangtua untuk menghentikan praktek-praktek kekerasan dalam mendidik anak. Pelatihan tentang metode positif disiplin perlu dilakukan kepada guru dan orangtua dalam tahap  ini.Terakhir adalah membangun kapasitas anak-anak kita dalam hal melindungi dirinya dari pelaku bullying dan tidak menjadi pelaku. Untuk itu anak-anak bisa diikutkan dalam pelatihan anti Bullying serta berpartisipasi aktif dalam kampanye anti bullying di sekolah. Dalam tahap ini metode dari anak untuk anak (child to child) dapat diterapkan dalam kampanye dan pelatihan.
          


              [1] "Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka." (Dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa'u Ghalil, no. 247)  Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitab Al-Mughni (1/357): "Perintah dan pengajaran ini berlaku bagi anak-anak agar mereka terbiasa melakukan shalat dan tidak meninggalkannya ketika sudah baligh."  As-Subki berkata, "Wali bagi anak diwajibkan memerintahkan anaknya untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan memukulnya (apabila masih belum melaksanakan shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun.Kami tidak mengingkari wajibnya perintah terhadap perkara yang tidak wajib, atau memukul terhadap perkara yang tidak wajib. Jika kita boleh memukul binatang untuk mendidik mereka, apalagi terhadap anak? Hal itu semata-mata untuk kebaikannya dan agar dia terbiasa sebelum masuk usia balig." (Fatawa As-Subki, 1/379)
 

Maka anak kecil dan budak anak kecil diperintahkan untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan dipukul saat mereka berusia sepuluh tahun. Sebagaimana mereka juga diperintahkan untuk berpuasa Ramadan dan dimotivasi untuk melakukan segala kebaikan, seperti membaca Al-Quran, shalat sunah, haji dan umrah, memperbanyak membaca tasbih, tahlil, takbir dan tahmid serta melarang mereka dari semua bentuk kemaksiatan.
 Disyaratkan dalam masalah memukul anak yang tidak shalat yaitu pukulan yang tidak melukai, tidak membuat kulit luka, atau tidak membuat tulang atau gigi menjadi patah. Pukulan di bagian punggung atau pundak dan semacamnya. Hindari memukul wajah karena diharamkan memukul wajah berdasarkan larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Pukulan hendaknya tidak lebih dari sepuluh kali, tujuannya semata untuk pendidikan dan jangan perlihatkan pemberian hukuman kecuali jika dibutuhkan menjelaskan hal tersebut karena banyaknya penentangan anak-anak atau banyak yang melalaikan shalat, atau semacamnya. Dari Abu Burdah Al-Anshari, dia mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Seseorang tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud (hukuman tetap) dari Allah Ta'ala." (HR. al-Bukhari, no. 6456, Muslim, no. 3222)


Ibnu Qayim rahimahullah berkata,"Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, 'Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud' maksudnya dalam hal jinayat (pidana kriminal seperti mencuri, dll) yang merupakan hak Allah.
 Jika ada yang bertanya, "Kapan harus memukul di bawah sepuluh kali jika yang dimaksud hudud dalam hadits tersebut adalah jinayah?"Jawabannya adalah saat seorang suami memukul isterinya atau budaknya atau anaknya atau pegawainya dengan tujuan mendidik atau semacamnya. Maka ketika itu tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali. Ini merupakan kesimpulan terbaik dari hadits ini." (I'lamul Muwaqqi'in, 2/23)

Selayaknya hal tersebut dilakukan tidak di depan orang lain untuk melindungi kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain dari teman-temannya atau selainnya. Juga hendaknya diketahui bahwa dalam perjalanan hubungan bapak dengan anak-anaknya dan pengajarannya bahwa sang bapak memukul sang anak semata-mata bertujuan agar dia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya semata-mata untuk kebaikannya secara sempurna dan perhatiannya dalam mendidiknya sesuai ketentuan syari agar jangan sampai timbul perasaan benci sang anak terhadap perkara syar'i yang berat dia lakukan dan karena meninggalkannya dia dipukul.


Syaikh Ibn Baz  berkata, "Perhatikanlah keluarga dan jangan lalai dari mereka wahai hamba Allah. Hendaknya kalian bersungguh-sungguh untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera puteri kalian untuk melakukan shalat saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka saat berusia sepuluh tahun dengan pukulan yang ringan yang dapat mendorong mereka untuk taat kepada Allah dan membiasakan mereka menunaikan shalat pada waktunya agar mereka istiqomah di jalan Allah dan mengenal yang haq sebagaimana hal itu dijelaskan dari riwayat shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.(Majmu Fatawa Bin Baz, 6/46)
 Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan agar kita memerintahkan anak-anak kita melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, atau kita memukul mereka saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu mereka belum berusia balig. Tujuannya adalah agar mereka terbiasa melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka men-cintainya. Begitu pula dengan perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum balig, agar mereka tidak terbiasa dan akrab ketika sudah besar." (Fatawa Nurun ala Darb, 11/386) Beliau juga berkata, "Perintah ini bermakna wajib. Akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi tidak ber-manfaat pukulan tersebut. Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat. Kemudian, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan perbaikan bukan mencelakakan." (Liqo Al-Bab Al-Maftuh, 95/18)
          [2] Keterangan ayat tentang Hudud. (Perempuan yang berzina dan laki - laki berzina) kedua - duanya bukan muhshan atau orang yang terpelihara dari berzina disebabkan telah kawin. Hadd bgi pelaku zina muhshan adalah dirajam, menurut keterangan dari sunnah.(maka deralah tiap - tiap seorang dari keduanya seratus kali dera) yakni seratus kali pukulan.Jika dikatakan Jalahadu artinya ia memukul kulit seseorang; makna yang dimaksud adalah mendera. kemudian ditambahkan hukuman bagi pelaku zina yang bukan muhshan ini menurut keterangan dari Sunnah, yaitu harus diasingkan atau dibuang selama satu tahun penuh. bagi hamba sahaya hanya dikenakan hukuman separuh dari hukuman orang yang merdeka tadi. Lihat Mucktar Yahya, op.cit.,511

          [3] Ta'zir adalah jenis hukuman, bukan bentuk hukuman. Bentuk hukuman bisa dalam bentuk cambuk, rajam atau diasingkan. Tapi kalau kita bicara tentang jenis hukuman, maka jenis hukuman itu ada 2 macam, yaitu hukum hudud dan hukum ta'zir. Sedangkan bentuknya bisa saja cambuk, rajam atau lainnya. Beda Ta'zir dengan Hudud .Jadi padanan dari hukum ta'zir bukan cambuk, melainkan hukum hudud. Hukum hudud adalah hukum yang semua aturannya langsung ditetapkan Allah. Mulai dari batasan pelanggaran, pembuktian, syarat saksi hingga pada bentuk hukumannya. Semua ditetapkan Allah SWT bahkan nabi SAW tidak punya hak untuk mengubahnya.Contoh hudud adalah ketentuan memotong tangan pencuri. Allah secara langsung menetapkan hukuman buat pencuri. Bahkan ketika seorang wanita dari Bani Makhzum mencuri dan para shahabat berpandangan untuk meminta keringanan dari nabi untuk tidak dipotong tangannya, beliau SAW menolak keringanan itu seraya menjelaskan bahwa ketentuan potong tangan bukan wewenangnya. Hukum ta'zir adalah hukuman yang semua ketentuannya ditetapkan oleh hakim. Meski tetap mengacu kepada syariat dari Allah SWT juga. Namun khusus untuk hukuman ta'zir, hakim mendapatkan hak lebih besar untuk menentukan bentuk dan beratnya hukuman.Contohnya adalah hukuman buat pelaku zina yang kurang buktinya, misalnya tidak ada 4 orang saksi yang memenuhi syarat. Mereka ini tidak bisa dirajam meski melakukan zina, bila tidak ada saksinya. Tetapi karena jelas-jelas melakukan kemesuman, maka hakim berhak untuk menjatuhkan hukuman 'pelajaran' kepada mereka, misalnya dicambuk 10 kali. Hukuman ta'zir ini bukan untuk menghukum kasus zina, melainkan tindakan mesum yang boleh jadi belum memenuhi derajat zina.Maka salah satu peran hukuman ta'zir ini adalah agar para pelaku hukum hudud yang kurang syaratnya tidak lolos begitu saja. Maklumlah, kita tahu bahwa untuk menjatuhkan hukum hudud, diperlukan syarat yang sangat njelimet dan nyaris bisa-bisa semua tertuduh bebas.
              [4] Hukum Hudud telah sekian lama dipropagandakan oleh media-media barat dan musuh-musuh Islam agar masyarakat melihatnya sebagai ganas dan tidak sesuai diamalkan dalam zaman yang serba moden ini. Sedangkan Hukum Hudud dan undang-undang Islam lain yang Allah perintahkan dalam AlQuran untuk dilaksanakan adalah relevan sepanjang zaman hinggalah ke Hari Kiamat, dan ianya WAJIB untuk dilaksanakan. Hudud ialah satu cabang dari undang-undang jenayah Islam. Di dalam perundangan jenayah Islam terdapat tiga jenis hukuman iaitu Hudud, Qisas dan Ta'zir.Hudud ialah kesalahan jenayah yang melanggar hak-hak Allah iaitu melanggar batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah dan hukumannya adalah berdasarkan kepada nas, sama ada melalui AlQuran atau AlHadits. Ia meliputi keperluan menjaga agama, nyawa, akal, keturunan dan harta benda.
"Itu adalah Hudud (had-had) dari Allah,  barangsiapa ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, nescaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar." Surah An-Nisaa'
(4) : Ayat 13.

               [5] HR. Ad-Daruquthuni, Malik
               [6] HR. Bukhari, Muslim, Tirmizy, Abu Daud.
              [7] Sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tua untuk memukul bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. Dalam Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/123-124.
               [8] I'lamul Muwaqqi'in, 2/23
                [9] Fatawa Nurun ala Darb, 11/386. Lihat juga Majmu Fatawa Bin Baz, 6/46
                [10] Kitab Liqo Al-Bab Al-Maftuh, 95/18.
                [11] Jika dipukul bagian wajah, maka sang anak merasa terhinakan melebihi jika dipukul di bagian punggung. Karena itu, memukul wajah dilarang." Fatawa Nurun ala Darb ,13/2.
                [12] Ighatsatul Mustafid Bi Syarh Kitab Tauhid, 282-284
                [13] Tuhfatul Ahwadzi, 2/370
                     [14] HR. Abu Dawud
                   [15] Pada saat anak sudah masuk masa baligh maka hukuman pukulan tersebut tidak berlaku lagi, hukuman bagi mukallaf yang melakukan keharaman selain terkait hudud dan jinayat adalah hukuman ta'zir oleh khalifah, tidak boleh lagi dilakukan oleh orang tua. Jadi, hukuman pukulan oleh orang tua terhadap anak yang meninggalkan shalat ini hanya berlaku saat anak sudah memasuki usia 10 tahun hingga anak memasuki masa baligh.Abu A’la Al-Maududi, op.cit.,155
              [16] Kecintaan kepada istri, tanpa disadari banyak menggiring suami ke bibir jurang petaka. Betapa banyak suami yang memusuhi orang tuanya demi membela istrinya. Betapa banyak suami yang berani menyeberangi batasan-batasan syariat karena terlalu menuruti keinginan istri. Malangnya, setelah hubungan kekerabatan berantakan, karir hancur, harta tak ada lagi yang tersisa, banyak suami yang belum juga menyadari kesalahannya. Ummu Ishaq Al-Atsariyyah) Majalah AsySyariah Edisi 027
             [17] Walaupun tidak menutup kemungkinan sudah ada pesantren yang tidak menggunakan sistem tersebut, atau paling tidak sudah mengganti bentuk hukumannya dengan hukuman yang lebih mendidik, akan tetapi dari data yang ada pesantren yang menggunakan cara itu masih banyak. QS. An-Nisa [4]: 34)
             [18] Tafsir Ibn Katsir, 2/295
               [19] HR. Dawud
                [20] HR. Ath-Thabrni
               [21] Kepala anak-anak yang dicukur dengan acak-acakan, setelah itu tubuh mereka basah kuyup dengan bau yang tidak sedap. Mereka disiram air comberan. Tak cukup sampai disitu, mereka masih harus berdiri semalaman. “Ritual” itu harus mereka jalankan untuk “menebus” kesalahan yang mereka perbuat. Itulah  sedikit menggambarkan bagaimana para santri menjadi “korban” dari sebuah sistem, sebuah tradisi, yang sampai sekarang masih banyak terjadi di kalangan beberapa pondok pesantren. Tradisi itu adalah ta’zir.
               [22] Walaupun tidak menutup kemungkinan sudah ada pesantren yang tidak menggunakan sistem tersebut, atau paling tidak sudah mengganti bentuk hukumannya dengan hukuman yang lebih mendidik, akan tetapi dari data yang ada pesantren yang menggunakan cara itu masih banyak.
            [23] Di zaman yang sudah berubah ini tentu ta’zir-an bukan cara utama untuk mendidik santri saat ini, berbeda dengan santri-santri yang dahulu, jika santri dahulu dita’zir maka santri tersebut bisa menerima dengan ikhlas. karena sadar memang perbuatannya itu salah dan si penta’zir dahulu memang benar-benar adil tanpa pilih kasih.
             [25] Anak sekolah membolos? apa hukumanya? kalau di negeri kita paling banter pemanggilan orang tua murid ke sekolah dan diberi pengarahan, ujung-ujungnya paling parah adalah skors. Tapi di Inggris, murid membolos sekolah orang tua dipenjara. Sudah lebih dari 11.000 orang tua di Inggris mendapatkan sanksi karena membiarkan anak mereka bolos sekolah. Hukum ini diberlakukan oleh pemerintah Inggris bahkan pemerintah setempat masih menganggap hukum ini terlalu ringan, lebih fantastis lagi mereka akan memperketat peraturan tentang bolos sekolah ini, seperti yang dikutip dari vivanews.com. Dilansir laman The Guardian, Selasa 8 November 2011, terdapat 11.757 orang tua yang dihukum karena ketidakhadiran anak mereka di sekolah. Angka ini meningkat dari tahun lalu di mana 11.188 orangtua dijatuhi sanksi serupa.Sebanyak 25 orangtua di antaranya dihukum penjara, dengan vonis terlama 90 hari. Sejumlah 9.000 orang divonis bersalah dan dua pertiga di antaranya dijatuhi denda. Denda maksimal untuk kejahatan ini adalah 850 poundsterling atau sekitar Rp12 juta. Lebih dari 400 orangtua mendapatkan hukuman kerja sosial, dan 53 lainnya ditangguhkan hukumannya.Jumlah orangtua yang dihukum akibat anak yang membolos di Inggris dari tahun ke tahun bertambah jumlahnya. Pada tahun 2005, tercatat hanya 4.000 orangtua yang dihukum. Jumlah orangtua yang dipenjara konstan, sekitar 15 hingga 20-an.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook