Tuesday, June 25, 2013

GURU TIDAK MUNGKIN MENGHUKUM MURID YANG BAIK



GURU TIDAK MUNGKIN MENGHUKUM MURID YANG BAIK

KATA PENGANTAR

       Tulisan ini awalnya untuk disertasi di S3 UIN Suska Riau di Pekanbaru. Kenyataannya bukan hanya untuk itu,karena begitu banyaknya permintaan seminar tentang perlindungan nasib guru yang dianggap melakukan kekerasan, padahal hanya memberikan hukuman disipilin, sekedarnya saja. Sesuai dengan profesi penulis sebagai widyaiswara pendidikan, masalah punishmen ini, selalu mengmuka, dan tidak pernah lenyap. Akhirnya disertasi itu penulis penggal-penggal menjadi buku kecil seperti ini. Semoga bermanfaat.


PEMBAHASAN

      Tindakan guru menghukum anak didik, tidak salah mutalk, masih wajar, selagi tidak  menimbulkan bekas atau memar. Guru memegang prinsip: yang salah harus dihukum. Tidak mungkin guru menghukum murid yang baik. Dengan hukuman, anak disadarkan. UU Perlindungan Anak dapat membuat anak tidak menemukan kesalahan dirinya. Dia merasa  benar. Buktinya, dia dibela dan sang guru dihukum. Konsep benar-salah menjadi hilang. Derita Guru: Sebuah Dilema Pendidikan. Keberadaan UU Perlindungan Anak ini, menurut penulis menjadi sebuah penderitaan guru. Mereka dihadapkan pada  masalah dilematis dalam proses pendidikan dan pembinaan anak muridnya. Situasi mereka berhadapan dengan UU Perlindungan Anak. Demi pembinaan dan penegakan disiplin kepada siswa, ada guru yang terpaksa menampar siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan pada jerat hukum. Maksud baik  guru justru berakibat buruk. Padahal  menyadarkan murid. Di antara cara penyadaran adalah “tempeleng”, walaupun bisa pakai cara lain yang tanpa kekerasan. UU Perlindungan Anak tidak membolehkan memakai cara kekerasan, padahal cara itu bisa menjadi sarana paling efektif. Tingkat penyadarannya lebih kuat dibandingkan menegur dan menasehati. Tempeleng  hanya sekali, bisa merupakan bentuk shock therapy.

               Menurut penulis UU Perlindungan Anak menjadi penderitaan para guru di sekolah. Mereka tidak berani bertindak tegas kepada murid karena takut terkena sanksi dari UU Perlindungan Anak. Bayangkan saja, terkena pasal 80 ayat (1)  merupakan penderitaan yang amat sangat bagi guru yang berpenghasilan pas-pasan. Ada guru masuk penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan terus,  tidak akan jadi masalah serius. Tetap mengajar dengan ganti rugi sebesar 72 juta rupiah, jelas akan memberatkan keluarganya.
              Di sebuah sekolah menengah pertama, ada siswa sedang berkelahi,  lalu datang guru melerai. Tapi disambut dengan caci maki oleh  siswa yang berkelahi, karena tidak terima perkelahiannya dipisahkan. Guru juga masih muda, demi harga diri yang diinjak murid, guru  menampar siswa. Sang guru dilaporkan ke polisi, beberapa hari di penjara. Akhirnya dibebaskan dengan tebusan.

              Apa yang terjadi setelah peristiwa itu? Para guru lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak berani menegur. Terjadi  pembiaran. Ketika guru bertindak tegas, anak dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah mengejek gurunya bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa karena takut dengan UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak merusak dunia pendidikan. Tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan anak untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para guru.Inilah bagian dari kritik penulis terhadap UU Perlindungan anak. Anak bisa benar menurut hukum tapi salah total menurut etika dan akhlaqul karimah.

              Menurut penulis, hukuman dari guru, bukan penganiayaan, ada  kekeliruan dalam UU Perlindungan Anak, berkaitan dengan kata “penganiayaan” dan kekerasan. Kategori penganiayaan adalah kekerasan yang bertubi-tubi, mirip dengan penyiksaan. Memukul atau menempeleng berkali-kali, sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma sekali, bukan penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan, seperti kasus IPDN, penganiayaan memang kejam, karena bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang berkali-kali. Karena itu ada yang cacat dan bahkan sampai tewas.
               Penulis  tidak setuju jika guru menempeleng, satu kali saja masuk kategori kekejaman (pasal 13 ayat 1) tidak manusiawi (pasal 16 ayat 1). Dalam kasus-kasus penganiayaan  di sekolah, dilakukan oknum guru sebenarnya tidak masuk kategori kekerasan, yang bukan kekejaman, penganiayaan yang tidak manusiawi.Yang menjadi persoalan, haruskah kekerasan itu dihukum, jika bertujuan baik,  menyadarkan murid akan kesalahannya. Untuk bisa sadar,  sering menyakitkan. Tapi itulah shock therapy. Harus juga diperhatikan kewajiban anak. Dalam UU Perlindungan Anak, khususnya soal hak dan kewajiban anak dan pasal lain yang berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja (pasal 19). bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini:
Setiap anak berkewajiban untuk :
1. menghormati orang tua, wali, dan guru;
2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

          Jika anak tidak melaksanakan kewajibannya, sanksi apa yang dapat diberikan UU RI no.23 th 2002? Tidak ditemukan  hal ini. Penegak hukum hanya  melihat hak anak, mengabaikan hak guru. Kasus ini punya daya tarik bagi polisi dan pengacara? Tidak ada pembicaraan bagaimana kewajiban anak? Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak?
          Kasus anak SD yang mengganggu temannya yang sedang latihan, berarti tidak melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19) UU Perlindungan Anak. Kasus SMK, siswa tidak melaksanakan kewajiban no. 3 dan 5. Guru punya wewenang melaporkan siswa  ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut? Hak dan kewajiban mesti seimbang. Orang tidak bisa menuntut hak tanpa melaksanakan kewajibannya, karena  berkaitan dengan UU Perlindungan Anak. Kritik penulis ialah perlu  ditinjau soal keseimbangan hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri. Jangan hanya membebani kesalahan pada guru.

              KPAI, menggunakan dasar UU No. 23 Tahun 2009, bahwa definisi anak pada Pasal 1  adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.  Artinya, sebelum berusia 18 tahun, anak tidak boleh dijatuhi sanksi pidana dengan pemenjaraan. Terlepas dari pro kontra yang terjadi, ada suatu pandangan tentang fenomena kejahatan anak yang menarik untuk dikaji.  Pandangan ini memberikan solusi yang tuntas terhadap permasalahan kejahatan anak, yang secara otomatis akan menghentikan kontroversi hukuman pidana pada anak.  Pandangan tersebut adalah pandangan hukum Islam.
               Kejahatan dengan pelaku anak-anak didominasi oleh tindak pencurian, Disusul kemudian kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pencabulan, dan pembunuhan(kapanlagi.com). Sebagian pihak menuding bahwa penyebab dari kejahatan anak ini adalah kemiskinan dan kerusakan moral di kalangan anak. Tidak dapat dimungkiri bahwa kemiskinan dan kerusakan moral menjadi pemicu munculnya banyak kejahatan anak.  Namun perlu kita pahami bahwa kemiskinan dan kerusakan moral hanya merupakan fakta  akibat. Selama kita hanya terpaku pada fakta dan memecahkan berdasar fakta, maka penyelesaian yang kita dapat hanya penyelesaian yang bersifat parsial dan tambal sulam.  Untuk mendapat pemecahan yang tuntas, kita harus menengok lebih dalam, mengapa ada kemiskinan dan kerusakan moral?
             Kemiskinan dan kerusakan moral adalah hal yang pasti muncul dalam penerapan sistem kapitalis-liberal yang dianut Indonesia.  Sistem kapitalis ditandai dengan menyerahkan pengelolaan kekayaan sumberdaya alam dan distribusinya kepada individu.  Individu yang mampu memiliki akses terhadap sumberdaya akan terpenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan yang tidak memiliki akses tidak akan mampu memenuhinya.  Sistem ini menciptakan kesenjangan yang lebar antara pemilik akses dengan yang tidak memilikinya.  Maka muncullah kemudian kemiskinan yang tersistematis, diikuti dengan kecemburuan sosial yang besar karena pameran kekayaan dijadikan komoditas di berbagai media massa.
              Kapitalisme umumnya disertai “saudara kembarnya,” liberalism dan sekulerisme.  Pemisahan agama dari kehidupan akan mencabut nilai-nilai moral.  Ditambah dengan paham kebebasan bertingkah laku, mengakibatkan norma-norma agama semakin terpinggirkan.  Padahal, kekuatan ruhiyah yang lahir dari pemahaman terhadap agama adalah satu-satunya motor penggerak penerapan moral.  Maka memberikan pendidikan moral budi pekerti tanpa membangkitkan kekuatan ruhiyah, sama saja seperti kita mendorong mobil yang rusak.  Lelah tanpa hasil.
              Dengan mencermati akar permasalahannya, dapat katakan bahwa munculnya kejahatan anak-anak adalah akibat kesalahan dalam memilih sistem yang diterapkan.  Anak hanya menjadi korban. Penulis tidak setuju dengan defini anak dalam UU No. 23 tahun 2002 yang menyatakan, bahwa anak-anak ialah yang belum berumur 18 tahun. Pendefinisian anak yang tidak tepat memiliki implikasi terhadap cara pandang hukum kepada anak yang nantinya ikut andil juga dalam memunculkan kejahatan anak-anak.

            Hukum Islam mendefinisikan anak adalah mereka yang belum mencapai masa baligh.  Huzaemah T.Yanggo, MA dalam bukunya Fiqih Anak, mengatakan bahwa al-bulugh adalah habisnya masa kanak-kanak.  Pada laki-laki, baligh ditandai dengan bermimpi (al ihtilam), dan perempuan ditandai dengan haid.  Rasulullah saw bersabda bahwa  pena -pencatat amal- itu diangkat  dari orang yang tidur sampai ia bangun,  anak kecil sampai ia dewasa (yahtalima), orang gila sampai ia sadar.” [1] Kata yahtalima adalah orang yang sudah bermimpi (al-ihtilam).  Maka dipahami bahwa anak yang sudah baligh telah menerima beban taklif, yaitu menjalankan hukum syara’, dan dihisab sebagai implikasi dari pembebanan tersebut.  Ini berarti pada saat baligh, anak dianggap telah dewasa dan dapat diperlakukan sebagai manusia dewasa di hadapan hukum.
          Dengan pemahaman dewasa adalah saat baligh, anak harus dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, sehingga siap untuk menjadi manusia dewasa yang sanggup mempertanggungjawabkan perbuatannya saat baligh.  Ini berbeda dengan pandangan yang ada saat ini yang menganggap anak dewasa bila sudah menginjak usia 18 tahun.  Pandangan ini membuat kontradiksi pada diri anak, di satu sisi saat ia baligh, hormon-hormon dan alat reproduksinya sudah matang, sehingga secara biologis ia dewasa, namun ia tetap diperlakukan seperti anak-anak dan tidak mendapat pembekalan bagaimana bertanggungjawab dengan kondisi balighnya tersebut, sehingga secara akal pikiran, ia masih jauh dari matang.  Kondisi ini membuat anak cenderung mudah terjerumus dalam dunia kejahatan.
           Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan anak.  Ini tercermin dari banyaknya hadist-hadist yang memerintahkan mendidik anak secara rinci.  Pendidikan anak dimulai dari pendidikan di dalam rumah oleh orangtua, pembentukan lingkungan yang kondusif oleh masyarakat dan didukung oleh aturan-aturan negara yang menjamin anak memperoleh pendidikan berkualitas dengan mudah. Islam juga menciptakan suasana kondusif yang mendukung pendidikan anak.  Islam mewajibkan orangtua memberikan nafkah pada anak sehingga anak tidak harus menanggung beban hidup keluarga.  Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja agar orangtua dapat mencari nafkah untuk anak.
               Islam mewajibkan negara untuk menjamin kehidupan yang bersih dari berbagai kemungkinan berbuat dosa.  Negara menjaga agama, menjaga moral dan menghilangkan setiap hal yang dapat merusaknya seperti peredaran minuman keras, narkoba, pornografi. Dengan menerapkan sistem Islam secara sempurna, kejahatan anak akan dapat dihilangkan.  Yang tumbuh adalah anak-anak berkualitas, yang akan menjaga eksistensi umat umat terbaik. Anak adalah amanah Allah QS. An-Nisa’ (4):58 yang  menyatakan bahwa  Allah mewajibkan manusia, menyampaikan amanah dan berkewajiban berlaku adil. Maksudnya Allah SWT.,menerangkan bahwa melaksanakan amanat dan tanggung jawab adalah perintah Allah kepada seluruh hamba-Nya, termasuk yang diperintahkan juga adalah menghukum dengan adil antara semua manusia dan Allah adalah sebaik-baik pemberi pengajaran akan keadilan. Maka hendaklah orang beriman menjadikan keadilan Allah sebagai standar, bukan yang lainnya di dalam melaksanakan hukum, sementara Allah tetap mengawasi dan memperhatikan bagaimana  melaksanakan perintahNya, firman Allah: “Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.
            Yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas yang telah dipercayakan kepada manusia sebagai khalifah. Termasuk menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkan keputusan dengan adil dengan berpegang teguh kepada kitab Allah dan sunnah Rasul.  Dalam cakupan yang lebih luas, kata amanat bisa berarti kesanggupan melaksanakan dan menegakkan dien, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Ahzab:72, yang berbicara mengenai pemberian amanat kepada orang yang memang layak untuk menerima amanat tersebut dan juga ayat tersebut memberikan penekanan terhadap pentingnya penegakan hukum dalam satu kalangan masyarakat.[2] Hal ini menjadi satu bagian penting dalam pembahasan kemaslahatan yang hendak dicapai dalam suatu lingkungan masyarakat.[3]
              Mengenai keadilan[4], ada  dua macam, pertama  distributive dan kedua commutative. Keadilan distributive memberikan gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya masing-masing, dengan kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan secara umum. Tapi keadilan commutative memberikan keadilan secara umum kepada siapa saja. Salah satu prinsip keadilan yang merupakan bagian dari kemaskahatan menajdi satu teori yang dianut oleh Islam dalam menentukan kebijakan hukum Islam, bahwa Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Salah satu contoh lain dijelaskan dalam kitab al -asybah wa al- nadhair. Syekh Imam Jalaluddin Abdurrrahman bin Abi Bakr As- Suyuti mengungkapkan contoh yang sederhana, bahwa dalam suatu negara apabila ada keinginan untuk menghilangkan tentara dalam anggaran program kenegaraan dengan alasan yang dibolehkan maka hal itu diperbolehkan, tetapi kalau sekiranya alasan yang akan digunakan sebagai landasan peniadaan hal tesebut tidak diperbolehkan atau bahkan tidak dalam kategori penting dan dharurat maka peniadaan tersebut tidak diperbolehkan. Kemudian contoh yang lain adalah soal pembagian zakat, seorang imam atau pemimpin yang masih dalam keadaan mampu tidak boleh mengutamakan dirinya dalam menerima zakat dari pada rakyat yang notabene lebih memutuhkan.[5]
              Dalam konteks kontemporer, kaidah tersebut tentunya tidak boleh terlepas dari jiwa seorang pemimpin. Oleh karena itulah setiap kebijakan yang mengandung manfaat dan maslahat bagi rakyat maka itulah yang direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/ dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya kebojakan yang mendatangkan mudharat dan mafsadah bagi rakyat, itlah yang harus disingkirkan dan dijauhi. Dalam upaya-upaya pemabangunan misalnya, membuat irigasi untuk petani, membuka laangan kerja yang padat karya, melindungi hutan lindung, menjaga ligkungan, mengangkat pegawai yang benar-benar amanah dan professional dan lain sebagainya.[6]
            Dalam mendukung kaidah tersebut, tentu diperlukan kaidah pelengkap yang bisa mendukung dan sejalan dalam pemaknaan terhadap kaidah tersebut. Diantara kaidah-kaidah yang diperkukan untuk mendukung kaidah tersebut adalah kaidah yang berbunyi; ikhtiyarul amstal fal amtsal (memilih yang representative dan lebih representative lagi). Kaidah ini memberikan gambaran kepada sikap yang harus diambil dan diimplementasikan oleh seorang pemimpin dalam membuat sebuah kebijakan, yaitu harus dilakukan dan dipilih mana yang representative untuk bisa dilaksanakan terlebih dahulu. Artinya kebutuhan masyarakat yang  banyak, mana yang lebih representatif untuk dilaksanakan dan diprioritaskan.
           Di samping mengenai substansi yang hendak dicapai dari sebuah kemaslahatan yang ada, maka pada dasarnya terdapat faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap itercapainya sebuah maslahat. Di antaranya adalah factor mekanisme system kekuasaan dan jalannya pemerintahan yang sistematis. Dalam fiqh siyasah, terdapat pembagian kekuasaan sejak zaman kekhalifahan.[7] Pembagian kekuasaan itu terus berkembang maka kemudian muncul berbagai lembaga kekuasaan dalam sebuah Negara. Ada khalifah (presiden)sebagai lembaga kekuasaan eksekutif (al- hai’ah al- tanfidhiyyah), dan lembaga legislative atau alh al- halli wa al- aqdi (al- hai’ah al- tasyri’iyah) dan lembaga yudikatif (al- hai’ah al- qadhaiyyah), bahkan lembaga pengawasan (al -hai’ah al- muraqabah).
             Mengenai permasalahan ini, dalam hukum Islam terdapat kaidah yang  menyatakan:  al wilayah al khassah aqwa min al wilayah al ‘ammah (kekuasaan yang lebih khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada kekuasaan umum). Maksud kaidah tersebut adalah bahwa lembaga-lembaga  khusus lebih kuat kekuasaannya daripada lembaga-lembaga  umum, misalnya, camat lebih kuat kekuasaanya dalam wilayahnya daripada gubernur , wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anak-anaknya dari pada pengadilan agama dan seterusnya. Pada intinya dalam kaidah inti ini, segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum, harus dicarikan solusi terbaiknya demi kemaslahatan. Solusi terbaik yang dapat ditawarkan bisa meliputi substansi dari permasalahan yang sedang dibahas dan mekanisme dalam pelaksanaannya. Dalam sebuah system hukum,  ada hukum formil dan hukum materiil yang tidak boleh lepas. Kemudian pertanyaannya adalah, maslahat yang seperti apa yang mengikat seorang pemimpin untuk selalu memasukkan konsep tersebut dalam pertimbangan utama, dalam mengambil setiap kebijakan?
9.6. Analisis Konsep Mashlahah
              Perlunya, analisis konsep maslahat ,menurut beberapa pandangan dan konsep mengenai maslahat yang ada sebenarnya telah disampaikan oleh banyak dari kalangan para pakar di bidangnya, tetapi karena batasan yang ada, maka dalam disertasi ini,  kajian  difokuskan pada salah satu konsep atau teori tentang maslahat yang disampaikan dan dikemukakan oleh Najmuddin At- Tufi. Diantara beberapa pandangan beliau tentang konsep maslahat adalah:
9.6.1. Pengertian Mashlahat
Dalam pandangan at-Tufi bahasan lafadz maslahat berdasarkan wazan maf'alatun dari kata shalah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat agar dapat digunakan untuk menulis. Pedang dibuat untuk memenggal. Sedangkan definisi maslahat adalah sarana yng menyebabkan adanya  manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian   Tasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyah Manutun Bi al- Maslahah. Masalahat, berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat. Kemudian, maslahat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan kehendak syari', yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat.[8]
9.6.2. Berlakunya Mashlahat
             Mengenai lapangan hukum mu'amalat dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah maslahat. Maslahat dan dalil-dalil syari'at lainnya, terkadang senada dan terkadang bertentangan. Jika senada, memang hal itu baik seperti senadanya antara nash, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum dharury yang berjumlah lima. Hukum-hukum kulli yang dharuri itu ialah dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya orang yang murtad, pencuri dipotong tangannya, peminum dihukum dera dan orang yang menuduh orang baik berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd, dan contoh-contoh lain yang serupa dalam hal dalil-dalil syari'at senada dengan maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentangan, jika ada kemungkinan dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas, ijma' dan maslahat. Misalnya, jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat, lakukanlah antara dalil dan maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya, tidak boleh mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar-benar hakiki. Jika ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah maslahat atas dalil-dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, la darara wa la dirara. Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan mudarat untuk memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at, sehingga wajib didahulukan. Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya sebagai sarana. Jadi, tujuan harus didahulukan daripada sarana.
           At-Tufi menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah yang berkaitan dengan mu'amalat dan yang sejenisnya, bukan pada masalah yang berhubungan dengan ibadat atau yang serupa, karena, masalah ibadat hanya hak Syari'. Tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Misalnya, pembantu tidak akan dikatakan sebagai seorang yang taat jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh tuannya, atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof  telah mulai mempertuhankan akal, dan mulai menolak syari'at,  tentulah Allah amat murka terhadap mereka. Mereka tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan.[9]

Apakah hukuman fisik bagi anak-anak,[10] mengandung kemaslahatan, dan membawa manfaat bagi kehidupan remaja, sedangkan mafsadah mengakibatkan mudharat bagi kehidupan.[11] Apa yang disebut dengan maslahat, perlu mendapat kriteria dan batasan-batasan tertentu sehingga keberadaan maslahat tidak dijadikan sebagai satu “tempat berlindung” untuk bisa melegalisasi permasalahan-permaslahan yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori maslahat. Menurut jumhur ulama’, untuk kriteria maslahat apabila dilihat akan muncul sebagai beikut:
1. Kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al- syari’ah, dalil-dalil kulli, (general dari Al Qur’an dan Al- Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah kulliyah hukum Islam.
2. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat, hinga tidak meragukan lagi.
3. Kemaslahatan itu harus memberi kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan sebagian masyarakat kecil.
4. Kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat dilaksanakan dan pilih yang terbaik di antara yang baik.[12]
a.Kemaslahat dan batasannya
Para ahli ushul fiqh membagi maslahat menjadi tiga macam, yaitu: maslahah mu'tabarah, maslahah mulghah dan maslahah mursalah. Maslahah mu'tabarah adalah maslahat yang terdapat pada hukum yang ditetapkan oleh nash, seperti maslahat pada hukum qishash. Hukum ini ditetapkan oleh QS. Al-Baqarah ayat 178 dan 179. Hikmah dari maslahat yang ditimbulkan oleh qishash ialah melestarikan hidup manusia. Begitu juga maslahat yang terdapat pada hukum potong tangan pencuri dan maslahat yang ada pada hukum Had al-qadzaf (hukuman seseorang yang menuduh berzina).
Semua maslahat ini telah diterangkan dalam Nash Al-Qur'an. Jadi, memotong tangan pencuri itu sendiri merupakan maslahat dan ia disebut maslahat mu'tabarah karena maslahat itu bersumber dari syariah. Sedangkan maslahah mulghah adalah maslahat yang dianggap invalid oleh syariah atau dengan kata lain bahwa maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya diingkari oleh syariah, seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina, secara material bisa disebut maslahah tetapi ia dibatalkan oleh sya-riah melalui nash-nash yang ada. Demikian juga maslahat riba, minum arak dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui kapan suatu maslahat itu dianggap valid (mu'tabarah) dan bisa dijadikan landasan suatu hukum, ada lima syarat atau batasan yang bisa dijadikan titik tolak. Kelima syarat tersebut ialah:
1. Maslahat tidak bertentangan dengan maqasid syariah.
2. Maslahat tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.
3. Maslahah tidak bertentangan hadits Nabi.
4. Maslahat tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).
5. Maslahat tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang lebih penting atau maslahat yang sejajar dengannya.
Kelima syarat ini merupakan batasan atau standar yang digunakan untuk membedakan antara maslahah mu'tabarah (yang dapat dijadikan dasar hukum) dan maslahah mulghah (yang tidak dapat dijadikan dasar hukum).(7 Seorang mujtahid harus benar-benar menguasai dan mendalami batasan-batasan di atas. Dan di sinilah tingkat kejeniusan seorang mujtahid diuji. Peta penguasaannya terhadap nash dapat diukur dari sejauh mana ia bisa menggunakan batasan-batasan itu dalam beristinbath sebagaimana mestinya.
Kesimpulan para ahli ushul fiqh yang mengatakan bahwa setiap hukum pasti akan berujung pada suatu maslahat.[13] Hukum  tidak pernah lepas dari maslahat, tetapi maslahat tidaklah merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri. Kedudukan maslahat tidak seperti kedudukan Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyah, ijma’ dan qiyas sebagai dalil mustaqil (berdiri sendiri). Mengapa? Karena maslahat pada dasarnya hanyalah merupakan makna umum yang secara implisit berada di balik hukum-hukum juz’iy (parsial). Sementara hukum-hukum juz’iy itu sendiri tidak akan ada tanpa melalui proses istinbath.
9.6.3. Masalahat dalam kaidah fiqih dalam realitas
  Bertitik tolak dari pernyataan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan,  menimbulkan persoalan tentang hubungan nash Al-quran atau Sunnah Rasul dengan maslahat merupakan salah satu permasalahan yang pelik dan penting. Ijtihad atas dasar maslahat sebagai tujuan hukum Islam sering memungkinkan tidak diterapkannya ketentuan nas menurut apa adanya, tetapi diterapkan dengan cara lain atau bahkan tidak diterapkan sama sekali.
Untuk pengembangan maslahat dalam legislasi Indonesia kontemporer erat kaitannya dengan pengembangan budaya hukum Islam. Dalam pengembangan budaya hukum Islam di Indonesia kaum muslimin dihadapkan pada kemungkinan, yaitu hukum positif Islam yang terbatas pada mempermasalahkan hukum yang berlaku bagi kaum muslimin, dan nilai-nilai hukum Islam, yang akan berlaku bagi seluruh warga negara, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan warga negara). Kedua alternatif tersebut akan mempengaruhi pembentukan hukum nasional pada masa yang akan datang.
Bertolak dari kerangka pemikiran bahwa hukum positif Islam pada masa mendatang adalah hukum yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam dan dihubungkan pula dengan teori peringkatan hukum, maslahat dalam hukum Islam dapat diterjemahkan sebagai maslahat rakyat dalam segala aspeknya, mencakup bidang yang begitu luas, seperti ekonomi, hukum, politik dan sebagainya (mu'amalah). Dan maslahat menempati posisi sebagai nilai-nilai Islam (norma hukum) yang abstrak atau cita-cita hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi asas-asas, peraturan (perundang-undangan) atau bentuk legislasi lainnya sebagai norma antara yang merupakan kreativitas ijtihad yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, budaya dan kurun waktu. Semua hasil penerapan dan penegakan norma antara tersebut menjadi hukum positif yang merupakan norma konkret (living law) masyarakat.
Apabila formulasi dan aplikasi suatu peraturan perundang-undangan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, politik, hukum (norma antara) mampu mewujudkan maslahat rakyat banyak dalam arti sebenarnya dan dapat pula merekayasa tercapainya cita-cita kehidupan rakyat banyak, berarti aturan-aturan tersebut masih mungkin dan dapat dipertahankan. Akan tetapi, jika sebaliknya, justru formulasi dan aplikasi berbagai peraturan perundang-undangan dalam berbagai lapangan kehidupan rakyat banyak itu tidak mampu lagi menampung aspirasi kerakyatan dikarenakan adanya faktor perubahan situasi dan kondisi, perlu diganti dengan aturan-aturan yang baru yang betul-betul aspiratif. Dengan demikian, maslahat rakyat merupakan cita-cita atau tujuan yang hendak diwujudkan, sedangkan peraturan-peraturan undang-undang merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita kerakyatan. Oleh karena itu efektivitas suatu sarana dapat dipantau oleh masyarakat. Dalam kaitan ini, yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai Islam dapat terpatri dalam kehidupan bernegara, masyarakat, bangsa, keluarga dan individu, kemudian mengakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat egalitarian, jauh dari eksploitasi manusia atas manusia lain maupun eksploitasi golongan atas golongan lain. Dengan kata lain, hukum Islam tidak dalam norma, melainkan dalam substansinya.
Maslahat menjadi syarat utama dalam pengambilan setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa atau pemimpin. Maslahat yang bisa dikategorikan sebagai landasan dalam pengambilan hukum mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi, di antara syarat-syarat tersebut dikemukakan oleh MUI dan jumhur ulama’ sendiri. Di antara konsep maslahat yang banyak dipakai adalah konsep yang digagas dari Najmuddin At- tufi. Dalam pemikirannya,  berpendirian bahwa mashlahat adalah tujuan penetapan hukum Islam dalam lapangan mu'amalah, apabila penerapan nash atau ijma' sesuai dengan bunyi tekstualnya bertentangan dengan maslahat dan tidak dapat dikompromikan. Maslahat hendaklah lebih diutamakan daripada dalil-dalil syara' lainnya.
Maslahat merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai tujuan, karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Dalam perspektif pembaruan (reaktualisasi) hukum Islam dalam bidang mu'amalah dewasa ini, maslahat tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan konsep maslahat tersebut sebagai substansi yang disarikan dari Alquran dan hadits serta dapat dipertanggungjawabkan secara keagamaan. Konsep tersebut memberikan jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalah umat Islam,seperti kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain-lain, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat umum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi kehidupan manusia sebagai praktisi hukum.
9.6.4.Analisis Saddu al-dzari’ah
            Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah. Metode sadd al-dzari’ah merupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.      
          Menurut penulis UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga memuat pasal-pasal yang sejalan dengan Sadd al-Zari’ah, karena  merupakan upaya melindungi anak Indonesia dari perlakuan yang sewenang-wenang. Namun, eksistensinya seringkali dijadikan “alat” untuk menjustifikasi kesalahan anak. Kondisi ini berdampak semakin sulitnya guru melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan, terutama membina kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji. Bila dalam pendidikan dikenal pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (funishment), sebagai salah satu alat pendidikan, maka dengan adanya UU Perlindungan Anak dan KPAI, seakan dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan proses pendidikan. Padahal, eksistensi reward dan funishment sangat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan.
             Adanya KPAI dan UU Perlindungan Anak secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan terhadap peserta didik. Padahal, sebagai seorang pendidik, guru/dosen memiliki otoritas akademik di dalam kelas untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan. Di sisi lain, seringkali terlupakan adalah alasan hukuman yang dilakukan guru. Untuk itu, perlu dilakukan uji materi (judicial review) terhadap UU. Perlindungan Anak, khususnya pasal 80, 81, dan 82. Sebab, belum tentu tindakan guru murni kesalahannya, akan tetapi akibat kesalahan yang dilakukan peserta didiknya.
             Perlakuan  terhadap guru, sebagai tenaga pendidik, mereka seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi dan perlakukan masyarakat. Mereka dituntut untuk mampu menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Namun tatkala mereka berupaya untuk menegakkan kedisplinan, mereka dihadang oleh UU Perlindungan Anak dan KPAI. Jika mereka gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal menghantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan, kembali pendidik akan menjadi kambing hitam dan tumbal atas kegagalan tersebut.
            Tatkala guru ingin melakukan hukuman terhadap muridnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan, maka secara sepontan orang tua dan masyarakat mengkategorikannya sebagai tindakan melanggar HAM dan UU Perlindungan Anak. Mereka kemudian melaporkan tindakan guru tersebut kepada polisi atau kepada KPAID. Dengan kekuatan tersebut, acapkali guru tidak mendapatkan perlindungan terhadap profesinya. Akibat adanya KPAID dan UU Perlindungan Anak, eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah.[14]
             Urgensi UU Guru dan Dosen, secara yuridis, UU Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU No 14/2005. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.Adapun maksud perlindungan profesi yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang guru dan dosen adalah perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya.
                Eksistensi UU No 14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya. Implementasi terhadap UU tersebut masih belum terlaksana. UU tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas peningkatan kesejahteraan guru/dosen, sementara perlindungan terhadap profesi guru/dosen seringkali lepas dari perhatian. Jalan tengah perlu diciptakan. Ahli hukum, tidak  mungkin, menutup mata terhadap tindakan oknum guru yang kurang mendidik dengan memberikan hukuman di luar nilai pendidikan. Mereka bisa saja, meletakkan peserta didiknya sebagai “penjahat” yang harus “dihabisi,” bukan sosok yang perlu dibimbing dan diperbaiki. Demikian pula sikap orang tua yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru. Mereka terlalu banyak menuntut guru agar dapat mengantarkan peserta didik sebagai masyarakat terdidik, namun tidak seiring dengan kenyamanan dan perlindungan yang diberikan.
            Menurut penulis, ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan guru dalam menghukum murid yang bersalah. Pertama, memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan ikut melibatkan guru BK. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan syarat : (1). Hukuman fisik, tidak pada tempat yang vital. (2) Hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik. (3) Hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik.[15]



               [1] HR. Baihaqi
          [2] Ibnu Taimiyyah. 1967. Al siyasah al sar’iyyah fi islahi wa al ra’yah. Saudi Arabia: Dar Al kutub Al arabi, 14
            [3] Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Suyuti. 1965. Al-asybah wa al nadha’ir. Sura-baya: Al Hidayah,  83
            [4]Pengertian ini, filsafat Aristoteles mengatakan bahwa keadilan dibagi menjadi dua, pertama adalah keadilan distributive dan keadilan commutative. Keadilan distributive memberikan gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya masing-masing, dengan kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan secara umum.
             [5]Asymuni A Rahman, Kaidah-kaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, Cetakan I, 1976), hlm. 132.
             [6]Tasharruful Imam ‘Ala Al- Ra’iyah Manutun Bi al -Maslahah .Kebijaksaanaan pemimpin terhadap rakyatnya, berorientasi kepada kesejahteraan rakyatnya.Kaedah ini merupakan bagian dari kaedah ushul, yang berbeda dengan kaedah fiqhiyah. Kaedah ushul meliputi semua bagian, seangkan kaedah fiqih hanya bersifat aghlabiyah,(pada umumnya), sehingga banyak sekali pengecualiannya.Ke- mudian bisa menjadi cara untuk menetapkan hukum syara‘ yang praktis. Lihat H.A.Djazuli, Kaedah-Kaedah Fiqih dalam menuelesaikan Masalah Yang Praktis, Kencana Prenada Media Group,Jakarta :2007), 23.
                 [7]Yusdani. 2006. At tufi dan Teorinya tentang Maslahat. Artikel Internet. Tanggal 8 Novemer 2007  Internet, Pukul 12.30.
           [8] Najamuddin at Tufi. 1954. Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.(Bagian Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, hlm. 243.

               [9]Sekretaris MUI. 2005. Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI Jakarta, tahun 2005, 121
            [10]Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,  Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.HR. Abu Daud no. 1067.Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujatahid, Semarang, Toha Putra, tth, 326. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid analisa fiqh para mujtahid jilid II,(Jakarta:Pustaka Amani, 2007),.3.
               [11] Ibid, 168
            [12]Setara dengan ini, adalah istihsan, misalnya ulama yang tidak dapat melihat, baitul haram, harus berusaha keras menghadapnya dengan tepat atau menemukannya dengan jalan qiyas. Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.  Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.  Lihat  Imam Syafii, Al-Risalah, terj,( Pustaka Azzam, Jakarta: 2008), hlm. 529.
             [13]Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan :“ orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”. Apabila masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah SAW., karena Allah berfirman : “Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah.”  QS. As- Syura, 10 .Hukum itu berputar di atas ‘ilat hukumnya, ada atau tidak ada hukumnya. Situasi dan kondisi berubah, hukumnya kadang-kadang tidak ada.Lihat Masjfuq Zuhdi, Masa’il al-Fiqhi, Kapita Selekta Hukum Islam,  (PT.Toko Gunung Agung, Jakarta: 1997), hlm. 252.

           [14] Menghukum anak, menjadi serba salah, karena  salah hukum, dapat menimbulkan fitnah, seperti yang diisyaratka QS Al-Taghabun: 14.  Al-Imam At-Tirmidzi t dalam Sunan-nya (no. 3317) membawakan asbabun nuzul (sebab turunnya) surah At-Taghabun ayat 14 ini, dari riwayat Ibnu ‘Abbas c. Tatkala ada yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas c tentang ayat ini, beliau menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang telah berislam dari penduduk Makkah dan mereka ingin menda-tangi Nabi I, namun istri dan anak mereka enggan ditinggalkan mereka. Ketika mereka pada akhirnya mendatangi Rasulullah I, mereka melihat orang-orang yang lebih dahulu berhijrah telah tafaqquh fid dien (mendalami agama), mereka pun berkeinginan untuk memberi hukuman kepada istri dan anak-anak mereka. Allah I lalu menurunkan ayat 6:Namun riwayat asbabun nuzul ini dha’if (lemah) sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t, dalam karya beliau Ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul, tt.), hlm.  249.

              [15]Bila UU No 20/2003 menuntut pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik menjadi profesional, seyogianya diiringi dengan adanya UU Profesi Pendidik. Meskipun dalam UU No 14/2005 secara tegas telah melindungi profesi guru dan dosen, namun dalam dataran implementasi kekuatan UU tersebut masih tak terlihat berkontribusi terhadap nasib guru/dosen sebagai tenaga pendidik. Untuk itu, sudah pada saat dan tempatnya jika guru/dosen membangun kekuatan solidaritas untuk mendorong pemerintah memperbaiki kondisi kerja guru/dosen dan melindungi profesi mereka dengan kekuatan hukum yang jelas. Bunadi Hidayat,op.cit., hlm. 178.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook