Wednesday, June 12, 2013

HUKUM TIDAK BERLAKU KEPADA SETIAP ORANG


  1. HUKUM TIDAK BERLAKU
  2. KEPADA SETIAP ORANG

KATA PENGANTAR
      
 Pada tahun 1986 penulis sedang menunggu ujian di Fak Tarbiyah IAIN Suska, entah bagaimana, penulis menambah kuliah lagi di Fak Hukum UIR Riau di Pekanbaru. Penulis ingin merasakan bagaimana enaknya menjadi SH. Tapi penghalangnya uang kuliah yang mahal Rp.15.000., per-sks waktu itu. Penulis hanya mengambil 8 SKS= Rp.120.000., sedngkan gaji pertama penulis sebagai PNS waktu itu hanya Rp.53.000., akibatnya penulis super tekor. 

Untung masih bujangan. Umur sudah 26 tahun. Pacar di kampungpun diambil orang, karena terlambat datang, demi mengumpulkan uang kuliah. Di antara mata pelajaran yang menarik, tentang overmach, keterpaksaan yang menyebabkan pelakunya tidak dapat dihukum. Cerita yang disajikan dosen, tentang PAPAN KARNEDES. Satu papan di tengah laut, hanya cukup untuk satu orang, tapi mereka berdua. Temannya memukul dan merampas papan itu, akaibatnya, temannya mati. Yang memukul dituntut di pengadilan Yunani waktu itu.

Orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, dan anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai taklif (tuntutan), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيْقُ.
 (روه ابوداود والنسائ)

“Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat) amal perbuatan tiga orang: (1) orang yang tidur hingga ia bangun, (2) anak-anak hingga ia dewasa, dan (3) orang gila hingga sembuh kembali
Hal-hal yang menggugurkan taklif dalam Ilmu Ushul Fikih disebut :       عَوَارِضُ الأَهْلِيَّةِ(hal-hal yang menghilangkan Keahlian), yang terbagi ke dalam dua macam, yaitu:
1.     سَمَاوِيَّةُ
عَوَرِضُ = hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi, artinya diluar usaha dan kehendak manusia. Seperti gila, agak kurang waras akalnya, dan lupa.
2.     كَسْبِيَةٌعَوَرِضُ = hal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan kehendak manusia. Seperti mabuk, bodoh, dan hutang.

  
OVERMACH PENGHALANG
Halangan ahliyyah yaitu hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi, artinya diluar usaha dan kehendak manusia, dan hal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan kehendak manusia.(Overmach dalam bahasa Belanda).


PENDAHULUAN
        Jika dalam Hukum pidana Indonesia, pasal 44 tentang orang yang tidak berlaku hukuman baginya, maka dalam hukum Islam juga demikian, bahwa bagi orang tertentu hukum tidak berlaku.
       Hukum  tersebut tidak berlaku bagi setiap orang? Tidakkah  anda mengenal kondisi orang tersebut? Bagaimana dengan anak kecil yang belum mumayyis dan orang gila yang sejatinya memang tidak bisa berfikir? Untuk itu dalam tulisan ini akan dibahas tentang mahkum alaih, syarat-syarat orang dikenai mahkum alaih, dan bagaimana seorang itu bisa terkena  gangguan ahliyah.

1.      Apa yang di maksud dengan mahkum alaih?
2.      Apa dasar-dasar taklif?
3.      Apa saja syarat-syarat taklif?
4.      Apa yang di maksud dengan ahliyah?
5.      Apa yang di maksud dengan awaridl ahliyah?
Pengertian Mahkum Alaih
Para ulama’ ushul fiqh mengatakan bahwa yang di maksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebut dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang di bebani hukum. Dalam ushul fiqqh, istilah mukallaf di sebut juga mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak hukum, baikyang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus di pertanggungjawabkan. Apabila ia menggerjakan perintah Allah, maka ia mendapatkan imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.[1]
2.      Dasar Taklif
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama’ ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman, maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang di tujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena mereka tidak atau belum berakal, maka mereka di anggap tidak bias memahami taklif dari syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan lupa, tidak dikenai taklif karena ia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal).hal ini sejalan dengan sabda rasulullah:
رُفِعَ الْقَلَمَ عَنْ ثَلاَثٍ : عَنِ الناَئِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِضَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ المَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ
Di angkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang) : orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh. (H.R. Al-Bukhari, Abu Daud, al-tirmidzi, al-Nasa’I, ibn majah, dan al-daraquthni dari aisyah dan ali bin abi thalib)[2]
3.      Syarat-syarat Taklif
Para ulama’ ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa perbuatan seseorang baru bias di kenai taklif apabila orang tersebut telah memenuhi dua syarat, yaitu:
a.       Orang itu telah mampu memahami khithab syar’I (tuntunan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain; karena seseorang yang melakukan suatu pekerjaan-disuruh atau dilarang-tergantung pada pemahamanyaterhadap suruhan dan larangan yang menjadi khithab syar’i. dengan demikian, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu talif.
b.      Seseorang harus cakap bertindak hukum, yang dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyah. Artinya, apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak hukum, maka selurh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa di pertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, anak kecil yang belum baligh, belum cakap bertindak hukum dan tidak di kenakan tuntutan syara’. Orang gila juga tidak di bebani hukum karena kecakapan bertindak hukumnya hilang. Demikian juga orang pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan (hajr), dalam masalah harta, di anggap tidak cakap bertindak hukum, karena kecakapan bertindak hukum mereka dalam masalah harta di anggap hilang.[3]


4.      Ahliyah
a.       Pengertian Ahliyah
Dari segi etimologi ahliyah berarti “kecakapan manangani suatu urusan”. Misalnya, seseorang di katakana ahli untuk menduduki suatu jabatan/posisi; berarti ia mempunyai kemampuan pribadi untuk itu.
Secara terminology, para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyah dengan:
صِفَةٌ يُقَدِّرُهاَ الشَّارِعُ فِى الشَّحْصِ تَجْعَلُهُ مَحَلاًّ صاَلِحاً لِخِطاَبٍ تَشْرِيْعِيٍّ
Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang di jadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Maksudnya, Ahliyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakanya dapat dinilai oleh syara’. Apabila seseorang telah mempunyai sifat ini, maka ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain. Oleh sebab itu, jual belinya sah, hibahnya sah, dan telah cakap untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Sifat kecakapan bertindak hukum itu dating kepada seseorang secara evolusi melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya;tiadak sekaligus.
b.      Pembagian Ahliyah
Para ulama’ membagi ahliyah kepada dua bntuk, yaitu ahliyah al-wujud dan ahliyah al-ada’.
Ø  Aliyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang telah di anggap sempura untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatanya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang di tuntut syara’ maka ia di anggap telah memenuhi kewajiban, dan untuk itu ia di beri pahala. Apabila ia melanggar tuntutan syara’ maka ia berdosa. Karena itu, ia telah cakap untuk menerima hak-hak dan kewajiban.
Ø  Ahliyah al-wujud adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak dan menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya, apabila seseorang menghibahkan hartanya pada orang yang memiliki ahliyah al-wujud, maka yang di sebut terakhir ini telah cakap menerima hibah tersebut. Apabila harta bendanya di rusak orang lain, maka ia dianggap cakap untuk menerima ganti rugi. Demikian juga halnya dalam masalah harta warisan , ia dianggap cakap untuk menerima harta waris dari keluarganya yang meninggal dunia. Para ulama’ ushul fiqh juga membagi ahliyah al-wujud kepada dua bagian yaitu:
·                     Ahliyah al-wujud al-naqishah
Yaitu ketika seorang itu masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin di anggap memiliki ahliyah al-wujud yang belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat, walau hanya untuk sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya
·                      Ahliyah al-wujud al-kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang, seperti orang gila.
Dalam status ahliyah al-wujud (sempurna atau tidak), seseorang tidak di bebani tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah seperti sholat dan puasa(yang bersifat rohani), maupun tindakan-tindakan hukum duniawi seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik.[4]

5.      Pengertian Awaridl Ahliyah
Yang dimaksud awaridl ahliyah adalah gangguan/halangan yang menimpa ahliyah (yang dimaksud manusia) baik gangguan itu menimpa ahliyahul wujud (orang yang berhak dan berkewajiban) maupun yang menimpa ahliyatul ada’ (kepantasan seseorang untuk diperhitumgkan oleh syara’)
Awaridl ahliyah tersebut dapat pula dibagi kepada dua bagian:
a.       Awaridl al-samawiyah, maksudnya halangan yang datangnya dari Allah. Bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang berkelanjutan dengan kematian) dan lupa.
b.      Awaridl al-mukhtasabah, maksudna halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, tersalah, berada di bawah pengampunan dan bodoh.[5]

D.    KESIMPULAN
Para ulama’ ushul fiqh mengatakan bahwa yang di maksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatanya di kenai khitab Allah ta’ala, yang disebut dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang di bebani hukum. Dalam ushul fiqqh, istilah mukallaf di sebut juga mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak hukum, baikyang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya.
Syarat-syarat taklif:
a.       Orang itu telah mampu memahami khithab syar’I (tuntunan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah.
b.      Seseorang harus cakap bertindak hukum, yang dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyah.
Dari segi etimologi ahliyah berarti “kecakapan manangani suatu urusan”. Misalnya, seseorang di katakana ahli untuk menduduki suatu jabatan/posisi; berarti ia mempunyai kemampuan pribadi untuk itu.
Para ulama’ membagi ahliyah kepada dua bntuk, yaitu ahliyah al-wujud dan ahliyah al-ada’.
Yang dimaksud awaridl ahliyah adalah gangguan/halangan yang menimpa ahliyah (yang dimaksud manusia) baik gangguan itu menimpa ahliyahul wujud (orang yang berhak dan berkewajiban) maupun yang menimpa ahliyatul ada’ (kepantasan seseorang untuk diperhitumgkan oleh syara’). Awaridl ahliyah juga terbagi menjadi dua, yaitu: Awaridl al-samawiyah dan awaridl al-mukhtasabah

E.     PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, kami yakin masih banyak kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam makalah ini baik dari isi maupun tulisan, oleh larena saran dan kritik sangat kami harapkan. Semoga apa yang kami tulis dapat bermanfaat bagi kita semua.amin…


DAFTAR PUSTAKA

H. Nasroen Haroen, Ushul Fiqih 1, Logos, (Bandung:1999)
H.A. Syafi’I Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Cv Pustaka Setia (Bandung:1997)
Khairul Umam, Ushul Fiqih 1, CV Pustaka Setia, (Bandung: 2000)

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook