Thursday, June 20, 2013

MEMUKUL ANAK YANG TIDAK SHOLAT TAPI TIDAK MELANGGAR HAM



DISERTASIKU ANALISIS HUKUM TENTANG MEMUKUL ANAK YANG TIDAK SHOLAT



PROFILKU JATI DIRIKU.Drs.Muhammad Rakib Jamari,S.H.,M.Ag




Dosen Ilmu Hukum dan Perbandingan Agama Perguruan Tinggi Persada Bunda Pekanbaru-Riau-Indonesia



Nama   : Muhammad Rakib
Umur   :   54 tahun
Pekerjaan   : Dosen Persada Bunda dan Widyaiswara LPMP. Riau Pekanbaru- Indonesia, sejak tahun 2000. Punya Yayasan Raksya Riau
HP. 0823  9038 1888
Lahir   : KUALA KAMPAR. Penyalai 31 Gustus 1959
Nama Orang tua :  Janib Maryama
Pendidikan terakhir   :  Program Doktor UIN Suska Riau Indonesia. Jurusan Hukum Islam. (Kandidat doktor 2013)Mohon doa pembaca agar sukses atas izin Allah. Bimbingan Prof. Dr. Sudirman, M.Djohan dan Prof.Dr.Syafrinaldi, M.CL.

ANAK ANDA ADALAH PENGGUGAT ANDA

DISERTASIKU ANALISIS HUKUM TENTANG MEMUKUL ANAK YANG TIDAK SHOLAT

A.Perlindungan anak dalam Islam
1. Perlindungan dari hukuman fisik.
            Di masa hidupnya Rasulullah, di masa Amirul Mukminin, dan di masa jayanya dinasti Umayyah dan Abbasiyah, hukuman fisik oleh orang tua dan guru, yang digunakan  untuk menghukum anak-anak adalah cambuk kecil,[1] untuk menakut-nakuti anak-anak  yang tidak disiplin belajar  dan tidak shalat. Menanamkan sikap kesatria dan bertanggungjawab,bersedia dihukum, mau mengakui kesalahan, merupakan salah satu bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk melestarikan, menanamkan (internalisasi) dan mentransformasikan nilai-nilai Islam tersebut kepada pribadi generasi penerusnya sehingga nilai-nilai cultural-religious yang dicita-citakan tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu-kewaktu. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk lembaga dan sistem pendidikan Islam pada masa khalifah Harun ar-Rasyid dan al-Makmun?
                Hukuman fisik tidak banyak ditulis para ilmuwan. Lembaga pendidikan Islam yang berkembang pada masa khalifah Harun ar-Rasyid berbentuk: kuttab, pendidikan rendah di istana, halaqah, masjid, majelis, rumah sakit dan rumah-rumah ulama’, toko buku dan perpustakaan. Sedangkan lembaga pendidikan Islam pada masa al-Makmun yaitu: kuttab, pendidikan rendah di istana, halaqah, masjid, majlis, rumah sakit, observatorium, khan, ribat, toko buku dan perpustakaan. Sistem pendidikan Islam pada masa kedua khalifah ini meliputi: tujuan, kurikulum, metode, kehidupan guru dan murid serta hubungan guru dan murid. Tujuan Pendidikan Islam pada masa Pola hubungan guru dan murid  tidak ditemui informasi tentang kekerasan apapun. Karena didasarkan pada prinsip demokratis dan kesucian batin serta akhlaqul karimah.
              Dari data historis tersebut, menurut   analisis penulis  angtara konsep Hukum Islam dan UU RI No 23, secara  tekstual seakan-akan terjadi pertentangan secara tekstual. Sedangkan secara  kontekstual, “ tidak”, karena hukuman fisik terhadap anak-anak dalam Islam, tidak mengandung kekerasan, dan digunakan sebagai alternatif terakhir, sekaligus sebagai antisipasi kerusakan (dar’ul mafasid).[2]Dar’ul mafasid, artinya mencegah  kerusakan yang lebih besar. Maksudnya memberikan hukuman fisik kepada anak-anak adalah untuk mencegah kejahatan yang mungkin akan dilakukannya, akan tetapi jangan sampai menghasilkan manusia yang suka dengan tindak kekerasan dikemudian hari. Kalau itu terjadi, maka pendidikan saat ini hanya menghasilkan kesalahan besar.
2.Melindungi anak-anak dari kekerasan guru.
Dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang UU Perlindungan Anak pasal 54 menyebutkan: “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”.
Apakah bertentangan dengan Hukum Islam yang membolehkan hukuman fisik sekedarnya, untuk melindungi dan  menjunjung tinggi kesucian kehidupan anak-anak. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah ayat-ayat dalam al-Qur’an dan  hadits. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, Islam memberikan landasan hukum yang jelas bahwa kehidupan manusia itu suci sehingga haruslah dipelihara dan tidak boleh dihancurkan (diakhiri) kecuali dilakukan untuk suatu sebab atau alasan yang benar, misalnya pembelaaan diri yang dibenarkan. Berikutnya akan dianalisis pandangan-pandangan  ulama fikh tentang kekerasan, argumentasi methodologis (usul fikh), solusi fikh, dan  argumentasi fikh. Berikut ini disajikan tabel :





Tabel  5
Perbedaan antara UU Perlindungan Anak dan Hukum Islam, tentang hukuman fisik, bagi anak-anak.

No
     UU Nomor 23 Tahun 2002
                    Hukum Islam
1
Berdasarkan HAM dan konvensi PBB tentang hak-hak anak.
Berdasarkan Al-Quran dan Hadits
2
Keterangannya bersifat  global
Keterangannya  bersifat  detil
3
Untuk semua agama
Untuk umat Islam dan dunia
4
Melarang hukuman fisik, tanpa batas
Membolehkan hukuman fisik, dengan batas-batas tertentu.
5
Bersifat sekular rasionalis
Bersifat sakral relegius
6
Memuat sanksi hukuman penjara dan denda bagi yang melanggarnya.
Memuat sanksi hukuman qishas dan ta’zir  bagi yang melanggarnya.
Keterangan  tabel  5
             Pada  baris nomor 5 dalam tabel ini, dibandingkan tentang dasar atau landasan atau fondasi dari UU Nomor 23 Tahun 2002 adalah  Hak Asasi Manusia (HAM) dan Konvensi PBB tentang hak-hak anak yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Sedangkan Hukum Islam, dasarnya adalah  Al-Quran dan  Hadits. Walaupun dasarnya dan landasannya berbeda, tapi tujuannya sama, yaitu memberikan perlindungan kepada anak-anak. Dalam Islam, anak-anak sampai umur tujuh tahun, dibimbing dan diberi contoh, bagaimana melakukan shalat. Mereka biasanya lebih terpengaruh oleh kebiasaan dan didikan orang tuanya. Namun setelah mulai masuk sekolah ia akan terbina oleh gurunya dan terpengaruh oleh teman-temannya di sekolah. Kalau pembinaan guru-gurunya baik dan pengaruh teman-temannya pun baik maka insya Allah jiwa anak terbina dgn baik. Sebaliknya kalau pembinaan dari guru-gurunya hanya sekadarnya dan pengaruh teman-temannya buruk maka si anak terbentuk dalam pola yang kurang baik.
           Di saat seperti itu pembinaan ataupun kebiasaan kedua orang tuanya yang ditanamkan kepada si anak selama 7 tahun itu lambat laun terkikis lama-lama bisa habis. Sedang pembinaan dari orang tua belum tentu berlanjut atau setidak-tidaknya tak ada peningkatan. Karena orang tua merasa anaknya sudah disekolahkan pasti telah dibina oleh guru-gurunya di sekolah. Wal hal guru-guru belum tentu membina si anak dgn baik/ intensip. Apalagi kebanyakan pendidikan selama ini kurikulumnya hanya sekadar menyampaikan pelajaran yg sasarannya hanya membekali otak dengan ilmu teori dan itupun sifatnya lbh menjurus kepada materi keduniaan. Sedikit sekali yang menyangkut pembinaan rohani akhlaq jiwa hati keimanan keikhlasan atau akhlaq secara keseluruhan. Sehingga aspek ukhrawi justru terabaikan.           Kemaslahatan manusia  dapat terwujud apabila terjamin kebutuhan pokok (dharuriyah), kebutuhan sekunder (hajiyah) maupun kebutuhan pelengkapnya (tahsiniyah).[3] Yang diinginkan ialah:
1.      Mencari solusi dengan fikih alternatif

            Dalam konteks hukuman fisik , mirip dengan aborsi tak aman yang menimbulkan tingginya kecelakaan, bukan merupakan persoalan sederhana, tetapi memiliki dimensi sosial yang  kompleks baik secara fisik, psikis bagi yang bersangkutan maupun psiko-sosial bagi lingkungannya. Fikih dalam hal ini harus berorientasi pada etika sosial yang produk hukumnya tidak sekedar halal atau haram, boleh dan tidak boleh, tetapi harus memberikan jawaban berupa solusi hukum terhadap persoalan-persoalan sosial yang dihadapi perempuan. Dengan kata lain, diakui pula oleh K.H. Sahal Mahfudz (2003):“Fikih sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam”.[4]

            Dalam konteks menetapkan kepastian hukum mengenai tingginya angka
kematian ibu akibat aborsi tak aman yang merupakan dua kondisi yang sama-sama membahayakan, dapat dianalisa dengan menggunakan beberapa kaidah fikih, antara lain: Pertama, “Bahaya itu menurut agama harus dihilangkan (al-dlarar yuzaalusyar’an)”; Kedua, “Bahaya yang lebih berat dapat dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih ringan (al-dharar al-asyadd yuzaalu bi al-dharar al-akhaff)” atau “Jika dihadapkan pada dua kondisi yang sama-sama membahayakan, maka pilihlah bahaya yang lebih kecil risikonya (Idza ta’aaradlat al-mafsadataani ruu’iyaa’dhamuhuma dlararan)”; Ketiga, “Keterpaksaan dapat memperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang (al-dlaruraatu tubiihul mahdzuraat)”; [5]Keempat, perubahan hukum Islam dapat dilakukan dengan adanya perubahan zaman, perubahan tempat, perubahan kondisi, perubahan niat dan kultur atau adat (taghayyir al-ahkam bitaghayyur al-azminah wal-amkinah wal-ahwal wan-niyaat wal-‘awaaid)”[6].
2.      Mengutamakan pencegahan
              Ada argumentasi klasik di kalangan ulama bahwa pencegahan atau men- dahulukan prevensi (syaddu al-dzari’ah) lebih baik. Dalam hal    hukum   aborsi,
melarang aborsi dianggap lebih aman, karena ada kehawatiran kalau aborsi     di- bolehkan akan dijadikan sebagai peluang bagi pelaku seks di luar nikah mencari
jalan keluar. Bila aborsi dibolehkan sama dengan memberikan kesempatan untuk
melakukan perzinahan atau seks bebas. Pertanyaannya adalah bagaimana fikih
menjawab realitas yang sudah terjadi berupa tingginya angka aborsi tak aman yang jelas-jelas mengancam kematian, apakah masih relevan menjawab dengan
argumentasi preventif. Pandangan tersebut nampak sangat tekstual karena hanya
berorientasi pada teks tanpa melihat realitas sosial bahwa ada satu   kondisi yang
mengancam kematian perempuan yang perlu dijembatani supaya aborsi tak aman
tidak terjadi. Di sinilah letak kesenjangannya antara teks fikih dan kenyataan di
lapangan.Argumentasi klasik tersebut terpatahkan dengan ditemukannya fakta bahwa dari jumlah rata-rata 2 juta kasus aborsi pertahun, 76.6% dilakukan oleh perempuan berstatus menikah.[7] Penelitian terakhir oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (2003),87% klien aborsi berstatus menikah.[8]
B. Status Anak sebagai subjek dan objek hukum Islam
1.Anak-anak bukan subjek hukum.
            Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa anak-anak statusnya belum bisa menjadi subjek hukum. Bukan mahkum alaihi. Yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah seorang perbuatannya dikenai khitab Allah SWT, yang disebut dengan mukallaf. Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqih, istilah mukallaf disebut juga dengan mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah allah maupun dengan larangan-nya. Seluruh tindakan mukallaf harus dipertanggung jawabkan. Apabila mengerjakan perintah allah swt, ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah SWT., ia mendapat risiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.
       2.        Dasar penetapan subjek hukum
             Anak-anak belum dikenai taklif (pembenanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama ushul fiqih, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman. Maksudnya, seorang baru dapat dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena tidak atau belum berakal, mereka dianggap tidak dapat memahami taklif fari syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan mabuk tidak dikenai taklif karena berada dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Hal ini, sejalan dengan sabda Rasulullah SAW. : “diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang), orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan gila sampai sembuh.”[9]  Dalam hadits lain dikatakan : “ummatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan terpaksa.”
       3.        Syarat-syarat taklif
Ada dua syarat sahnya memberi beban kepada mukallaf, yaitu berikut ini :
       a.         Mukallaf dapat memahami dalil taklif, yaitu mampu memahami nash yang dibebankan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah secara langsung atau melalui perantaraan. Orang yang tidak mampu memahami dalil taklif tidak dapat tumpuan yang dibebankan kepadanya dan tujuannya tidak dapat mengarah kesana. Kemampuan memahami dalil itu hanya dapat nyata dengan akal sehingga dengan akal tersebut adanya nash-nash yang dibebankan dapat diterima pemahamannya karena akal merupakan alat memahami dan menjangkau. Dengan akal tertujulah keinginan untuk mengikuti. Ketika akal itu adalah hal yang sembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh indera lahir, maka syar’i telah menghubungkan beban taklif dengan hal nyata yang dapat dijangkau oleh indera, yang menjadi tempat dugaan akal, yaitu sifat kedewasaan. Dengan demikian barang siapa telah sampai pada keadaan dewasa dan tak tampak padanya sifat-sifat yang merusak kekuatan akalnya, ia telah sempurna untuk diberi beban. Atas dasar ini orang gila dan anak-anak tidak dapat deberi beban karena tidak adanya akal yang menjadi alat memahami yang dibebankan. Juga orang yang lupa, tidur, dan mabuk tidak dapat diberi beban.
             Rasulullah SAW bersabda : “ Diangkatlah pena itu (tidak digunakan untuk mencatat amal perbuatan manusia) dari tiga orang, pertama dari orang yang tidur sampai ia bangun, kedua dari kanak-kanak sampai dia dewasa dan ketiga dari orang gila sampai dia berakal.” Beliaupun bersabda : “ Barangsiapa tidur sampai ia tertinggal melakukan shalat atau lupa mengerjakannya, hendaklah dia mengerjakan shalat itu ketika ingat, sesungguhnya ketika ingat itulah waktu shalat.” Adapun kewajiban zakat, nafkah, jaminan (dhamman) atas anak-anak dan orang gila, bukan berarti memberi beban kepadanya. Akan tetaping memberikan beban kepada walinya agar melaksanakan kewajiban harta yang menjadi milik anak-anak dan orang gila itu, seperti membayar pajak tanah dan irigasi dari harta miliknya. Adapun firman Allah SWT. :
4:43

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,[10] sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.....” [11]  

Adapun Awaridl Muktasabah (halangan yang dibuat sendiri) :
1.      Mabuk, ialah hilangnya akal karena khamar atau yang menyerupainya hingga kacau omongannya dan mengigau.
Mabuk menurut jalannya terbagi atas dua macam :
a.       Pertama yang jalannya tidak diharamkan seperti mabuknya orang yang terpaksa minum khamar dan mabuk yang timbul dari obat-obatan. Ini hukumnya sama dengan pingsan, tidak sah tindakannya, thalaqnya dan pembebasan budaknya.
b.      Kedua yang jalannya diharamkan dan ini tidak membatalkan taklif sehingga berlakulah hukum-hukum bagi pemabuk dan ucapan-ucapannya seperti thalaq, pembebasan budak, jual beli, pengakuan, mengawinkan anak kecil, kawin, menghutangi dan minta dihutangi.
Hal itu karena akalnya sempurna, hanya saja ia kehilangan pemahaman khitob oleh maksiat, maka tetaplah taklifnya dalam hak dosa dan kewajiban mengqodlo bagi ibadah yang diqodlo secara syara’.
         Muhamad ’Atthiyyah Al-Abrasyi, mengemukakan bahwa ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam memberikan hukuman fisik (jasmaniah) terhadap anak, yaitu :
  1. Sebelum berumur 10 tahun, anak-anak tidak boleh dipukul.
  2. Pukulan tidak lebih dari 3 kali. Yang dimaksud dengan pukulan disini ialah dengan menggunakan lidi atau tongkat kecil bukan dengan tongkat besar.
  3. Diberikan kesempatan besar kepada anak-anak untuk tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan pukulan atau merusak nama baiknya (menjadikan ia malu).[12]
  Penulis mencoba sedikit membandingkan dan  mengaitkan dengan Teori Hukuman  yang sudah dinenal dunia Barat. Berdasarkan sudut pandang  hukuman yang mendidik, maka timbullah beberapa teori tentang hukuman, di antaranya ialah:
a. Teori Hukum Alam.
    1.  Teori hukum alam, Umar Muhammad Al-Taumy Al-syaibany bahwa “ alam natural bukan saja mencakup segala mahluk yang akan tetapi juga merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan persyaratan disekelilingnya, sependapat  dengan penganjur Pendidikan Alam, yaitu J.J. Rousseau. Rousseau tidak menghendaki hukuman yang dibuat-buat. Biarkan alam sendiri yang menghukumnya. Yang dimaksud di sini ialah, bahwa hukuman itu hendaknya merupakan akibat yang sewajarnya dari suatu perbuatan, hukuman harus merupakan sesuatu yang natuur menurut hukum-hukum alam, sesuatu akibat logis yang tidak dibuat-buat. Misalnya, anak yang senang memanjat pohon, adalah wajar dan logis apabila suatu ketika ia jatuh. Jatuh ini adalah merupakan suatu hukuman menurut alam sebagai akibat dari perbuatanya dari senang memanjat pohon . [13]
    2.  J.J. Rousseau dengan aliran negativisme dalam pendidikan, berpendapat bahwa hukuman fisik  bagi anak manusia tak berguna. Semua pembawaan anak adalah baik. Ia membiarkan anak berkembang sendiri dan menyerahkannya kepada alam. Kalau anak berbuat salah, biarlah alam yang menghukumnya, anak akan menderita sebagai akibatnya. Hukuman semacam ini dinamai hukum alam.
            Contoh dari hukuman alam adalah, anak bermain dengan air panas dan berakibat tersiram kakinya. Anak dibiarkan merasakan kakinya sakit, hukuman lain tidak ada . Dari hukuman alam tersebut, anak akan menerima pendidikan dan berusaha tidak menjalankan permainan yang berbahaya itu lagi, atau ia meneruskannya akan tetapi ia berusaha mengelak.

b. Teori ganti rugi
      1.      Dalam hal ini, anak diminta untuk bertanggung jawab atau menanggung risiko dari perbuatannya, misalnya anak yang mengotorkan atau merobekkan buku milik kawannya, maka harus menggantinya. Anak yang berkejar-kejaran di kelas, kemudian memecahkan jendela, maka ia harus mengganti kaca jendela itu dengan kaca yang baru.
     2.      Teori ganti rugi,[14] di mana anak harus mengganti kerugian akibat perbuatannya yang salah, misalnya anak memecahkan kaca jendela tetangga, maka ia harus mengganti dengan uang tabungannya.

c. Teori menakut-nakuti.[15]
      1.      Hukuman yang diberikan untuk menakut-nakuti anak agar anak tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang, dalam hal ini nilai didik itu telah ada, hanya saja perlu diperhatikan bahwa hal ini harus dijaga jangan sampai anak itu tidak berbuat kesalahan lagi hanya karena rasa takut saja, melainkan tidak berbuat kesalahan lagi karena adanya kesadaran, sebab apabila tidak berbuat kesalahan itu karena hanya takut, takut kepada bapak atau ibu guru. Maka jika tidak ada bapak atau ibu guru, kemungkinan besar ia akan mengulang kembali perbuatannya. Ia akan mengulangi perbuatannya secara sembunyi-sembunyi. Jika terjadi demikian, maka dapat dikatakan bahwa nilai didik dari hukuman tersebut sangat minim sekali.[16] Teori menakutkan ialah memberi hukuman supaya menimbulkan rasa takut pada anak;
      3.      teori ini bertujuan menimbulkan rasa takut kepada orang lain. Biasanya hukuman dilaksanakan di muka umum. Pelanggaran kedua kalinya dihukum lebih berat, sebab perulangan pelanggaran berarti jeranya pelanggar. Begitulah hukuman makin lama makin berat, agar orang lain menjadi lebih takut. Fungsi hukuman dengan teori hukuman menakuti ini terhadap orang lain juga preventif.
d. Teori balas dendam
Macam-macam hukuman yang paling jelek, yang paling jahat dan paling tidak dipertanggung jawabkan dalam dunia pendidikan ialah hukuman yang didasarkan kepada rasa sentimen. Sentimen ini dapat ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan (frustasi) yang dialami oleh guru, baik mengenai hubungannya dengan orang-orang lain, maupun hubungannya dengan para siswa secara langsung. Misalnya, karena seorang guru merasa dikecewakan dalam hal cinta oleh seorang gadis atau pemuda, maka ia melempiaskan kekecewaannya itu kepada para siswanya. Bagi guru muda, tidak terkecuali pria atau wanita, mungkin merasa bahwa seorang siswa telah dianggap sebagai saingan atau penghalang dari maksud-maksudnya, maka ia berusaha mencari kesempatan untuk setiap saat akan menghukum-nya atau menjatuhkannya.

e. Teori memperbaiki
1.       Satu-satunya hukuman yang dapat diterima oleh dunia pendidikan ialah hukuman yang bersifat memperbaiki, hukuman yang bisa menyadarkan anak kepada keinsafan atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Dan dengan adanya keinsafan ini, anak akan berjanji di dalam hatinya sendiri tidak akan mengulangi kesalahannya kembali. Hukuman yang demikian inilah yang dikehendaki oleh dunia pendidikan. Hukuman yang bersifat memperbaiki ini disebut juga hukuman yang bernilai didik atau hukuman pedagogis.[17]
       2.       Teori inilah yang harus kita gunakan sebagai pendidik, maksudnya untuk memperbaiki perbuatan anak yang buruk/salah.[18]
      3.       Teori ini bertujuan untuk memperbaiki. Adapun yang perlu diperbaiki ialah hubungan antara pemegang kekuaaan dan pelanggar dan sikap serta perbuatan pelanggar. Hubungan antara penguasa dengan umum yang tadinya telah menjadi rusak dengan terjadinya pelanggaran oleh orang yang bersikap dan berbuat salah itu perlu dibetulkan lagi. Rusaknya hubungan itu mengakibatkan hilangnya kepercayaan penguasa terhadap pelanggar. Fungsi hukuman dengan teori membetulkan ini korektif dan edukatif.
       Di dalam dunia pendidikan,[19] pendidik tidak menganut teori hukuman lain dari pada teori hukuman pembetulan. Hal ini sesuai dengan tugas pendidik, yaitu membimbing anak didik agar berbuat dan bersikap luhur. Tidak pada tempatnya pendidik menakut-nakuti dan membalas dendam anak didiknya. Anak didik yang takut pada pendidiknya menutup diri baginya dan tidak bersedia menerima petunjuk. Pendidik yang membalas dendam anak didiknya menganggap anak didiknya sebagai musuh, bukan sebagai anak asuhannya.[20] 
      
f. Teori melindungi
Teori melindungi, anak dihukum untuk melindungi lingkungan,[21] atau masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan salah yang merusak/ merugikan lingkungan tersebut.[22] 

g. Teori menjerakan
Teori ini bertujuan agar pelanggar sesudah menjalankan hukumannya akan jera dan tidak akan menjalankan pelanggaran lagi. Fungsi hukuman tersebut adalah preventif, yaitu mencegah terulangnya pelanggaran sesudah pelanggar dikenai hukuman. Sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya.
C. Hak  dan   kewajiban  anak   dalam Islam
1.Pengertian hak
Kata hak berasal dari bahasa Arab 'haqq'  yang memiliki beberapa makna. Di antaranya, hak bermakna 'ketetapan' atau 'kewajiban'. [23]Hal ini bisa dipahami dari firman Allah.[24]
8:8
2.Hak anak.
Di dalam hadits dinyatakan:
                 Seorang anak diakikahkan pada hari ketujuh dan diberi nama, dibersihkan dari penyakit, maka apabila dia sudah berumur enam tahun hendaklah dididik, apabila sudah berumur sembilan tahun hendaklah dipisahkan tempat tidurnya, apabila sudah berumur tiga belas tahun, hendaklah dipukul apabila meninggalkan shalat dan puasa, dan apabila sudah berumur 16 tahun hendaklah dinikahkan, kemudian dia memegang tangannya seraya mengatakan: aku telah mendidik dan mengajarmu dan juga menikahkanmu, aku berlindung dari fitnah yang kau bawa di dunia dan siksaanmu di akhirat.[25]
          Di dalam hadits yang lain dinyatakan:
Segala sesuatu selain dari  zikir  adalah  sia-sia, atau melalaikan,  kecuali empat hal: 1. Perjalan seorang dengan dua tujuan .2. Memanah),3. Mendidik kuda tunggangan, bersenda-gurau dengan keluarganya, dan  4.Mengajarinya anak berenang.[26]
            Kesalahan besar orang tua, jika berpendirian bahwa anak tidak boleh mengungkapkan pendapat! Penerapannya bisa saja keliru bahwa haram hukumnya anak tidak melaksanakan perintah orang tua selama tidak menyalahi aturan agama. Apakah jika seorang anak yang harus menururti keinginan orang tua jika tidak boleh memilih jurusan sekolah sesuai kemampuan anak dan hanya menuruti ego orang tua agar bersekolah sesuai keinginan orang tua? Lalu bagaimana dengan orang tua yang selalu mengumpat anaknya,[27] dan selalu marah? Bagaimana orang tua yang sibuk bekerja lalu saat pulang ke rumah menumpahkan kekesalan sementara anak tidak boleh melawan, tidak boleh sakit hati? Bagaimana pula dengan orang tua yang mengutuki anak?                   
D.Sanksi Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Anak-Anak Menurut Hukum Islam
            Orang tua atau guru atau orang dewasa lainnya yang yang melanggar hak anak-anak, berupa memukul atau menzalimi, sebahagian ulama menyatakan, boleh diberlakukan hukum qishash. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa, Jika yang berhak menuntut balas itu belum dewasa, ataukah gila, atau tidak ada ditempat. Dalam hal dewasa ditunda sampai anak yang belum dewasa dan dalam hal tak adadi tempat ditunggu sampai ada di tempat. Namun dalam hal ini ulama berbeda pendapat.Menurut sebagian ulama Hanafiyah, pelaksanaan hukuman Qisash   menunggu sampai ia dewasa atau sembuh dari gilanya. Sebahagian yang berpendapat hukuman qishas  dilaksanakan oleh qadhi (hakim) yang mewakili Mustahik tersebut. Menurut Malikiyah pelaksanaan hukuman qisash tidak perlu menunggu anak tersebut dewasa atau sembuh dari gila. Alasannya adalah karena Qisash itu tujuannya untuk mengobati rasa duka, dan untukmenghilangkannya tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain, baik itu hakim atau wali. [28] 
             Apabila dibandingkan dengan hukuman terhadap orang dewasa yang melakukan pelanggaran  hukum  pada Pasal 77 UU Nomor 23 Tahun 2002, dinyatakan bahwa: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:  1.diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau  2. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).[29]
           Sedangkan di dalam hukum Islam, seperti yang dinyatakan, Jurnal al Mawaddah Edisi 4 tahun ke-3, November 2009 “Ketahuilah, anakmu bukanlah tawanan perang, bukan seorang budak,[30] bukan seorang tahanan yang jahat, bukan musuh yang lihai, berbuat makar dan bukan pula seorang penjahat yang seantiasa mencari kesempatan untuk membahayakanmu.[31] Namun ia adalah bagian dari tubuhnmu yang keluar dari sulbimu, seorang anak kecil yang lemah dan akalnya belum sempurna, kesalahanya bukan dengan kesengajaan. Ia membutuhkan rasa santun, lembut, kasih sayang dan maaf darimu. Tentang hal  ini, terdapat kesamaan antara UU RI Nomor 23 Tahun  dan Hukum Islam.
Tabel   5
Kesamaan UU  RI  Nomor 23 Dan Hukum Islam Tentang Hukuman Fisik

No
UU Nomor 23 Tahun  2002
Hukum Islam
1
Penegakkan asas perlindungan anak
Penegakkan asas perlindungan anak
2
Dapat diubah sesuai dengan tuntutan zaman
Dapat diubah sesuai dengan tuntututan  zaman.
3
Diawasi oleh negara dan masyarakat
Diawasi oleh negara dan masyarakat
4
Anak-anak ialah orang yang berumur di bawah 18 tahun
Anak-anak ialah  orang yang berumur di bawah 15 tahun
5
Bukan kelach delik
Bukan kelach delik
6
Mengandung prinsip keseimbangan hubungan orang tua dan anak
Mengandung prinsip keseimbangan hubungan orang tua dan anak
Keterangan tabel   4
             Pada baris pertama, diterangkan tentang penegakan asas perlindungan anak-anak dari ketidaknyamanan akibat perbuatan orang tua, guru, orang dewasa, bahwa di antara sesama temannya sendiri. Kemudian  pada baris kedua, dinyatakan bahwa UU I Nomor.23 tahun  2002  dan hukum Islam sama-sama dapat diubah, sesuai dengan tuntutan zaman.[32] Selanjutnya, dikatakan: Lihatlah diri anda. Anda adalah orang dewasa yang berakal dan pemimpin yang diamanati Allah untuk memelihara seorang anak yang tidak memiliki apa-apa. Tidakkah anda merasa malu apabila sering memarahi da memukul anak anda padahal dirimu yang sempurna dan berakal sempurna masih sering berbuat kesalahan, baik di hadapan orang tua, mertua atau guru?” demikianlah penuturan Abdur Rohman al Buthoni dalam pembahasan tentang : Bilakah anak harus dipukul?
          Terkadang guru dan  orang tua, dihadapkan pada kondisi di mana anak-anak melakukan kenakalan yang membuat marah, kecewa dan jengkel. Perasaan-perasaan itu kemudian mendorong untuk melakukan pemukulan kepada mereka, mulai  dari pukulan yang ringan sampai pukulan yang keras. Memang Rasulullah SAW. pun membolehkan orang tua memukul anaknya sebagaimana hadits (artinya): Perintahkan anak-anakmu untuk melakukan sholat ketika berusia 7 tahun dan pukullah mereka jika meninggalkannya ketika berusia 10 tahun.[33]  Bagaimana Islam menuntun para orang tua untuk mengamalkan hadits di atas? Ayah dan Ibu  serta guru-guru. Selanjutnya tentang masalah ini  Abdur Rohman al Buthoni menurunkan sebuah analisis:
a.    Ketentuan dan aturan dalam memukul anak-anak
1.      Hendaknya       meyakini bahwa memukul adalah peritah Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian perasaan, emosi dan rasa kesal yang berlebihan yang biasanya mendomiasi sikap orang tua akan hilang ketika menerapkan metode ini.[34]
  1. Maksud dari memukul adalah tarbiyah/pendidikan untuk memperbaiki anak, bukan melampiaskan amarah, menakut-nakuti, mengancam atau yag semisalnya. Pukulan harus dilakukan dengan rasa cinta kasih dan sayang disertai doa yang baik untuknya.
  2. Usia anak sudah 10 tahun dan sebab memukulnya adalah karena dia meninggalkan sholat. Adapun penyebab selainnya, maka dilakukan orang tua bila melihat ada maslahatnya (sisi positifnya), misalnya anak tidak berhenti dari penyelewengan kecuali dengan dipukul.
  3. Tidak menyiksa dan tidak menyakitkan, serta jangan memukul wajah.
  4. Hindari riya’ dan sum’ah (pamer) karena sebagian orang tua berkeliling dengan tongkat mencari anaknya dalam keadaan marah dan memukulnya sepanjang jalan untuk memperlihatkan kepada manusia bahwa ia amat sungguh-sungguh, tegas dan sangat peduli dalam mentarbiyah dan menghukum anak. Ini salah dan merupakan amal yang sia-sia.
  5. Berhubung pemukulan ini maksudnya adalah sebagai obat,[35] maka harus disesuaikan kadarnya dan tidak boleh melampaui batas. Artinya, memukul sekali dan tidak boleh berkali-kali sehingga akan menyiksa. Pemukulan dengan pelan sehingga tidak menyakitkan, dengan tangan biasa tanpa alat dan bukan dengan kaki, bukan pula meninju atau bukan menempeleng kepala.
b.Maqashid al-Syari’ah  memukul anak yang tidak shalat.
            Setiap yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya pasti memiliki  maqashid,[36] atau hikmah dan tujuan. Dalam hal perintah dan larangan Allah, secara umum manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu (1) orang yang cukup menerima nasihat dengan dalil kitab dan sunnah dan (2) orang yang membangkang. Golongan yang kedua inilah yang perlu diterapkan hukuman padanya. Firman Allah ta’ala (artinya):…Dan kami menurunkan besi yang memiliki kekuatan yang sangat keras dan bermanfaat bagi manusia…[37]
             Maqshid itu di antaranya bermakna manfaat, misalnya manfaat besi adalah untuk memerangi orang-orang kafir dan untuk menegakkan qishash. Ini adalah manfaat yang sangat nampak, sebab manusia akan takut pada pedang sehingga mereka pasrah pada agama Allah. Maka maqashid atau manfaat memukul anak karena meninggalkan sholat, bertujuan untuk antara lain:
  1. Memberi pelajaran kepada anak bahwa hak Allah adalah sangat lebih besar, sehingga segala sesuatu akan menjadi hina di hadapan-Nya. Tubuh yag seharusnya dipelihara dan tidak boleh (haram) disakiti menjadi halal dan harus merasakan sakit lantaran meremehkan hak Penciptanya.
  2. Menampakkan kepada anak bahwa orang tua memiliki kekuasaan dalam melazimkan hukum-hukum Allah kepada mereka, sehingga tidak ada pilihan baginya kecuali pasrah dan menyerah kepada Rabbnya.
  3. Memberi pelajaran kepada anak bahwa manusia setinggi apapun kedudukannya, status sosialnya dan nasab keturunannya, tidak memiliki kebebasan mutlak dalam mengikuti kehendaknya yang bertentangan dengan kehendak Allah.
c. Memukul anak yang sesuai dengan maqashid al-syari’ah.
              Ada perbedaan antara memukul biasa, dengan memukul  yang diatur oleh  syari’at.[38] Memukul menurut kebiasaan sebagian orang tua atau pendidik yang gampang emosi dan suka memukul. Suka memukul adalah akhlaq tercela. Perhatikan nasehat Rasulullah SAW., kepada Fatimah binti Qois tatkala mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya dilamar oleh dua orang sahabat, salah satunya adalah Abu Jahm. Maka Rasulullah bersabda,”Adapun Abu Jahm, maka ia suka memukul wanita (maksudnya akhlaqnya tidak baik).” Dan ketahuilah bahwa maksud dari memukul adalah agar anak takut, sehingga tunduk kepada perintah Allah bukan agar si anak takut kepada bapaknya semata, sehingga makin berwibawa. Maksud memukul adalah agar anak mengamalkan perintah Allah dengan ikhlas karena-Nya. Sesungguhnya tidak ada manfaatnya bila seorang anak nampak taat kepada Allah di hadapan orang tuanya sementara di balik itu ia tidak bertaqwa kepada-Nya.
d.Jangan melampaui batas
             Orang-orang yang  memukul anak-anak hendaknya takut kepada Allah. Jangan sampai  termasuk golongan orang-orang yang tidak masuk surga atau bahkan tidak mencium baunya. Di antaranya  sekelompok manusia yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia.[39] Ada ulama fiqih yang menyatakan bahwa yang dimaksud ”orang yang boleh memukul,” bisa saja guru, para polisi, satpam, mandor-mandor pada jaman sekarang ini.[40] Mereka berkeliling dengan tongkat lalu memukul dan menendang siapa saja, hanya karena mengatur dan megamankan. Lalu bagaimana caranya agar guru, polisi, satpam dan para mandor mengamankan dan mengatur tanpa berbuat aniaya? Jawabnya, dengan anjuran taqwa kepada Allah, nasihat dan pengarahan dengan lisan, dengan cara yang baik atau dengan tangan tanpa menyakiti karena kezhaliman adalah kegelapan di akhirat!
            Aturan yang paling populer selama ini ialah anak-anak harus berhati-hati dengan ‘kekeramatan’ orang tua. Tapi patut diingat, secara religi ada lima,[41] kejahatan orangtua yang wajib dihindarkan. Pertama, apabila suka memaki. Kedua menghina anak sendiri. Ketiga melebihkan anak dari yang lain. Keempat mendoakan keburukan anak. Kelima tidak memberi pendidikan anak. Merupakan kemuliaan bangsa, jika orang tua dan guru, mampu menjadikan generasi muda, cerdas lahir batin, bermoral mulia dan berbhakti kepada orangtua, sesama, bangsa dan semesta.

              Hukuman itu untuk menyadarkan bukan untuk melakukan pembalasan. Hukuman itu agar anak-anak menyadari kekeliruan mereka dan agar tidak mengulangi perbuatan jeleknya, bukan untuk melakukan balas dendam. Hukuman dalam pendidikan jangan dikelirukan dengan balas dendam. Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman-hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna."

           Tetapi argumentasi beliau ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim dan belum tentu bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya kita terima pernyataan seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari hukuman-hukuman keras yang diterima dari orangtuanya, maka akarnya adalah terlalu kerasnya hukuman tersebut dan bukan hukuman biasa. Hukuman ekstrim itulah yang menjadi sumber penderitaan umat manusia. [42]

              Russel menambahkan, "Hukuman fisik yang ringan memang tidak begitu berbahaya, tapi tetap saja tidak ada gunanya dalam pendidikan. Hukuman seperti itu baru efektif kalau bisa menyadarkan si anak. Sementara hukuman fisik seperti itu biasanya tidak bisa membuat jera. Hukuman fisik itu membuat si anak merasa terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri." Jawabannya bahwa anak-anak akan menyadari kekeliruannya melalui hukuman itu, dan kemudian dia akan lebih mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi orang lain dan karena ia ingin diterima oleh orang lain, ia akan berusaha menyesuaikan keinginannya dengan keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan bantuan atau memperoleh apa yang diinginkannya dari orang lain. Dengan demikian, hukuman fisik yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan kadar dan waktu yang tepat.[43]
             Argumen lain yang disodorkan oleh kelompok penentang adalah bahwa pendidikan yang dijalankan dengan menanamkan rasa takut kepada si anak, akan membuat si anak seperti robot yang harus mengikuti suatu perintah. Proses pendidikan seperti itu sangat membahayakan perkembangan jiwa si anak, karena akan melahirkan anak-anak yang bermental budak yang harus tunduk terhadap segala perintah. Hal ini masih bisa dibantah dengan kenyataan bahwa memang anak-anak tidak boleh dididik dengan sistem perbudakan, tapi tidak semua hukuman itu akan melahirkan kondisi demikian. Kalau hukuman itu dijalankan dengan benar dan dengan memperhatikan seluruh syarat-syaratnya maka tidak akan lahir anak-anak seperti. itu. Seorang anak yang terus-menerus melakukan perbuatan yang buruk padahal sudah sering kali diperingatkan agar tidak melakukan perbuatan tersebut mau tidak mau harus dihentikan dengan hukuman, sebab kalau kebiasaan buruknya tidak segera dihentikan, maka sang anak malah akan semakin berani. Tentunya hukuman itu harus ringan dan mengena kepada sasaran.

             Alasan lain menurut kelompok tersebut bahwa hukuman fisik itu sama sekali tidak mendidik, sebab hukuman itu tidak menghilangkan motivasi buruknya. Memang ia akan mengurungkan niatnya karena perasaan takut, tapi di dalam batinnya keinginan itu tetap ada. Ketika rasa takut itu hilang si anak akan kembali mengulangi perbuatan buruknya. Pukulan itu mungkin dihadapi oleh si anak dengan pura-pura berjanji akan menghentikan kebiasaan buruknya. Karena itu patut diingat statemen mereka bahwa hukuman juga akan melahirkan anak-anak yang asosial, penakut serta pasif.

              Pernyataan  bahwa hukuman itu tidak menghentikan apa yang bergetar di dalam batin. Untuk menghentikan kenakalan-kenakalannya, hal ini harus dipelajari apa sebetulnya yang menjadi latar belakang kenakalan-kenakalannya dan dicari solusinya sehingga anak-anak itu tidak mengulangi perbuatan buruknya.[44] Tetapi jika si anak tetap saja mengulangi perilaku jeleknya, maka tidak ada cara lain selain memberinya hukuman. Rasa takut akan hukuman itu dapat menghentikan keinginan atau minimal mengurangi minatnya untuk berbuat buruk. Kalau hukuman itu diberikan secara proporsional, tidak akan melahirkan hal-hal yang tidak diharapkan. Memang benar seorang anak harus tumbuh dalam keceriaan dan kebebasan tapi pada saat yang sama anak-anak juga harus diajari bahwa di dunia ini tidak semua orang bisa hidup dengan kebebasan mutlak, apalagi kalau kebebasan itu dapat merugikan orang lain.
                Hukuman adalah Instrumen Sekunder .Sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya. [45]

            Dalam kaitan ini, Russel menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin mengatakan bahwa hukuman dalam proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin hanya masuk sebagai alternatif kedua."  John Locke menulis, "Benar bahwa hukuman fisik kadang-kadang diperlukan. Tetapi harus disadari bahwa tujuan sebuah pendidikan adalah mendidik moral. Yang harus kita lakukan adalah membuat si anak tersebut merasa malu berbuat nakal dan bukan malah takut akan hukuman. Hukuman yang terlalu keras melatih anak-anak menjadi patuh secara lahiriahnya saja."[46]

             A.L Gary Gore  menulis, "Ada kalanya orang dewasa harus memberikan hukuman kepada anak-anak. Misalnya jika anak-anak usia sekolah atau sudah agak dewasa mengganggu ayah dan ibu atau adik mereka yang sedang tidur. Sebelumnya mereka sudah diperingatkan tapi tetap saja meneruskan kenakalannya, maka anak-anak itu harus diberi hukuman.." Sebaliknya orangtua selayaknya menggunakan hukuman ini dengan cara dan strategi yang tepat. Kalau hukuman itu dilaksanakan ketika orangtua dalam puncak kemarahan dan tanpa pertimbangan terhadap kondisi dan psikologi anak-anak, maka bisa-bisa hukuman itu akan merusakkan hubungan orangtua dan anak. Si anak akan kehilangan kepercayaan dan juga akan mendendam. Hukuman asal-asalan terhadap anak karena tidak mematuhi keinginan orangtua malah akan melukai hatinya. Sehingga timbul dalam diri si anak keinginan untuk membalas rasa sakit hatinya itu. Sebelum menjatuhkan hukuman terhadap anak-anak sebaiknya pertimbangkanlah secara baik-baik dan pelajari manfaat dan mudaratnya secara seksama. Hukuman apa dan dalam kondisi bagaimana hukuman itu patut diberikan dan tidak patut diberikan terhadap anak-anak.

           Pakar pendidikan ini ingin mengatakan bahwa hukuman memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi tertentu mutlak diperlukan sekali. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak keberatan dengan hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat.
Ia menambahkan, "Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya. Hindarilah hukuman-hukuman seperti memukul, atau menyekap anak di ruangan yang gelap dan sempit." [47]

                Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan,[48] terhadap guru atas profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum terlaksana.
            Islam menerima hukuman sebagai bagian dari sistem pendidikan. Ada beberapa kategori hukuman dalam Islam: Hukuman non-fisik seperti ancaman, peringatan atas orang-orang yang berdosa dengan siksaan di hari akhirat, denda, dan diat. Ayat-ayat al-Quran mengilustrasikan dalam berbagai kesempatan tentang kabar gembira untuk orang-orang yang beriman dan ancaman akhirat untuk orang-orang yang berdosa. Bahkan nabi sendiri diperkenalkan sebagai pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan.  Hukuman jenis kedua yaitu hukuman fisik yang bersyarat,[49] seperti hukuman penjara, pengasingan, kisas, pukulan, hukuman potong yang aturannya telah ditetapkan oleh syariat.

              Dalam pembunuhan yang disengaja si wali yang dibunuh bisa meminta hukuman kisas terhadap hakim. Dalam pembunuhan yang tidak disengaja si pembunuh wajib menyerahkan denda (diat) kepada wali yang dibunuh. Perempuan dan laki-laki yang berzina akan mendapatkan hukuman cambuk sebanyak seratus kali deraan. Perilaku homo seksualitas (liwâth) yang disengaja dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman mati. Peminum khamar dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman cambuk seratus kali, mencuri dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman potong tangan. Siapa saja yang dengan sengaja mengakibatkan anggota badan orang lain terpotong akan dikisas oleh hakim syar'i, yaitu dipotong anggota badan yang sama, tapi kalau secara tidak sengaja maka ia harus membayar denda dalam jumlah tertentu. Untuk mengetahui lebih lengkap tentang aturan-aturan hukuman Islam, Anda bisa merujuk kitab-kitab fikih. Hukuman jenis ketiga yaitu ta'zîr. Ta'zîr adalah hukuman fisik yang ketentuannya diatur oleh seorang hakim tetapi tentunya lebih ringan dari had.  Dalam kasus pelanggaran yang hukumannya tidak ditentukan oleh syariat, sang hakim tidak bisa memberikan hukuman yang sesuai dengan pelanggaran itu hanya demi kemaslahatan umum, tapi ia bisa memberikan hukuman yang kurang dari had. Contohnya kalau seorang laki-laki mencium anak atau perempuan yang bukan istrinya dengan penuh nafsu, sang hakim syar'i dapat menjatuhkan hukuman ta'zîr . Demikian juga terhadap seorang laki-laki dan perempuan (bukan muhrim) yang tidur terlentang di atas ranjang. Secara umum siapa saja yang melakukan dosa besar maka ia bisa dijatuhi hukuman ta'zîr dari sang hakim.  Seperti yang Anda simak, bahwa Islam memberi tempat bagi hukuman fisik,[50] dan non-fisik dan itu bagian dari pendidikan yang penting dan demi memelihara keadilan dan ketenteraman masyarakat. Islam melegalkan hukuman-hukuman itu bukan sebagai bentuk balas dendam kepada orang-orang yang berdosa, namun untuk menjaga stabilitas sosial dan hak-hak manusia.
Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannnya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.[51]
Abd al- Qodir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu :
1)      Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti pencurian harta (syirkah), pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan percurian yang bukan harta benda.
2)      Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
3)      Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi perimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.
  Dalam menetapkan jarimah ta’zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i.[52]Hukuman-hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman-hukuman ta’zir antara lain.
1.      Hukuman mati
Pada dasarnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa fuqaha memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. Namun menurut sebagian fuqaha yang lain dalam jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati.[53]
2.      Hukuman Jilid
Di kalangan fuqaha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imama Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali. Sedangkan di kalangan  madzhab Syafi’i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada ta’zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain bahwa jarimah ta’zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.
Dalam mazhab Hambali ada lima pendapat. Tiga diantaranya sama denga pendapat madzhab Imam Syafi’i. pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta’zir tidak boleh melebihi 10 kali. Alasannya ialah hadits dari Abu Darda sebagai berikut :
“Seseorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman hudud
3.      Hukuman (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman  dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, hukuman tahanan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama Syafi’iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan maslahat.[54]Kedua, hukuman tahanan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman tahanan ini tidak ditentukan terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang-ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.
b)      Perbedaan jarimah ta’zir dengan hudud
Perbedaan yang menonjol antara jarimah hudud, qishas, dan jarimah ta’zir:
1.      Dalam jarimah hudud tidak ada pemaafan, baik oleh perseorangan maupun oleh ulul amri. Sedangkan jarimah ta’zir kemungkinan pemaafan itu ada, baik oleh perorangan maupun oleh ulul amri, bila hal itu lebih maslahat.
2.      Dalam jarimah ta’zir hakim dapat memilih hukuman yang lebih tepat bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat kejahatan. Sedangkan dalam jarimah hudud yang diperhatikan oleh hakim hanyalah kejahatan material.
3.      Pembuktian jarimah hudud dan qishas harus dengan saksi atau pengakuan, sedangkan pembuktian jarimah ta’zir sangat luas kemungkinannya.
4.      Hukuman Had maupun qishas tidak dapat dikenakan kepada anak kecil, karena syarat menjatuhkan had si pelaku harus sudah baligh sedangkan ta’zir itu bersifat pendidikan dan mendidik anak kecil boleh.  
                  Sebagai perbandingan, hukuman bagi  anak sebagai pelaku tindak pidana (“Anak Nakal”)[55] dengan ancaman pidana mati, menurut hukum positif, tidak akan dikenai pidana mati maupun pidana penjara seumur hidup. Hal ini didasarkan pada Pasal 26 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“UU 3/1997”) yang menyatakan: “Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.” Bagaimana sanksi hukum bagi anak berumur 14 tahun yang melakukan pembunuhan,[56] pencurian motor? Apakah dibebaskan dengan syarat? Apakah bebas tanpa syarat jika pihak korban menarik kembali tuntutannnya? Jika bebas tanpa syarat, berhakkah pihak polisi menahan anak tersebut? Jika tidak apa yang harus saya lakukan sebagai wali anak tersebut, mengingat pihak polisi bersikukuh menahannya! Dalam kasus  anak  berumur 14 (empat belas) tahun maka sanksi yang dijatuhkan dapat saja berupa pidana. [57]
          Namun pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang melanggar hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak. Oleh karena itu, keputusan yang diambil Hakim (apabila kasus diteruskan sampai persidangan) harus adil dan proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan atas pertimbangan hukum, tapi juga mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti kondisi lingkungan sekitar, status sosial anak, dan keadaan keluarga. Hal-hal ini dijamin serta diatur dalam UU Pengadilan Anak. Misalnya adalah pada saat polisi melakukan penangkapan dan pemeriksaan, ia wajib untuk menghubungi dan mendatangkan seorang petugas Bapas (Balai Pemasyarakatan, biasa juga disebut PK atau Petugas Kemasyarakatan). Petugas Bapas berfungsi hampir sama seperti probation officer. Polisi wajib menyertakan hasil Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) yang dibuat oleh petugas Bapas dalam Berita Acara Pemeriksaannya. Tanpa Litmas, Jaksa harus menolak BAP dan meminta kelengkapannya kembali.



Tabel  7
Tabel ini dapat menunjukkan hukum kebiasaan internasional yang dapat dijadikan parameter untuk menentukan usia pertanggungjawaban pidana.[58]

Nama Negara
Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal
Austria
14
Belgia
18
Denmark
15
Inggris
10
Finlandia
15
Perancis
13
Jerman
14
Yunani
12
Irlandia
7
Itali
14
Luxemburg
18
Belanda
12
Irlandia Utara
8
Portugal
16
Skotlandia
8
Spanyol
16
Swedia
15

             Melihat kecenderungan praktek-praktek negara berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa rata-rata negara tersebut menetapkan usia pertanggungjawaban pidana minimal  di atas 12 tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan usia 12 tahun sebagai batas minimal usia pertanggungjawab tindak pidana telah menjadi hukum kebiasaan internasional (international customary law).[59]Berbeda halnya dengan anak yang dikenakan hukuman mati.[60]
          Jika dibandingkan dengan Hukum Islam, anak-anak yang membunuh, tidak dikenakan hukuman, jika belum mumayyiz. Bukan hanya kejahatan membunuh, tapi juga segala jenis kejahatan yang disebut had dan jarimah. Adapun jenis atau macam-macam perbuatan jarimah yaitu perbuatan  yang masuk ke dalamnya, sebagai berikut:
1.      Mencuri
Mencuri pada fikih jarimah terbagi menjadi dua, yaitu :
1)      mencuri yang dikenakan had
2)      mencuri yang dikenakan hukuman ta'zir.[61]
Mencuri yang dikenakan had menurut pendapat Fuqaha adalah perbutan mukalaf mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya dan mencapai satu nishab dan orang yang mencuri tak mempunyai andil kepemilikan terhadap barang tersebut. Dari definisi diatas, dapat dirumuskan bahwa pencurian yang dikenakan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1)      mengambil harta orang lain
2)       pengambilannya secara sembunyi-sembunyi
3)      harta itu disimpan di tempat penyimpanannya
4)      pelaku  adalah mukallaf
5)      barang yang dicuri mencapai satu nishab
6)      pelaku tidak mempunyai andil kepemilikan atas harta yang dicuri. Had mencuri Allah berfirman dalam Alquran Surat Al-Maidah : 38 dinyatakan bahwa pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah kedua tangannya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah Mahaperkasa lagi Bijaksana”
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:" Jika ia mencuri (kali pertama) maka potonglah salah satu tangannya, kemudian jika ia mencuri yang kedua potonglah salah satu kakinya, kemudian jika ia mencuri (yang ketiga) potonglah tangannya kemudian jika ia mencuri maka potonglah kakinya.
Jika pencuri masih mencuri lagi kelima kalinya, maka menurut sebagian ulama seperti imam Syafi'i dan Imam Malik
, orang itu  dikenakan ta'zir.[62] Namun Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat hukuman potong tangan hanya dapat dilakukan pada kali pertama dan kedua sedangkan pencurian ketiga dan seterusnya dikenai ta'zir. Pencurian yang dapat dikenai had adalah jika barang yang dicuri mencapai nilai seperempat dinar atau tiga dirham atau setara dengan emas seberat 3.34 gram. Berdasarkan Hadist Riwayat Bukari dan Muslim:
Tangan pencuri tidak dipotong kecuali dalam pencurian mencapai seperempat dinar atau lebih.” Seseorang dinyatakan benar-benar mencuri secara syar'i jika terbukti dengan salah satu dari tiga kemungkinan di bawah ini :
1. Kesaksian dari dua orang saksi laki-laki yang adil dan merdeka
2. pengakuan dari pelaku
3. sumpah dari yang mengadukan perkara
  Adakah pemberian maaf dalam pencurian. Ulama sepakat bahwa pemilik barang yang dicuri dapat memaafkan pencurinya sehingga bebas dari had sebelum kasusnya sampai ke pengadilan. Sebab sebelum sampai pengadilan,  had  mencuri adalah  had hamba dan jika sampai ke pengadilan berubah menjadi had Allah. "Diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya;" sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "Maafkanlah had-had selama masih berada di tanganmu, adapun had yang sudah sampai di telingaku maka wajib dilaksanakan."
             Khamr, secara bahasa, khamr artinya sesuatu yang menutupi, sedangkan menurut dalam itilah fiqh yaitu segala macam yang memabukan, menutupi akal. Sebagaimana sabda Rsulullah SAW yang artinya kurang lebih; " Tiap-tiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram." [63] Dengan demikian yang dinamakan khmar tidak hanya terbatas pada minuman keras tetapi mencakup segala jenis barang yang memabukan seperti yang telah kita kenal mulai dari Miras, Narkotik, Ganja, Putaw, Sabu-Sabu .[64]
Adapun penyebab gugurnya had qadzaf adalah:
1)        penuduh dapat membuktikan dengan empat orang saksi bahwa   tertuduh telah benar-benar berzina.
2)        dengan cara li'an jika tertuduh adalah istri penuduh
3)        pengakuan dari si tertuduh bahwa tuduhan adalah benar.
      4)      Zin
   Kifarat secara bahasa berarti menutup. Sedangkan secara istilah yaitu sejumlah denda yang wajib dibayar oleh seseorang yang melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh Allah. Kifarat adalah hak Allah sebagai tanda tobat. Membunuh adalah menghilangkan nyawa seseorang baik dengan sengaja atau tidak sengaja dengan alat yang mematikan atau tidak mematikan. Dalam Fiqh Islam Pembunuhan di bagi ke dalam tiga macam:
1)      Pembunuhan sengaja (qatlamd), yaitu suatu pembunuhan yang     dilakukan dengan sengaja oleh pelaku.
2)      Pembunuhan semi-sengaja (Syibhul amd), yaitu kesengajaan melakukan penyerangan tanpa maksud membunuh tetapi menyebabkan terbunuh. Seperti seseorang memukul orang lain dengan alat yang tida biasa mematikan tetapi yang kena pukul kemudian meninggal.
3)      Pembunuhan tersalah yaitu pembunuhan karena kekeliruan semata, seperti niatnya menembak hewan buruan aan tetapi mengenai seseorang yang akhirnya meninggal.
Sedangkan hukuman bagi pelaku pembunuhan ialah:
1)      Pembunuhan sengaja dikenai hukuman Qishas pembunuh harus dibunuh juga. Akan tetapi bila kelurga korban memaafkan, maka si pelaku wajib membayar diyat mughaladhah yang diberikan kepada korban secara tunai.
2)      Pembunuhan semi-sengaja tidak dikenakan qishas tetapi dikenakan diyat mughaladhoh yang boleh diangsur selama 3 tahun.
3)      Pembunuhan tersalah, tidak dikenai qishas tetapi dikenai diyat mukhafafah
              Hukum pidana  Islam,  secara umum, pengertian jinayat sama dengan hukum pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam hukum pidana Islam (jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishas diyat, dan ta’zir.
    Ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh al- qur’an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan yang serupa, penentuan jenis pidana ta’zir ini diserahkan sepenuhnya kepada penguasa sesuai dengan kemaslahatan menusia itu sendiri. Bagi kelompok JIL, hal ini dijadikan bahan Ghazwul fikri.[65]
Menurut hemat penulis, diantara jenis-jenis hukuman ta’zir yang telah penulis kemukakan dalam pembahasan, tidak semuanya relevan untuk diterapkan pada zaman ini, seperti hukuman jilid dan salib karena dinilai sangat keji. Sementara mengenai hukuman mati dalam ta’zir, penulis sependapat dengan ulama’ yang membolehkannya sepanjang sejalan dengan kemaslahatan manusia. Tetapi secara umum, mengenai jenis hukuman yang relevan untuk jarimah ta;zir ini harus disesuaikan dengan kejahatan yang dilakukan agar hukuman dalam suatu peraturan bisa parallel. Untuk menentukan hukuman yang relevan dan efektif, harus mempertimbangkan agar hukuman itu mengandung unsure pembalasan, perbaikan, dan perlindungan terhadap korban (Theori neo-klasik), serta dilakukan penelitian ilmiyah terlebih dahulu. 
Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban). Sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang rinci dari Al-Qur'an dan Alhadist. Hukum pidana Islam oleh sebagian orang selalu dikatakan sebagai hukum yang tidak manusiawi,[66] kejam, melanggar hak asasi manusia dan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Akibatnya ketika lahir keinginan untuk menetapkan Syarah Islam terjadilah perdebatan tentang hal itu. Empat belas abad yang lalu, di saat Islam mencapai puncaknya, Rasulullah SAW telah memprediksikan tentang nasib ummat Islam di masa yang akan datang, sebagai tanda nubuwwah beliau. Nasib ummat Islam pada masa itu digambarkan oleh Rasulullah seperti seonggok makanan yang diperebutkan oleh sekelompok manusia yang lapar lagi rakus. Sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits, bahwa "Beberapa kelompok manusia akan memperebutkan kalian seperti halnya orang-orang rakus yang memperebutkan hidangan." Seorang sahabat bertanya, "Apakah karena kami waktu itu sedikit, ya Rasulullah?". Jawab Rasul : "Tidak! Bahkan waktu itu jumlah kalian sangat banyak. Akan tetapi kalian waktu itu seperti buih lautan. Dan sungguh, rasa takut dan gentar telah hilang dari dada musuh kalian. Dan bercokollah dalam dada kalian penyakit wahn", yaitu"Cinta dunia dan takut mati". Penyakit cinta dunia inilah yang diperalat untuk ghazwul fikri.
                Ghazwul fikri, [67] dimulai ketika kaum salib dikalahkan dalam sembilan kali peperangan besar. Ketika Islam mulai menyebar luas meliputi wilayah Persi, Syiria, Palestina, Mesir dan menyeberang daratan Eropa sampai Spanyol, maka kaum Salibis, Yahudi dan orang-orang Paganis segera membendung laju kebenaran Islam. Mereka khawatir kalau  Islam akan menerangi seluruh belahan dunia. Maka kemudian digelarlah peperangan yang panjang yang dikenal dengan nama perang Salib. Kemenangan kaum muslimin tersebut sangat spektakuler, sebab pasukan muslim yang diterjunkan dalam pertempuran berjumlah sedikit. Pasukan Khalid bin Walid, misalnya pernah berperang dengan jumlah tentara sekitar 3000 personil, sedangkan pasukan Romawi yang dihadapi berjumlah 100.000 personil, hampir 1 berbanding 35. Allah memenangkan kaum muslimin dalam pertempuran tersebut.
  Selama perang salib yang berlangsung delapan periode itu, tak sekalipun ummat Islam dapat dikalahkan. Mereka berpikir keras bagaimana cara mengalahkan ummat Islam. Setelah melalui pemikiran yang panjang akhirnya mereka mengambil kesimpulan sebagaimana dikemukakan oleh Gladstone, salah seorang perdana menteri Inggris, "Selama Al Qur'an ini ada di tangan ummat Islam, tidak mungkin Eropa akan menguasai dunia Timur". Kekalahan demi kekalahan itu akhirnya menyebabkan kaum salib menciptakan taktik baru. Di bawah pimpinan Raja Louis XI, taktik baru tersebut dilancarkan. Caranya bukan lagi berupa penyerangan fisik, tetapi musuh-musuh Allah itu mengirimkan putera-putera terbaik mereka ke kota Makkah untuk mempelajari Islam. Niat atau motivasi mereka tentu bukan untuk mengamalkan, melainkan untuk menghancurkannya.[68] Pembelajaran dengan niat jahat itu ternyata berhasil. Tafsir dikuasai, hadist dimengerti, khazanah ilmu Islam digali. Setelah sampai ke tahap dan tingkat ahli, para pembelajar Islam dari kaum Salib ini kembali ke Eropa, lalu membentuk semacam Research and Development (Penelitian dan Pengembangan) untuk mengetahui kelemahan umat Islam agar dapat mereka kuasai.
Kesungguhan mereka dalam mempelajari Islam tersebut memang luar biasa. Sampai dalam sejarah diungkapkan kisah seorang pembelajar Islam dari kaum salib yang rela meninggalkan anak istrinya hanya untuk berkeliling ke negeri-negeri Islam guna mencari kelemahan negeri-negeri Islam itu. Di antara pernyataan mereka ialah, "Percuma kita berperang melawan umat Islam selama mereka berpegang teguh pada agama mereka. Jika komitmen mereka terhadap agama mereka kuat, kita tidak dapat berbuat apa-apa. Oleh karena itu, tugas kita sebetulnya adalah menjauhkan umat Islam dari agama mereka, barulah kita mudah mengalahkan mereka.” Gleed Stones, mantan perdana menteri Inggris, juga mengatakan hal yang sama, "Percuma memerangi umat Islam, kita tidak akan mampu menguasainya selama di dada pemuda-pemuda Islam al-Qur'an masih bergelora. Tugas kita kini adalah mencabut al-Qur'an hati mereka, baru kita akan menang dan menguasai mereka.” Dalam konteks ini, al-Qur'an mengatakan, artinya, "Sesungguhnya setan bagimu merupakan musuh, maka perlakukanlah ia sebagai musuh. Sesungguhnya setan itu mengajak hizb (golongan) nya agar mereka menjadi penghuni neraka."[69].
    Setan yang merupakan musuh umat Islam itu, menurut ayat 112 Surat al-An'aam, bukan hanya dari kalangan jin dan Iblis saja, tetapi juga dari kalangan manusia. Setan-setan manusia itu dahulu menghina dan memojokkan serta melecehkan Islam melalui lisan mereka dengan cara sederhana tanpa dukungan hasil teknologi canggih. Tetapi kini, penghinaan dan pemojokan serta pelecehan itu dilakukan dengan pers yang mempergunakan sarana modern yang super canggih. [70]
Dahulu, para penjajah menyerang kaum Muslimin dengan senjata bom, meriam dan peluru, dan serangan itu hingga kini sebetulnya masih tetap berlangsung. Hanya yang dijadikan sasaran bukan lagi jasmani, tetapi aqidah umat Islam. Salah satu tujuannya ialah bagaimana agar fikrah (ideologi) atau 'aqidah umat Islam rusak. Tujuan paling akhir ialah bagaimana agar Islam dan umat Islam berhasil dihabisi riwayatnya dari bumi Allah subhanahu wata’ala ini. Serangan inilah yang disebut ghazwul fikr. Dan senjata yang dipergunakan bukan lagi bom atau peluru tetapi surat kabar, majalah, radio, televisi dan media-media massa lainnya, baik cetak mau pun elektronik, baik yang sederhana, mau pun yang super canggih. Ditemukan beberapa  jenis Ghazwul Fikri:
1)   Perusakan Akhlaq
          Dengan berbagai media musuh-musuh Islam melancarkan program-program yang bertujuan merusak akhlaq generasi muslim. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai yang tua renta sekalipun. Di antara bentuk perusakan itu adalah lewat majalah-majalah, televisi, serta musik. Dalam media-media tersebut selalu saja disuguhkan penampilan tokoh-tokoh terkenal yang pola hidupnya jelas-jelas jauh dari nilai-nilai Islam. Mulai dari cara berpakaian, gaya hidup dan ucapan-ucapan yang mereka lontarkan. Dengan cara itu, mereka telah berhasil membuat idola-idola baru yang gaya hidupnya jauh dari adab Islam. Hasilnya betul-betul luar biasa, banyak generasi muda kita yang tergiur dan mengidolakan mereka.
2)   Perusakan pola pikir
       Dengan memanfaatkan media-media tersebut di atas, mereka juga sengaja menyajikan berita yang tidak jelas kebenarannya, terutama yang berkenaan dengan kaum muslimin. Seringkali mereka memojokkan posisi kaum muslim tanpa alasan yang jelas. Mereka selalu memakai kata-kata; teroris, fundamentalis untuk mengatakan para pejuang kaum muslimin yang gigih mempertahankan kemerdekaan negeri mereka dari penguasaan penjajah yang zhalim dan melampui batas. Sementara itu di sisi lain mereka mendiamkan setiap aksi para perusak, penindas, serta penjajah yang sejalan dengan mereka; seperti Israel, Atheis Rusia, Fundamentalis Hindu India, Serbia, serta yang lain-lainnya. Apa-apa yang sampai kepada kaum muslimin di negeri-negeri lain adalah sesuatu yang benar-benar jauh dari realitas. Bahkan, sengaja diputarbalikkan dari kenyataan yang sesungguhnya.
3)   Sekulerisasi Pendidikan
Hampir di seluruh negeri muslim telah berdiri model pendidikan sekolah yang lepas dari nilai-nilai keagamaan. Mereka sengaja memisahkan antara agama dengan ilmu pengetahuan di sekolah. Sehingga muncullah generasi-generasi terdidik yang jauh dari agamanya. Sekolah macam inilah yang mereka dirikan di bumi Islam pada masa penjajahan (imperialisme), untuk menghancurkan Islam dari dalam tubuhnya sendiri.
Ada beberapa kelompok besar manusia yang dalam perjalanan sejarah selalu mengibarkan bendera permusuhan dan perang terhadap kaum muslimin. Adapun kelompok-kelompok tersebut adalah:
1)   Orang-Orang Yahudi dan Nashrani
"Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan pernah rela terhadap kalian, sehingga kalian mengikuti jejak mereka..."
[71]
2)   Orang-orang Musyrik
"Sesungguhnya telah kalian dapati orang-orang yang paling besar permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik...."[72]
3)   Orang-orang Munafik
"Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu, mereka berkata: 'Kami mengakui, bahwa kamu benar-benar Rasulullah'. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya', dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafiq itu benar-benar orang pendusta"[73]

"Orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang yang ma'ruf dan menggenggam tangannya (kikir). Mereka telah melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafiq itulah orang-orang yang fasik" [74]
Meskipun mereka (musuh-musuh Islam) itu nampaknya berbeda, tetapi sesungguhnya di dalam memerangi kaum muslimin mereka bersatu padu melakukan konspirasi (persekongkolan) yang berskala internasional. Mereka berusaha tanpa mengenal lelah dan berputus asa. Al-Quran menyatakan"Dan tiada henti-hentinya mereka selalu memerangi kalian sehingga kalian murtad dari agama kalian, jika mereka mampu...."[75]
 Keuntungan Ghazwul Fikri bagi dunia Barat ialah:
1)   Dana yang dibutuhkan tidak sebesar dana yang diperlukan untuk perang fisik.
2)   Sasaran ghazwul fikri tidak terbatas.
3)   Serangannnya dapat mengenai siapa saja, dimana saja dan kapan saja.
4)   Tidak ada korban dari pihak penyerang.
5)   Sasaran yang diserang tidak merasakan bahwa sesungguhnya dirinya dalam    kondisi diserang.
6)   Dampak yang dihasilkan sangat fatal dan berjangka panjang.
7)   Efektif dan efisien.[76]

Yang menjadi sasaran ghazwul Fikri adalah pola pikir dan akhlaq. Apabila seseorang sering menerima pola pikir sekuler, maka iapun akan berpikir ala sekuler. Bila sesorang sering dicekoki paham komunis , materialis, fasis, marksis, liberalis, kapitalis atau yang lainnya, maka merekapun akan berpikir dari sudut pandang paham tersebut. Sementara itu dalam hal akhlaq, boleh jadi pada awalnya seseorang menolak terhadap suatu tata cara kehidupan tertentu, namun karena tiap kali ia selalu mengkonsumsi tata cara tersebut, maka lama kelamaan akan timbul perubahan dalam dirinya. Seperti contohnya adanya pergaulan bebas antara wanita dan pria yang bukan muhrim, seperti terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Kmudian  alat Ghazwul Fikri ialah:
1)   Membius pandangan mata, dengan banyaknya disuguhkan wanita-wanita  dari kalangan artis dan pelacur. Mereka menjadikan ruang redaksi bagaikan rumah bordil yang menggelar zina mata massal.
2)   Pameran aurat di saluran televisi yang berlomba-lomba menyajikan artis-artis, baik dengan pakaian biasa, ketat, pakaian renang, sampai yang telanjang. Penonton diajak untuk tidak punya rasa malu, hilang iman, mengikuti panggilan nafsu, dan menghidupkan dunia mimpi.[77]
3)   Membudayakan ikhtilat. Sekumpulan laki-laki dan wanita yang bukan muhrim, biasa bergumul jadi satu tanpa batas. Tayangan semacam ini tak ubahnya mendekati zina, bahkan membuka transaksi zina.[78]
4)   Membudayakan khalwat. Kisah-kisah percintaan bertebaran di berbagai acara. Frekuensi suguhan kisah-kisah pacaran dan kencan makin melegitimasi budaya khalwat.
5)   Membudayakan tabarruj. Banyak pelaku di layar kaca yang mempertontonkan bagian tubuhnya yang seharusnya ditutupi, untuk dinikmati para pemirsa.
   Demikianlah bahaya ghazwul fikri. Ia akan menyeret seseorang ke dalam jurang kesesatan dan kekafiran tanpa terasa. Ibaratnya seutas rambut yang dicelupkan ke dalam adonan roti, kemudian ditarik dari adonan tersebut. Tak akan ada sedikitpun adonan roti yang menempel pada rambut. Rambut itu keluar dari adonan dengan halus sekali tanpa terasa. Demikianlah, seseorang hanya tahu bahwa ternyata dirinya sudah berada dalam kesesatan, tanpa terasa! Apakah seorang ibu yang meninggalkan anaknya begitu saja dan tidak merawat, dengan kasih sayang disebut kasih sepanjang jalan? Apakah orang tua yang menjadi germo bagi anaknya disebut orang tua yang mencintai dan paling tahu kebutuhan anaknya? Apakah orang tua yang mengurung anaknya di rumah dan tidak boleh bermain hanya boleh belajar dalam kamar disebut orang tua yang memahami anak?
Untuk meganalisis hal ini, ada kaidah-kaidah fiqih,[79]  dalam khazanah keilmuan qawaid al fiqhiyyah pada dasarnya terbagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah.
Dalam analisis mengenai kaidah ini, terdapat dua kata yang saling terkait, yang pertama yaitu tasharrul imam (kebijakan pemimpimn) dan yang kedua adalah al maslahat (maslahat). Tetapi dari dua hal tersebut terdapat kata kunci yang menentukan arah dari konsep kebijakan yersebut, yaitu maslahat..Oleh karena itu, hal pokok yang menjadi kajian dalam permasalahan ini adalah bagaimana sebenarnya konsep maslahat, dimana maslahat inilah yang nantinya akan membawa dan mengantarkan kepada sebuah kebijakan yang akan dibuat oleh seorang pemimpin.
 Ketika memperhatikan kaidah tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al malahat yang berarti bahwa kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan, maka ada dua kata yang tidak hanya memerikan makna secara retorik saja, tetapi dua kata yang sekaligus memberikan gambaran dan batasan serta suatu konsep yang dimaksud. Dua kata tersebut adalah tasharruful imam (kebijakan dari seorang pemimpin) dan al maslahat (kemaslahatan). Maka dalam hal ini akan lebih banyak mengkaji tentang bagaimana konsep kemaslahatan yang akan dijadikan sebagai landasan tehadap pembuatan suatu kebijakan.
              Kaidah ushul fiqih yang menyatakan Tasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyyati Manutun Bi al- Maslahah .Kaidah ini merupakan kaidah yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpin. Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tasharruful imam ‘ala al ra’iyyati manuutun bi al maslahat mempunyai pengertian retorik (harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada maslahat.
Lebih jauh dari sekedar pengetian retorik tersebut, maka ada pengertian yang lebih luas adalah segala aspek kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam suatu kelompok atau golongan tertentu harus ditetapkan dengan mekanisme syura (musyawarah). Hal ini sebagai terjemahan dari pernyataan kaidah tesebut yang menekankan pada aspek kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentu yang riil untuk mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal ini yang juga ditekankan dalam firman Allah.[80]

42:38

Artinya: Bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Sebuah contoh yang bisa dijadikan sebagai referensi bagi berlakunya asas tersebut adalah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’in bin Mansur; sungguh aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti kedudukan seorang wali anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil daripadanya, jika aku dalam kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku berkecukupan maka aku menjauhinya.
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mengedepankan aspek kemaslahatan rakyat bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya, atau keinginginan keluarganya atau kelompoknya. Kaidah ini juga diperkuat dengan QS. An-Nisa’ (4) : 58 yang  menyatakan bahwa  Allah mewajibkan manusia, menyampaikan amanah dan berkewajiban berlaku adil. Maksud dari ayat 58 ini Allah SWT menerangkan bahwa melaksanakan amanat dan tanggung jawab adalah perintah Allah kepada seluruh hamba-Nya, termasuk yang diperintahkan juga adalah menghukum dengan adil antara semua manusia dan Allah adalah sebaik-baik Pemberi pengajaran akan keadilan itu. Maka hendaklah orang beriman menjadikan keadilan Allah sebagai standar, bukan yang lainnya di dalam melaksanakan hukum, sementara Allah tetap mengawasi dan memperhatikan bagaimana  melaksanakan perintahNya, firman Allah: “Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.
            Yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas yang telah dipercayakan kepada manusia sebagai khalifah. Termasuk menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkan keputusan dengan adil dengan berpegang teguh kepada kitab Allah dan sunnah Rasul.  Dalam cakupan yang lebih luas, kata amanat bisa berarti kesanggupan melaksanakan dan menegakkan dien, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Ahzab:72.Ayat tersebut berbicara mengenai pemberian amanat kepada orang yang memang layak untuk menerima amanat tersebut dan juga ayat tersebut memberikan penekanan terhadap pentingnya penegakan hukum dalam satu kalangan masyarakat.[81] Hal ini menjadi satu bagian penting dalam pembahasan kemaslahatan yang hendak dicapai dalam suatu lingkungan masyarakat.[82]
              Mengenai keadilan[83], keadilan  dua kacam, pertama adalah keadilan distributive dan keadilan commutative. Keadilan distributive memberikan gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya masing-masing, dengan kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan secara umum. Tapi keadilan commutative memberikan keadilan secara umum kepada siapa saja. Salah satu prinsip keadilan yang merupakan bagian dari kemaskahatan menajdi satu teori yang dianut oleh Islam dalam menentukan kebijakan hukum Islam, bahwa Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.           Salah satu contoh lain dijelaskan dalam kitab al -asybah wa al- nadhair. Syekh Imam Jalaluddin Abdurrrahman bin Abi Bakr As- Suyuti mengungkapkan contoh yang sederhana, bahwa dalam suatu negara apabila ada keinginan untuk menghilangkan tentara dalam anggaran program kenegaraan dengan alasan yang dibolehkan maka hal itu diperbolehkan, tetapi kalau sekiranya alasan yang akan digunakan sebagai landasan peniadaan hal tesebut tidak diperbolehkan atau bahkan tidak dalam kategori penting dan dharurat maka peniadaan tersebut tidak diperbolehkan. Kemudian contoh yang lain adalah soal pembagian zakat, seorang imam atau pemimpin yang masih dalam keadaan mampu tidak boleh mengutamakan dirinya dalam menerima zakat dari pada rakyat yang notabene lebih memutuhkan.[84]
              Dalam konteks kontemporer, kaidah tersebut tentunya tidak boleh terlepas dari jiwa seorang pemimpin. Oleh karena itulah setiap kebijakan yang mengandung manfaat dan maslahat bagi rakyat maka itulah yang direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/ dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya kebojakan yang mendatangkan mudharat dan mafsadah bagi rakyat, itlah yang harus disingkirkan dan dijauhi. Dalam upaya-upaya pemabangunan misalnya, membuat irigasi untuk petani, membuka laangan kerja yang padat karya, melindungi huta lindung, menjaga ligkungan, mengangkat pegawai yang benar-benar amanah dan professional dan lain sebagainya.[85]
            Dalam mendukung kaidah tersebut, tentu diperlukan kaidah pelengkap yang bisa mendukung dan sejalan dalam pemaknaan terhadap kaidah tersebut. Diantara kaidah-kaidah yang diperkukan untuk mendukung kaidah tersebut adalah kaidah yang berbunyi; ikhtiyarul amstal fal alstal (memilih yang representative dan lebih representative lgi). Kaidah ini memberikan gambaran kepada sikap yang harus diambil dan diimplementasikan oleh seorang pemimpin dalam membuat sebuah kebijakan, yaitu harus dilakukan dan dipilih mana yang representative untuk bisa dilaksanakan terlebih dahulu. Artinya memang kebutuhan masyarakat yang sedemikian banyak, mana yang lebih representative untuk dilaksanakan dan diprioritaskan lebih dulu.
         Di samping mengenai substansi yang hendak dicapai dari sebuah kemaslahatan yang ada, maka pada dasarnya terdapat factor lain yang memberikan kontribusi terhadap itercapainya sebuah maslahat. Diantaranya adalah factor mekanisme system kekuasaan dan jalannya pemerintaha yang sistematis. Misalnya dalam fiqh siyasah, terdapat pembagian kekuasaan sejak zaman kekhalifahan.[86] Pembagian kekuasaan itu terus berkembang maka kemudian muncul berbagai lembaga kekuasaan dalam sebuah Negara. Ada khalifah (presiden)sebagai lembaga kekuasaan eksekutif (al- hai’ah al- tanfidhiyyah), dan lembaga legislative atau alh al- halli wa al- aqdi (al- hai’ah al- tasyri’iyah) dan lembaga yudikatif (al- hai’ah al- qadhaiyyah), bahkan lembaga pengawasan (al -hai’ah al- muraqabah).
             Mengenai permasalahan ini, maka dalam kaidah hukum Islam terdapat kaidah yang bebrunyi al wilayah al khassah aqwa min al wilayah al ‘ammah (kekuasaan yang lebih khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada kekuasaan umum). Maksud kaidah tersebut adalah bahwa lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya daripada lembaga-lembaga yang umum. Contohnya: camat lebih kuat kekuasaanya dalam wilayahnya daripada gubernur , wali nasab lebih kuar kekuasaannya terhadap anak-anaknya dari pada pengadilan agama dan seterusnya. Pada intinya dalam kaidah inti ini adalah bahwa, segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum, maka harus dicarikan solusi terbaiknya demi kemaslahatan. Solusi terbaik yang dapat ditawarkan bisa meliputi substansi dari permasalahan yang sedang dibahas dan mekanisme dalam pelaksanaannya. Ibarata dalam sebuah system hukum maka ada hukum formil dan hukum materiil yang tidak boleh lepas salah satunya. Lalu kemudian pertanyaannya adalah, maslahat yang seperti apa yang mengikat seorang pemimpin untuk selalu memasukkan konsep tersebut dalam pertimbangan utama atau prioritas utama dalam mengambil setiap kebijakan?

              Perlunya, analisis konsep maslahat ,menurut beberapa pandangan dan konsep mengenai maslahat yang ada sebenarnya telah disampaikan oleh banyak dari kalangan para pakar di bidangnya, tetapi karena batasan yang ada maka dalam kesempatan kali ini kajian akan lebih difokuskan pada salah satu konsep atau teori tentang maslahat yang disampaikan dan dikemukakan oleh Najmuddin At- Tufi. Diantara beberapa pandangan beliau tentang konsep maslahata adalah sebagai berikut:
1.Pengertian Maslahat.
Dalam pandangan at-Tufi Bahasan lafadz maslahat berdasarkan wazan maf'alatun dari kata shalah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan untuk menulis. Pedang dibikin sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk memenggal. Sedangkan definisi maslahat adalah sarana yng menyebabkan adanya maslahat dan manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian   Tasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyah Manutun Bi al- Maslahah

Berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat. Kemudian, maslahat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan kehendak syari', yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat.[87]
2.Bidang hukum berlakunya maslahat
             Mengenai lapangan hukum mu'amalat dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah maslahat. Maslahat dan dalil-dalil syari'at lainnya, terkadang senada dan terkadang bertentangan. Jika senada, memang hal itu baik seperti senadanya antara nas, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum daruri yang berjumlah lima. Hukum-hukum kulli yang dharuri itu ialah dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya orang yang murtad, pencuri dipotong tangannya, peminum dihukum dera dan orang yang menuduh orang baik berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd, dan contoh-contoh lain yang serupa dalam hal dalil-dalil syari'at senada dengan maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentangan, jika ada kemungkinan dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas, ijma' dan maslahat. Misalnya, jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat, lakukanlah antara dalil dan maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya, tidak boleh mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar-benar hakiki. Jika ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah maslahat atas dalil-dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, la darara wa la dirara. Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan mudarat untuk memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at, sehingga wajib didahulukan. Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya sebagai sarana. Jadi, tujuan harus didahulukan daripada sarana.
           At-Tufi menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah-masalah yang berkaitan dengan mu'amalat dan yang sejenis - bukan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat hanya hak Syari'. Tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Sebab, seseorang pembantu tidak akan dikatakan sebagai seorang yang taat jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh tuannya, atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan akal, dan mulai menolak syari'at, Allah swt. amat murka terhadap mereka. Mereka tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan.[88]
             Berbeda halnya dengan kaum mukallaf, hak-hak mereka di dalam memutuskan hukum adalah perpaduan antara siyasah dan syari'ah yang sengaja oleh pencipta dicanangkan untuk maslahat umat manusia. Itulah yang menjadi  ukuran berpikir mereka. Kami tidak mengatakan bahwa syari'at lebih mengetahui maslahat-maslahat manusia karena dalil-dalilnya harus diambil dan diamalkan sesuai dengan pengertiannya. [89] Maslahat termasuk salah satu dalil syari'at, bahkan boleh dikatakan sebagai dalil terkuat dan teristimewa. Karenanya kami lebih mendahulukan maslahat.
           Berdasarkan uraian di atas, jelaslah menurut at-Tufi bahwa maslahat-maslahat yang tidak dapat diketahui adalah maslahat yang terkandung di dalam masalah ibadat. Namun, mengenai maslahat yang bertalian dengan kehidupan sosial kaum mukallaf dan hak-hak mereka, hal ini dapat diketahui oleh mereka melalui akal pikiran mereka. Dengan kata lain, jika kami tidak melihat dalil syari'at yang tidak menyebutkan maslahatnya, kami berpegang bahwa syari'at telah membolehkan kami untuk mencari maslahat sendiri.

Apakah hukuman fisik bagi anak-anak, mengandung kemaslahatan? Kemaslahatan membawa manfaat bagi kehidupan remaja, sedangkan mafsadah mengakibatkan mudharat bagi kehidupan.[90] Apa yang disebut dengan maslahat perlu mendapat kriteria dan batasan-batasan tertentu sehingga keberadaan maslahat tidak dijadikan sebagai satu “tempat berlindung” untuk bisa melegalisasi permasalahan-permaslahan yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori maslahat. Menurut jumhur ulama’, untuk kriteria maslahat apabila dilihat akan muncul sebagai beikut:
1. kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al syariah, dalil-dalil kulli, (general dari Al Qur’an dan Al- Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah kulliyah hukum Islam.
2. kemaslahatan itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat, hinga tidak meragukan lagi.
3. kemaslahatan itu harus memberi kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan sebagian masyarakat kecil.
4. kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat dilaksanakan.[91]
a.Maslahat dan Batasan- Batasannya
Para ahli ushul fiqh membagi maslahat menjadi tiga macam, yaitu: maslahah mu'tabarah, maslahah mulghah dan maslahah mursalah. Maslahah mu'tabarah adalah maslahat yang terdapat pada hukum yang ditetapkan oleh nash, seperti maslahat pada hukum qishash. Hukum ini ditetapkan oleh QS. Al-Baqarah ayat 178 dan 179. Hikmah dari maslahat yang ditimbulkan oleh qishash ialah melestarikan hidup manusia. Begitu juga maslahat yang terdapat pada hukum potong tangan pencuri dan maslahat yang ada pada hukum Had al-qadzaf (hukuman seseorang yang menuduh berzina).
Semua maslahat ini telah diterangkan dalam Nash Al-Qur'an. Jadi, memotong tangan pencuri itu sendiri merupakan maslahat dan ia disebut maslahat mu'tabarah karena maslahat itu bersumber dari syariah. Sedangkan maslahah mulghah adalah maslahat yang dianggap invalid oleh syariah atau dengan kata lain bahwa maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya diingkari oleh syariah, seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina, secara material bisa disebut maslahah tetapi ia dibatalkan oleh sya-riah melalui nash-nash yang ada. Demikian juga maslahat riba, minum arak dan lain sebagainya.
Adapun maslahah mursalah ialah maslahat yang keberadaanya secara langsung tidak ditetapkan oleh nash tetapi sekaligus juga tidak ada nash yang dengan jelas membatalkannya. Seperti keharusan untuk membuat akte nikah bagi kedua pasangan yang melakukan akad nikah. Karena tanpa akte nikah, hakim atau pemerintah tidak menerima gugatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Akte nikah dalam hal ini disebut maslahat mursalah. Contoh lain ialah pengumpulan Al-Qur'an oleh Abu Bakar yang kemudian dibukukan oleh penerusnya, Utsman.
Di antara ketiga maslahat ini hanya maslahat mu'tabarah,[92] saja yang disepakati ulama sebagai maslahat yang dapat dipakai untuk menetapkan suatu hukum. Sedangkan dalam maslahat mursalah, para ulama terbagi dalam tiga golongan. Golongan pertama berpendapat bahwa maslahat mursalah tidak boleh menjadi dalil (argumentasi) suatu hukum. Golongan kedua berpendapat bahwa maslahat mursalah boleh dijadikan dalil suatu hukum. Sedangkan golongan ketiga berpendapat bahwa maslahat mursalah boleh dijadikan sebagai dalil dari suatu hukum dengan syarat bahwa suatu maslahat terkandung dalam maslahat dharuriat (primer), qhathiyah (pasti) dan kulliyah (menyeluruh).[93]
Yang dimaksud dharuriat ialah maslahat yang masuk dalam bagian maqashid syariah yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dan yang dimaksud dengan qhatiyyah ialah maslahat yang terjadi dengan pasti dan tanpa diragukan lagi. Sedangkan maslahat kulliyah ialah suatu maslahat yang luas dan menyeluruh daya jangkaunya. Contoh dari maslahah mursalah yang dharuriah qath'iyah kulliyah ini ialah suatu kasus di mana pasukan kafir mengepung wilayah Islam. Untuk berlindung dari serangan tentara Islam, mereka menjadikan para tawanan muslim sebagai perisai hidup. Dalam kasus seperti ini, membunuh para tawanan muslim yang dijadikan perisai hidup disebut maslahah mursalah. Kasus ini telah memenuhi tiga kriteria yang disyaratkan di atas.
Kriteria dharurah dalam kasus tersebut adalah memelihara agama. Penyerangan orang kafir terhadap negara Islam sudah barang tentu akan mengganggu eksistensi agama dan umat Islam. Kriteria qath'iyyah juga terdapat dalam kasus ini, yaitu perkiraan bahwa seandainya para tawanan muslim dan tentara kafir tidak dibunuh, sudah pasti pasukan kafir tersebut akan menguasai semua wilayah Islam. Dan yang terakhir adalah kriteria kulliyah, yaitu seandainya para tawanan muslim tidak dibunuh, maka justru ketika berhasil mengu-asai wilayah Islam, orang-orang kafir itu akan membunuh semua umat Islam termasuk para tawanan muslim tadi.[94] Untuk mengetahui kapan suatu maslahat itu dianggap valid (mu'tabarah) dan bisa dijadikan landasan suatu hukum, ada lima syarat atau batasan yang bisa dijadikan titik tolak. Kelima syarat tersebut ialah:
1. Maslahat tidak bertentangan dengan maqasid syariah.
2. Maslahat tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.
3. Maslahah tidak bertentangan hadits Nabi.
4. Maslahat tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).
5. Maslahat tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang lebih penting atau maslahat yang sejajar dengannya.
Kelima syarat ini merupakan batasan atau standar yang digunakan untuk membedakan antara maslahah mu'tabarah (yang dapat dijadikan dasar hukum) dan maslahah mulghah (yang tidak dapat dijadikan dasar hukum).(7 Seorang mujtahid harus benar-benar menguasai dan mendalami batasan-batasan di atas. Dan di sinilah tingkat kejeniusan seorang mujtahid diuji. Peta penguasaannya terhadap nash dapat diukur dari sejauh mana ia bisa menggunakan batasan-batasan itu dalam beristinbath sebagaimana mestinya.
Kesimpulan para ahli ushul fiqh yang mengatakan bahwa setiap hukum pasti akan berujung pada suatu maslahat.[95] Hukum memang tidak pernah lepas dari maslahat, tetapi maslahat tidaklah merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri. Kedudukan maslahat tidak seperti kedudukan Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyah, ijma’ dan qiyas sebagai dalil mustaqil (berdiri sendiri). Mengapa? Karena maslahat pada dasarnya hanyalah merupakan makna umum yang secara implisit berada dibalik hukum-hukum juz’iy (parsial). Sementara hukum-hukum juz’iy itu sendiri tidak akan ada tanpa melalui proses istinbath.
Sedangkan yang dimaksud dengan istinbath ialah proses pengambilan hukum dari dalil-dalil syar'i. Maka, secara simpel bisa dikatakan bahwa maslahat merupakan ekspresi dari hukum dan hukum merupakan ekspresi dari nash (dalil syara'). Karenanya, wujud dan keberadaan maslahat sangat tergantung pada dalil-dalil syara'. Untuk itu maslahat tidak bisa menjadi dasar hukum yang berdiri sendiri sebagaimana halnya dalil syara lainnya. Lebih dari itu, keberadaan maslahat dalam hukum-hukum syari'at itu ditemukan lewat istiqra' terhadap semua hukum far'iyah. Dari istiqra' tersebut, para ulama mendapatkan suatu kesimpulan bahwa semua hukum syariat pasti akan kembali kepada satu tujuan yaitu menjaga kemaslahatan umat manusia di dunia dan akherat.

b. Kaidah Fiqih dalam Realitas Kontemporer
Penerapan teori maslahat at-Tufi  dalam realitas kontemporer adalah hadits mengenai dilarangnya wanita untuk menjadi pemimpin negara (Lan yufliha wallau Amrahum Imroatan). Mengenai hadits Abu Bakrah di atas, dari segi metodologi kritik hadis, ia adalah sahih. Pertanyaan yang harus dijawab ialah bagaimana kita harus memahami hadits. Di sini ditawarkan satu pendapat bahwa hadis-hadis dapat dikategorikan sebagai termasuk umurud dun-ya dan keuniversalannya tidak didukung oleh kenyataan harus ditafsirkan menurut semangatnya dan dalam konteks sosio-historisnya. Kalau tidak ia akan menjadi kering, memosil dan tidak bermakna. Untuk itu jika preseden-preseden historis terutama dari kebijaksanaan-kebijaksanaan Umar seperti mengenai masalah kharaj di mana ia mengubah praktek Rasulullah yang memberikan tanah-tanah kepada para prajurit yang mendapatkannya yang kemudian oleh Umar praktek itu dirubah di mana tanah-tanah tidak ia berikan kepada prajurit. Umar tidak memahami hadis-hadis Rasulullah dalam arti harfiyahnya melainkan dalam semangatnya. Dengan kalimat yang lebih teknis, hadis-hadis itu harus dipahami menurut illatnya, sekalipun illat-illat itu harus dicari melalui ijtihad (artinya tidak dinaskan).
           Hadis-hadis semacam ini cukup banyak terutama dalam masalah kemasyarakatan dan politik (mu'amalah), seperti hadis al-Aimmah min Quraisy yang oleh Ibn Khaldun dipahami melalui teori sejarahnya yang terkenal itu, yaitu teori asabiyah. Secara singkat menurut Ibn Khaldun Nabi menyerahkan imamah kepada kaum Quraisy karena pada waktu itu hanya merekalah yang memiliki asabiyah yang diperlukan bagi kelangsungan sebuah tata politik. Teori Ibn Khaldun ini dapat diperluas lagi dengan menyatakan : karena orang-orang Quraisylah yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang masalah-masalah politik dan ekonomi waktu itu wajarlah Rasul menyerahkan imamah kepada mereka.
            Hadis Abu Bakrah di atas pun kiranya dapat ditafsirkan dengan cara yang sama. Pada zaman Rasulullah wanita tidak begitu beruntung, bahkan anak wanita yang lahir dikubur hidup-hidup. Rasulullah sendiri berjuang untuk membebaskan kaum wanita. Walapun beliau telah banyak berhasil, suatu struktur sosial yang sudah begitu kokoh dan melembaga tidak dapat dirubah total seratus persen dalam waktu singkat, seperti lembaga perbudakan misalnya. Bahkan sampai beberapa abad kemudian posisi kaum wanita belum begitu menguntungkan. Mereka dikurung di rumah dengan sangat ketat. Apabila seorang lelaki hendak meninggalkannya, ia mengutus seorang wanita pemantau untuk melihat dan menyelidiki kelayakannya, sedangkan si lelaki itu tidak akan pernah dapat melihatnya sebelum akad nikah. Wanita-wanita itu hanya dapat dipandang oleh mata keluarga mereka. Dari segi pendidikan mereka juga kurang beruntung.

             Kaum lelaki malah lebih tertarik untuk mendidik dan mengajar budak karena faktor komersial, sebab budak yang terampil terutama pandai tulis baca akan mahal harganya. Hanya kalangan amat terbatas saja yang mendidik wanita. Pendek kata wanita tidak keluar dari tembok-tembok rumah suami atau orang tuanya. Artinya mereka tidak tahu menahu mengenai urusan masyarakat. Jadi dengan demikian wajarlah Rasulullah menyatakan bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada orang yang tidak banyak memahami soal-soal kemasyarakatan akan mengalami kegagalan.
            Akan tetapi sekarang situasi telah jauh berubah dan wanita telah banyak yang pandai dan terlibat secara inten dalam berbagai lapangan kehidupan. Jadi mereka sudah tahu seluk beluk masalah. Karena menurut teori hukum Islam, hukum itu berlaku menurut ada-tidaknya illatnya, maka dapatlah dikatakan bahwa tidak melanggar hukum Islam, wanita yang karena keca-kapannya menjadi kepala pemerintahan, karena illat mengapa Rasulullah dulu melarang telah hilang. Dengan mempergunakan pandangan at-Tufi nampak hadis yang tidak memperbolehkan wanita menjadi pemimpin negara tersebut bersifat kondisional, artinya larangan Nabi dalam hadis tersebut dilatarbelakangi olah adat Arab dan sekitarnya, sehingga bila adat berubah, illat larangan hilang; syarat-syarat yang ditunjuk dalam nas terpenuhi dan situasi tertentu memungkinkan, larangan tersebut dapat berubah menjadi sesuatu yang dibolehkan.
            Syari'at seperti tersurat dalam ayat Al qur’an yang menyatakan bagian masing-masin adalah 2:1 antara pewaris pria dan wanita, secara teoritis bisa saja diubah, dimodifikasi. Dalam kenyataan, hal itu sudah banyak terjadi dan diakui sah bahkan oleh kalangan ortodoksi sendiri, melalui terobosan wasiyat dalam pola perbandingan mana saja yang dikehendaki. Boleh jadi, sesuai dengan adanya ketentuan yang lebih tegas bahwa pola perbandingan warisan secara positif ditentukan 2:2 sesuai dengan, kenyataan masyarakat di mana kontribusi pihak wanita (istri) dalam perekonomian rumah tangga kini acap kali sama besar dengan kontribusi pria (suami) sendiri. Jika itu yang dituntut, maka perbandingan positif 2:2 saja, tanpa memberikan peluang untuk pola perbandingan lain seperti dalam terobosan wasiyat, akan jauh lebih sulit dan kaku untuk meraih keadilan. Sebab, pada kasus-kasus tertentu, misalnya pihak pewaris pria adalah orang kaya raya sedang pewaris wanitanya masih sangat sengsara, perbandingan yang adil pasti bukan sekedar 2:2 tetapi bahkan 2:0 untuk pewaris wanita.
              Sementara itu, ayat tentang pembagian waris yang dipersoalkan itu dipahami menurut semangat utamanya ketentuan usul al-fiqh bahwa ayat-ayat mufasar dan muhkam (qat'i ad-dalalah) harus dipegangi sebagai dasar konstitutif hukum syar'i ada juga mendapat gugatan. Misalnya Kassim Ahmad mengatakan bahwa justru ayat-ayat mufassar yang terperinci itu hanya contoh penerapan sezaman yang boleh saja berubah. Yang menjadi dasar pokok adalah ayat-ayat mujmal. Misalnya dalam kasus waris, ayat yang menyatakan bahwa wanita dan lelaki mendapat bagian dari peninggalan orang tua dan kerabat mereka (Q.S. 4:7) adalah prinsip umum. Sedang ayat bahwa bagian wanita separoh lelaki (Q.S.4:11-12) adalah contoh penerapan pada waktu itu terhadap prinsip umum itu. Jadi Kassim Ahmad ingin membalikkan kaidah usul sehingga ayat mufassar tidak qath'i dan yang qat'i adalah ayat mujmal.
Di samping itu ada juga yang memasukkan hadis itu ke dalam kaidah fiqh.Ruang lingkup kaidah ini sangat luas, mencakup sebagian besar dari masalah-masalah fiqh, bahkan merupakan pokok dalam syari'at Islam, seorang yang akan meng-istinbat-kan suatu hukum harus berpegang pada kaidah ini, karena ia merupakan dasar bagi menghilangkan kerusakan dan menarik maslahat. Banyak hukum yamg di-istinbat-kan dari kaidah ini. [96]
   Berdasarkan contoh-contoh hukum yang ditetapkan berdasarkan kaidah la darara wa la dirara, menunjukkan bahwa hukum mu'amalat Islam sangat berusaha menjauhkan kemudaratan manusia baik bersifat perorangan maupun kolektif, guna mewujudkan maslahat. Keterangan ini menunjukkan pula bahwa la dharara wa la dhirara, baik kedudukannya sebagai hadis maupun kaidah fiqh telah diamalkan para ulama guna mewujudkan maslahat, bahkan merupakan pegangan pokok bagi setiap orang yang akan meng-istinbat-kan suatu hukum dalam bidang mu'amalat. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa hadis tersebut harus diletakkan pada akhir setiap nas, sebagai pengecualian, sehingga nas itu berarti: "jangan kamu kerjakan ini, melainkan jika maslahat nyata menghendaki. Jangan kamu berbuat demikian, melainkan bila maslahat menghendaki".               Pendirian at-Tufi, bahwa apabila maslahat yang bersumber dari hadis yang telah disebutkan dan didukung pula oleh nas-nas syara' lainnya, jika bertentangan dengan dalil-dalil syara'- terutama nas dan tidak dapat dikompromikan - hendaklah maslahat lebih diutamakan, dengan cara takhsis atau tabyin nas dan ijma' atau dalil-dalil syara' lainnya, bukan dengan cara mempermainkan dalil-dalil itu. Pendirian at-Tufi ini, pada hakekatnya mendahulukan suatu hadis yang didukung oleh nas-nas syara' lainnya atas dalil-dalil syara' lainnya. Atau meninggalkan dalil syara' karena ada dalil syara' yang lebih kuat. Dapat pula dikatakan, bahwa hadis di atas yang didukung oleh nas-nas syara' lainnya, dapat dijadikan sebagai dalil untuk pengecualian terhadap dalil-dalil syara' lainnya dalam rangka mewujudkan dan memelihara maslahat. Teori meninggalkan suatu dalil karena ada dalil yang lebih kuat atau mengecualikan dalil yang bersifat umum dengan dalil yang bersifat khusus, oleh para ulama usul al-fiqh disebut istihsan.
 Metode istihsan ini telah dipraktekkan oleh para ulama usul, terutama yang paling terkenal banyak mempergunakannya adalah mazhab Hanafi. Istihsan ini dipergunakan dalam penetapan hukum dalam bidang perdagangan, peradilan atau urusan kemasyarakatan, politik dan lapangan hukum yang serupa. Oleh para ulama' usul, hukum-hukum tersebut disebut hukum mu'amalah. Demikian pula halnya at-Tufi dengan teorinya itu, hanya tertuju pada lapangan mu'amalah dan yang sejenisnya.
Tujuan segala hukum syara' baik yang bersumber dari nas atau qiyas maupun lainnya, ialah memelihara maslahat manusia. Apabila maslahat itu bertentangan dengan nas atau dengan qiyas, berartilah pertentangan antara dua maslahat yang kedua-duanya dii'tibarkan syara'. Kita telah mengetahui bahwa menurut kebiasaan syara' mendahulukan yang lebih kuat maslahatnya ketika berlawanan..[97]
Sebagaimana diketahui menurut at-Tufi bahwa dalam lapangan ibadah merupakan hak mutlak Allah untuk menentukan segala sesuatunya dan manusia hanya melaksanakan ibadah itu sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan. Dengan demikian dalil dalam bidang ibadah tidak dapat atau tidak perlu diubah. Berbeda dengan dalil dalam lapangan ibadah, dalil-dalil syara' dalam bidang mu'amalat dan yang sejenisnya, dalam pandangan at-Tufi nilai efektivitasnya sebagai sarana dapat diukur oleh akal pikiran manusia.
Jika dalam saat tertentu (waktu) dan kondisi tertentu (ruang), apabila suatu sarana tidak lagi efektif untuk mencapai tujuan, perlu diadakan perubahan, sehingga tujuan semula tetap tercapai, yaitu maslahat. Pandangan demikian, merujuk pada kondisi sosial dan pertimbangan perubahan sosial (social change) sebagai sarana untuk mencapai maslahat yang merupakan tujuan Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya. At-Tufi yang membedakan syari'at menjadi ibadat, muqaddarat dan mu'amalat, memberikan jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalat, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat umum dengan mempertimbangkan unsur-unsur darurat, illat-illat, adat, syarat karena situasi tertentu.
Pendapat yang mengatakan bahwa hukum mu'amalah Islam dalam kehidupan masyarakat modern yang dijadikan ukuran adalah substantif makna yang terkandung dalam suatu hukum. Hukum mu'amalah Islam dapat diterapkan apabila suatu masalah itu sama atau masih sama antara yang dimaksudkan oleh dalil dan masalah baru di mana hukum hendak diterapkan. Metode inilah yang dikenal dengan konsep tahqiq al-manat dalam usul al-fiqh, suatu metode penerapan Al-quran dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Ia sangat erat hubungannya dengan ijtihad tatbiqi. [98]             Ijtihad tatbiqi, dapat berlaku pada setiap hukum, baik yang dinilai qat'i, terinci maupun yang bersifat zanni. Ia merupakan praktek dari praktisi hukum dalam menerapkan hukum yang siap pakai, baik secara langsung dari wahyu maupun yang melalui ijtihad mujtahid. Dalam penerapannya seorang pelaksana hukum dituntut kejeliannya apakah makna hukum yang siap pakai itu sama dengan masalah yang sedang dihadapi. Apabila dinilai tidak sama, maka hukum tidak dapat dilaksanakan. Dengan demikian yang menjadi obyek kajian adalah perbuatan manusia dengan segala bentuk obyek perbuatan itu, juga manusia itu sendiri sebagai pelaku perbuatan dengan segala kondisi dan perubahannya.
  Bertitik tolak dari pernyataan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk maslahat hidup manusia menimbulkan persoalan tentang hubungan nas Alquran atau Sunnah Rasul dengan maslahat merupakan salah satu permasalahan yang pelik dan penting. Ijtihad atas dasar maslahat sebagai tujuan hukum Islam sering memungkinkan tidak diterapkannya ketentuan nas menurut apa adanya, tetapi diterapkan dengan cara lain atau bahkan tidak diterapkan sama sekali.
Untuk pengembangan maslahat dalam legislasi Indonesia kontemporer erat kaitannya dengan pengembangan budaya hukum Islam. Dalam pengembangan budaya hukum Islam di Indonesia kaum muslimin dihadapkan pada kemungkinan, yaitu hukum positif Islam yang terbatas pada mempermasalahkan hukum yang berlaku bagi kaum muslimin, dan nilai-nilai hukum Islam, yang akan berlaku bagi seluruh warga negara, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan warga negara). Kedua alternatif tersebut akan mempengaruhi pembentukan hukum nasional pada masa yang akan datang.
Berpangkal tolak dari kerangka pemikiran bahwa hukum positif Islam pada masa mendatang adalah hukum yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam dan dihubungkan pula dengan teori peringkatan hukum, maslahat dalam hukum Islam dapat diterjemahkan sebagai maslahat rakyat dalam segala aspeknya, mencakup bidang yang begitu luas, seperti ekonomi, hukum, politik dan sebagainya (mu'amalah). Dan maslahat menempati posisi sebagai nilai-nilai Islam (norma hukum) yang abstrak atau cita-cita hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi asas-asas, peraturan (perundang-undangan) atau bentuk legislasi lainnya sebagai norma antara yang merupakan kreativitas ijtihad yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, budaya dan kurun waktu. Semua hasil penerapan dan penegakan norma antara tersebut menjadi hukum positif yang merupakan norma konkret (living law) masyarakat.
Apabila formulasi dan aplikasi suatu peraturan perundang-undangan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, politik, hukum (norma antara) mampu mewujudkan maslahat rakyat banyak dalam arti sebenarnya dan dapat pula merekayasa tercapainya cita-cita kehidupan rakyat banyak, berarti aturan-aturan tersebut masih mungkin dan dapat dipertahankan. Akan tetapi, jika sebaliknya, justru formulasi dan aplikasi berbagai peraturan perundang-undangan dalam berbagai lapangan kehidupan rakyat banyak itu tidak mampu lagi menampung aspirasi kerakyatan dikarenakan adanya faktor perubahan situasi dan kondisi, perlu diganti dengan aturan-aturan yang baru yang betul-betul aspiratif. Dengan demikian, maslahat rakyat merupakan cita-cita atau tujuan yang hendak diwujudkan, sedangkan peraturan-peraturan undang-undang merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita kerakyatan. Oleh karena itu efektivitas suatu sarana dapat dipantau oleh masyarakat. Dalam kaitan ini, yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai Islam dapat terpatri dalam kehidupan bernegara, masyarakat, bangsa, keluarga dan individu, kemudian mengakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat egalitarian, jauh dari eksploitasi manusia atas manusia lain maupun eksploitasi golongan atas golongan lain. Dengan kata lain, hukum Islam tidak dalam norma, melainkan dalam substansinya.
Maslahat Menjadi syarat utama dalam pengambilan setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa atau pemimpin. Maslahat yang bisa dikategorikan sebagai landasan dalam pengambilan hukum mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantara syarat-syarat tersebu dikemukakan oleh MUI dan jumhur ulama’ sendiri. Diantara konsep maslahat yang banyak dipakai adalah konsep yang digagas dari Najmuddin At tufi. Dalam pemikirannya, At-Tufi berpendirian bahwa maslahat adalah tujuan penetapan hukum Islam dalam lapangan mu'amalah, apabila penerapan nas atau ijma' sesuai dengan bunyi tekstualnya bertentangan dengan maslahat dan tidak dapat dikompromikan, maslahat hendaklah lebih diutamakan daripada dalil-dalil syara'.
Maslahat merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai tujuan, karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Dalam perspektif pembaruan (reaktualisasi) hukum Islam dalam bidang mu'amalah dewasa ini, maslahat tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan konsep maslahat tersebut sebagai substansi yang disarikan dari Alquran dan hadis serta dapat dipertanggungjawabkan secara keagamaan. Konsep tersebut memberikan jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalah umat Islam,seperti kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain-lain, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat umum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi kehidupan manusia sebagai praktisi hukum.
b.Analisis Saddu al-dzari’ah
             UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sesungguhnya merupakan upaya melindungi anak Indonesia dari perlakuan yang sewenang-wenang. Namun, eksistensinya seringkali dijadikan “alat” untuk menjustifikasi kesalahan anak. Kondisi ini berdampak semakin sulitnya guru melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan, terutama membina kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji. Bila dalam pendidikan dikenal pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (funishment), sebagai salah satu alat pendidikan, maka dengan adanya UU Perlindungan Anak dan KPAI, seakan dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan proses pendidikan. Padahal, eksistensi reward dan funishment sangat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan.
             Adanya KPAI dan UU Perlindungan Anak secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan terhadap peserta didik. Padahal, sebagai seorang pendidik, guru/dosen memiliki otoritas akademik di dalam kelas untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan. Di sisi lain, seringkali terlupakan adalah alasan hukuman yang dilakukan guru. Untuk itu, perlu dilakukan uji materi (judicial review) terhadap UU Perlindungan Anak, khususnya pasal 80, 81, dan 82. Sebab, belum tentu tindakan guru murni kesalahannya, akan tetapi akibat kesalahan yang dilakukan peserta didiknya.
             Perlakuan  terhadap guru, sebagai tenaga pendidik, mereka seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi dan perlakukan masyarakat. Mereka dituntut untuk mampu menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Namun tatkala mereka berupaya untuk menegakkan kedisplinan, mereka dihadang oleh UU Perlindungan Anak dan KPAI. Jika mereka gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal menghantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan, kembali pendidik akan menjadi kambing hitam dan tumbal atas kegagalan tersebut.
            Tatkala guru ingin melakukan hukuman terhadap muridnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan, maka secara sepontan orang tua dan masyarakat mengkategorikannya sebagai tindakan melanggar HAM dan UU Perlindungan Anak. Mereka kemudian melaporkan tindakan guru tersebut kepada polisi atau kepada KPAID. Dengan kekuatan tersebut, acapkali guru tidak mendapatkan perlindungan terhadap profesinya. Akibat adanya KPAID dan UU Perlindungan Anak, eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah.[99]
             Urgensi UU Guru dan Dosen, secara yuridis, UU Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU No 14/2005. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.Adapun maksud Perlindungan Profesi yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen adalah perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya.
                Berangkat dari paparan di atas, terlihat bahwa eksistensi UU No 14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya. Namun, implementasi terhadap UU tersebut masih belum terlaksana. UU tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas peningkatan kesejahteraan guru/dosen, sementara perlindungan terhadap profesi guru/dosen seringkali lepas dari perhatian. Jalan Tengah. Ahli hukum, tidak  mungkin, menutup mata terhadap tindakan oknum guru yang kurang mendidik dengan memberikan hukuman di luar nilai pendidikan. Mereka meletakkan peserta didiknya sebagai penjahat yang harus dihabisi, bukan sosok yang perlu dibimbing dan diperbaiki. Demikian pula sikap orang tua/masyarakat yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru. Mereka terlalu banyak menuntut guru agar dapat mengahntarkan peserta didik sebagai masyarakat terdidik, namun tidak seiring dengan penghargaan dan perlindungan yang diberikan.
              Ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan guru dalam menghadapi murid yang bersalah, sebelum mereka menetapkan hukuman, yaitu; Pertama, perlu memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan ikut melibatkan guru BK. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan syarat : (1). Hukuman tidak pada tempat yang vital. (2) hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik. (3) hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik.[100]
           Hukuman fisik menurut kajian fiqih, merupakan  saddu al-Dzari’ah. Karena memukul anak yang tidak salat atau karena berulang kali melanggar aturan sekolah, merupakan bagian dari upaya menolak dan mencegah kenakalan, keburukan(dar’al mafasid).Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Alquran maupun Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
           Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah. Metode sadd al-dzari’ahmerupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak. Tentang analisis kata “memukul” dalam Islam, penulis temukan ada tiga macam:
1.Memukul anak dengan cara yang benar
             Menurut penulis, memukul anak, dengan cara yang benar, merupakan bagian dari saddu al-zari’ah.Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dewasa, tetapi juga yang belum dewasa. Hal ini bukan berarti bahwa hukum Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah).
           Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd al-dzari’ah. Sebaliknya, jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.Adapaun pengertian saddu al-Dzari’ah:
1.      Secara Etimologis
Kata sadd al-dzari’ah(سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ)dan al-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ)merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-saddtersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan al-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari al-dzari’ah adalah al-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd al-dzara’i.
Pada awalnya, kata al-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata al-dzari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.
2.      Secara Terminologi 
             Menurut al-Qarafi, sadd al-dzari’ahadalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur). Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd al-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’). Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
            Dari beberapa contoh pengertian di atas, jelaslah bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit al-dzari’ah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan al-dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnyahanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi al-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya. 
             Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd al-dzari’ahadalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.  Kedudukan saddu al-zari’ah, sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd al-dzari’ahmerupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbath al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd al-dzari’ah adalah salah satu sumber hukum.
           Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzariah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
           Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa’al-Furuq. Begitu pula Imam asy-Syathibi  (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwafaqat.
            Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd al-dzari’ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd al-dzari’ah, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.
Contoh kasus penggunaan sadd al-dzari’ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd al-dzari’ahagar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah. 
Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd al-dzari’ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau kredit (buyu’ al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi berjangka, misalnya sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 3 tahun dengan harga Rp. 150 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai transaksi, keesokan harinya sang konsumen membutuhkan uang karena keperluan penting dan mendesak. Ia pun menjual beli mobil itu kepada pihak showroom. Oleh pihak showroom, mobil itu dibeli secara tunai dengan harga Rp. 100 juta.
Transaksi seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual beli tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 150 juta dan secara tunai seharga Rp. 100 juta. Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa. Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun mereka menolak menggunakan sadd al-dzari’ah dalam pelarangan tersebut.Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen yang menjual kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki barang tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi kedua yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi yang tidak sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.
Bagi mazhab Syafii, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba, misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan maksud si penjual yang tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.
             Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh). Sementara sadd al-dzariahadalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd al-dzariah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.[101] Konsep sadd al-dzari’ah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa ditetapkan berdasarkan nash  dan ijma’ (qath’i). Sesuatu yang telah jelas diharamkan oleh nash tidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash lain yang jelas atau ijma’. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang kuat dari nash yang jelas atau ijma’. Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan semata.
Contoh kasus penolakan kalangan al-Zhahiri dalam penggunaan sadd al-dzariahadalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (dzari’ah) bagi wanita untuk sekedar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang halal.
Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan sadd al-dzari’ah, namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak kasus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, kontroversi di kalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, hanya berpusat pada satu kasus, yaitu jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat mazhab banyak menggunakan sadd adz-dzari’ah dalam menetapkan berbagai hukum tertentu.
           Adapun tentang mazhab Zhahiri yang menolak mentah-mentah sadd adz-dzari’ah, hal itu karena mereka memang sangat berpegang teguh pada prinsip berpegang kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua perbuatan harus diputuskan berdasarkan zhahir nash dan zhahir perbuatan. Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada tekstual nash juga bisa berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru bisa mengabaikan tujuan syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih mashalahah. Jika memang mafsadah jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah yang akurat, maka sadd al-dzari’ah adalah sebuah metode hukum yang perlu dilakukan.
    Dengan sadd al-dzari’ah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab al-Zahiri. Namun agar tidak disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa pengharaman dalam sadd adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim li ghairih). Secara substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut  tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan itu menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu halal.[102]  
             Sadd al-dzariah menghasilkan pandangan ulama yang melarang wanita untuk berkiprah lebih luas di masyarakat, seperti larangan wanita ke luar rumah demi mencegah bercampur dengan lelaki yang bukan mahram.Sinyalemen Elliwarti Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi sebenarnya yang perlu dipersalahkan bukanlah sadd al-dzari’ah-nya, namun orang yang menerapkannya. Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd al-dzariahtentu masih bisa dicek kembali bagaimana thuruq al-istinbath-nya. Jika memang dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi tersebut, ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan tersebut bisa dikoreksi kembali. Sedangkan tudingan bahwa sadd adz-dzari’ah menimbulkan sikap defensif, tentu perlu pembuktian empirik lebih lanjut.  
                Adapun  dalil yang menjadi dasar hukum saddu al-Zari’ah:
1.      Alquran
              Janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.[103]   Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah al-dzari’ah yang akan menimbulkan  adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan  mencaci Tuhan lain merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah). 
2:104
                                                                                              
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.[104]   Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek,[105] dan menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata raa’ina, sebagai bentuk isim fail dari masdar kata  ru’unah yang berarti bodoh atau tolol. Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd al-dzari’ah
2.      Sunah

             Ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd al-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih danHadis Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd al-dzari’ah
3.      Kaidah Fiqih  
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd al-dzari’ahadalah 
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah)

            Kaidah ini merupakan ketetapan asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd al-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd al-dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.
4.      Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang telah ditetapkan.”
             Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari’ah,[106] menjadi empat macam, yaitu:1.      Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.
2.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.
3.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang zalim. Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi al-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga. 
2.      Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
3.      Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba. Ada perbedaan al-Zari’ah dan muqaddimah.Wahbah al-Zuhaili membedakan antara al-dzari’ah dengan muqaddimah. Beliau mengilustrasikan bahwa al-dzariah adalah laksana tangga yang menghubungkan ke loteng. Sedangkan muqaddimah adalah laksana fondasi yang mendasari tegaknya dinding.
           Dengan demikian, al-dzariah dititikberatkan kepada bahwa ia sekedar sarana dan jalan untuk mengantarkan kepada perbuatan tertentu yang menjadi tujuannya. Ia bisa menjadi suatu perbuatan terpisah yang berdiri sendiri. Sedangkan muqaddimah dititikberatkan kepada bahwa ia merupakan suatu perbuatan hukum yang memang bagian dari rangkaian perbuatan hukum tertentu. Muqaddimah merupakan perbuatan pendahuluan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian perbuatan. Misalnya, sa’i merupakan sesuatu perbuatan pendahuluan yang diwajibkan dalam rangkaian haji. Sementara itu, haji sendiri merupakan kewajiban. 
               Kebalikan dari sadd al-dzari’ah adalah fath al-dzari’ah. Hal ini karena titik tolak yang digunakan adalah al-dzari’ah. Dalam mazhab Maliki dan Hambali, adz-dzari’ah memang ada yang dilarang dan ada yang dianjurkan. Hal ini diungkapkan oleh al-Qarafi yang notabene dari mazhab Malik dan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang notabene dari mazhab Hambali. Al-dzari’ah adakalanya dilarang sehingga pelarangan itu disebut sadd al-dzari’ah; adakalanya dianjurkan atau diperintahkan sehingga anjuran atau perintah itu disebut fath al-dzari’ah.
     Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibahah), menganjurkan (istihab), maupun mewajibkan (ijab) karena perbuatan tersebut bisa menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau diperintahkan. Apa kaitan sadd al-zari’ah dengan penelitian yang berkaitan dengan hukuman fisik? [107]. Kaitannya ialah hukuman fisik itu, memang merupakan sarana untuk mencegah kejaahatan, maka hukumya wajib, karena mencegah kejahatan itu, wajib hukumnya, “ Lil wasa’ili, hukmul maqashid,”.Contoh dari fath adz-dzari’ah adalah bahwa jika mengerjakan shalat Jum’at adalah wajib, maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan meninggalkan perbuatan lain. Contoh lain adalah jika menuntut ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang menjadi sarana untuk tercapai usaha menuntut ilmu, seperti membangun sekolah dan menyusun anggaran pendidikan yang memadai.
Namun yang juga harus digarisbawahi adalah bahwa betapapun al-dzariah (sarana) lebih rendah tingkatannya daripada perbuatan yang menjadi tujuannya. Pelaksanaan atau pelarangan suatu sarana tergantung pada tingkat keutamaan perbuatan yang menjadi tujuannya. Pembahasan tentang fath al-dzariah tidak mendapat porsi yang banyak di kalangan ahli ushul fiqih. Hal itu karena fath al-dzariah hanyalah hasil pengembangan dari konsep sadd al-dzari’ah. Sementara sadd al-dzari’ah sendiri tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai metode istinbath hukum. Hal itu karena bagi sebagian mereka, terutama di kalangan ulama Syafi’iyyah, masalah sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah masuk dalam bab penerapan kaidah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
            Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu, maka hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan .   
Kaidah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama terhadap kedudukan sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah. Apa yang dimaksudkan al-dzari’ah oleh ulama Maliki dan Hambali, ternyata bagi ulama Syafi’i adalah sekedar muqaddimah. Cara menentukan al-Dzari’ah. Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa menjadi sarana (adz-dzariah) terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:
1.      Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu perbuatan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan. Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang janda perempuan talak tiga adalah karena sekedar untuk menghalalkan si perempuan untuk dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan pernikahan yang digariskan syara’ yaitu demi membina keluarga yang langgeng.   
2.      Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan itu harus dicegah. Misalnya, masalah pemberian hadiah (gratifikasi) yang diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan beberapa peristiwa yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang mendapat hadiah kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan atau kebijakannya terhadap si pemberi hadiah. Karena itulah, setiap pemberian hadiah (gratifikasi) dalam batasan jumlah tertentu harus dikembalikan ke kas negara.       
Sadd al-dzari’ahdan fath al-dzariah adalah suatu perangkat hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’, Keduanya bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa digunakan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi kepentingan kelompok dan pribadinya.
           Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan tertentu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudharat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilaluinya.

Bila seseorang hendak mendapatkan ilmu pengetahuan, maka ia harus belajar. Untuk sampai dapat belajar, ia mesti melalui beberapa fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat dan alat-alat belajarnya. Kegiatan pokok dalam hal ini adalah belajar atau menuntut ilmu, sedangkan kegiatan lain itu disebut perantara, jalan atau pendahuluan.

           Bila seseorang berbuat zina, ada hal-hal yang mendahuluinya, seperti rangsangan yang mendorong berbuat zina dan penyediaan kesempatan untuk melakukan zina itu. Dalam hal ini zina disebut perbuatan pokok yang dituju, sedangkan hal-hal yang mendahuluinya disebut perantara atau pendahuluan.
2.Pengertian Saddu  al-dz Dzari’ah

               Saddudz al-Dzari’ah terdiri atas dua perkataan, yaitu saddu dan dzari’ah. Kata Saddu menurut bahasa berarti menutup, penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang adz-dzari’ah berarti wasilah atau jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian, saddudz-dzari’ah  secara bahasa berarti menutup jalan kepada suatu tujuan atau menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat .

          Menurut istilah Usul Fiqih,seperti dikemukakan ‘Abdul-Karim Zaidan, saddudz-dzari’ah berarti menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan..Ibnu Qayyim mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzari’ah yang ditujukan kepada yang dianjurkan. Oleh sebab itu, menurutnya pengertian dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang disebut Saddudz-dzari’ah dan yang dituntut untuk dilaksanakan disebut Fathudz-dzari’ah Imam al-Syathibi men-definisikan dzari’ah dengan:
           Melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan. Maksudnya, seseornag melakukan pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tapi tujuan yang akan ia capai berakhir pada suatu kemafsadatan. Contohnya dalam masalah zakat. Sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat sehingga wajib mengeluarkan zakat) datang seseorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib dizakatkan, menghibahkan sebagian harta kepada anaknya, sehingga berkurang nisab harta itu dan ia taerhindar dari kewajiban zakat.

            Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain dianjurkan oleh syara’, karena perbuatan ini merupakan salah satu akad tolong menolong. Akan tetapi, karena tujuan hibah dilakaukan itu adalah untuk menghindari kewajban yaitu membayar zakat., maka perbuatan ini dilarang. Pelarangan ini didasarkan pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunah menggugurkan zakat yang hukumnya wajib. Tujuan penetapan hukum secara saddudz-dzari’ah ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan berbuat maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas para mukalaf,[108] yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syariat menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan.
           Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung. Perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya. Inilah yang dimaksud dengan kaidah: Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka ia tiada lain hanyalah wajib pula. Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu sendiri tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini dapat ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.

             Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsaung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamer, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minuman khamer, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram.[109]
3.      Dasar hukum saddudz-al-dzari’ah

Dasar hukum dari saddudz-dzari’ah adalah Al-Qur’an dan Hadits, Dalam Alquran yang artinya : Dan janganlah kamu mencaci sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa    pengetahuan. Menurut Q.S Al- An’am : 108
bahwa  mencaci berhala tidak dilarang oleh Allah, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu kearah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas Firman Allah SWT :
24:31

…….Dan janganlah mereka ”memukulkan” kaki mereka (       )                                agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan……[110]  Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi perbuatan itu akan menarik hati laki-laki untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.

c) Nabi Muhammad SAW bersabda: yang artinya: Ketahuilah, taman larangan Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) kepada-Nya. Barang siapa yang menggembalakan (ternaknya) sekitar taman larangan itu, ia akan terjerumus ke dalammya.[111]
3. Obyek saddudz al-dzari’ah

            Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan melarang ada kalanya :
a. Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang
b. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang
Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek sadduz dzari’ah, karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu mendorong orang yang melakukannya untuk mengerjakan perbuatan dosa. Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu :

1. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
2. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
3. Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan terlarang.
            Pada nomor 1 disebut dzarii’ah qawiyah (jalan yang kuat), sedang nomor 2 dan 3 disebut dzari’ah dha’ifah (jalan yang lemah) .Tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun ijma’ ulama tentang boleh atau tidaknya menggunakan saddudz-dzari’ah. Oleh karena itu, dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yag dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian yang dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah factor manfaat dan mudharat,  baik dan buruk. Dasar pegangan ulama untuk menggunakan saddudz-al-zari’ah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahat dan mafsadat. Bila maslahat yang dominan, maka boleh dilakukan. Bila sama kuat diantara keduanya, maka untuk menjaga kehati-hatian harus diambil perinsip yang berlaku.[112]

            Memukul anak atau guru memberikan hukuman fisik terhadap muridnya, dianalogikan kepada memukul istri, karena kata-kata memukul anak tidak terdapat di dalam ayat, sedangkan kata memukul istri, ada teksnya di dalam al-Quran. Syaikh Abdurrazaq Al-Abbad menjelaskan bahwa sebagian suami yang masih awam menyangka bahwa kata “memukul” itu ditafasirkan, “menampakkan kekuatannya,” kepada sang istri sehingga menjadikannya takut adalah metode yang terbaik untuk mendidik sang istri. Oleh karenanya, ada sebagian orang Arab masa lalu, tatkala malam pertama langsung memukul istrinya agar istrinya tahu kekuatannya dan takut kepadanya di kemudian hari. Sebagian lagi ada yang di malam pertama mendatangkan ayam jantan dan dinampakkan di hadapan istrinya lalu dengan sekali genggaman maka iapun mematahkan leher ayam jantan tersebut. Hal ini tidak lain adalah untuk menakut-nakuti istrinya.
            Apakah anak boleh ditakut-takuti dengan hukuman fisik seperti itu?  Sebagaimana yang beliau sampaikan dalam syarah kitab "Al-Kabaair" karya Al-Dzhabi. Sebagian suami langsung memukul istrinya jika melakukan kesalahan. Memang benar bahwasanya Islam membolehkan untuk memukul istri sebagaimana firman Allah:

4:34
.Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan jauhilah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.[113]
      
               
            Sebagian suami yang suka memukuli istrinya selalu mengulang-ngulang ayat ini, seakan-akan mereka berkata kami sedang menjalankan perintah Allah.Namun janganlah dipahami dari ayat ini bahwasanya memukul wanita itu adalah wajib, bahkan yang terbaik adalah tidak memukul mereka.[114]Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda:Artinya: Janganlah kalian memukul                para wanita (istri-istri kalian!”. Lalu Umarpun datang menemui Nabi .SAW. dan berkata, “Para istri berani dan membangkang suami-suami mereka !!”, maka Nabi shallallahu 'alihi wa sallam pun memberi keringanan untuk memukul mereka, maka para istripun                dipukul. Para istripun banyak yang berdatangan menemui istri-istri Nabi shallallahu 'alihi wa sallam (para ummahatul mukminin) mengeluhkan tentang suami mereka. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam pun berkata, “Sungguh para istri banyak yang telah mendatangi istri-istri Muhammad shallallahu 'alihi wa sallam mengeluhkan tentang suami-suami mereka (para suami yang memukul) bukanlah yang terbaik diantara kalian[115]Beliau juga berkata:
 “Jika seandainya sang suami tidak memukul maka hal ini lebih aku sukai karena sabda Nabi  SAW “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul”[116]Jika seorang suami memilih untuk memberikan hukuman fisik.[117] istrinya dalam rangka mendidiknya maka diperbolehkan dalam syari’at, namun syari’at tatkala membolehkan hal ini bukan berarti membolehkannya tanpa kaidah dan syarat. Oleh karena itu pemukulan tidak boleh dilakukan kecuali mengikuti kaidah-kaidah yang dibenarkan, diantaranya:

           Sang istri memang benar-benar bersalah (bermaksiat) menurut syari’at
Karena sebagian suami memerintahkan istrinya untuk melakukan hal yang diharamkan oleh Allah, tatkala sang istri menolak untuk mentaatinya maka iapun memukulnya, ia menyangka apa yang dilakukannya adalah boleh. Dalam kondisi seperti ini berarti sang suami telah mengumpulkan dua kesalahan, yang pertama ia telah memerintahkan istrinya untuk berbuat perkara yang haram, dan yang kedua ia telah melakukan pemukulan yang tidak sesuai dengan kaidah syari’at.

              Berkata Ibnul ‘Arabi, “Termasuk yang paling bagus yang pernah aku dengar tentang tafsiran ayat ini adalah perkataan Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Ia (sang suami) menasehati sang istri maka jika ia menerima nasehat (maka tercapailah maksud). Namun jika ia tidak menerima nasehat maka sang suami menghajarnya.[118] Jika ia berubah (maka tercapailah maksud) namun jika ia tidak berubah maka sang suami memukulnya. Berkata Ibnu Hajar, “Jika sang suami mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul) maka lebih afdhol. Jika masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat (perkataan keras) maka janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena hal itu menyebabkan rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap mempergauli istri dengan baik”[119]

          Pukulan harus sesuai dengan kesalahan yang dilakukan. Kesalahan yang banyak dilakukan oleh para istri biasanya merupakan kesalahan yang ringan dan tidak terus-terusan. Kesalahan seperti ini tidaklah menjadikan sang istri berhak untuk dipukul. Tujuan dari pemukulan adalah untuk mengobati,[120] bukan untuk menghina sang istri apalagi untuk melepaskan dendam yang telah terpendam. Apalagi yang sangat disayangkan sebagian suami memukul istrinya dihadapan anak-anaknya sehingga anak-anakpun belajar jadi berani terhadap ibunya atau timbul hal-hal yang lain yang merupakan penyakit psikologi pada anak-anak. Dan bayangkanlah wahai para pembaca yang budiman..bagaimanakah perasaan seorang wanita yang selalu dipukul oleh suaminya apalagi di hadapan anak-anaknya…?

           Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “…Kemudian hal ini juga memberi pengaruh terhadap anak-anak. Anak-anak jika melihat percekcokan yang terjadi antara ayah dan ibunya maka mereka akan merasa sakit dan terganggu, dan jika mereka melihat kasih sayang antara ayah dan ibunya maka mereka akan riang gembira…”[121].Betapa banyak anak-anak yang akhirnya tidak terawat dan menjadi anak-anak jalanan dikarenakan cekcok yang terjadi antara kedua orang tua mereka:
           Menjauhi pemukulan terhadap tempat-tempat yang rawan seperti perut, kepala, dada, dan wajah.[122] Kebanyakan suami yang tukang memukul istri jika marah maka mereka akan mengambil apa saja yang ada di dekat mereka untuk dihantamkan kepada istri mereka. Terkadang mereka mengambil panci, atau piring, atau gelas, dan terkadang sesuatu dari besi…. Dan terkadang benda-benda itu dihantamkan ke wajah wanita?. Padahal Nabi shallallahu 'alihi wa sallam melarang memukul wajah secara mutlak, bahkan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam melarang memukul wajah hewan.

            Pukulan yang tidak mangandung unsur kekerasan, menurut Atha’ bertanya kepada Ibnu Abbas, “Apa yang dimaksudkan dengan pukulan yang tidak membahayakan?” Beliau menjawab, “Gunakan siwak dan sejenisnya.” Yakni memukulnya dengan siwak dan sejenisnya. Hendaknya sang ayah atau sang suami menghindari lokasi-Iokasi berbahaya seperti kepala, perut, juga wajah. Karena Nabi  melarang memukul wajah secara umum. Dalam hadits Mu’awiyyah bin Hidah  – rodhiyallohu ‘anhu  – disebutkan bahwa ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apa hak Istri atas diri kami?” Beliau menjawab, “Hendaknya engkau memberinya makanan sebagaimana yang engkau makan dan memberinya pakaian sebagaimana yang engkau kenakan; jangan engkau menjelek-jelekkannya dan jangan memukul sembarangan.” Yakni (dalam riwayat lain). ‘jangan memukul wajah.”[123]

Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah  melarang memukul di wajah dan memberi alamat (dengan menggores) di wajah”[124]

          Berkata Imam An-Nawawi, “Adapun pemukulan di wajah maka dilarang pada seluruhnya…, pada manusia, keledai, kuda, unta, begol, kambing, dan yang lainnya. Akan tetapi pada manusia lebih terlarang lagi karena wajah manusia tempat terkumpulnya keindahan padahal wajah itu lembut (halus) yang mudah nampak bekas pemukulan. Terkadang bekas tersebut menjadikan wajah menjadi jelek atau bahkan terkadang mengganggu panca indra yang lain”.[125]
           Jika Rasulullah SAW melarang memukul wajah hewan, maka bagaimanakah dengan memukul wajah manusia.. Bagaimana lagi jika wajah seorang wanita?. Oleh karena itu Rasulullah melarang secara khusus untuk memukul wajah istri. Seseorang bertanya kepada Nabi SAW, “Apa hak seorang wanita terhadap suaminya?”, Rasulullahberkata, “Memberi makan kepadanya, memberi pakaian, dan tidak memukul wajahnya, tidak menjelekannya,[126] serta tidak meng-hajr (menjauhi istrinya dari tempat tidur) kecuali di dalam rumah[127]. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani.
             Bagaimana dengan suami yang memukul wajah istri dengan apa saja yang ada ditangannya?. Ini menunjukkan lemahnya agama dan pendeknya akal sang suami.   Pemukulan tidak boleh sampai mematahkan tulang, tidak sampai merusak anggota tubuh, dan tidak sampai mengeluarkan darah. Pemukulan terhadap istri adalah obat maka harus diperhatikan jenis pemukulannya, kapan dilakukan pemukulan tersebut, bagaimana cara pemukulan tersebut, dan ukuran pemukulan tersebut.

           “Dan merupakan hak kalian agar mereka (istri-istri kalian) untuk tidak membiarkan seorangpun yang kalian benci untuk masuk ke dalam rumah kalian, dan jika mereka melakukan maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas[128]

           Syaikh Utsaimin mengomentari hadits ini, “Jika perkara yang besar ini (yaitu sang istri memasukan seorang lelaki ke dalam rumahnya tanpa izin suami-pen) dan sang wanita hanya dipukul dengan pukulan yang tidak keras maka bagaimana lagi dengan bentuk-bentuk ketidaktaatan istri yang lain (yang lebih ringan)??, maka (tentunya) lebih utama  tidak dipukul hingga membekas...” [129]
Berkata Ibnul ‘Arobi, “ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ yaitu pukulan yang tidak ada bekasnya di badan berupa darah maupun patah”[130] Yang sangat menyedihkan sebagian suami yang keras hatinya memukul istrinya seperti memukul hewan?[131]

             Rasulullah SAW.,bersabda,“Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk, memukul istrinya sebagaimana mencambuk (memukul) seorang budak lantas ia menjimaknya di akhir hari”[132]Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan ancaman bagi para lelaki jika mereka berbuat sewenang-wenang terhadap wanita tanpa ada sebab karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar yang merupakan wali para wanita dan Allah akan membalas siapa saja yang menzholimi mereka dan menganiaya mereka” menurut Tafsir Ibnu Katsir I/493, dalam Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja. Karena itu maka Wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
               Kemudian dinyatakan, “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pukullah mereka.Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. QS. 4:34.Ayat ini, memberi  tentang memukul istri yang tidak patuh, pada perintah suami, di mana perintah suami tidak untuk kejelekan istri tetapi untuk kebaikan istri dan keluarga. Dalam pergaulan hidup tentu suami yang baik menghendaki istri bergaul dalam komunitas yang baik pula. Terkadang banyak istri yang bergaul secara salah tanpa sepengetahuan suami. Dalam hal ini jika ada kecenderungan istri ke arah sana (pergaulan yang tidak baik) maka suami harus menasehati dan jangan memukul, karena dalam kalimat diatas kata menasehati lebih dulu daripada memukul. Dan tahap dalam menasehati ini tentu tidak hanya sekali, tetapi harus berulang kali sampai istri sadar. Nah, jika istri sudah dinasehati tetapi masih bergaul secara salah, maka suami boleh memukul. Ayat tentang ini ada asbanunnuzulnya.[133]
              Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana arti dari memukul tersebut. Banyak kalangan yang salah mengartikan arti memukul sebagai sesuatu yang menakutkan. kata “Pukullah”,[134] adalah kata umum. Dan masing-masing manusia mengartikan sendiri-sendiri dari kata ini. Adapun  maksud dan arti “memukul” :
1. Membenturkan benda ke tubuh
2. Membenturkan kepalan tangan (tangan) ke tubuh
            Dari dua arti diatas tentu masih bernuansa umum, karena benda yang dipakai juga tidak jelas, apakah besar, sedang atau kecil. Apakah bendanya panjang atau pendek. Dalam membenturkan tangan juga tidak jelas apakah dengan kekuatan penuh, sedang atau lemah. Ayat diatas tidak ada keterangan bagaimana harus memukul. Dalam pemahaman Islam mengenai konteks ayat diatas tentu arti memukul adalah membenturkan sesuatu benda atau tangan ke pihak istri dimana pukulan itu bisa menyadarkan pihak istri. Dan tentu masing-masing pukulan akan berbeda tentunya, karena ada istri yang dicubit saja langsung sadar, ada yang dipukul pelan saja sudah sadar, dan ada yang dipukul keras, baru sadar dan yang terakhir tadi tentu sejelek-jelek pukulan. [135]
                      Bagaimana jika sudah dipukul dengan segala tingkatan pukulan tidak mau sadar?. Islam melarang untuk menyakiti manusia apalagi istri dengan keras (lebih jauh), untuk itu jika memang demikian daripada takut nanti melukai istri lebih lanjut maka diperbolehkah bercerai meski itu sangat dibenci oleh Allah. Memukul peminum khamar,memang diberlakukan hukum hudud, seorang muslim yang kedapatan dan terbukti meminum khamar oleh pengadilan (mahkamah syar`iyah) hukumannya adalah dipukul.[136] Bentuk hukuman ini bersifat mahdhah, artinya bentuknya sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT. Sehingga tidak boleh diganti dengan bentuk hukuman lainnya seperti penjara atau denda uang dan sebagainya.
          Dalam istilah fiqih disebut hukum hudud, yaitu hukum yang bentuk, syarat, pembuktian dan tatacaranya sudah diatur oleh Allah SWT.[137]  Hudud jamak dari hadd, arti aslinya batas antara dua hal. Menurut bahasa bisa juga cegahan. Sedangkan menurut syari'at yang dimaksud ialah hukuman yang telah ditetapkan dalam al qur'an sebagai hak Allah. Ketetapan Allah SWT mengenai hukuman zina pada (Qs. An-Nisa':15-16). Kegunaannya untuk mencegah perbuatan keji, antara perbuatan zina,  dan semua perbuatan mesum seperti, : zina, homosek dan yang sejenisnya. Keji menurut pendapat Muslim dan mujahid, bahwa yang dimaksud dengan perbuatan keji ialah musahaqah (homosek antara wanita dengan wanita). Menurut Jumhur Mufassirin jalan yang lain itu, itu ialah dengan turunnya ayat 2 surat An Nur. Dasar pensyariatannya adalah hadits Nabi SAW berikut ini :
              "Siapa yang minum khamar maka pukullah". Hadits ini termasuk jajaran hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada tiap thabawatnya (jenjang) dan mustahil ada terjadi kebohongan diantara mereka.  Di tingkat shahabat, hadits ini diriwayatkan oleh 12 orang shahabat yang berbeda. Mereka adalah Abu Hurairah, Muawiyah, Ibnu Umar, Qubaishah bin Zuaib, Jabir, As-Syarid bin suwaid, Abu Said Al-Khudhri, Abdullah bin Amru, Jarir bin Abdillah, Ibnu Mas`ud, Syarhabil bin Aus dan Ghatif ibn Harits.
               Syarat diberlakukannya hudud bagi peminum khamar, para ulama sepakat bahwa agar hukuman pukul atau cambuk itu dapat terlanksana, syarat dan ketentuannya harus terpenuhi terlebih dahulu. Tidak asal ada orang minum khamar lantas segera dicambuk. Di antara syarat dan ketentuannya antara lain :
1. Berakal
Peminumnya adalah seorang yang waras atau berakal. Sehingga orang gila bila meminum minuman keras maka tidak boleh dihukum hudud.[138]
2. Baligh
Peminum itu orang yang sudah baligh, sehingga bila seorang anak kecil di bawah umur minum minuman keras, maka tidak boleh dihukum hudud. [139]
3. Muslim
Hanya orang yang beragama Islam saja yang bila minum minuman keras yang bisa dihukum hudud. Sedangkan non muslim tidak bisa dihukum bahkan tidak bisa dilarang untuk meminumnya.
4. Bisa memilih
Peminum itu dalam kondisi bebas bisa memilih dan bukan dalam keadaan yang dipaksa. 
5. Tidak dalam kondisi darurat
Maksudnya bila dalam suatu kondisi darurat dimana seseorang bisa mati bila tidak meminumnya, maka pada saat itu berlaku hukum darurat. Sehingga pelakunya dalam kondisi itu tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
6. Tahu bahwa itu adalah khamar
Bila seorang minum minuman yang dia tidak tahu bahwa itu adalah khamar, maka dia tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
Jumlah Pukulan
Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam menentukan jumlah pukulan. 
1. Jumhur fuqoha 
Jumhur ulama sepakat bahwa peminum khamar yang memenuhi syarat untuk dihukum, maka bentuk hukumannya adalah dicambuk sebanyak 80 kali. Pendapat mereka didasarkan kepada perkataan  Ali ra."Bila seseroang minum khamar maka akan mabuk. Bila mabuk maka meracau. Bila meracau maka tidak ingat. Dan hukumannya adalah 80 kali cambuk.[140]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ali ra. berkata,
"Rasulullah SAW mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunnah. Tapi yang ini (80 kali) lebih aku sukai",menurut HR. Muslim.
2. Imam Asy-Syafi`i.
              Sedangkan Imam Asy-Syafi`i ra. berpendapat bahwa hukumannya adalah cambuk sebanyak 40 kali. Dari Anas ra. berkata bahwa Rasulullah SAW mencambuk kasus minum khamar dengan pelepah dan sandal sebanyak 40 kali".[141]  Apakah benda atau alat untuk memukul maupun mencambuk? Para ulama mengatakan bahwa untuk memukul peminum khamar, bisa digunakan beberapa alat antara lain : tangan kosong, sandal, ujung pakaian atau cambuk.[142]   Ibnu Qayim  berkata,"Sabda Rasulullah SAW, 'Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud' maksudnya dalam hal jinayat (pidana kriminal seperti mencuri, yang merupakan hak Allah.

             Jika ada yang bertanya, "Kapan harus memukul di bawah sepuluh kali jika yang dimaksud hudud dalam hadits tersebut adalah jinayah?"
Jawabannya adalah saat seorang suami memukul isterinya atau budaknya atau anaknya atau pegawainya dengan tujuan mendidik atau semacamnya. Maka ketika itu tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali. Ini merupakan kesimpulan terbaik dari hadits ini."
[143]  Selayaknya hal tersebut dilakukan tidak di depan orang lain untuk melindungi kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain dari teman-temannya atau selainnya.  Juga hendaknya diketahui bahwa dalam perjalanan hubungan bapak dengan anak-anaknya dan pengajarannya bahwa sang bapak memukul sang anak semata-mata bertujuan agar dia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya semata-mata untuk kebaikannya secara sempurna dan perhatiannya dalam mendidiknya sesuai ketentuan syari agar jangan sampai timbul perasaan benci sang anak terhadap perkara syar'i yang berat dia lakukan dan karena meninggalkannya dia dipukul.

             Syaikh Ibn Baz  berkata, "Perhatikanlah keluarga dan jangan lalai dari mereka wahai hamba Allah. Hendaknya kalian bersungguh-sungguh untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera puteri kalian untuk melakukan shalat saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka saat berusia sepuluh tahun dengan pukulan yang ringan yang dapat mendorong mereka untuk taat kepada Allah dan mem-biasakan mereka menunaikan shalat pada waktunya agar mereka istiqomah di jalan Allah dan mengenal yang haq sebagaimana hal itu dijelaskan dari riwayat shahih dari Nabi SAW. [144]

              Syaikh Ibnu Utsaimin  berkata, "Nabi Muhammad SAW, telah memerintahkan agar kita memerintahkan anak-anak kita melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, atau kita memukul mereka, saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu mereka belum berusia baligh. Tujuannya adalah agar mereka terbiasa melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka mencintainya. Begitu pula dengan perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum baligh, agar mereka tidak terbiasa dan akrab ketika sudah besar." 

              Beliau juga berkata, "Perintah ini bermakna wajib. Akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi tidak bermanfaat pukulan tersebut. Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat. Kemudian, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan perbaikan bukan mencelakakan."[145]  

            Beliau juga berkata, "Tidak boleh dipukul dengan pukulan melukai, juga tidak boleh memukul wajah atau di bagian yang dapat mematikan. Hendaknya dipukul di bagian punggung atau pundak atau semacamnya yang tidak membahayakannya. Memukul wajah mengandung bahaya, karena wajah merupakan bagian teratas dari tubuh manusia dan paling mulia.[146]

Syaikh Fauzan berkata, "Pukulan merupakan salah satu sarana pendidikan. Sorang guru boleh memukul, seorang pendidik boleh memukul, orang tua juga boleh memukul sebagai bentuk pengajaran dan peringatan. Seorang suami juga boleh memukul isterinya apabila dia membangkang. Akan tetapi hendaknya memiliki batasan. Misalnya tidak boleh memukul yang melukai yang dapat membuat kulit lecet
, mematahkan tulang. Cukup pukulan seperlunya." . [147]

            Penting juga diperhatikan bahwa pembinaan terhadap anak, bukan hanya karena dia meninggalkan shalat saja, tapi juga jika sikapnya meremehkan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya dan wajibnya. Kadang sang anak shalat, tapi shalatnya dia jamak, atau dia shalat tanpa wudhu, atau tidak benar shalatnya. Maka ketika itu hendaknya diajarkan semua perkara shalat dan memastikan bahwa dia menunaikan kewajiban, syarat dan rukunnya. Jika mereka lalai dalam sebagiannya, maka kita kuatkan lagi nasehatnya, diajarkan terus menerus. Jika masih juga lalai, boleh diperingatkan dengan pukulan hingga shalatnya benar.
Al-Mubarkafuri dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi mengutip pendapat Al-‘Alaqi, dengan mengatakan: Berkata Al-‘Alaqi: … yang dimaksud dengan pukulan (di hadits tersebut) adalah pukulan yang tidak menyakitkan, dan harus menghindari bagian wajah.[148] 

             Pukulan yang tidak menyakitkan batasannya adalah pukulan yang tidak menyebabkan bekas atau memar, apalagi menyebabkan sobeknya kulit, pecahnya tulang, atau menimbulkan cacat. Sedangkan pukulan yang tidak boleh mengena wajah adalah pukulan baik secara langsung, misalnya tonjokan atau tamparan, atau menggunakan alat pemukul seperti kayu, rotan, kabel, besi. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw berikut. Dari Abi Hurairah dari Nabi saw, beliau ber-sabda:  Apabila salah seorang dari kalian memukul maka hindarilah memukul bagian wajah .[149]Apakah hukuman ini bisa diterapkan oleh selain orang tua, seperti misalnya guru di sekolah atau ustadz di pesantren?[150] dan apakah hukuman ini bisa diterapkan untuk hal lain seperti saat anak didik tidak ikut shalat berjama'ah, ber-shaff dengan tidak lurus, mengantuk saat membaca Al-Qur'an, melanggar disiplin bahasa, tidak masuk kelas tanpa izin.?
              Untuk yang pertama jawabannya tidak bisa, syara' hanya memberikan "kewenangan menghukum" tersebut hanya kepada orang tua tidak kepada yang lainnya. Kedua, hukuman tersebut tidak bisa diterapkan untuk pelanggaran-pelanggaran lainnya sebagaimana yang disebutkan. Menurut para ulama, syara' menjadikan hukuman demikian ini hanya pada syari'at shalat dan tidak pada syari'at-syari'at lainya, tidak lain karena kewajiban shalat merupakan kewajiban yang sangat besar bagi seorang muslim dan akan terasa berat apabila tidak ada pembiasaan sejak dini. Dimana ketika seorang anak sudah memasuki masa baligh, maka meninggalkan shalat dengan sengaja sudah menjadi dosa besar baginya.


C. Hukuman oleh
suami terhadap isterinya

             Syara’ hanya mengizinkan para suami untuk menghukum istrinya yang    nusyuz     (membangkang),[151] dengan tiga macam hukuman, yaitu me-nasihatinya, memisahkannya dari ranjang (pisah ranjang), dan pukulan. berdasarkan ayat:

………….wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.[152] 
               Asbabunnuzul ayat ini ialah: Ibnu Abu Hatim mengetengahkan dari Hasan, katanya, "Seorang wanita datang kepada Nabi saw. mengadukan suaminya karena telah memukulnya, maka sabda Rasulullah saw., 'Berlaku hukum kisas,' maka Allah pun menurunkan, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita...' sampai akhir ayat." (Q.S. An-Nisa 34.) Demikianlah wanita itu kembali tanpa kisas. Ibnu Jarir mengetengahkan pula dari beberapa jalur dari Hasan, yang pada sebagiannya terdapat bahwa seorang laki-laki Ansar memukul istrinya, hingga istrinya itu pun datang menuntut kisas. Nabi saw. pun menitahkan hukum kisas di antara mereka, maka turunlah ayat, "Dan janganlah kamu mendahului Alquran sebelum diputuskan mewahyukannya bagimu." (Q.S. Thaha 114) dan turunlah ayat, "Kaum lelaki menjadi pemimpin kaum wanita..." Dan dikeluarkan pula yang serupa dengan ini dari Ibnu Juraij dan Saddiy. Ibnu Murdawaih mengetengahkan juga dari Ali, katanya, "Seorang laki-laki Ansar datang kepada Nabi saw. dengan membawa istrinya, maka kata istrinya, 'Wahai Rasulullah! Dia ini memukul saya hingga berbekas pada wajah saya.' Jawab Rasulullah, 'Tidak boleh ia berbuat demikian', maka Allah swt. pun menurunkan ayat, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin kaum wanita...sampai akhir ayat.' (Q.S. An-Nisa 34) Maka hadis-hadis ini menjadi saksi, yang masing-masingnya menguatkan yang lainnya."





Tabel  8
Kemiripan ayat dan hadits tentang hukuman pukulan
 dari segi urutan kata.

No
QS An-Nisa’ (4) : 34
Hadits
1
Dinasehati isterimu
Disuruh anakmu
2
Pisahkan dari tempat tidur
Pisahkan tidurnya
3
Pukullah isterimu
Pukullah mereka

             Dari tiga tingkatan, pernyataan  dari ayat Al-Quran  dan hadits tersebut,  yang penulis  soroti adalah  yang nomor tiga,  karena ada kata “ Pukullah mereka”. Kaitannya, dengan penelitian ini ialah , kata pukulan itu, termasuk  kekerasan menurut HAM dan UU RI Nomor 23 Tahun 2002. Akan tetapi menurut analisis penulis, sebenarnya  ada hukuman pukulan yang tidak masuk kategori kekerasan fisik, yaitu memukul yang tidak berdarkan emosi, tidak gores, tidak berbekas, dan tidak boleh memukul wajah.
             Ada tiga jenis hukuman, yang dapat  dilakukan kepada isteri, secara bertahap, tidak menerapkan hukuman berikutnya jika dengan hukuman pertama si istri bisa berubah. Nasihat adalah nasihat yang menyadarkan, jika tidak ‘mempan’ maka dengan pisah ranjang, jika tidak juga mempan maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak diwajah. Hukuman terakhir ini tidak jauh beda dengan hukuman macam ke dua di atas, yaitu hukuman bersifat ta'dib (edukasi) bukan hukuman bersifat ta'dzib (penyiksaan). Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut menjelaskan sifat pukulan tersebut, mengutip perkataan ulama:

Hendaknya tidak merusak anggota tubuh apa pun dan tidak menimbulkan bekas sedikitpun padanya 
.[153]

             Dari penelaahan penulis  terhadap nash-nash baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah tidak ditemukan sama sekali adanya peluang bagi para pendidik untuk menghukum anak-didiknya, selain hanya bagi orang tua terhadap anaknya sendiri, itupun sangat terbatas. Apa yang bisa diperbuat oleh para pendidik ketika menjumpai anak didiknya melanggar, baik terhadap hukum syara' maupun terhadap peraturan-peraturan administratif setempat, untuk anak-anak ditinjau dari segi usianya.
            Batasan yang diajukan dalam menelaah mengenai pengertian anak / remaja, berdasarkan dari pendapat pakar-pakar psikologi oleh Andi Mappiaremengutip Elizabeth B. Hurlock dan peraturan perundang-undangan yang berlaku(Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak)menyebutkan bahwa pengertian remaja adalah suatu batasan usia dengan rentangusia antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 21 (dua puluh satu) tahun. Sedangkan pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapanbelas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga dalambatasan konsep penulisan hukum ini adalah bagi anak / remaja dalam rentang usiaantara 13 – 21 tahun. Di bawah ini tabel perbandinmgan batas usia menurut undang-undang.

              Secara yuridis formal, masalah pertanggung jawaban mengenai kenakalananak atau remaja yang dapat menimbulkan kejahatan ini telah memperolehpedoman yang baku dalam hukum. Pertama-tama adalah hukum pidana yang pengaturannya tersebar dalam beberapa pasal, dan sebagian pasal yang bersifatembrional adalah Pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Di samping itu KUH Perdata punmengatur tentang kenakalan anak atau remaja terutama dalam Pasal 302 dansegala pasal yang ditunjuk serta terkait dengan masalah kenakalan anak atauremaja ini. Kondisi dualistik tersebut membawa konsekuensi logis yang berbedadi dalam sebutannya, walaupun pada prinsip dasarnya sama.Kenakalan anak atau remaja yang melawan kaedah hukum tertulis yaknidalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebut sebagai “Anak Negara” dan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang HukumPerdata disebut sebagai “Anak Sipil”.Berkaitan dengan perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukanoleh anak atau remaja di bawah usia 16 tahun, KUHP Indonesia mengaturnyadalam Pasal 45 KUHP sebagai berikut :“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karenamelakukan suatu perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan,memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, waliatau pemeliharanya tanpa pidana apapun, atau memerintahkan supaya yangbersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatanmerupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal ;
 
42489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540,serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukankejahatan atau pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap,atau menjatuhkan pidana pada yang bersalah”.21
Pasal 45 KUHP di atas dapat dipandang memadai sebagai pasal yangmemuat beberapa ketentuan yuridis mengenai anak atau remaja di bawah usia 16tahun yang telah melakukan perbuatan pidana. Ketentuan-ketentuan yang tertuang di dalamnya menyangkut syarat-syarat penuntutan serta kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipilih oleh hakim di dalam membuat atau memberiputusan apabila :
1. Merupakan kejahatan sebagaimana termaktub dalam buku kedua KUHPidana.
2. Merupakan pelanggaran terhadap salah satu pasal dalam KUH Pidana ;Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532,536, dan 540.

          Jika dikaji dari segi syarat-syarat penuntutannya, maka Pasal 45 KUHPmemuat empat (4) hal yang harus dipenuhi, yakni :1. Anak yang dituntut belum cukup umur (minderjarig) atau lebih dikenalbelum dewasa.2. Tuntutan tersebut mengenai perbuatan pidana yang telah dilakukan olehanak yang bersangkutan pada waktu ia belum berumur 16 tahun danpenuntutan tersebut hanya dapat dilakukan sebelum anak mencapai umur 18 tahun.3. Perbuatan tersebut merupakan :        Kejahatan-kejahatan kekerasan, pencurian,penipuan, penggelapan dan pemerasan.
           Salah satu pelanggaran dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536,dan 540 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.4. Belum kadaluwarsa, yakni belum lewat dua tahun sejak dinyatakanbersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaransebagaimana ditunjuk oleh pasal 45 KUHP.Berikut ini penulis sajikan dalam bentuk tabel.





Tabel  8
Perbandingan Batas Usia Dewasa Menurut Undang-Undang

Skema batas usia dewasa

http://docs.google.com/File?id=dft3vqp2_783rnxhmds_b 
Bandingkan ketentuan umur yang disebut di dalam hadits ini:

“Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.[154]
             Hukuman  untuk anak-anak, tentu saja, hal yang bisa dilakukan adalah tindakan  “yang bukan berupa hukuman, melainkan konsekwensi logis yang sejalan dengan syari'at Islam. Misalnya ketika ada seorang santri atau siswa melanggar disiplin administratif berupa lalai atau berbohong saat meminta izin, tindakan yang bisa ditempuh misalnya menasihati dengan nasihat yang baalighoh dengan kata-kata yang menyentuh,  tanpa amarah atau membentak-bentak dengan mengangkat suara, hingga seorang anak menyadari sendiri kesalahannya dan menyesalinya.
             Kemudian ciptakan suasana agara murid, mau meminta maaf seraya bertaubat kepada Allah swt, pendidik bisa memintanya untuk membaca istighfar sebanyak-banyaknya saat itu, atau membangunkannya untuk shalat taubat di malam harinya. Apabila kesalahan sudah mencapai tingkatan yang sangat parah, dan pendidik melihat hal itu berdampak buruk bagi anak-anak didik lainya, selanjutnya bisa menempuh jalan untuk memulangkannya atau mengeluarkannya dari lembaga. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Imam Al-Hasan Al-Bashri terhadap bekas muridnya yaitu Washil bin 'Atho' tatkala beliau menjumpainya menyimpang dan tidak ada harapan untuk kembali ke jalan yang lurus, Al-Hasan Al-Bashri tidak menjatuhkan hukuman apa pun terhadap dirinya, beliau hanya mengusirnya dari majlis ilmu yang beliau bina.

             Terkait hukuman fisik, memang bukan main-main,  dalam bentuk apapun, karena menyakiti sesama muslim adalah dosa di sisi Allah swt. Sedangkan antara para pendidik dan para santri atau siswa pada hakikatnya adalah sesama muslim, yang tidak boleh saling menyakiti satu sama lain. Rasulullah saw bersabda:

Dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda: Siapa-siapa yang menyakiti seorang muslim maka sungguh ia telah menyakitiku, dan siapa siapa yang telah menyakitiku maka sungguh ia telah menyakiti Allah swt 
.[155]
             'Uqubah Syar'iyyah, (hukuman) yang sesuai syari'at ini mungkin penting untuk diketahui sebagai acuan dalam memberlakukan hukuman selama proses pendidikan. Dengan harapan, hukuman yang kita terapkan terhadap anak didik kita yang melanggar aturan berjalan efektif sesuai dengan fitrah syari’at, bukan hukuman yang kontraproduktif, yaitu hukuman yang justru melanggar syari’at itu sendiri, yang pada akhirnya bukan hanya pelanggar aturan yang berdosa tapi juga yang menghukum, selain juga tidak ada bekas ketaatan terhadap penghukum yang dia sendiri tidak taat kepada sang Al-Hakim Asy-Syari’ Allah ‘Azza wa Jalla. Tentu kita tidak menginginkan kondisi yang semacam demikian itu.
            Pertama, perlu tahu macam-macam hukuman yang ada dalam Islam. Secara garis besar dia digolongkan menjadi tiga macam: hukuman oleh pemerintah terhadap rakyatnya, hukuman oleh orang tua terhadap anaknya, dan hukuman oleh suami terhadap isterinya. Adapun terkait hukuman oleh tuan terhadap hamba-sahayanya, tidak kami bahas untuk memperingkas tulisan ini.
                Ada ta’zir, dalam bentuk, kepala-kepala murid  atau santri yang dicukur,[156] dengan acak-acakan, setelah itu tubuh mereka basah kuyup dengan bau yang tidak sedap, ya mereka disiram air comberan. Tak cukup sampai disitu, mereka masih harus berdiri semalaman. “Ritual” itu harus mereka jalankan untuk “menebus” kesalahan yang mereka.

          Ta’zir adalah sebuah hukuman yang dijatuhkan pada santri yang melanggar aturan pondok pesantren. Ta’zir disini lebih diartikan sebagai bentuk hukuman yang berupa kekerasan fisik. Bentuknya bisa bermacam-macam tergantung kebijakan masing-masing pesantren. Entah bagaimana sejarahnya, budaya ini menjadi begitu membumi di kalangan pesantren. Mengamati fenomena tersebut, ada satu kekhawatiran, jika kemudian tradisi itu akan terus berlanjut sampai sekarang. Sebuah institusi pendidikan, apalagi sebuah pesantren yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai luhur pada masyarakat sudah tidak sepantasnya melakukan tindakan yang menurut saya lebih mengarah pada tindakan yang anarkis. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengubah tradisi tersebut menjadi satu hal yang lebih mendidik dan “humanis”, ini menyangkut dengan hukuman yang ditimpakan kepada mereka yang sudah tidak relevan lagi.

            Selain hal di atas, kenapa masyarakat di lingkungan pesantren masih banyak yang menggunakan cara tersebut? Tradisi ta’zir, hampir sama dengan budaya perpeloncoan,[157] saat memasuki tahun ajaran baru bagi siswa sekolah yang sekarang sudah mulai ditinggalkan. Perpeloncoan kemudian diganti dengan cara-cara yang lebih arif semisal olahraga, permaian dan sebagainya. Tampaknya masyarakat sudah bisa menilai bahwa bahwa cara-cara tradisional seperti perpeloncoan merupakan cara yang sudah tidak relevan lagi dan tidak mendidik. Tapi hal itu tidak terjadi pada pondok pesantren. Adanya tradisi ta’zir yang sampai sekarang masih dilestarikan adalah satu bentuk-paling tidak menurut opini masyarakat adalah budaya feodal yang sampai saat ini masih berjalan. Menurut Siti Rofi'ah dar UIN Semarang, dari hasil pengamatan terhadap beberapa (21) pesantren yang ada di Salatiga 17 di antaranya masih menggunakan cara ta’zir untuk menghukum santrinya. Ini menunjukkan bahwa cara tersebut masih sangat “diminati” dan dianggap sebagai cara yang ampuh serta efektif untuk mengatasi masalah pelanggaran yang dilakukan santri.
           Landasan filosofis dari dibuatnya sebuah hukuman itu  adalah untuk membuat pelaku pelanggaran jera dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Di sini Ta’zir sudah tidak mampu memenuhi hal itu. Bahkan dari informasi yang ada, para santri yang sudah pernah terkena ta’zir kebanyakan tidak menjadi jera bahkan malah menjadi semakin penasaran dan kebal dengan hukuman itu. Akhirnya tujuan hukuman itu sendiri tidak tercapai.

              Untuk merubahnya, tentunya harus dimulai pada persoalan yang paling mendasar, yaitu bagaimana tokoh-tokoh pembuat kebijakan dalam pesantren (para pengurus yang juga termasuk santri, dan paling utama adalah Kyai sebagai tokoh sentral dalam sebuah pesantren) memahami esensi sebuah hukuman dan bagaimana efisiensinya terhadap obyek yang terkena hukuman, dalam hal ini adalah santri. Apakah cara-cara seperti ta’zir masih tepat dipertahankan, atau jangan-jangan hanya menjadi tradisi turun temurun yang sia-sia?

           Pada awalnya, ta’zir sangat efektif diberlakukan dalam sebuah pesantren, sampai-sampai banyak pesantren di Indonesia menggunakan cara ta’zir sebagai bentuk hukuman. Akan tetapi dalam konteks sekarang, dengan setting sosial yang berbeda, tampaknya masyarakat di lingkungan pesantren harus mempertimbangkan ulang perihal ta’zir tersebut. Persoalan seperti apa metode yang tepat untuk hukuman tergantung dari keadaan. Yang jelas menurut , hukuman dijatuhkan bukan hanya sebagai cara agar membuat kapok bagi pelanggar, akan tetapi lebih pada pembelajaran agar pelanggar tahu arti kesalahan yang dia perbuat dan mempunyai kesadaran agar tidak mengulanginya. Cara ini akan lebih indah dan menyentuh  dibandingkan cara-cara kasar yang hanya menjadikan fisik sebagai sasarannya.
               Ta’zir (hukuman) dalam pondok pesantren, perlu direformasi, karena begitu banyaknya santri yang tidak mentaati aturan-aturan yang berlaku dalam pondok pesantren. Setiap santri yang melakukan pelanggaran maka akan dita’zir sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan santri tersebut. Akan tetapi ada juga ta’zir yang diberikan santri tidak adil,[158] semisal ada santri yang melanggar aturan podok pesantren tetapi karena santri tersebut kenal atau teman dekat dengan si penta’zir maka ta’zir-an yang diberikan kepada santri tersebut lebih ringan dari pada santri yang tidak dekat dengan si penta’zir.        Kebanyakan santri saat ini ketika dita’zir akan semakin parah bisa juga santri balik mengancam, semisal lapor pada pihak berwajib dan tidak jarang juga santri-santri yang tidak melanggar terkena imbasnya.
              Tidak patut pendidikan yang diberlakukan di negara ini, melanggar hukum yang sudah ditentukan. Jika dilihat dari hukum yang berlaku di negara ini,masih ada yang  melanggar HAM, karena terkadang ta’zir  yang diberikan kepada santri  tidak sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh santri tersebut. Misalnya ketika libur pondok telah usai dan saat kembali ke pondok santri yang terlambat akan dicukur gundul atau beli semen satu bal. Dan ada juga aturan-aturan tertentu di pondok pesantren yang bertolak belakang dengan negara RI, negara yang seperti apa HAM dan hukum dan aturan-aturan yang diberlakukan di dalamnya.[159]
             Penulis berpendapat, hukuman fisik di madrasah dan sekolah, harus di-hapuskan. Kalau ada hukuman yang bersifat mendidik kenapa harus menggunakan hukuman dengan kekerasan, karena kebanyakan ta’zir yang menggunakan kekerasan  akan membuat santri lebih parah, tingkat pelanggarannya dan bisa juga santri-santri yang dita’zir menyimpan dendam. Karena apabila dilihat santri saat ini, terkadang tidak sadar bahwa ta’zir yang diberikan kepadanya itu bermaksud baik agar  kesalahan, tidak diulang kembali.
Analisis Perilaku Bullying di Sekolah Dasar, adalah tentang apa yang mesti dilakukan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan bullying di sekolah? Pertama, di lingkungan sekolah harus dibangun kesadaran dan pemahaman tentang bullying dan dampaknya kepada semua stakeholder di sekolah, mulai dari murid, guru, kepala sekolah, pegawai sekolah hingga orangtua. Sosialisasi tentang program anti bullying perlu dilakukan dalam tahap ini sehingga semua stakeholder memahami dan pengerti apa itu bullying dan dampaknya.
            Kemudian harus dibangun sistem atau mekanisme untuk mencegah dan menangani kasus bullying di sekolah. Dalam tahap ini perlu dikembangkan aturan sekolah atau kode etik sekolah yang mendukung lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua anak dan mengurangi terjadinya bullying serta sistem penanganan korban konflik bullying di setiap sekolah.[160] Sistem ini akan mengakomodir bagaimana seorang anak yang menjadi korban bullying bisa melaporkan kejadian yang dialaminya tanpa rasa takut atau malu, lalu penanganan bagi korban bullying.
Tabel 2. Tempat Terjadinya Bullying
Kekerasan (Bullying)
Jumlah Kasus
Persentase
Di Sekolah
226
54,20%
Di Luar Sekolah
191
45,80%
Total
417
100%
Sumber : Komnas Perlindungan Anak, 2007

Tabel 3. Bentuk bullying
Kekerasan (Bullying)
Jumlah Kasus
Persentase
Kekerasan Fisik
89
21,34%
Kekerasan Seksual
118
28.30%
Kekerasan Psikis
210
50,36%
Total
417
100%
Sumber : Komnas Perlindungan Anak, 2007

             Tidak kalah pentingnya adalah menghentikan praktek-praktek kekerasan di sekolah dan di rumah yang mendukung terjadinya bullying seperti  pola pendidikan yang ramah anak dengan penerapan positive discipline di rumah dan di sekolah. Langkah ini membutuhkan komitmen yang kuat dari guru dan orangtua untuk menghentikan praktek-praktek kekerasan dalam mendidik anak. Pelatihan tentang metode positif disiplin perlu dilakukan kepada guru dan orangtua dalam tahap  ini.Terakhir adalah membangun kapasitas anak-anak kita dalam hal melindungi dirinya dari pelaku bullying dan tidak menjadi pelaku. Untuk itu anak-anak bisa diikutkan dalam pelatihan anti Bullying serta berpartisipasi aktif dalam kampanye anti bullying di sekolah. Dalam tahap ini metode dari anak untuk anak (child to child) dapat diterapkan dalam kampanye dan pelatihan.
          





             [1] Hukuman fisik dapat dihindari dengan kekuatan bai’at kepada guru. Masalah bai’at cukup ramai dalam dunia dakwah, simpang siur pendapat dalam masalah ini cukup membuat bingung para penganut jama’ah dakwah bahkan para aktivisnya. Namun sangat disayangkan kebanyakan mereka tatkala membahas masalah yang satu ini tidak merujuk kepada penjelasan para ulama Ahlussunnah.
Bahkan mereka mengambil hadits-hadits Nabi S
AW., dalam masalah ini, lalu mereka memahaminya dengan akal pikiran mereka sendiri. Lebih parah jika kemudian disesuaikan dengan kepentingan pribadinya, kelompoknya atau pahamnya, sehingga bai’at menjadi jaring atau tali pengikat para pengikut jama’ah dakwah untuk tidak lepas darinya. Kalau tetap saja lepas maka… Tak sedikit orang dianggap kafir dan diberlakukan padanya hukum-hukum orang kafir di dunia dan akhirat karena tidak berbai’at.  Lihat Irpan Ubaidillah, bahwa Harun ar-Rasyid dan al-Makmun berorientasi pada aspek kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah., pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun status sosial guru ditentukan berdasarkan kompetensi, profesionalitas dan akhlaqul karimah. Sedangkan kehidupan murid pada masa ini yaitu belajar langsung di depan syaikh, diskusi dan Rihlah Ilmiah. Irpan Ubaidillah, Disertasi, Studi Tentang Pendidikan Islam Pada masa Daulah Abbasiyah,(Surakarta, Univerversitas Muhammadiyah : 2001),256 .

            


           [2] Benturan antara maslahat dan mafsadat, dalam artian kalau ingin mengerjakan kemaslahatan tersebut maka mesti melakukan mafsadatnya. Jika hal ini yang terjadi maka secara umum dapat diurai kan sebagai berikut: 1. Apabila mafsadatnya lebih besar dibanding maslahatnya, maka meng-hindari mafsadat itu dikedepankan daripada meraih kemaslahatan tersebut. 2. Apabila maslahatnya jauh lebih besar dibandingkan dengan mafsadat yang akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih diutamakan daripada menghindari mafsadatnya. Oleh karena itu, jihad berperang melawan orang kafir disyari’at kan, karena meskipun ada mafsadatnya yaitu hilangnya harta, jiwa dan lainnya, namun maslahat me negakkan kalimat Alloh di muka bumi jauh lebih utama dan lebih besar. 3. Apabila maslahat dan mafsadat seimbang, maka secara umum saat itu menolak mafsadat lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan yang ada. Berdasarkan kaidah umum: (Menghilangkan mafsadat itu lebih dida-hulukan daripada mengambil sebuah maslahat).Untuk mengetahui perincian permasalahan ini lihat kembali kaidah (Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan).Lihat Asmawi, Perbandingan Usul Fqih, (Jakarta , Penerbit Amzah : 2011),57

             [3]  Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairy Al-Naisabury. 261 H. Shahih Muslim. Beirut: Daar Al-Fikr, 1992, jilid 2, hal. 123, hadits nomor 15.
            [4] Sahal Mahfudh, M.A. 2003. Fikih Sosial: Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan
Madzhab Manhaji. Pidato Promovendus pada Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Fikih Sosial di UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta, 18 juni. Jakarta: Universitas Islam Negeri, 18.
                [5] Totik Jumanto dan Samsul Munir Amin, Op.Cit.,169
              [6] Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakr (terkenal dengan panggilan Ibnu
Qayyim Al-Juuziyyah). 1980. ‘Alaam al-Muwaqqi’iin ’an Rabbi al-‘Alamiin. Cairo: Mathabi’ Al-
Islam, jilid 3,  3.

            [7] WHO dalam Gulardi Wignyosastro. Masalah Kesehatan Perempuan Akbat Reproduksi,
Makalah Seminar Penguatan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, PP Fatayat NU dan Ford Foundation, Jakarta, 1 September 2001
           [8] Ninuk Widyantoro. 2003. Pengakhiran Kehamilan Tak Diinginkan yang Aman Berbasis
Konseling. Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan.Lihat juga Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit. ,189

                 [9] HR. Ibnu Majah dan At-Thabrani. Lihat juga HR. Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ad-Daruquthni dari ‘Aisyah dan ‘Ali bin Abi Thalib.
              [10] Asbab al-nuzulnya : Ketika telah turun ayat 43 surat Al-Nisa dan hukum khamar ialah haram, tetapi tidak secara mutlak. Para shahabat saat itu masih ada sebahagian dari mereka yang masih meminum khamar dan mabuk-mabukkan yang mengakibatkan prilaku mereka sangat jauh dari aturan. Oleh karena itulah pada tahapan selanjutnya Allah menurunkan ayat 90 surat Al Maidah yang berisi pengharaman khamar secara mutlak. Dalam ayat ini Allah mengharamkan khamar melalui beberapa sebutan, yakni : Rijsu (رجس ) yang berarti al najasah ( النجاسة ) najis dan najis merupakan sesuatu yang dilarang oleh Allah (diharamkan). Kedua, Allah mengkategorikan meminum khamar ke dalam perbuatan yang selalu dilakukan oleh Syaitan. Dengan turunnya ayat ini  semua para ulama sepakat bahwa hokum dari khamar itu ialah haram. Penerapan metode Tadrij dalam penerapan hukum Islam di Peradilan Indonesia.
              [11] QS.An-Nisa (4) : 43
                [12] Muhamad ’Atthiyyah Al-Abrasyi, At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, 2003
               [13] Ibid
          [14] Membiasakan Anak dengan Pakaian yang Syar’i.Hendaknya anak-anak dibiasakan meng-gunakan pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak laki-laki menggunakan pakaian laki-laki dan anak perempuan menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan anak-anak dari model-model pakaian barat yang tidak syar’i, bahkan ketat dan menunjukkan aurat.Tentang hal ini, Rasulullah bersabda,Barangsiapa yang meniru sebuah kaum, maka dia termasuk mereka.” Shahih, HR. Abu Daud,
               [15] Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Umar Muhammad Al-Taumy Al-syaibany bahwa “ alam natural bukan saja mencakup segala mahluk yang akan tetapi juga merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan persyaratan disekelilingnya. Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Hasan Langgulung, (Jakarta, Bulan Bintang 1979),58.
              [16] Ibid
                 [17] Amin Danien Indrakusuma, 1973:151
                 [18] Suwarno, 1992:115
           [19] Hukuman pun sering diterima siswa manakala mereka  melanggar tata tertib yang telah disepakati. Hukuman itu dimaksudkan  sebagai upaya mendisiplinkan siswa terhadap peraturan yang berlaku. Sebab, dengan sadar pendidik memegang prinsip bahwa disiplin itu merupakan kunci sukses hari depan. Apakah bentuk-bentuk hukuman bisa dikembangkan untuk mendisiplinkan siswa? Pertanyaan seperti inilah menjadi dilema  bagi kaum pendidik  dalam mengemban  kewajiban dan tanggung jawabnya. Apabila sanksi hukuman sama sekali tidak diadakan  niscaya   perilaku siswa akan lebih  semrawut.  Orang dapat menduga-duga, ada penerapan hukuman saja siswa yang melanggar masih banyak, apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan. Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan menuntut konsekuensi bagi para pendidik itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus benar-benar bisa sebagai suri tauladan bagi anak didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi para siswa yang melanggar tetapi tidak diikuti kedisiplinan pendidik, bagaikan halilintar di waktu siang bolong, banyak yang menyepelekan. UU menyebutkanPendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan. Lihat Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003
               [20] Agus Seojono,op.cit, 1980:165
             [21] Hukuman sebagai salah satu teknik pengelolaan kelas sebenarnya masih terus menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi, apa pun alasannya, hukuman sebenarnya tetap diperlukan dalam keadaan sangat terpaksa, katakanlah semacam pintu darurat yang suatu saat mungkin diperlukan. Hukuman merupakan alat pendidikan represif, disebut juga alat pendidikan korektif, yaitu bertujuan untuk menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang benar dan/atau yang tertib. Alat pendidikan represif diadakan bila terjadi suatu perbuatan yang diangap bertentangan dengan peraturan-peraturan atau suatu perbuatan yang dianggap melanggar peraturan. Penguatan negatif dan penghapusan sebenarnya bernilai hukuman juga. Menyajikan stimulus tidak menyenangkan dalam pemakaian teknik penguatan negatif maupun tidak memberikan penguatan yang diharapkan siswa dalam teknik penghapusan, pada dasarnya adalah hukuman walaupun tidak langsung. Kalau penguatan negatif dan penghapusan dapat dikatakan hukuman tidak langsung, maka yang dimaksud dengan hukuan di sini adalah hukuman langsung, dalam arti dapat dengan segera menghentikan tingkah laku siswa yang menyimpang.
                 [22] Suwarno, 1992:115
             [23] Kerusakan anak-anak itu kebanyakan bersumber dari orang tua yang membiarkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dan sunnah din ini kepada mereka. Mereka tidak memperhatikan masalah-masalah agama tersebut saat masih kecil, sehingga saat sudah besar mereka sulit meraih manfaat dari pelajaran agama dan tidak bisa memberikan manfaat bagi orang tua mereka.” Tuhfatul Maudud, I: 229.Lihat Muhammad Al-Ghazali, op.cit.,463
             [24] QS. Al Anfal (8) :8
             [25] H.R. Ibnu Hiban.
             [26] H.R.Thabrani
           [27] Pakar pendidikan ini ingin mengatakan bahwa hukuman memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi tertentu mutlak diperlukan sekali. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak keberatan dengan hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat.Ia menambahkan, “Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya.

                [28] Ahmad Wardi Muslich. 2002, 158
                 [29] UU Perlindungan Anak Dan Pejelasannya, (Jakarta, Harvarindo : 1998), 117
               [30] Menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Apabila pada suatu kali anak menyalahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak membongkar dan membeberkan kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya itu mungkin akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi kesalahannya.Menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan hal tersebut Al-Ghazali menegaskan ”Jangan terlampau banyak mencela setiap saat karena perkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau orang tua menjaga kewibawaan nasehatnya.”Seorang pendidik harus mengetehui cara pertumbuhan akal manusia yang bertahap hingga ia mampu mensejalankan pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik. Ia menasehatkan agar tidak kasar dalam memperlakukan anak didik yang masih kecil, mencubit tubuh dalam pengajaran merusak anak didik, khususnya anak kecil. Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil dapat menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka untuk berbohong serta memalingkan diri dari ilmu dan pengajaran. Oleh karena itu pendidik harus memperlakukan anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang serta tegas dalam waktu-waktu yang diutuhkan untuk itu.
               [31] Jurnal Mawaddah Edisi 4 tahun ke-3, November 2009
       [32] Adapun yang dimaksud oleh Yusuf Qardhawi, dengan istilah ini ialah hukum-hukum yang menglami perubahan. Perubahan disini maksudnya ialah hukum-hukum yang mengalami perubahan dengan perubahannya zaman, keadaan dan tempat. Terjadinya perubahan hukum karena perubahan dalam masyarakat. Dalam satu kaedah, disebutkan sebagai berikut    .: Fatwa (hukum) dapat berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan dan adat (‘urf).
              [33] Shohih Abu Dawud 494
          [34] Usia anak sudah 10 tahun dan sebab memukulnya adalah karena dia meninggalkan sholat. Adapun penyebab selainnya, maka dilakukan orang tua bila melihat ada maslahatnya (sisi positifnya), misalnya anak tidak berhenti dari penyelewengan kecuali dengan dipukul. Ini ketetpan Allah, bukan ketetapan guru atau mufti. Imam Ibnu Qayyim berkata  " Seorang mufti dan seorang hakim (penguasa, qadhi) tidak akan bisa berfatwa dan memutuskan perkara dengan kebenaran, kecuali bila memadukan dua pemahaman (fiqih). Pertama : memahami dan mengerti betul waqi' (realita), serta menyimpulkan ilmu tentang hakekat realita yang ada dengan qarinah, amarah dan 'alamat (bukti-bukti dan data-data) sehingga ilmunya meliputi realita. Kedua :  memahami apa yang wajib (kewajiban syariat) atas realita, yaitu memahami hukum Allah yang ditetap kan dalam kitab-Nya atau melalui lesan Rasul-Nya atas realita tersebut. Baru kemudian menerapkan yang satu (hukum syariat, pent) atas yang lain (realita)
           [35] Arti penting teori maqashid al-syari’ah yang pertama tersebut dianggap dapat memberi napas bagi produk-produk fiqih para ulama yang terlalu terpaku pada teks dan tanpa mengindahkan konteks. Misalnya hukuman fisik bagi anak yang tidak shalat, merupakan obat bagi kemalasannya. Lebih dari itu juga dapat menepis anggapan sementara orang bahwa hukum Islam adalah hukum yang mati, ambigu, bahkan terkadang, menurut mereka, kurang manusiawi (al-Turabi, 2000: 18). Oleh karena itulah, teori ushul fiqih dan maqashid al-syari’ah harus dikawinkan untuk mengatasinya. Selanjutnya, dengan metodologi Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat-nya yang mencoba menggabungkan teori-teori ushul fiqih dengan maqashid al-syari’ah akan menjadi penghubung sekaligus jembatan untuk meng-“ishlahkan” kedua kecenderungan di atas. Memisahkan maqashid al-syari’ah dari teori-teori ushul fiqh merupakan kesalahan karena tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan maqashid al-syari’ah an.sich,. Apa yang dikemukakan Thahir bin Asyur dalam bukunyaMaqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah yang secara yakin menjadikan maqashid al-syari’ah ini sebagai ilmu mustaqil yang terlepas dari ilmu ushul  fiqh (Asyur, 1999: 180), kata Darusmanwiati, adalah tidak benar, karena teori-teori dan kerangka yang dikemukakan Asyur sendiri, disadari atau tidak, adalah teori-teori ushul fiqh itu sendiri hanya dengan format yang berbeda (Darusmanwiati, Islamlib: 309). Sebenarnya, maqashid al-syari’ah telah dikembangkan oleh para mujtahid sebelum al-Syathibi dan bahkan dikembangkan dan disempurnakan juga oleh para pemikiran kontemporer zaman ini. Kata al-maqashid sendiri menurut Ahmad Raisuni, pertama kali digunakan oleh al-Turmudzi al-Hakim, ulama yang hidup pada abad ke-3. Dialah, menurut Raisuni, yang pertama kali menyuarakan maqashid al-syari’ah melalui buku-bukunya, al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan juga bukunya al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi menjadi judul buku karangannya (al-Raisani, 1995: 32).
               [36] Sudah tidak asing di kalangan para ulama yang berkecimpung dalam juresprudensi Islam (ushul al-fiqh) mengenai teori maqashid al-Syari’ah yang disistematisasi dan dikembangkan oleh al-Syathibi. Bahkan Musthafa Said al-Khin dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy  membuat kategorisasi baru dalam aliran Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqahaatau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, maka al-Khin membaginya menjadi lima bagian:MutakalliminHanafiyyahal-Jam’iTakhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan  Sya-thibiyyah (al-Khin, 2000: 8). Dengan demikian, pembagian tersebut telah menempatkan pemikiran Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagiatn corak aliran yang terpisah dari aliran ushul fiqih lainnya. Hal ini karena dalam coraknya, al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat) ushul fiqh dengan konsep maqashid al-syari’ah sehingga produk hukum yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual. Menurut Darusmanwiati, Ada dua nilai penting apabila model al-Syathibi ini dikembangkan para ulama sekarang dalam menggali hukum: Pertama, dapat men-jembatani antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul fiqh sedangkan “aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenyatajdid ushul al-fiqh dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul fiqih demi menghasilkan produk fiqih yang lebih kapabel …. Kedua, model al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu al-Qayyim, al fiqh al-hayy, fiqih yang hidup. Karena itu, fiqih yang terlalu teksbook yang penulis istilahkan dengan Fiqh Ushuly akan berubah menjadi Fiqh Maqashidy Darusmanwiati, Islamlib: 309.
               [37] QS. Al Hadid (57)  : 25
             [38] Suruhlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 180, 187), Abu Dawud (no. 495), Al-Hakim (I/197), Al-Baihaqi (III/84), Ibnu Abi Syaibah (no. 3482), Ad-Daruquthni (I/230), Al-Khathib (II/278), dan Al-‘Uqaili (II/167), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma. Lihat juga Shahihul Jami’ (no. 5868)] Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan kepada anak ini, yaitu:
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul.
b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati , 55-56
               [39] HR. Muslim : 2128
               [40] Lihat  Jurnal al Mawaddah Edisi 4 tahun ke-3, November 2009
             [41] Editor Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan, 9 Januari 2012 lalu, tak ubahnya drama sarat makna kehidupan. Pelajaran hidup, terutama bagi orangtua di tengah kehidupan global yang "lebih" mendewakan materi daripada nilai-nilai religi dan budaya.  Vita, sapaan akrab Ruvita Sari, nekat kabur ke Sorong, Papua Barat bukan tanpa sebab. Kenekatan model iklan berusia 13 tahun ini, berlatar tekanan psikis hebat dari ibunya, Ny Lily.Setelah ditemukan polisi di rumah orangtua angkatnya, Bunda Maya di Sorong, Kamis (26/1/2012) sore, Vita mengaku sering dipukul ibunya kalau menolak syuting.Tidak sampai di situ, sang ibunda "terlalu" mengatur selera dan kehidupan anak. Mulai urusan busana hingga rileks (jalan-jalan), Vita perlu menangis. Vita pun mengalami memar akibat pukulan sang ibu, manakala model iklan cokelat pasta itu pulang pukul 21.00 WIB. Sang Ibu tak mengelak, mengakui pernah juga menarik rambut Vita dan menjepret kaki putrinya menggunakan karet. Benarkah cara orangtua pada buah hatinya ini? Prinsipnya, tak seorang orangtua pun di muka bumi, ingin menzalimi anak kandungnya.Harimau yang paling buas sekalipun, tak pernah memakan anak-anaknya, meski kelaparan. Kaum sufi psikologi maupun agama, justru meyakini cinta orangtua kepada anak, lebih besar dibanding cinta anak kepada orangtuanya.
            [42] Adapun pukulan yang dimaksud adalah: a. Pukulan yang dapat diterima oleh si anak, yakni pukulan yang ringan, b. Pukulan yang tidak menimbulkan bekas atau luka pada tubuh si anak, c. Pukulan di bagian tubuh, kecuali wajah. [Lihat Menanti Buah Hati, hal. 347-348). Bersikap adil kepada semua anak dan bersabar dalam menghadapi mereka. Orang tua terkadang memiliki kecenderungan pada salah satu atau sebagian anak dibandingkan dengan anak-anak lainnya, baik dalam hal materi maupun imateri. Padahal, sikap orang tua yang demikian itu tidak akan memberikan dampak yang baik bagi kejiwaan anak-anaknya. Sebab akan ada anak yang merasa tidak disayangi dan tersisihkan, sementara dia melihat saudaranya mendapatkan perlakuan berbeda dari orang tuanya. Hal seperti ini akan sangat mungkin untuk memicu perselisihan bahkan permusuhan antar sesama saudara. Dan sikap seperti ini juga berarti menzhalimi mereka. [Lihat Ensiklopedi Adab Islam (I/201)] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Aku tidak mau menjadi saksi atas perbuatan zhalim, bertakwalah kalian kepada Allah dan bersikap adillah kepada anak-anak kalian.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2586, 2587) dan Muslim (no. 1623), dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu] Selain itu, orang tua juga harus menyadari bahwa anak adalah fitnah (ujian) bagi orang tua maka hendaknya orang tua dapat bersabar dalam menghadapi gangguan dari anak-anaknya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, Artinya: “Dan ketahuilah! Sesungguhnya harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu). Dan sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat ganjaran yang besar.” (Qs. Al-Anfal: 28) Artinya: “Hanya saja harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu). Dan sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat ganjaran yang besar.” (Qs. Ath-Taghabun: 15).Terutama bagi pasangan orang tua yang memiliki anak perempuan, hendaknya mereka bersabar dalam mengasuh dan mendidiknya, karena anak perempuan yang diasuh dengan baik oleh orang tuanya dapat menjadi penghalang bagi kedua orang tuanya dari api Neraka. Dan hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya berikut ini,. Artinya: “Barang siapa diuji dengan anak-anak perempuan lalu dia memberi asuhan yang baik kepada mereka, maka anak-anak perempuan itu akan menjadi penghalang antara dirinya dari Neraka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 1418, 5998) dan Muslim (no. 2629)]
             [43] Apabila manusia telah meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kebaikan baginya.[Hadits  shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), Ahmad (II/372), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud (no. 2880), An-Nasa’i (VI/251), Tirmidzi (no. 1376), dan Al-Baihaqi (VI/278) dari Abu Hurairah.
            [44] Sudah tidak asing lagi di beberapa pondok,pengurus atau pihak pondok menetapkan aturan dng cara menta'zir yg salah satunya dng menarik uang(denda) bagi santri yang melanggar aturan yang telah ditetapkan pihak pondok. Contoh pada pesantren di Jawa,karena , mereka  para kiyai tahu hukum menta'zir dengan uang, sehingga  timbul pertanyaan: 1. bagaimanakah hukum menta'zir dengan meng-gunakan uang(mendenda).....2. jika tidak boleh,apakah ada cara lain yang membolehkanya,mungkin dengan hilah(mreka daya hukum)? 3. hukum helah yang diperbolehkan seperti apa kriteria yang diperbolehkan menurut syar'i? Ternyata di dalam madzhab Syafi'i menghukum dengan denda uang itu tidak boleh,tapi menurut pendapat imam malik boleh menghukum dengan denda uang.....Batas pukulan mendidik yaitu dari pantat ke bawah,kalau pun organ atas yaitu hanya kuping dengan cara dijewer. Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim,. 7



           [45] Anak yang menjadi dambaan setiap keluarga adalah rizki sekaligus ujian dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya bahwa anak adalah salah satu kesenangan dan perhiasan dunia, Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Qs. Al-Kahfi: 46) Kehadiran anak di tengah-tengah keluarga merupakan amanah yang sangat besar bagi kedua orang tuanya. Oleh karenanya, para orang tua dituntut untuk senantiasa memperhatikan perkembangan jasmani dan rohani sang buah hati. Namun, belakangan sering kita temui peristiwa-peristiwa memilukan yang menimpa anak-anak akibat perbuatan orang tuanya.
               [46] Hukuman dalam kasus seperti ini ditujukan untuk melatih anak-anak memiliki kepekaan terhadap lingkungan, memiliki rasa tanggung jawab dan kemampuan mengendalikan diri.
               [47] Menurut data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak, pada 2011 telah terjadi 1.851 pengaduan ABH yang diajukan ke pengadilan. Hampir 89,8 persen kasus ABH berakhir pada pe¬mi¬danaan atau diputus pidana. Data lain yang dirilis Ke¬men¬terian Hukum dan HAM 2010 menunjukkan bahwa di 16 La¬pas di Indonesia ditemukan 6.505 ABH yang diajukan ke penga¬dilan dan 4.622 ABH di antara¬nya mende¬kam dipenjara. Jumlah ini mung¬kin jauh lebih besar karena angka ini hanya bersumber dari laporan 29 Balai Pe¬masyarakatan (Bapas), se¬mentara di Indonesia terdapat 62 Bapas (Rakyat Merdeka, 19 Januari 2012).
            [48] Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan Guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru.
                  [49] Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan Guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum terlaksana.Lihat Bunadi Hidayat, Pemidanaan Aanak Di Bawah Umur,(Bandung, PT.Alumni : 2010), 115
            [50] Secara tidak sadar orangtua menghukum anaknya dengan emosi dan cara yang kasar, seperti langsung memukulnya. Tindakan seperti ini kurang dibenarkan, karena bagaimana pun didikan orangtua turut menciptakan kondisi anak pada masa mendatang.Rasulullah SAW mengajarkan tanggapan bagaimana seharusnya orangtua menghukum anak, yakni orangtua menunjukan kesalahan dengan pengarahan secara langsung, menunjukan kesalahan dengan isyarat, hardikan dan pukulan. Hukumsn pukulan adalah jalan terakhir untuk menghukum anak agar jera, namun pukulan tersebut harus didasari rasa kasih sayang. Bunadi Hidayat, op.cit, 183
              [51] Menurut sbagian madzhab hanafi boleh menta'zir dengan pakai uang tapi bila sudah taubat, harus dikembalikan uangnya.fiqh ala al madyhab al arba'ah 5/ 401.Yang tidak memperbolehkan silahkan dicek di kitab tanwir al quluub,hasyiyah al jamal ala al manhaj dan gyoyah talkhis almurod hamisyi bughyah. “Dan tidak boleh menta’zir (menghukum) dengan mencukur jenggot atau dengan mengambil harta”.(Tanwiir al-Quluub , 2001), 392


             [52] Ta’zir tidak boleh dengan mengambil harta”. Hasyiyah al-Jamal V/164 “Dan haram menta’zir dengan mencukur jenggot, memotong anggauta dan melukainya, Ta’zir diharamkan juga dengan mengambil atau merusak harta benda karena tidak terdapati ketetapan syara’ yang demikian dari prilaku yang dapat diikuti dan karena tujuan diperlakukan menta’zir demi mengajari tatakrama yang tidak ada ketentuan dengan merusak harta benda berbeda menurut Imam Taqiyuddin yang memperkenankan ta’zir dengan mengambil atau merusak harta benda”. Mathaalib Ulin Nuhaa VI/224
               [53] Seorang sahaya menganiaya sahaya lainnya, maka bagi sahaya yang menganiaya diperlakukan ta’zir dari sayyidnya sesuai petunjuk hakim atau yang ditempatkan pada posisinya dengan dipenjara, dipukul, atau dinaikkan keledai dengan berbalik dan semacamnya.Janganlah memberikan balasannya pada sahaya yang dianiaya, dan tidak diperbolehkan menta’zir dengan mengambil harta benda menurut kami (Syafi’iyyah). Bughyah al-Mustarsyidiin , 532

              [54] Bentuk Ta’zir bisa dengan berupa dipenjarakan atau pukulan yang tidak menyakitkan, menampar, atau mencelanya dengan ucapan atau diasingkan dalam kurun kurang setahun didaerah yang panas atau kurang dari kurun separoh tahun didaerah yang dingin atau diberdirikan dalam satu majlis atau dibuka penutup kepalanya atau dicoreng hitam mukanya atau dicukur rambutnya bagi orang yang tidak suka potong rambut tapi tidak dicukur jenggotnya meskipun menurut kami hal demikian adalah makruh menurut pendapat yang paling shahih, atau dinaikkan pada keledai dengan berbalik dan diarak berkeliling ditengah-tengah orang banyak dan mengancamnya dengan aneka siksaan-siksaan lainnya”.Nihaayah al-Muhtaaj VIII/21

           [55] Mengenai berapa lama pidana penjara dijatuhkan kepada anak nakal, Pasal 26 ayat (1) UU 3/1997 menentukan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.Jadi, harus dilihat kembali pada ketentuan pidananya. Misalnya, jika anak tersebut dijerat dengan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Sehingga, pidana untuk anak nakal yang melakukan pembunuhan dan dijerat dengan Pasal 359 KUHP adalah paling lama 2,5 (dua setengah) tahun.
             [56] Pengadilan anak-anak Mencatut Demi Hukuman Mati?Pada tahun 1995, seorang bocah di Lumajang dijerat pasal dengan ancaman hukuman mati. Kini urusan hidup-mati Ma’ruf – bukan nama sebenarnya – yang masih berusia 14 tahun, sepenuhnya berada ditangan majelis hakim. Sebab, Jaksa Imam Sudarmadji menuduh Ma’ruf telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Buyar, teman sekampungnya. Artinya, anak ke empat pasangan Sariman-Sarmi ini  diancam hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup. Untuk perbuatan itu, ancaman hukuman paling ringan adalah penjara 20 tahun. Menurut dakwaan jaksa, perbuatan itu terjadi pada tanggal 9 April silam, di persawahan desa Mlawang, Kecamatan Klakah, Lumajang. Pembunuhan itu terjadi akibat perkelahian di antara mereka dengan menggunakan clurit. Hujaman clurit tersangka menjadi penyebab kematian korban. Sumber : www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1995/08/14/0007.html
            [57] Dalam kasus ini, jika anak ditahan sebaiknya segera ditanyakan apakah ia telah ditemui oleh seorang petugas Bapas. Dan apakah padanya telah diberikan haknya untuk tetap memperoleh penasehat hukum, karena petugas Bapas bukanlah seorang penasehat hukum. Harus diingat, anak berhak memperoleh dan negara wajib memberikan proses hukum yang cepat.Apabila pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar proses hukum sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam hal ini polisi, yang terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan untuk melakukan diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi kepentingan anak.

               [59] Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (United Nations Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty)   Adopted by General Assembly resolution 45/113 of 14 December 1990
           [60] Komite HAM PBB (Human Rights Committee) dalam Komentar Umum No. 6 menegaskan bahwa “ekspresi tentang kejahatan yang paling serius harus diartikan secara terbatas, bahwa pidana mati hanya dilaksanakan sebagai tindakan luar biasa. UU Nomor 23 tahun 2002 Pasal 2 menyatakan bahwa asas dan tujuan perlindungan anak salah satunya berlandaskan pada prinsip-prinsip KHA  : a)     non diskriminasi; b)     kepentingan yang terbaik bagi anak; c)      hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d)     penghargaan terhadap pendapat anak.Dalam konteks anak yang berkonflik dengan hukum, undang-undang ini mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan khusus (Pasal 59).

             [61] Hukuman tidak dimaksudkan untuk sebuah pembalasan dan pembebasan dari dosa. Hukuman lebih dimaksudkan sebagai cara mencegah orang untuk berbuat kejahatan. Teori ini dikenal dalam hukum Islam sebagai “zawajir”, pencegahan, penghentian (deterrence). Ahli hukum Islam klasik Al Mawardi (w. 1075 M), mengatakan : “Hukuman-hukuman pidana (hudud) adalah “zawajir” (pencegahan) yang ditetapkan Tuhan agar orang tidak melanggar hukum dan memperingatkan orang akan ancaman adanya rasa sakit jika dia melanggarnya”. Hal ini menurutnya jauh lebih luas efek positifnya bagi sistem kehidupan dibanding sekedar untuk menghukum pelakunya.( Fathi,14).
             [62] Seorang memukul  gurunya atau petugas, ia diaggap melakukan jarimah ganda, walaupun pelakunyamenganggap melakukan jarimah tunggal, hal ini dikarenakan yang dipukul adalah petugas sehinnga oleh hukum dianggap berbuat jarimah ganda yaitu memukul orang dan melawan petugas. Gabungan anggapan (concurcus idealis) Gabungan jarimah itu karena hanya bersifat anggapan, sedang pelakunya hanya hanya berbuat satu jarimah. Pertimbangan fuqaha tentang eksistensi gabungan hukuman yang berdasarkanatas dua teori :Teori saling memasuki atau melengkapi. Dalam teori ini yang dimaksudkan oleh menulis, bahwa pelaku jarimah dikenakan suatuhukuman, walaupun melakukan tindakan kejahatan ganda, karena perbuatan satu denganyang lainnya dianggap saling melengkapi atau saling memasuki. Teori ini ada dua pertimbangannya. Bila pelaku hanya melakukan tindakan kejahatan sejenis sebelum diputuskan oleh hakim, maka hukumannya dapat dijatuhkan satu macam saja, jika satu hukumandianggap cukup. Akan tetapi jika ia belum insaf atau jera dan mengulangi lagi, maka iadapat dikenakan hukuman lagi. Lihat Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah umur,(Bandung  PT.Alumni : 2010), 135

              [63] HR. Muslim
            [64] Akibat Menggunakan Shabu-shabu : Merusak organ-organ tubuh terutama otak, dan syaraf yang mengatur pernafasan. Banyak yang mati karena sesak nafas, dan tiba2 berhenti bernafas karena syaraf yang mengendalikan pernafasan sudah rusak dan tidak ada lagi instruksi untuk bernafas, sehingga nafasnya putus/berhenti, dan mati.  Paranoid, otak suah dipakai berpikir dan konsentrasi, jet lag dan tidak mau makan.Rasa gembira / euforia, Rasa harga diri meningkat.Banyak bicara, Kewaspadaan meningkat, denyut jantung cepat.
  • Pupil mata melebar.
  • Tekanan darah meningkat, berkeringat/rasa dingin
  • Mual/muntah, (Dalam waktu 1 jam setelah pemakai gelisah)
  • Delirium/kesadaran berubah (pemakai baru, lama, dosis tinggi), 
  • Perasaan dikejar-kejar.
  • Perasaan dibicarakan orang.
  • Agresif dan sifat bermusuhan.
  • Rasa gelisah.
  • Tak bisa diam, (Dalam waktu 24 jam). 
  • Gangguan irama detak jantung.
  • Perdarahan otak.
  • Hiperpireksia atau syok pada pembuluh darah jantung yang berakibat meninggal.
            [65] Pengertian Ghazwul Fikri. Akar kata Ghazwul fikri berasal dari kata ghazw dan al-fikr, yang secara harfiah dapat diartikan "Perang Pemikiran". Yang dimaksud ialah upaya-upaya gencar pihak musuh-musuh Allah subhanahu wata’ala untuk meracuni pikiran umat Islam agar umat Islam jauh dari Islam, lalu akhirnya membenci Islam, dan pada tingkat akhir Islam diharapkan habis sampai ke akar-akarnya. Upaya ini telah berlangsung sejak lama dan terus berlanjut hingga kini. Lihat M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Cet. XXIII (Bandung,Mizan : 2002),47

                [66] Barat menuduh bahwa Hukum Islam tidak manusiawi, bahkan melanggar HAM. Bagi Barat, hukum penjara adalah hukum yang paling manusiawi dan sesuai dengan HAM. Namun dengan uraian di atas, terungkap jelas bahwa Hukum Sipil yang berasal dari Barat lah yang tidak manusiawi, bahkan justru yang melanggar HAM. Dan fakta membuktikan bahwa hukum penjara tidak efektif, nihil solutif dan kontra produktif. Karenanya, penjara tidak menjadi hukum andalan dalam Hukum Islam, bahkan pilihan hukum terakhir yang terburuk. Hukum Sipil miskin Dimensi Sosial maupun Dimensi Ekonomi, apalagi Dimensi Ukhrowi. Sedeang Hukum Islam kaya dimensi, baik duniawi mau pun ukhrowi. Selain itu, Hukum Islam sangat praktis dan dinamis, sehingga sanksi-sanksi hukumnya menjadi mudah dipahami dan ringan diimplementasikan. Misalnya, pemabuk dicambuk, pencuri dipotong tangan, perampok tanpa membunuh dipotong kaki dan tangan secara silang, perampok dengan membunuh dibunuh dan disalib jasadnya sebelum dikuburkan, penzina yang muhshon dirajam hingga mati, penzina yang tidak muhshon dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun, pelaku Qodzaf dicambuk delapan puluh kali, pemberontak diperangi, pembunuhan dan penganiayaan ada dua opsi yaitu Qishosh atau Diyat. Sdengan selain pidana di atas dihukum dengan hukum ta'zir, yaitu sesuai dengan ijtihad hakim atau ketetapan undang2 negara, selama tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Hukum Ta'zir ini beragam, mulai dari yang ringan seperti dijemur dan bakti sosial, hingga yang berat seperti kerja paksa.Lihat Nasruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Quran, (Disertasi), Jakarta, (Penerbit Paramadina : 2001), 105
           [67] Paling tidak, ada ‘empat’ hal yang termasuk dalam program al-ghazwul-fikri. Pertama, Tasykik yakni gerakan yang berupaya menciptakan keraguan dan pendangkalan akidah kaum Muslimin terhadap agamanya. Misalnya, dengan terus-menerus menyerang (melecehkan) Al-Qur’an dan Hadits, melecehkan Nabi Muhammad Saw atau mengampanyekan bahwa hukum Islam tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Kedua, Tasywih yakni gerakan yang berupaya menghilangkan kebanggaaan kaum Muslimin terhadap agamanya. Caranya, memberikan gambaran Islam secara buruk sehingga timbul rasa rendah diri di kalangan ummat Islam. Di sini, mereka melakukan pencintraan negatif tentang agama dan ummat Islam lewat media massa dan lain-lain, sehingga Islam terkesan menyeramkan, kejam, sadis, radikal dan lain sebagainya. Ketiga, Tadzwib yakni pelarutan budaya dan pemikiran. Di sini, kaum kuffar dan munafiqin melakukan pencampuradukkan antara hak dan batil, antara ajaran Islam dan non-Islam. Sehingga ummat Islam yang awam kebingungan mendapatkan pedoman hidupnya. Dan, keempat, Taghrib yakni “pembaratan” dunia Islam, mendorong ummat Islam agar menerima pemikiran dan budaya Barat, seperti sekularisme, pluralisme, nasionalisme dan lain sebagainya. Lihat juga TM.Hasbi Ash-Shiddieqi, 0p.Cit.,55

              [68] Nsruddin Umar, op.cit., 243
                 [69] QS.Faathir (35) : 6
             [70] Walau sikap kepura-puraan Snouck akhirnya terbongkar, tapi pola penjajahan dengan cara ghazwul fikri seperti itu terus berkembang hingga kini. Madzhab Selebritis.Wajah baru penjajahan juga berbentuk budaya. Misalnya, penyebaran film-film, iklan, majalah, video klip, internet termasuk gaya hidup (life style). Jangan heran bila musik-musik Barat seperti; ska, rock, underground, metal, R&B secara pelan-pelan menggeser musik-musik Islam. Melalui budaya, Amerika memaksakan kehendak. Kalau perlu ancaman embargo bila tidak mau menjualan film-film Hollywood ke negeri ketiga, khususnya Islam. Secara cepat pula industri film yang didominasi Yahudi ini kemudian menjadi trendsetter gaya hidup ummat manusia di seluruh dunia. Secara cepat pula, gaya hidup Barat dan Hollywood menjadi peradaban baru. Dengan dalih globalisasi, seolah-olah apa yang kita tonton, dan yang kita makan dan apa yang kita pakai atau dikenal dengan semboyan 3 F (food, fashion, and fun), haruslah memakai standar Barat dan Hollywood. Dalam bukunya Jihad vs McWorld, Benjamin R. Barber mengatakan, apa yang terjadi di dunia hari ini adalah pem-Barat-an budaya (westernisasi). MTV, McDonald, celana jeans, musik ska, dan R & B dan film-film Hollywood kini dinikmati oleh warga dunia ketiga. Budaya Barat tidak lagi milik segolongan orang Amerika, tapi sudah milik dunia. Termasuk negeri-negeri Islam.

            [71] QS.Al Baqarah [2] :120
            [72] QS.Al Maidah [5] :82
               [73] QS.Al Munafiqun (63) : 1
               [74] QS.At Taubah (90 : 67
               [75] QS.Al Baqarah (20) : 217
             [76] Untuk mewujudkan agenda Basl yaitu mendirikan negara nasional Yahudi di Palestina yang dijamin oleh undang-undang publik. Untuk itu perlu disusun beberapa langkah berikut ini: Pertama, menggalang dan mengembangkan pemukiman Yahudi di Palestina dan mendirikan perumahan-perumahan. Kedua, koordinasi Yahudi internasional dan legalisasi hubungan yang mengikat mereka dengan organisasi dan institusi Zionis. Ketiga, menyebarkan spirit nasionalisme, mengembangkan rasa dan kesadaran nasional Yahudi internasional. Keempat, mengambil langkah-langkah semestinya untuk mendapatkan dukungan dan persetujuan negara-negara asing berkenaan dengan konsep negara nasional Yahudi di Palestina. Samir Syathara, 100 tahun Konferensi Basl, al Mujtama, 1267, 16/9/1997
               [77] Epistemologis Hukum Islam memandang jika kebenaran mutlak bersumber dari Tuhan (wahyu), karena rasionalitas manusia itu terbatas sehingga tidak semua kebenaran bisa dibuktikan secara rasional. Dan hingga kini, Al-Qur’an terus dan akan tetap sejalan dengan perkembangan sains, karena Al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan yang otentik. Sedangkan Barat memandang kebenaran secara materialis-empiris (tampak dan terbukti). Hal ini dikarenakan Barat mengalami tragedi spiritual yang amat buruk, di mana para ilmuwan sains pada tahun 1600-an M (seperti Galileo dan Copernicus) dihukum karena dianggap telah menentang Gereja, sehingga komunitas ilmuwan akhirnya sepakat bahwa kebenaran sejati akan didapat jika mereka berlepas diri dari dogma Gereja dan menggunakan rasionalitas mereka untuk membuktikan kebenaran secara empiris. Perbedaan Islam dan Barat jelas akan menimbulkan benturan hebat dalam peradaban dunia seperti yang disebutkan Samuel P. Huntington. Salah satu akibatnya, negara-negara dunia yang men-declare sebagai negara Islam atau negara dengan mayoritas penduduk Islam akan cenderung menolak sistem Barat. Dan  telah kita ketahui bersama bahwa potensi energi dunia tersimpan di rahim bumi negara-negara Islam, sehingga dalam konteks ini hasrat barat untuk menguasai minyak bumi menjadi terhambat.
             [78] Hifdz al-Nasl, menjaga keturunan, yakni dianjurkannya nikah demi menjaga keturunan, juga diharamkannya zina karena merusak keturunan. Adalah Thahir Ibnu ‘Asyur seorang pakar maqashid syari’ah yang berasal dari Tunisia. Secara umum gagasan Ibnu ‘Asyur hampir sama dengan wacana yang ditawarkan oleh al-syathibi, hanya saja beliau telah berjasa dalam mengembangkan disiplin ilmu maqashid syari’ah dan menjadikannya sebagai disiplin ilmu baru yang terpisah dengan ilmu ushul fiqh. Beliau diberi gelar sebagai ‘guru kedua’ setelah al-Syathibi yang dijuluki ‘guru pertama’. Beliau telah berhasil mengembangkan teori maqashid yang sebelumnya hanya berkutat pada kajian juz’iyyah dan kulliyah menjadi lebih luas, yakni dengan melebarkan pembahasan maqashid kedalam ‘maqashid syariah khusus tentang muamalat’ yang didalamnya mengupas berbagai isu-isu maqashid seputar maqashid hukum keluarga, maqashid penggunaan harta, maqashid hukum perundangan, dan kesaksian dan lain-lain. Lihat Asmawi, op.cit.,129
               Definisi Tafsir Maqashid. Term tafsir maqashidi bagi sebagian kalangan bisa dibilang belum akrab ditelinga, karena kajian maqashid syari’ah yang berkembang di Indonesia belum menyentuh kepada kajian maqashid dalam metode penafsiran. Para ‘pengobral maslahat’ (sebutan yang biasa disematkan kepada Jaringan Islam Liberal) pun hanya mengkaji maqashid syariah dalam ranah ushul fikih. Disamping itu di Indonesia belum banyak-untuk mengatakan tidak ada- pakar maqashid syariah. Hal ini berbeda dengan kajian maqashid syariah di Maroko, Mesir, dan negara-negara timur tengah lainnya.. Kata maqashidi dalam ‘tafsir maqashidi’ adalah kata maqhashid yang dibubuhi ya’ nisbah. Berarti tafsir maqashidi adalah tafsir yang menggunakan pendekatan maqashid syari’ah, atau dengan kata lain tafsir maqashidi adalah sebuah tafsir yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan menguak dan memepertimbangkan maqashid syari’ah. Hal ini sedikit yang membedakan tafsir maqashidi dengan tafsir-tafsir konvensional lainnya. Seperti tafsir falsafi yang hanya berkutat dengan teori-teori filsafat atas sebuah hikmah saja. Atau juga tafsir sufi yang mengedepankan pendakian kontemplatif sang sufi dalam menyibak teks-teks suci.Tafsir maqashidi tidak mengabaikan teori-teori baku tentang penafsiran, seperti asbab nuzul, ‘am-khos, mujmal-mubayyan dst. Di samping itu tafsir maqashidi juga hirau akan perangkat-perangkat ilmu-ilmu umum seperti sosiologi, antropologi, dan filsafat.



          [79] Beberapa kaidah yang “bersifat individu” dalam beberapa kesempatan sebelumnya telah banyak dibahas. Memberikan hukuman fisik kepada anak, menyangkut tentang niat (al umuuru biaqashidiha), al yaqiinu la yuzalu bi al syak, dan lain-lain. Beberapa kaidah tersebut merupakan kaidah yang “bersifat individu. Dalam kesempatan ini, kaidah yang akan menjadi obyek pembahasan adalah kaidah yang tidak hanya melibatkan satu pihak individu saja, tetapi dalam implementasi kaidah ini melibatkan banyak pihak, karena dalam penerapannya, kaidah ini sering digunakan dalam fiqh siyasah. Seperti yang diketahui bahwa fiqh siyasah adalah hukum Islam yang obyek bahasannya mengenai kekuasaan dan bagaimana menjalankan kekuasaan tesebut. Apabila disederhanakan, fiqh siyasah meliputi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Internasional.3 Apabila dilihat dari sisi hubungan, fiqih siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dengan pemimpinnya sebagai penguasa yang konkret di dalam sebuah Negara atau antarnegara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun internasional. Abu Abdillah Ahmad bin Al-Isawi, op.cit, 579

[80] QS. Al- Syura (42) : 38

          [81] Ibnu Taimiyyah. 1967. Al siyasah al sar’iyyah fi islahi wa al ra’yah. Saudi Arabia: Dar Al kutub Al arabi, 14
            [82] Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Suyuti. 1965. Al- asybah wa al nadha’ir. Sura-baya: Al Hidayah,  83
              [83]  Pengertian ini, filsafat Aristoteles mengatakan bahwa keadilan dibagi menjadi dua, pertama adalah keadilan distributive dan keadilan commutative. Keadilan distributive memberikan gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya masing-masing, dengan kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan secara umum.
          [84] Asymuni A Rahman. 1976. Kaidah-kaidah Fiqh, cet 1.( Jakarta: Bulan Bintang ), 132.
             [85] Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah .Kebijaksaanaan pemimpin terhadap rakyatnya, berorientasi kepada kesejahteraan rakyatnya.
                    [86] Yusdani. 2006. At tufi dan Teorinya tentang Maslahat. Artikel Internet. Tanggal 8 Novemer 2007  Internet, Pukul 12.30.
           [87] Najamuddin at Tufi. 1954. Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.(Bagian Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, ; 243

               [88] Sekretaris MUI. 2005. Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI Jakarta, tahun 2005, 121
              [89] Al Jazuli. 2003. Fiqh siyasah, cetakan kdua. Jakarta: Prenada Media,  53
               [90] Op Cit, 168
               [91] Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah ( Kebijaksanaan pemimpin,
Kepada rakyatnya, merujuk kepada kemaslahatan.
           [92] Maslahah mursalah” berada di tengah-tengah antara “maslahah mu’tabarah” dan “maslahah mughah”, maka tidaklah menghubungkannya dengan “maslahah mu’tabarah” itu lebih utama daripada menghubungkannya dengan “maslahah mulghah”. Kerana ini, “maslahah mursalah” tidaklah boleh menjadi dalil Syarak, kerana tiada dalil yang menunjukkan bahawa ia termasuk dalam “maslahah mu’tabarah” dan bukannya “maslahah mulghah”.
             [93] http://www.kmnu.org. Chariri Makmun, Lc. Standart Maslahat Menurut Islam. 7 November 2007, pukul 12.15 wib.
             [94] Kassim Ahmad.. Hadis Satu Penilaian Semula. Selangor: (Media Intelek SDN BHD, Malaysia, 1986) ,67

             [95] Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan :“ orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”. Apabila masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah subhaanahu wa ta’aala dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman : “Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah.” ( QS. As Syura, 10 ).

            [96] Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Dalam bahasa arab, kaidah memilik banyak arti diataranya: al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Al Qi’dah (cara duduk, yang baik atau yang buruk), Qo’id ar rojul (Istrinya), Dzul Qo’dah (nama salah satu bulan qomariyah yang mana orang orab tidak mengadakan perjalanan didalamnya) dan lain sebagainya.Dari seluruh arti tadi dapat kita simpulkan bahwa kaidah secara bahasa artinya tidak akan keluar dari dasar atau pondasi dan tempat sesuatu. Adapun secara istilah banyak sekali defenisi yang di buat oleh para ulama, tetapi yang paling lengkap dan paling baik menurut penyusun adalah:”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagiannya.

         [97] Tetapi dalam musyawarah Nasional MUI yang ke VII tahun 2005, dalam keputusannya No. 6/MUNAS/VII/MUI/10/2005 memberikan riteria sebagai berikut. 1. kemaslahatan menurut hukum Islam adalah tercitanya tujuan syari’ah (maqashid al syari’ah), yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan primer (al dharuriyyat al khamsah), yaitu: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.  2. kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’at adalah kemslahatan yang tidak betentangan dengan nash  3. yang berhak menentukan maslahat atau tidaknya sesuau menurut syari’ah adalah lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syari’ah dan dilakukan melalui ijtihad jam’i.
   [98] Ijtihad seringkali hanya diartikan sebagai upaya penyimpulan hukum yang dilakukan oleh seorang mujtahid. Dalam kenyataannya, bila ijtihad hanya dipahami satu sisi saja, maka akan terjadi kesalahpahaman terhadap syariah. Oleh karenanya, ijtihad tatbiqi harus dikembangkan pula sebagai upaya maksimal dalam merealisasikan hukum hasil istinbat ke dalam realitas kehidupan.Salah seorang ulama yang telah memberikan peninggalan konsep ijtihad tatbiqi adalah Abu Ishaq al-Syatibi. Menurutnya, ijtihād ta¯bīqī merupakan ijtihad dengan menggunakan dua konsepsi besar, yakni tahqīq al-manā¯ dan al-nadhar ila ma`ālāt al-af’āl. Permasalahan ijtihad merupakan hal yang selalu aktual untuk dicermati dan dikaji. Akan tetapi, pembahasan seringkali hanya terbatas pada sisi penyimpulan hukum sehingga terkesan bahwa syariah adalah hukum yang kaku. Hal in kemudian berkembang menjadi pemahaman yang kurang tepat dalam memandang syariah terutama terkait dengan posisinya pada dunia modern saat ini. Sementara, istilah ijtihad tatbiqi seringkali dipahami sebagai upaya pemberlakuan hukum di masyarakat sebagaimana undang-undang atau peraturan daerah diberlakukan. Ijtihad tatbiqi dan mendudukkanny sesuai dengan apa yang sudah dikonsepkan sebelumnya oleh ulama terdahulu. Dalam kaitan ini, konsep ijtihad tatbiqi yng telah dikemukakan oleh al-Syatibi menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Kata ijtihād ta¯bīqī berasal dari dua kata berbahasa Arab, yakni kata “ijtihād dan kata “ta¯bīqī”. Secara etimologis, kata ijtihad merupakan bentuk masdar dari kata ijtahadapengerahan seluruh kekuatan, kemampuan, kesanggupan). Secara terminologis, para ulama ahli usul fiqh mengungkapnya dengan berbagai definisi. Al-Fairūz Ābādi (wafat 476 H) mendefinisikan ijtihad sebagai ا(mengerahkan segala kemampuan untuk menemukan hukum syara’). Al-Āmidi (wafat 631 H)  (mengerahkan seluruh kemampuan dalam menemukan suatu dugaan dalam hukum syara’ yang dirasa sudah tidak ada lagi kemampuan untuk mendapatkan lebih dari itu). Al-Ghazāli (wafat 505 H) mendefinisikan ijtihad sebagai  pengerahan seorang mujtahid akan seluruh kemampuannya untuk menemukan pengetahuan tentang hukum syara’.

           [99] Menghukum anak, menjadi serba salah, karena  salah hukum, dapat menimbulkan fitnah, seperti yang diisyaratka QS Al-Taghabun: 14.  Al-Imam At-Tirmidzi t dalam Sunan-nya (no. 3317) membawakan asbabun nuzul (sebab turunnya) surah At-Taghabun ayat 14 ini, dari riwayat Ibnu ‘Abbas c. Tatkala ada yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas c tentang ayat ini, beliau menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang telah berislam dari penduduk Makkah dan mereka ingin menda-tangi Nabi I, namun istri dan anak mereka enggan ditinggalkan mereka. Ketika mereka pada akhirnya mendatangi Rasulullah I, mereka melihat orang-orang yang lebih dahulu berhijrah telah tafaqquh fid dien (mendalami agama), mereka pun berkeinginan untuk memberi hukuman kepada istri dan anak-anak mereka. Allah I lalu menurunkan ayat 6:Namun riwayat asbabun nuzul ini dha’if (lemah) sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t, dalam karya beliau Ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul (. 249).

              [100] Bila UU No 20/2003 menuntut pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik menjadi profesional, seyogianya diiringi dengan adanya UU Profesi Pendidik. Meskipun dalam UU No 14/2005 secara tegas telah melindungi profesi guru dan dosen, namun dalam dataran implementasi kekuatan UU tersebut masih tak terlihat berkontribusi terhadap nasib guru/dosen sebagai tenaga pendidik. Untuk itu, sudah pada saat dan tempatnya jika guru/dosen membangun kekuatan solidaritas untuk mendorong pemerintah memperbaiki kondisi kerja guru/dosen dan melindungi profesi mereka dengan kekuatan hukum yang jelas. Bunadi Hidayat,op.cit.,178
             [101] Ibnu Hazm (994-1064 M), salah seorang tokoh ulama dari mazhab Zahiri, bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd adz-dzari’ah dalam kitabnya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub pembahasan tentang penolakannya terhadap sadd adz-dzari’ah dalam pembahasan tentang al-ihtiyath (kehati-hatian dalam beragama). Sadd adz-dzari’ah lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang.
           [102]Terkait dengan kedudukan sadd al-dzari’ah, Elliwarti Maliki, seorang doktor wanita pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo, menganggap bahwa sadd al-dzari’ah merupakan metode istinbath hukum yang mengakibatkan kecenderungan sikap defensif (mempertahankan diri) di kalangan umat Islam. Pada gilirannya, hal ini bisa menimbulkan ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu karena takut terjerumus dalam mafsadah. Di samping itu, produk-produk fikih dengan berdasarkan sadd al-dzari’ahcenderung menjadi bias gender.
             [103] QS. Al-An’am (6) : 108
               [104] QS. al-Baqarah: 104
                [105] Menurut bahasa سخر berarti “mengejek, mencemoohkan, menghina”.
Pengertian dalam Islam tentang penghinaan itu memiliki pengertian yang berbeda-beda. Untuk itu kita harus mengidentifikasikan dahulu kata penghinaan dengan lafadz
Arabnya, sedangkan hal-hal yang tercakup dalam arti penghinaan itu lafadnya berbeda-beda. Penghinaan itu berasal dari kata “hina” yang artinya : a. Merendahkan, memandang redah atau hina dan tidak penting terhadap orang lain. b. Menjelekan/memburukan nama baik orang lain, menyinggung perasaannya dengan cara memaki-maki atau menistakan seperti dalam tulisan surat kabar yang dipandang mengandung unsur menghina terhadap orang lain. Menurut Al Ghozali bahwa penghinaan adalah : “Menghina orang lain dihadapan manusia dengan menghinakan dirinya di hadapan Allah Swt.pada Malaikat dan Nabi-nabinya. Jadi intinya peng-hinaan adalah merendahkan dan meremehkan harga diri serta kehormatan orang lain di hadapan orang banyak”. Lihat M.Quraish Shihab, op.cit., 241
       [106] Ada  mazhab  yang menolak mentah-mentah sadd adz-dzari’ah, hal itu karena mereka memang sangat berpegang teguh pada prinsip berpegang kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua perbuatan harus diputuskan berdasarkan zhahir nash dan zhahir perbuatan. Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada tekstual nash juga bisa berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru bisa mengabaikan tujuan syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih mashalahah. Jika memang mafsadah jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah yang akurat, maka sadd adz-dzari’ah adalah sebuah metode hukum yang perlu dilakukan. Dengan sadd adz-dzari’ah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab az-Zahiri. Namun agar tidak disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa pengharaman dalam sadd adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim li ghairih). Secara substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut  tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan itu menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu halal.  

            [107] Kaitannya ialah hukuman fisik itu, memang merupakan sarana untuk mencegah kejaahatan, maka hukumya wajib, karena mencegah kejahatan itu, wajib hukumnya, “ Lil wasa’ili, hukmul maqashid,” Hukum  sarana, sama  de-ngan hukum tujuan.  Ahmad Djazuli, Kaedah Usul Fiqih, (Jakarta   PT. Grafindo, 1997),231
                  [108] Dengan apakah hukumnya diketahui? Dalam perbedaan pendapat ini terdapat tiga mazhab dialangan ulama, yaitu: 1. Mazhab Asya’irah yaitu para pengikut Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Yakni: bahwasanya akal tidak mungkin mengetahui hukum Allah pad aperbuatan-perbuatan mukallaf kecuali dengan perantaraan para rasul-Nya dan kitab-kitab-Nya. Dasar mazhab ini adalah: bahwasanya yang baik dari perbuatan mukallaf ialah sesuatu yang ditunjuki oleh syari’ bahwa hal itu adalah baik dengan jalan memperolehnya atau menunut pengerjaannya. Sedangkan yang buruk adalah sesuatu yang ditunjukin oleh syari’, bahwa hal yang itu buruk dengan jalan menutut untuk meninggalkannya. Yang baik bukanlah yang dipandang baik oleh akal, dan bukan pula yang buruk adalah yang dipandang buruk oleh akal.jadi, ukuran baik dan buruk dalam mazhab ini adalah syara’ bukan akal.
2.      Mazhab Mu’tazilah, yaitu para pengikut Washil bin ‘Atha’. Yakni : bahwasanya akal dapat mengetahui hukum Allah tentang perbuatan-perbuatan mukallaf dengan sendirinya tanpa perantaraan para Rasul-Nya dan kitab-kitab-Nya.

                 [109] Menjual khamer pada hakekatnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju kepada minum khamer, maka perbuatan itupun dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnaya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.
 .

                [110] Q.S An Nuur (24) : 31
             [111] H.R. Bukhari dan Muslim. Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
             [112] Bahwasanya sang suami telah menasehatinya dan telah menghajir (menjauhinya) dari tempat tidur namun tetap tidak bermanfaat. [Sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir I/493]

            [113]  Departemen  Agama RI QS. 4:34
            [114] Ibnul ‘Arobi berkata, “Atho’ berkata, “Janganlah sang suami memukul istrinya, meskipun jika ia memerintah istrinya dan melarangnya ia tidak taat, akan tetapi hendaknya ia marah kepada istrinya” [Ahkamul Qur’an I/536] Berkata Al-Qodhi, “Ini di antara fakihnya ‘Atho’…ia mengetahui bahwasanya perintah untuk memukul dalam ayat ini adalah untuk menjelaskan bahwa hukumnya adalah dibolehkan (bukan diwajibkan)” [Ahkamul Qur’an I/536
            [115] HR Abi Dawud II/245 no 2146, Ibnu Majah no 1985 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, dari hadits sahabat Abdullah bin Abi Dzubab] Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda, “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul” [HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok II/208 no 2775, Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro VII/304 no 14553 dari Shohabiah Ummu Kultsum binti Abu Bakar As-Shiddiq.  Imam Asy-Syafi’I berkata, “Sabda Nabi shallallahu 'alihi wa sallam “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul” merupakan dalil bahwa memukul wanita hukumnya adalah mubah (dibolehkan) dan tidak wajib mereka dipukul. Dan kami memilih apa yang telah dipilih oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam, maka kami suka jika seorang suami tidak memukul istrinya tatkala mulut istrinya lancang kepadanya atau yang semisalnya” Al-Umm V/194
               [116]Aunul Ma’bud VI/129

               [117] Berkata Ibnu Hajar, “Jika sang suami mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul) maka lebih afdhol. Dan jika masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat (perkataan keras) maka janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena hal itu menyebabkan rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap mempergauli istri dengan baik” Fathul Bari IX/304
           [118] Berkata Ibnu Hajar, “Jika sang suami mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul) maka lebih afdhol. Dan jika masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat (perkataan keras) maka janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena hal itu menyebabkan rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap mempergauli istri dengan baik” [Fathul Bari IX/304
                   [119] Ibid
                 [120] Lihat Al-Mughni VII/242
                   [121] Asy-Syarhul Mumti’ XII/382
                 [122]Loc Cit,  Al-Mughni VII/243
                  [123] Riwayat ibnu Majah 1850 dan Ahmad IV: 446
                [124]HR Muslim III/1673 no 2116
                [125]Al-Minhaj syarh Shahih Muslim XIV/97
                [126]Ada yang mengatakan maksudnya adalah tidak mengatakan “Wajahmu jelek” atau mengatakan, “Semoga Allah menjelekkan wajahmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Maksudnya adalah janganlah sang suami mensifati sang istri dengan keburukan. Dan zhohir hadits menunjukan bahwa sang suami tidak mensifati istrinya dengan keburukan baik yang berkaitan dengan tubuhnya ataupun dengan akhlaknya. Yang berkaitan dengan tubuhnya misalnya ia mensifati kejelekan di matanya atau hidungnya atau telinganya atau tingginya atau pendeknya. Yang berkaitan dengan akhlaknya misalnya ia mengatakan kepada istrinya, “Kamu goblok”, “Kamu gila” dan yang semisalnya. Karena jika sang suami mensifatai istrinya dengan keburukan maka hal ini akan menjadikan sang istri terus mengingat celaannya tersebut hingga waktu yang lama” (Syarah Bulughul Maram kaset no 12)
[127] HR Abu Dawud no 2142 dan Ibnu Majah no 1850 dari hadits Mu’awiyah bin Haidah.Ibnu Hajar menyatakan hadits ini bisa dijadikan hujjah, Al-Fath IX/301
           [128]HR Muslim II/890 no 1218
           [129] Asy-Syarhul Mumti’ XII/444
           [130] Ahkamul Qur’an I/535
[131]Berkata Ibnu Hajar, “(yaitu) kemungkinan jauhnya terjadi hal ini (digabungkannya) dua perkara dari seorang yang memiliki akal, yaitu memukul istri dengan keras kemudian menjimaknya di akhir harinya atau akhir malam. Padahal jimak hanyalah baik jika disertai kecondongan hati dan keinginan untuk berhubungan, dan biasanya orang yang dicambuk lari dari orang yang mencambuknya…dan jika harus memukul maka hendaknya dengan pukulan yang ringan dimana tidak menimbulkan pada sang istri rasa yang amat sangat untuk lari (menjauh), maka janganlah ia berlebih-lebihan dalam memukul dan jangan juga kurang dalam memberi pelajaran bagi sang istri” [Fathul Bari IX/303, lihat juga HR Al-Bukhari V/2009]Barangsiapa yang berbuat aniaya dengan memukul istrinya padahal istrinya telah taat kepadanya, atau dia memukul istrinya karena merasa tinggi dan ingin merendahkan istrinya maka sesungguhnya Allah lebih tinggi darinya dan akan membalasnya.   Allah berfirmam, jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.QS. 4:34.

           [132]HR Al-Bukhari V/1997 no 4908 dan Muslim IV/2191 no 2855 dari hadits Abdullah bin Zam’ah
                [133] Ibnu Abu Hatim mengetengahkan dari Hasan, katanya, "Seorang wanita datang kepada Nabi saw. mengadukan suaminya karena telah memukulnya, maka sabda Rasulullah saw., 'Berlaku hukum kisas,' maka Allah pun menurunkan, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita...' sampai akhir ayat." (Q.S. An-Nisa 34.) Demikianlah wanita itu kembali tanpa kisas. Ibnu Jarir mengetengahkan pula dari beberapa jalur dari Hasan, yang pada sebagiannya terdapat bahwa seorang laki-laki Ansar memukul istrinya, hingga istrinya itu pun datang menuntut kisas. Nabi saw. pun menitahkan hukum kisas di antara mereka, maka turunlah ayat, "Dan janganlah kamu mendahului Alquran sebelum diputuskan mewahyukannya bagimu." (Q.S. Thaha 114) dan turunlah ayat, "Kaum lelaki menjadi pemimpin kaum wanita..." Dan dikeluarkan pula yang serupa dengan ini dari Ibnu Juraij dan Saddiy. Ibnu Murdawaih mengetengahkan juga dari Ali, katanya, "Seorang laki-laki Ansar datang kepada Nabi saw. dengan membawa istrinya, maka kata istrinya, 'Wahai Rasulullah! Dia ini memukul saya hingga berbekas pada wajah saya.' Jawab Rasulullah, 'Tidak boleh ia berbuat demikian', maka Allah swt. pun menurunkan ayat, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin kaum wanita...sampai akhir ayat.' (Q.S. An-Nisa 34) Maka hadis-hadis ini menjadi saksi, yang masing-masingnya menguatkan yang lainnya."
             [134] Bahwasanya Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma apabila mendapati salah seorang anggota keluarganya bermain dadu, beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu.
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1273. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad mauquf) Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, sebagaimana penuturan Syumaisah Al-’Atakiyyah: “Pernah disebutkan tentang pendidikan bagi anak yatim di sisi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, maka beliau pun berkata, ‘Sungguh, aku pernah memukul anak yatim yang ada dalam asuhanku hingga dia telungkup menangis di tanah.” HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 142, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad.  Akan tetapi, ada yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Orang tua tidak diperkenankan memukul wajah. Hal ini secara umum dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu: “Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.”HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612.
            [135] Para ulama mengatakan bahwa ini adalah larangan memukul wajah secara tegas. Karena wajah merupakan sesuatu yang lembut yang terkumpul padanya seluruh keindahan. Anggota-anggota tubuh yang ada di wajah demikian berharga, dan sebagian besar penginderaan seseorang diperoleh dengan anggota tubuh tersebut. Sehingga terkadang pukulan di wajah bisa menghilangkan atau mengurangi fungsi anggota tubuh itu, terkadang pula menjadikan wajah cacat. Sementara cacat di wajah itu sendiri demikian buruk karena nampak jelas dan tidak mungkin ditutupi. Dan pada umumnya pukulan di wajah itu tidak lepas dari kemungkinan timbulnya cacat. Termasuk pula dalam larangan ini seseorang yang memukul istri, anak, ataupun budaknya dalam rangka mendidik, hendaknya dia hindari wajah. (Syarh Shahih Muslim, 16/164) Hal lain yang perlu diperhatikan pula, pukulan pada si anak adalah semata-mata dalam rangka mendidik. Yang dimaksud dengan pukulan yang mendidik adalah pukulan yang tidak membahayakan. Sehingga tidak diperkenankan seorang ayah memukul anaknya dengan pukulan yang melukai, tidak boleh pula pukulan yang bertubi-tubi tanpa ada keperluan. Namun bila dibutuhkan, misalnya sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tua untuk memukul bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. (Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/123-124). Semua ini perlulah kiranya untuk diketahui oleh orang tua yang hendak mengarahkan anak-anak mereka, mengingat tanggung jawab yang dibebankan ke pundak mereka, manakala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan akan ditanyai tentang tanggung jawabnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanya tentang mereka. Seorang laki-laki adalah penanggung jawab atas keluarganya dan kelak dia akan ditanya tentang mereka. Seorang istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak suaminya, dan kelak akan ditanya. Seorang hamba sahaya adalah penanggung jawab harta tuannya dan kelak dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.”HR. Al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829
              [136] "Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka." (Dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa'u Ghalil, no. 247)  Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitab Al-Mughni (1/357): "Perintah dan pengajaran ini berlaku bagi anak-anak agar mereka terbiasa melakukan shalat dan tidak meninggalkannya ketika sudah baligh."  As-Subki berkata, "Wali bagi anak diwajibkan memerintahkan anaknya untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan memukulnya (apabila masih belum melaksanakan shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun.Kami tidak mengingkari wajibnya perintah terhadap perkara yang tidak wajib, atau memukul terhadap perkara yang tidak wajib. Jika kita boleh memukul binatang untuk mendidik mereka, apalagi terhadap anak? Hal itu semata-mata untuk kebaikannya dan agar dia terbiasa sebelum masuk usia balig." (Fatawa As-Subki, 1/379)


Maka anak kecil dan budak anak kecil diperintahkan untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan dipukul saat mereka berusia sepuluh tahun. Sebagaimana mereka juga diperintahkan untuk berpuasa Ramadan dan dimotivasi untuk melakukan segala kebaikan, seperti membaca Al-Quran, shalat sunah, haji dan umrah, memperbanyak membaca tasbih, tahlil, takbir dan tahmid serta melarang mereka dari semua bentuk kemaksiatan.
 Disyaratkan dalam masalah memukul anak yang tidak shalat yaitu pukulan yang tidak melukai, tidak membuat kulit luka, atau tidak membuat tulang atau gigi menjadi patah. Pukulan di bagian punggung atau pundak dan semacamnya. Hindari memukul wajah karena diharamkan memukul wajah berdasarkan larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Pukulan hendaknya tidak lebih dari sepuluh kali, tujuannya semata untuk pendidikan dan jangan perlihatkan pemberian hukuman kecuali jika dibutuhkan menjelaskan hal tersebut karena banyaknya penentangan anak-anak atau banyak yang melalaikan shalat, atau semacamnya. Dari Abu Burdah Al-Anshari, dia mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Seseorang tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud (hukuman tetap) dari Allah Ta'ala." (HR. al-Bukhari, no. 6456, Muslim, no. 3222)


Ibnu Qayim rahimahullah berkata,"Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, 'Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud' maksudnya dalam hal jinayat (pidana kriminal seperti mencuri, dll) yang merupakan hak Allah.
 Jika ada yang bertanya, "Kapan harus memukul di bawah sepuluh kali jika yang dimaksud hudud dalam hadits tersebut adalah jinayah?"Jawabannya adalah saat seorang suami memukul isterinya atau budaknya atau anaknya atau pegawainya dengan tujuan mendidik atau semacamnya. Maka ketika itu tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali. Ini merupakan kesimpulan terbaik dari hadits ini." (I'lamul Muwaqqi'in, 2/23)

Selayaknya hal tersebut dilakukan tidak di depan orang lain untuk melindungi kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain dari teman-temannya atau selainnya. Juga hendaknya diketahui bahwa dalam perjalanan hubungan bapak dengan anak-anaknya dan pengajarannya bahwa sang bapak memukul sang anak semata-mata bertujuan agar dia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya semata-mata untuk kebaikannya secara sempurna dan perhatiannya dalam mendidiknya sesuai ketentuan syari agar jangan sampai timbul perasaan benci sang anak terhadap perkara syar'i yang berat dia lakukan dan karena meninggalkannya dia dipukul.


Syaikh Ibn Baz  berkata, "Perhatikanlah keluarga dan jangan lalai dari mereka wahai hamba Allah. Hendaknya kalian bersungguh-sungguh untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera puteri kalian untuk melakukan shalat saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka saat berusia sepuluh tahun dengan pukulan yang ringan yang dapat mendorong mereka untuk taat kepada Allah dan membiasakan mereka menunaikan shalat pada waktunya agar mereka istiqomah di jalan Allah dan mengenal yang haq sebagaimana hal itu dijelaskan dari riwayat shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.(Majmu Fatawa Bin Baz, 6/46)
 Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan agar kita memerintahkan anak-anak kita melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, atau kita memukul mereka saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu mereka belum berusia balig. Tujuannya adalah agar mereka terbiasa melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka men-cintainya. Begitu pula dengan perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum balig, agar mereka tidak terbiasa dan akrab ketika sudah besar." (Fatawa Nurun ala Darb, 11/386) Beliau juga berkata, "Perintah ini bermakna wajib. Akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi tidak ber-manfaat pukulan tersebut. Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat. Kemudian, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan perbaikan bukan mencelakakan." (Liqo Al-Bab Al-Maftuh, 95/18)
          [137] Keterangan ayat tentang Hudud. (Perempuan yang berzina dan laki - laki berzina) kedua - duanya bukan muhshan atau orang yang terpelihara dari berzina disebabkan telah kawin. Hadd bgi pelaku zina muhshan adalah dirajam, menurut keterangan dari sunnah.(maka deralah tiap - tiap seorang dari keduanya seratus kali dera) yakni seratus kali pukulan.Jika dikatakan Jalahadu artinya ia memukul kulit seseorang; makna yang dimaksud adalah mendera. kemudian ditambahkan hukuman bagi pelaku zina yang bukan muhshan ini menurut keterangan dari Sunnah, yaitu harus diasingkan atau dibuang selama satu tahun penuh. bagi hamba sahaya hanya dikenakan hukuman separuh dari hukuman orang yang merdeka tadi. Lihat Mucktar Yahya, op.cit.,511

          [138] Ta'zir adalah jenis hukuman, bukan bentuk hukuman. Bentuk hukuman bisa dalam bentuk cambuk, rajam atau diasingkan. Tapi kalau kita bicara tentang jenis hukuman, maka jenis hukuman itu ada 2 macam, yaitu hukum hudud dan hukum ta'zir. Sedangkan bentuknya bisa saja cambuk, rajam atau lainnya. Beda Ta'zir dengan Hudud .Jadi padanan dari hukum ta'zir bukan cambuk, melainkan hukum hudud. Hukum hudud adalah hukum yang semua aturannya langsung ditetapkan Allah. Mulai dari batasan pelanggaran, pembuktian, syarat saksi hingga pada bentuk hukumannya. Semua ditetapkan Allah SWT bahkan nabi SAW tidak punya hak untuk mengubahnya.Contoh hudud adalah ketentuan memotong tangan pencuri. Allah secara langsung menetapkan hukuman buat pencuri. Bahkan ketika seorang wanita dari Bani Makhzum mencuri dan para shahabat berpandangan untuk meminta keringanan dari nabi untuk tidak dipotong tangannya, beliau SAW menolak keringanan itu seraya menjelaskan bahwa ketentuan potong tangan bukan wewenangnya. Hukum ta'zir adalah hukuman yang semua ketentuannya ditetapkan oleh hakim. Meski tetap mengacu kepada syariat dari Allah SWT juga. Namun khusus untuk hukuman ta'zir, hakim mendapatkan hak lebih besar untuk menentukan bentuk dan beratnya hukuman.Contohnya adalah hukuman buat pelaku zina yang kurang buktinya, misalnya tidak ada 4 orang saksi yang memenuhi syarat. Mereka ini tidak bisa dirajam meski melakukan zina, bila tidak ada saksinya. Tetapi karena jelas-jelas melakukan kemesuman, maka hakim berhak untuk menjatuhkan hukuman 'pelajaran' kepada mereka, misalnya dicambuk 10 kali. Hukuman ta'zir ini bukan untuk menghukum kasus zina, melainkan tindakan mesum yang boleh jadi belum memenuhi derajat zina.Maka salah satu peran hukuman ta'zir ini adalah agar para pelaku hukum hudud yang kurang syaratnya tidak lolos begitu saja. Maklumlah, kita tahu bahwa untuk menjatuhkan hukum hudud, diperlukan syarat yang sangat njelimet dan nyaris bisa-bisa semua tertuduh bebas.
              [139] Hukum Hudud telah sekian lama dipropagandakan oleh media-media barat dan musuh-musuh Islam agar masyarakat melihatnya sebagai ganas dan tidak sesuai diamalkan dalam zaman yang serba moden ini. Sedangkan Hukum Hudud dan undang-undang Islam lain yang Allah perintahkan dalam AlQuran untuk dilaksanakan adalah relevan sepanjang zaman hinggalah ke Hari Kiamat, dan ianya WAJIB untuk dilaksanakan. Hudud ialah satu cabang dari undang-undang jenayah Islam. Di dalam perundangan jenayah Islam terdapat tiga jenis hukuman iaitu Hudud, Qisas dan Ta'zir.Hudud ialah kesalahan jenayah yang melanggar hak-hak Allah iaitu melanggar batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah dan hukumannya adalah berdasarkan kepada nas, sama ada melalui AlQuran atau AlHadits. Ia meliputi keperluan menjaga agama, nyawa, akal, keturunan dan harta benda.
"Itu adalah Hudud (had-had) dari Allah,  barangsiapa ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, nescaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar." Surah An-Nisaa'
(4) : Ayat 13.

               [140] HR. Ad-Daruquthuni, Malik
               [141] HR. Bukhari, Muslim, Tirmizy, Abu Daud.
              [142] Sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tua untuk memukul bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. Dalam Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/123-124.
               [143] I'lamul Muwaqqi'in, 2/23
                [144] Fatawa Nurun ala Darb, 11/386. Lihat juga Majmu Fatawa Bin Baz, 6/46
                [145] Kitab Liqo Al-Bab Al-Maftuh, 95/18.
                [146] Jika dipukul bagian wajah, maka sang anak merasa terhinakan melebihi jika dipukul di bagian punggung. Karena itu, memukul wajah dilarang." Fatawa Nurun ala Darb ,13/2.
                [147] Ighatsatul Mustafid Bi Syarh Kitab Tauhid, 282-284
                [148] Tuhfatul Ahwadzi, 2/370
                     [149] HR. Abu Dawud
                   [150] Pada saat anak sudah masuk masa baligh maka hukuman pukulan tersebut tidak berlaku lagi, hukuman bagi mukallaf yang melakukan keharaman selain terkait hudud dan jinayat adalah hukuman ta'zir oleh khalifah, tidak boleh lagi dilakukan oleh orang tua. Jadi, hukuman pukulan oleh orang tua terhadap anak yang meninggalkan shalat ini hanya berlaku saat anak sudah memasuki usia 10 tahun hingga anak memasuki masa baligh.Abu A’la Al-Maududi, op.cit.,155
              [151] Kecintaan kepada istri, tanpa disadari banyak menggiring suami ke bibir jurang petaka. Betapa banyak suami yang memusuhi orang tuanya demi membela istrinya. Betapa banyak suami yang berani menyeberangi batasan-batasan syariat karena terlalu menuruti keinginan istri. Malangnya, setelah hubungan kekerabatan berantakan, karir hancur, harta tak ada lagi yang tersisa, banyak suami yang belum juga menyadari kesalahannya. Ummu Ishaq Al-Atsariyyah) Majalah AsySyariah Edisi 027
             [152] Walaupun tidak menutup kemungkinan sudah ada pesantren yang tidak menggunakan sistem tersebut, atau paling tidak sudah mengganti bentuk hukumannya dengan hukuman yang lebih mendidik, akan tetapi dari data yang ada pesantren yang menggunakan cara itu masih banyak. QS. An-Nisa [4]: 34)
             [153] Tafsir Ibn Katsir, 2/295
               [154] HR. Dawud
                [155] HR. Ath-Thabrni
               [156] Kepala anak-anak yang dicukur dengan acak-acakan, setelah itu tubuh mereka basah kuyup dengan bau yang tidak sedap. Mereka disiram air comberan. Tak cukup sampai disitu, mereka masih harus berdiri semalaman. “Ritual” itu harus mereka jalankan untuk “menebus” kesalahan yang mereka perbuat. Itulah  sedikit menggambarkan bagaimana para santri menjadi “korban” dari sebuah sistem, sebuah tradisi, yang sampai sekarang masih banyak terjadi di kalangan beberapa pondok pesantren. Tradisi itu adalah ta’zir.
               [157] Walaupun tidak menutup kemungkinan sudah ada pesantren yang tidak menggunakan sistem tersebut, atau paling tidak sudah mengganti bentuk hukumannya dengan hukuman yang lebih mendidik, akan tetapi dari data yang ada pesantren yang menggunakan cara itu masih banyak.
            [158] Di zaman yang sudah berubah ini tentu ta’zir-an bukan cara utama untuk mendidik santri saat ini, berbeda dengan santri-santri yang dahulu, jika santri dahulu dita’zir maka santri tersebut bisa menerima dengan ikhlas. karena sadar memang perbuatannya itu salah dan si penta’zir dahulu memang benar-benar adil tanpa pilih kasih.
             [160] Anak sekolah membolos? apa hukumanya? kalau di negeri kita paling banter pemanggilan orang tua murid ke sekolah dan diberi pengarahan, ujung-ujungnya paling parah adalah skors. Tapi di Inggris, murid membolos sekolah orang tua dipenjara. Sudah lebih dari 11.000 orang tua di Inggris mendapatkan sanksi karena membiarkan anak mereka bolos sekolah. Hukum ini diberlakukan oleh pemerintah Inggris bahkan pemerintah setempat masih menganggap hukum ini terlalu ringan, lebih fantastis lagi mereka akan memperketat peraturan tentang bolos sekolah ini, seperti yang dikutip dari vivanews.com. Dilansir laman The Guardian, Selasa 8 November 2011, terdapat 11.757 orang tua yang dihukum karena ketidakhadiran anak mereka di sekolah. Angka ini meningkat dari tahun lalu di mana 11.188 orangtua dijatuhi sanksi serupa.Sebanyak 25 orangtua di antaranya dihukum penjara, dengan vonis terlama 90 hari. Sejumlah 9.000 orang divonis bersalah dan dua pertiga di antaranya dijatuhi denda. Denda maksimal untuk kejahatan ini adalah 850 poundsterling atau sekitar Rp12 juta. Lebih dari 400 orangtua mendapatkan hukuman kerja sosial, dan 53 lainnya ditangguhkan hukumannya.Jumlah orangtua yang dihukum akibat anak yang membolos di Inggris dari tahun ke tahun bertambah jumlahnya. Pada tahun 2005, tercatat hanya 4.000 orangtua yang dihukum. Jumlah orangtua yang dipenjara konstan, sekitar 15 hingga 20-an.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook