Sunday, June 16, 2013

KAMUS PERTENTANGAN BAHASA ANTAR SUKU DI INDONESIA



KAMUS PERTENTANGAN BAHASA
ANTAR SUKU DI INDONESIA

By Drs.Muhammad Rakib Jamari,S.H.,M.Ag

KATA PENGANTAR

         Penulis sebagai widyaiswara LPMP Riau, menatar guru-guru di berbagai kabupaten di Riau Indonesia, banyak menemukan bahasa daerah yang makna katanya bertentangan dengan dengan bahasa daerah lain, karena itu hal ini penting untuk diketahui, agar tidak terjadi konflik, akibat salah paham. Misalnya di Kerinci Pelalawan Riau , mereka merasa sangat berpantang menyebut kata “CUEK”, karena artinya kemaluan laki-laki, tapi dalam bahasa Betawi, artinya mengabaikan, tidak peduli. Kemudian dalam logat Jawa, “Pantek” artinya kemaluan prempuan, dalam bahasa Minang, tapi dalam bahasa Jawa, artya “pasak”, sejenis paku yang terbuat dari kayu, untuk menguatkan kayu juga. Kemudian kata “BANCI”, DALAM BAHASA Jawa artinya orang laki-laki yang berpenampilan perempuan, sebaliknya. Tapi dalam logat Minang artinya sangat memuakkan.

BAB       I

PERTENTANGAN ARTI KATA

A

BABIAK  (basah .Minang)   (harimau.  Batak)
BANCI  = ( benci. Minang)   (laki-laki berjiwa prempuan. Jawa)
BAKAJANG (beratap. Minang)   (berbunuhan. Bugis)
CERDIK   (licik.   Minang )    (pintar  . Betawi)
DICIRIKI ( diberakkan .Minang  (ditandai. Banjar)
DIKANCING (dikencingi. Minang)   (dikunci . Jawa)
GALAK     (tertawa. Minang)  (bengis. Betawi)
KEPALA JAGA   (Kepala kemaluan laki-laki.Minang)  (Ketua  Ronda. Jakarta)  
KATIK   (orang terhormat. Minang)   (Tidak ada orang.Palembang)
KOCOK  (onani. Melayu)     (diaduk. Jawa)
LAWANG (Pintu.Jawa      )    (tandingan.Bugis)
PUSING     (putar.Melayu)     (Sakit kepala. Jawa)
PANTE’      (Vagina. Minang)  (Pantai. Jawa)


      Suku Jawa merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah,Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.

        Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan Bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan Majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal denganunggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.

        Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi ada juga yang menganut agama Protestan dan Katolik. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Budha dan Hindhu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.

        Mayoritas orang Jawa berprofesi sebagai petani, namun di perkotaan mereka mendominasi pegawai negeri sipil, BUMN, anggota DPR/DPRD, pejabat eksekutif, pejabat legislatif, pejabat kementerian dan militer. Orang Jawa adalah etnis paling banyak di dunia artis dan model. Orang Jawa juga banyak yang bekerja di luar negeri, sebagai buruh kasar dan pembantu rumah tangga.
sifat orang jawa,Orang Jawa umumnya lembut, akomodatif dan mudah bersahabat dengan siapa pun, tetapi orang non Jawa perlu hati-hati menyikapi dan memandang orang Jawa. Jangan sekali-kali meremehkan atau mengecewakan. Kenapa? Karena orang Jawa punya filosofi tiga nga, ngalah, ngalih dan ngamuk. Orang Jawa, katanya, suka ngalah untuk tujuan jangka panjang yang menguntungkan.


SUKU BATAK

       Batak merupakan salah satu suku bangsa di indonesia. Nama ini merupakan sebuah terma kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Karo, Pakpak, Toba, Simalungun,mandai, dan Angkola.
Sebagian besar orang Batak menganut agama kristen dan sebagian lagi beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim (pengikutnya biasa disebut dengan parmalim) dan juga penganut kepercayaan animisme (disebut Pelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Kekerabatan suku batak

        Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya.

        Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.

        ulos memiliki fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek kehidupan orang Batak. ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku Batak. 
Mangulosi, adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak. Mangulosi secara harfiah berarti memberikan ulos. Mangulosi bukan sekadar pemberian hadiah biasa, karena ritual ini mengandung arti yang cukup dalam. Mangulosi melambangkan pemberian restu, curahan kasih sayang, harapan dan kebaikan-kebaikan lainnya.


        Dalam ritual mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain bahwa seseorang hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada di bawah, misalnya orang tua boleh mengulosi anaknya, tetapi anak tidak boleh mangulosi orang tuanya. Disamping itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan adat. Karena setiap ulos memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana, sehingga fungsinya tidak bisa saling ditukar.



       Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang "non Batak". Pemberian ini bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Misalnya pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat negara, selalu diiringi oleh doa dan harapan semoga dalam menjalankan tugas-tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.


konflik antar etnis yang sudah terjadi. Argumen di dalam bab ini banyak diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap tulisan Michael E. Brown.
Setelah perang dingin berakhir dengan pecahnya Uni Soviet, banyak pihak berharap bahwa masa-masa perdamaian akan datang. Beberapa ahli di dalam ilmu-ilmu sosial bahkan berpendapat, bahwa sejarah sudahlah berakhir dengan berakhirnya perang dingin. Sejarah berakhir dengan kemenangan demokrasi dan liberalisme. Para pemimpin dunia memimpikan sebuah tatanan dunia baru yang makmur dan damai. Tata dunia baru ini akan mencegah setiap bentuk peperangan, gesit di dalam menanggapi berbagai bencana alam, dan secara aktif melakukan pemerataan sumber daya demi kemakmuran seluruh bangsa. (Brown, 1997)
        Semua harapan tersebut tidak pernah menjadi kenyataan faktual. Beberapa tahun belakangan ini, dunia diwarnai dengan berbagai konflik etnis yang melibatkan beragam kepentingan politik dan ekonomi. Pada beberapa konflik, skala kekerasan yang terjadi begitu besar, dan bahkan dapat disebut sebagai genosida. Banyak orang tertegun dengan keluasan maupun kedalaman konflik yang terjadi. Perang di Bosnia-Herzegovina pada 1999 menarik banyak perhatian dan simpati dari seluruh dunia. Beberapa konflik lainnya, seperti di Afganistan, Angola, Armenia, Azerbajian, Burma, Georgia, India, Indonesia, Liberia, Sri Lanka, Sudan, Tajikistan, Bangladesh, Belgium, Bhutan, Burundi, Estonia, Ethiopia, Guatemala, Iraq, Latvia, Lebanon, Mali, Moldova, Niger, Irlandia Utara, Pakistan, Filipina, Romania, Rwanda, Afrika Selatan, Spanyol, dan Turki, juga memiliki skala massal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Konflik politik di Tibet, Cina, dan Russia juga tampak siap meletus menjadi konflik berdarah. (Brown, 1997, 80)
Harapan bahwa PBB akan menjadi kekuatan politik yang berpengaruh, yang siap mencegah meledaknya berbagai konflik etnis, tampaknya juga terlalu berlebihan. Pada konflik di Bosnia-Herzegovina, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat lebih sibuk memutuskan, apakah konflik yang terjadi sudah dapat disebut genosida atau belum. Praktis, tidak ada tindakan real yang dilakukan, ketika orang-orang dibantai dan pesawat-pesawat tempur menjatuhkan bom ke kota-kota. PBB tampaknya tidak terlalu peduli dengan konflik ini, terutama karena kepentingan negara-negara maju yang ada di balik PBB tidak langsung terkait dengan konflik tersebut.
      Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis sebab-sebab dan akibat-akibat yang muncul dari terjadinya konflik etnis. Tulisan ini juga hendak memberikan beberapa rekomendasi untuk meminimalisir terjadinya konflik etnis dan kekerasan massal. Pada bagian pertama, saya akan mencoba mendefinisikan arti konflik etnis secara spesifik. Kemudian, saya akan mencoba mencari akar penyebab dari terjadinya konflik etnis, baik dari penyebab sistemik, domestik, sampai cara pandang. Pada bagian ketiga, saya akan mencoba melihat beberapa implikasi dari terjadinya konflik etnis. Brown berpendapat, bahwa terjadinya konflik etnis biasanya akan bermuara pada satu dari tiga hal ini, yakni terjadinya rekonsiliasi damai, perpecahan etnis secara damai, atau pada terjadinya perang saudara yang berkepanjangan. Akibat yang terakhir ini biasanya akan membawa dampak yang sangat besar, baik secara moral maupun secara politis, bagi dunia internasional. Pada bagian akhir, berbekal beberapa argumentasi dari Brown, saya akan mencoba memberikan beberapa rekomendasi untuk mencegah ataupun menangani terjadinya konflik etnis.
Komunitas Etnis dan Konflik Etnis
Menurut Brown, kata ‘konflik etnis’ seringkali digunakan secara fleksibel. Bahkan, dalam beberapa penggunaannya, kata ini justru digunakan untuk menggambarkan jenis konflik yang sama sekali tidak mempunya basis etnis. (hal. 81) Contohnya adalah konflik di Somalia. Banyak pihak mengkategorikan konflik yang terjadi di Somalia sebagai konflik etnis. Padahal, Somalia adalah negara paling homogen dalam hal etnisitas di Afrika. Konflik di Somalia terjadi bukan karena pertentangan antar etnis, melainkan karena pertentangan antara penguasa lokal satu dengan penguasa lokal lainnya, yang keduanya berasal dari etnis yang sama.
        Disini jelas diperlukan suatu definisi yang cukup spesifik tentang apa yang dimaksud dengan konflik etnis. Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama (Wattimena, 2008), dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Kedua hal ini biasanya menjadi ukuran bagi solidaritas dari suatu komunitas (Smith, seperti dalam Brown, 1997, hal. 81). Smith melanjutkan, bahwa setidaknya ada enam hal yang harus dipenuhi sebelum sebuah kelompok dapat menyebut diri mereka sebagai ‘komunitas etnis’.
Pertama, sebuah kelompok haruslah memiliki namanya sendiri. Kriteria ini tidaklah mengada-ada. Tidak adanya nama spesifik untuk suatu kelompok, menurut Smith, menandakan belum terbentuknya identitas sosial yang cukup solid untuk dapat disebut sebagai suatu komunitas etnis. Kedua, orang-orang di dalam kelompok tersebut haruslah yakin, bahwa mereka memiliki nenek moyang yang sama. Keyakinan ini sangatlah penting, dan bahkan lebih penting daripada ikatan biologis. Ikatan biologis mungkin saja ada, tetapi tidak menjadi inti dari keyakinan, bahwa suatu kelompok memiliki leluhur yang sama.
Ketiga, orang-orang yang berada di dalam kelompok tersebut haruslah memiliki ingatan sosial yang sama. Kesamaan itu biasanya ditandai dengan adanya mitos-mitos maupun legenda-legenda yang sama, yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan. Keempat, kelompok tersebut haruslah berbagi kultur yang sama. Kesamaan kultur tersebut dapat dilihat dalam berbagai kombinasi antara bahasa, agama, norma-norma adat, pakaian, musik, karya seni, arsitektur, dan bahkan makanan. Kelima, orang-orang yang ada di dalam kelompok tersebut haruslah merasa terikat pada suatu teritori tertentu, terutama teritori yang sedang mereka tempati. Dankeenam, orang-orang yang berada di dalam kelompok itu haruslah merasa dan berpikir bahwa mereka adalah bagian dari satu kelompok yang sama. Hanya dengan begitulah suatu kelompok dapat disebut sebagai komunitas etnis.
Dari kriteria ini sebenarnya bisa ditarik kesimpulan sederhana, bahwa konflik etnis adalah konflik terkait dengan permasalahan-permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial antara dua komunitas etnis atau lebih. (Brown, 1997, hal. 82) Konflik etnis seringkali bernuansa kekerasan, tetapi bisa juga tidak. Konflik etnis di Bosnia dan Angola memiliki dimensi kekerasan yang luar biasa besar. Sementara, permintaan orang-orang Quebec untuk memperoleh otonomi lebih besar dari pemerintah Kanada hampir tidak memiliki dimensi kekerasan sama sekali.
Yang juga harus ditegaskan adalah, banyak konflik lokal suatu masyarakat sama sekali tidak memiliki basis etnisitas. Jadi, konflik-konflik tersebut tidak bisa disebut sebagai konflik etnis. Pertempuran antara pemerintah Kamboja dengan tentara Khmer Merah tidak pernah bisa disebut sebagai konflik etnis, karena hakekat konflik adalah persoalan ideologi, dan bukan persoalan etnis.
        Konflik etnis juga, menurut Brown, biasanya berangkat dari konflik lokal yang sama sekali tidak memiliki basis etnisitas, tetapi kemudian melebar cangkupannya, bahkan sampai melintasi batas-batas negara (Brown, 1997). Biasanya, negara tetangga dari komunitas yang berkonflik memilih satu dari dua bentuk intervensi berikut ini, yakni entah mereka memilih untuk menutup perbatasan guna mencegah penyebaran konflik lebih jauh, atau mereka memilih untuk intervensi ke komunitas yang tengah berkonflik untuk melindungi kepentingan ekonomi maupun politik mereka. Komunitas internasional juga bisa melakukan intervensi atas dasar kemanusiaan, terutama ketika konflik yang terjadi mulai menyebar dan melukai banyak warga sipil.
Akar-akar Konflik Etnis
        Biasanya, orang beranggapan bahwa konflik etnis lebih disebabkan oleh robohnya rezim otoriter tertentu, yang kemudian mendorong pihak-pihak di dalam suatu negara tertentu untuk saling berebut kekuasaan. Seolah-olah tekanan yang lama menindas mereka kini sudah hancur, sehingga dendam lama, terutama dendam akibat konflik di masa lalu, kini tampil ke depan. Banyak ahli yang berpendapat, bahwa penjelasan ini tidaklah memadai. (Brown, 1997, hal. 83) Argumen ini tidak bisa menjelaskan, mengapa di beberapa tempat yang satu terjadi konflik, sementara di tempat lain tidak. Argumen ini juga gagal menjelaskan, mengapa konflik yang satu memiliki skala kekejaman yang lebih besar daripada konflik lainnya. Dengan kata lain, akar-akar penyebab konflik etnis tidak bisa dikembalikan hanya kepada satu faktor penyebab saja.
Di dalam tulisannya, Brown mengajukan tiga level analisis untuk memahami akar-akar penyebab konflik etnis. Level pertama adalah level sistemik. Level kedua adalah level domestik, dan level ketiga adalah level persepsi. (Brown, 1997) Saya akan coba membedah satu per satu. Pada level sistemik, penyebab pertama terjadinya konflik etnis adalah lemahnya otoritas negara, baik nasional maupun internasional, untuk mencegah kelompok-kelompok etnis yang ada untuk saling berkonflik. Otoritas yang ada juga sangat lemah, sehingga tidak mampu menjamin keselamatan individu-individu yang ada di dalam kelompok tersebut. “.. di dalam sistem dimana tidak adanya penguasa”, demikian tulis Brown, “ yakni, dimana anarki berkuasa, semua kelompok haruslah menyediakan pertahanan dirinya sendiri-sendiri…” (Brown, 1997) Setiap kelompok resah, apakah kelompok lain akan menyerang mereka, atau ancaman dari kelompok lain akan memudar dengan berjalannya waktu.
         Masalahnya adalah, sikap pertahanan diri suatu kelompok, yakni dengan memobilisasi tentara dan semua peralatan militer, bisa dianggap sebagai tindakan mengancam oleh kelompok lainnya. Pada akhirnya, hal ini akan memicu tindakan serupa dari kelompok lain, sekaligus meningkatkan ketegangan politis di antara dua kelompok tersebut. Inilah yang disebut Brown sebagai dilema keamanan (security dilemma). (Brown, 1997) Artinya, suatu kelompok seringkali tidak menyadari dampak dari tindakannya terhadap kelompok lainnya. Memang dalam banyak kasus, suatu kelompok menyadari dilema keamanan ini. Akan tetapi, mereka tetap bertindak, karena mereka sendiri merasa terancam oleh tindakan dari kelompok lain. Inilah yang biasanya terjadi pada masyarakat pasca rezim otoriter. Penguasa tunggal sudah roboh, dan kini setiap kelompok harus berusaha menjaga eksistensinya masing-masing, dan itu seringkali dengan mengancam eksistensi kelompok lainnya.
       Brown lebih jauh menambahkan, bahwa ada dua kondisi yang memungkinkan terjadi ketidastabilan politis. (Brown, 1997, hal. 84) Pertama, kondisi ketika pihak yang menyerang dan pihak yang bertahan tidak lagi bisa dibedakan. Suatu kelompok tidak lagi bisa menentukan, apakah mereka dalam posisi bertahan, atau posisi menyerang. Mereka akan mempersiapkan kekuatan militernya yang digunakan untuk bertahan. Akan tetapi, kelompok lainnya akan mengira, bahwa kelompok tersebut sedang mempersiapkan kekuatan militernya untuk menyerang. Ketegangan antara kedua kelompok pun tidak lagi terelakkan.
Kedua, jika kekuatan penyerangan lebih besar dari kekuatan bertahan, maka suatu kelompok akan cenderung untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu. Menurut Brown, kedua kondisi ini biasanya muncul, ketika rezim otoriter yang berkuasa tiba-tiba roboh, dan ini membuat setiap kelompok yang ada di dalam masyarakat tersebut terpaksaberusaha untuk mempertahankan eksistensinya masing-masing. Di dalam situasi ini, siapa pihak yang menyerang dan siapa pihak yang bertahan amatlah sulit untuk dibedakan. Biasanya, kelompok-kelompok yang saling bertempur pasca jatuhnya suatu rezim otoriter tidak menggunakan teknologi perang yang canggih. Mereka hanya bersandar pada kekuatan infanteri. Efektivitas infanteri tersebut bersandar pada kekuatan motivasi dan kuantitas pasukan. Mobilisasi infanteri dari suatu kelompok tertentu, menurut Brown, biasanya akan mendorong kelompok lainnya untuk melakukan hal yang sama. (Brown, 1997)
       Brown lebih jauh berpendapat, bahwa ketika rezim otoriter yang memerintah sebelumnya telah roboh, maka situasi politis yang ada biasanya lebih mendorong kelompok-kelompok yang ada untuk mengambil sikap menyerang daripada bertahan. Dengan sikap ini, kelompok etnis yang ada seringkali juga berusaha memusnahkan etnis minoritas yang ada di dalam masyarakat mereka. Teror akan semakin besar, jika penyerangan secara nyata ditujukan kepada masyarakat sipil. Penyerangan semacam ini tidak membutuhkan teknologi militer yang canggih, cukup beberapa tentara infanteri yang membawa senjata api. Akibat dari penyerangan semacam ini adalah terciptanya situasi politis yang semakin tidak stabil. Situasi ini biasanya akan berkembang menjadi konflik etnis dengan skala yang lebih besar. (Brown, 1997)
Keberadaan senjata nuklir juga bisa memperumit terjadinya konflik. Senjata nuklir membuat pasukan infanteri tampak tidak berarti, membuat pertahanan menjadi jauh lebih efektif, dan dapat menjadi kekuatan tawar yang signifikan di dalam proses perjanjian. Di tangan rezim otoriter tertentu, senjata nuklir bisa menjadi alat penjaga kestabilan yang efektif.
Level analisis kedua mengenai akar-akar penyebab konflik etnis berada di level domestik. Menurut Brown, level domestik ini terkait dengan kemampuan pemerintah untuk memenuhi kehendak rakyatnya, pengaruh nasionalisme dan relasi antar kelompok etnis di dalam masyarakat, serta pengaruh dari proses demokratisasi dalam konteks relasi antar kelompok etnis. (Brown, 1997, hal. 85)
       Setiap orang selalu mengharapkan agar pemerintahnya menyediakan keamanan dan stabilitas ekonomi. Kedua hal ini akan bermuara pada terciptanya kemakmuran ekonomi yang merata di dalam masyarakat. Apa yang disebut nasionalisme, menurut Brown, sebenarnya adalah “konsep yang menggambarkan kebutuhan untuk mendirikan suatu negara yang mampu mewujudkan tujuan-tujuan ini.” (Brown, 1997) Tuntutan ini akan semakin besar, ketika pemerintah yang berkuasa tidak mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Di dalam masyarakat pasca pemerintahan rezim otoriter, pemerintah yang berkuasa sedang mengalami proses adaptasi, dan seringkali belum mampu mewujudkan kestabilian ekonomi maupun politik. Akibatnya, tingkat inflasi dan pengangguran meningkat tajam. Prospek perkembangan ekonomi pun suram. Dalam banyak kasus, kelompok etnis minoritas menjadi kambing hitam dari semua permasalahan ini. (Brown, 1997) Mereka menjadi tumbal dari kekacauan yang terjadi.
        Problem ini semakin rumit, ketika logika yang bergerak bukanlah lagi logika nasionalisme, melainkan logika fundamentalisme etnis. Begini, ketika pemerintah yang berkuasa sangatlah lemah, paham nasionalisme biasanya lebih didasarkan pada perbedaan etnis, dan bukan pada suatu pemikiran bahwa setiap orang yang hidup di suatu negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Pada hakekatnya, menurut Brown, paham nasionalisme didasarkan pada hak-hak universal dari setiap warga negara di dalam suatu negara, dan hak-hak tersebut dilindungi oleh hukum. Hukum yang sama juga melindungi kebebasan warga negara tersebut untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka. Akan tetapi, nasionalisme yang didasarkan pada fundamentalisme etnis tidak mengenali pandangan tersebut, melainkan lebih menekankan pada kesamaan etnis dan kultur.(Brown, 1997) Tidaklah mengherankan bahwa di Indonesia, dimana struktur pemeritahan pasca reformasi masih belum stabil, dan insitusi-institusi pemerintahan masih jauh dari sempurna di dalam menjalankan fungsi mereka, banyak kelompok-kelompok etnis mendirikan organisasi-organisasi berbasiskan etnis tertentu, serta menganut fundamentalisme etnis sebagai pandangan dasar mereka.
       Keberadaan kelompok-kelompok yang menganut fundamentalisme etnis sebagai pandangan dasar mereka membuat peluang terjadinya konflik etnis semakin besar. “Bangkitnya nasionalisme etnis pada satu kelompok”, demikian analisis Brown, “akan dilihat sebagai ancaman bagi kelompok lainnya dan akan menciptakan perkembangan dari sentimen yang sama di tempat-tempat lainnya.” (Brown, 1997) Jika sudah seperti ini, maka pertentangan antar kelompok etnis akan semakin besar. Dan biasanya, kelompok minoritaslah yang akan menjadi korban, jika konflik sungguh terjadi. Kelompok minoritas akan menjadi kambing hitam, dan di banyak tempat, kelompok minoritas lalu menuntut untuk mendirikan negara mereka sendiri. Konflik pun akan semakin besar.
       Di sisi lain, paham nasionalisme yang didasarkan pada fundamentalisme etnis akan membuat suatu kelompok dapat dengan mudah memobilisasi massa, dan membentuk suatu pasukan yang memiliki motivasi berperang yang tinggi. Jika sudah seperti ini, kekuatan militer akan menjadi suatu kekuatan yang sangat kejam. Perang dengan skala kekejaman yang masif pun tidak lagi bisa terelakkan.
Di dalam penelitiannya, Donald Horowitz berpendapat bahwa proses demokratisasi institusi pemerintahan memiliki dampak besar bagi terjadinya konflik antar etnis.Bahkan dapat pula dikatakan, bahwa proses demokratisasi secara langsung dapat menciptakan suasana ketidakstabilan politis yang lebih besar, dan dengan demikian justru membuka peluang lebih besar bagi terjadinya konflik antar etnis. Proses demokratisasi justru meningkatkan intensitas konflik etnis yang telah terjadi.
         Tentu saja, hal ini sangat tergantung dari tingkat ketegangan antar kelompok etnis, ketika proses demokratisasi sedang berlangsung. (1) Jika rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya adalah suatu bentuk tirani minoritasterhadap kelompok etnis yang lebih mayoritas, maka tingkat ketegangan antar etnis sangatlah besar. Dalam konteks ini, proses demokratisasi akan mengalami kesulitan besar sejak dari awal. Dan jika rezim otoriter tersebut melakukan tindak kekerasan kolektif terhadap kelompok etnis tertentu, maka proses demokratisasi akan sangat problematis dan memiliki resiko tinggi. Dalam hal ini, tingkat emosional suatu kelompok etnis tertentu menuntut perhatian yang sangat besar. Dan jika, di sisi lain, rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya memberikan porsi yang seimbang, baik dalam pemerintahan maupun dalam ekonomi, bagi semua kelompok etnis yang ada di dalam masyarakat, maka proses demokratisasi justru akan berdampak positif bagi semua problematika terkait dengan perbedaan etnis yang ada. (Brown, 1997, hal. 86)
(2) Faktor berikutnya terkait dengan prosentase jumlah etnis minoritas dan mayoritas di dalam suatu masyarakat. Jika suatu kelompok etnis secara substansial lebih besar jumlahnya daripada kelompok etnis yang lain, maka yang terjadi adalah dominasi kelompok etnis mayoritas tersebut terhadap kelompok minoritas. Dalam hal ini, kepentingan kelompok etnis minoritas seringkali tidak terwakili. Dan sebaliknya, jika prosentase jumlah etnis minoritas dan mayoritas di suatu masyarakat tidak terlalu jauh perbedaannya, maka biasanya kepentingan semua kelompok etnis akan terwakili dengan baik. Kasus yang kedua merupakan kondisi yang ideal bagi proses demokratisasi.
(3) Jika militer memiliki kesetiaan hanya pada satu kelompok etnis tertentu, dan bukan pada pemerintah yang berkuasa, maka proses pencegahan dan pemadaman konflik etnis akan tersendat. Dan sebaliknya, jika militer memiliki kesetiaan terhadap pemerintahan yang berkuasa secara sah, apapun etnis mayoritas yang ada di dalam masyarakat tersebut, maka prospek menuju perdamaian dan demokrasi akan cukup besar. (Brown, 1997)
(4) Dan jika rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya roboh dengan tiba-tiba, maka biasanya proses demokratisasi pun akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa. Problem ketegangan antar kelompok etnis pun seringkali terabaikan. Yang terjadi adalah, kelompok etnis yang memiliki jumlah lebih besar akan menguasai politik masyarakat tersebut. “Euforia yang dialami ketika rezim lama jatuh dari kekuasaan akan menghasilkan momen kesatuan nasional”, demikian tulis Brown, “akan tetapi momen ini tidak akan bertahan lama jika masalah mendasarnya diabaikan.” (Brown, 1997)
Dan sebaliknya, jika jatuhnya rezim sebelumnya memakan waktu yang lama, maka pimpinan oposisi biasanya memiliki waktu yang cukup untuk mengindentifikasi berbagai problematika etnis, ketika mereka berkuasa. Dalam kondisi ini, pimpinan oposisi biasanya akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk membentuk aliansi politik, guna memperat kerja sama antar berbagai kelompok etnis yang ada. Salah satu cara, untuk mencegah meluasnya konflik antar etnis selama proses transisi ke pemerintahan demokratis, adalah dengan menghadapi berbagai problem etnis tersebut sedini mungkin. Jika problem yang menciptakan ketegangan antar etnis dapat ditanggapi secepat mungkin, maka konflik etnis dapatlah dicegah, atau setidaknya diminimalisir efek destruktifnya.
(5) Horowitz lebih jauh berpendapat, bahwa di dalam masyarakat multi etnis, banyak partai politik mendasarkan ideologi mereka melulu berdasarkan sentimen etnis semata. (Horowitz, 1985) Ketika ini terjadi, maka partai politik bukanlah bentuk rigid dari suatu keyakinan politik, melainkan lebih merupakan cerminan dari identitas etnis semata. Dalam situasi ini, proses pemilihan umum tidak akan bisa efektif. Akibatnya, minoritas akan kehilangan kesempatan untuk menyampaikan dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Kelompok etnis minoritas menjadi korban dari tirani etnis mayoritas. Demokrasi hanya selubung dari suatu kekuasaan primitif yang didasarkan pada mekanisme hukum rimba.
(6) Juga di dalam masyarakat multi etnis, para politikus yang ada seringkali menggunakan sentimen-sentimen etnis untuk mendapatkan dukungan bagi kampanye politis mereka. Sepanjang perjalanan kampanye ini, semua problematika sosial seringkali dilemparkan begitu kepada etnis minoritas sebagai penyebabnya. Proses ‘pengkambinghitaman’ ini mudah sekali ditemukan di berbagai belahan dunia, ketika proses pemilihan umum sedang berlangsung. Di dalam masyarakat pasca pemerintahan otoriter, kompromi dan deliberasi publik adalah suatu proses yang asing. Hal ini tentu saja sama sekali tidak kondunsif untuk proses demokratisasi dan upaya penyelesaian berbagai konflik etnis yang ada. Media massa juga seringkali digunakan sebagai alat propaganda kepentingan politis tertentu, yang justru semakin merusak hubungan antar kelompok etnis yang ada. (Brown, 1997, hal. 87)
(7) Dan terakhir, banyak negara belum memiliki ketentuan hukum yang memadai untuk melindungi hak-hak kelompok etnis minoritas. Bahkan di negara-negara yang secara formal sudah memiliki ketentuan hukum tersebut, pelaksanaannya juga masih mengalami banyak hambatan. Oleh sebab itu dibutuhkanlah suatu perubahan konstitusional dan perubahan komitmen politis yang signifikan, sehingga berbagai problematika penyebab dan akibat terjadinya konflik etnis dapat ditanggapi secara tepat.
        Beberapa ahli berpendapat, bahwa penyebab terjadinya konflik etnis adalah, karena adanya pemahaman sejarah yang tidak tepat mengenai relasi antara dua atau lebih kelompok etnis. (Brown, 1993) Sejarah yang mereka yakini bukanlah hasil dari penelitian yang punya dasar metodis dan obyektivitas, melainkan dari rumor, gosip, dan legenda, yang biasanya diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Cerita-cerita tersebut kemudian menjadi bagian dari adat istiadat. Dengan berlalunya waktu, cerita-cerita ini semakin jauh dari realitas, dan semakin banyak bagian yang dilebih-lebihkan. Di dalam cerita-cerita tersebut, kelompok etnis lain seringkali memperoleh cap buruk, sementara kelompok etnis sendiri memperoleh nama baik yang seringkali berbeda dengan realitasnya. Kelompok etnis lain dipandang sebagai suatu kelompok yang secara inheren jahat dan agresif. Anggota kelompok etnis setempat memandang pemahaman ini sebagai suatu bentuk kebijaksanaan leluhur yang diturunkan ke generasi mereka.
       Tidaklah mengherankan, bahwa cerita-cerita adat istiadat melibatkan suatu pertarungan wacana yang merupakan cerminan dari pandangan kelompok yang satu kepada kelompok lainnya. Orang-orang Serbia, misalnya, memandang diri mereka sendiri sebagai penjaga Eropa. Mereka juga memandang orang-orang Kroasia sebagai bangsa yang kejam. Di sisi lain, orang-orang Kroasia merasa bahwa mereka adalah korban dari kekejaman agresi orang-orang Serbia yang biadab. Di dalam cara pandang semacam itu, semua peristiwa yang terjadi akan meningkatkan intensitas kecurigaan yang sudah tertanam di dalam kultur masing-masing etnis. Dan semua kejadian negatif akan dipandang sebagai suatu afirmasi terhadap mitos yang sudah ada sebelumnya, sekaligus dipandang sebagai alasanuntuk melakukan tindakan agresif. Hal inilah yang membuat konflik antar etnis sulit dihindari, dan jika terjadi, dampak destruktifnya akan sulit untuk diredam. Semua kepercayaan yang bersifat mitologis dan ideologis ini menciptakan tekanan yang semakin memperbesar skala konflik. Konflik pun nantinya juga bisa semakin diperparah oleh propaganda para politikus yang ingin memanfaatkan kepercayaan ini untuk kepentingan-kepentingan mereka. (Lihat, Brown, 1997, hal. 88)
       Problematika semacam ini biasa dialami oleh suatu masyarakat yang hidup pasca pemerintahan otoriter, yang seringkali memanipulasi sejarah demi untuk menciptakan mitos-mitos politik yang dapat mendukung kepentingan-kepentingan rezim. Rezim pemerintahan otoriter juga seringkali tidak memiliki basis ilmiah yang kuat untuk membuktikan mitos sejarah tersebut. Hal ini tentunya akan semakin memperkuat akar mitos politik yang ada di masyarakat, yang sangat mungkin menjadi faktor meningkatnya intensitas konflik antar etnis sampai pada skalanya yang paling masif.
Kesimpulan sementara
Dengan demikian, Brown telah menawarkan tiga level analisis kepada kita untuk memahami akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis. Tiga level itu adalah level sistemik, level domestik, dan level persepsi. Sayangnya, tiga level analisis ini tidaklah bisa dijadikan sebagai satu grand theory yang berguna untuk menyoroti semua bentuk konflik etnis di seluruh dunia. Sangatlah sulit bagi kita untuk merumuskan suatu pisau analisis yang universal untuk menggambarkan mengapa konflik etnis yang satu memiliki skala yang lebih besar daripada konflik etnis lainnya. Akan tetapi, kita masihlah dapat untuk memberikan beberapa alternatif hipotesis penjelasan atas akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis, seperti yang sudah diajukan oleh Brown.
         Pertama, konflik etnis dapat terjadi, jika dua etnis yang berbeda hidup dan beraktivitas di dalam area yang berdekatan. Kedua, pemerintahan yang berkuasa biasanya adalah pemerintahan yang lemah, sehingga tidak mampu mencegah dua kelompok etnis yang berbeda untuk saling berseteru, ataupun untuk menjamin keamanan dari individu maupun kelompok di masyarakat tersebut. Apakah penjelasan sistemik ini cukup memadai untuk menjelaskan akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis? Tampaknya tidak, karena masih ada faktor-faktor lainnya, seperti faktor domestik dan faktor persepsi, yang dapat mendorong terjadinya konflik etnis, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Pada bagian berikutnya, saya akan menunjukkan dampak-dampak yang mungkin terjadi, jika konflik etnis pada akhirnya pecah.
Dampak dari Konflik Etnis
       Apakah dampak yang ditimbulkan oleh konflik etnis bagi negara-negara sekitar dan bagi komunitas internasional secara keseluruhan? Menurut Brown, jawaban atas pertanyaan ini sangatlah tergantung pada jenis konflik yang terjadi, dan bagaimana alur konflik tersebut berlangsung. (Brown, 1997, hal. 89) Setidaknya, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi sebagai akibat dari pecahnya konflik etnis, yakni terjadinya rekonsiliasi secara damai, perpisahan etnis secara damai, dan perang saudara. Dengan kata lain, kelompok-kelompok yang berperang bisa setuju untuk hidup bersama secara damai, setuju secara damai untuk berpisah, atau terus berperang untuk menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa atas semuanya.
        Dalam beberapa kasus, kelompok-kelompok etnis yang terlibat dalam ketegangan politis dapat tetap bekerja sama dalam kerangka politik dan hukum tertentu. Dalam ketegangan tersebut justru biasanya, hak-hak minoritas dan hak-hak individual akan diangkat ke dalam perdebatan, dan memperoleh pemaknaan yang baru. Austria, Belgia, dan Swiss telah banyak membuat perjanjian politis yang menjamin bahwa etnis-etnis yang berada di negara tersebut tidak terlibat di dalam aksi kekerasan, namun menempuh jalan dialog dan kompromi. Etnis Catalan, Galician, dan Basque di Spanyol telah berdamai setelah menempuh dialog berkepanjangan tentang hak-hak mereka. Walaupun sering berdebat, tetapi mereka tidak pernah jatuh ke dalam konflik etnis yang memiliki skala kekerasan masif. Pertentangan antara pemerintah India di satu sisi dan separatis Naga, Mizo, dan Gharo di sisi lain, telah berakhir dengan jalan dialog dan kompromi politis. (Brown, 1997)
      Ketika kelompok etnis yang saling berbeda pendapat dapat menyelesaikan pertentangan mereka melalui jalan dialog, maka pengaruh pertentangan tersebut sangatlah kecil bagi negara di sekitarnya, atau bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Jalan dialog biasanya juga akan mendapatkan dukungan besar dari komunitas internasional, sehingga walaupun saling bertentangan, tetapi hak-hak individu dan hak-hak kaum minoritas dapat tetap terjamin. Maksimal, jika jalan dialog berhasil, satu-satunya yang perlu dirancang ulang adalah perjanjian dagang antara komunitas yang saling bertentangan. Di luar itu, dampak yang dirasakan biasanya sangat kecil.
       Pada kasus-kasus lain, kelompok-kelompok etnis yang saling bertentangan tidak dapat merumuskan suatu perjanjian yang mampu menampung kepentingan semua pihak. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah dengan memutuskan hubungan legal dan politis yang sudah ada sebelumnya. Pada beberapa kasus, seperti pada pecahnya Uni Soviet dan pecahnya Czechoslovakia, perpisahan legal-politis ini dapat bermuara pada terjadinya pertumpahan darah, walaupun skalanya tidaklah besar. Walaupun begitu, perpisahan legal-politis ini biasanya hanyalah di tataran makro saja. Pada tataran mikro, kelompok-kelompok etnis yang saling berperang merasa perpisahan tersebut akan mengancam totalitas identitas mereka, yang bermuara pada terancamnya pengaruh politis mereka di dunia internasional. Maka, walaupun terpisah secara legal-politis, kelompok etnis yang saling bertentangan biasanya tetap memiliki hubungan yang erat satu sama lain.
Walaupun begitu, perpisahan legal politis ini tetap membawa dampak besar bagi komunitas internasional. Setidaknya, menurut Brown, ada enam dampak yang langsung kelihatan (Brown, 1997, hal. 90). Pertama, apa yang sebelumnya dianggap sebagai tapal batas dari negara tertentu, kini harus dipahami sebagai tapal batas dari negara lain, atau tapal batas milik komunitas internasional. Kedua, komunitas internasional juga harus memutuskan, apakah mereka akan mengakui kedaulatan dari negara yang baru, atau tidak. Jika jawabannya positif, maka bentuk dan mekanisme pengakuan kedaulatan atas negara baru tersebut haruslah dipikirkan lebih jauh. Ketiga, komunitas internasional juga harus memutuskan status keanggotaan negara baru tersebut di dalam organisasi-organisasi internasional, seperti European Community, ASEAN, atau PBB.
Keempat, perjanjian-perjanjian internasional yang melibatkan negara terkait juga harus dirumuskan ulang. Misalnya, perjanjian pengurangan penggunaan senjata strategis antara Uni Soviet dan Amerika Serikat haruslah dirumuskan ulang pada 1992, karena pecahnya Uni Soviet yang mengakibatkan terbentuknya empat negara, yakni Russia, Ukraina, Kazahkstan, dan Belarus. Keempat negara tersebut kini haruslah merumuskan pernjanjian ulang terkait dengan isu senjata strategis. Secara umum, komunitas internasional haruslah yakin, bahwa negara yang baru terbentuk akan mengambil bagian di dalam perjanjian internasional terkait dengan isu-isu yang penting.
Kelima, perjanjian ekonomi dan finansial juga haruslah dirumuskan ulang, yang juga berarti dibutuhkan suatu pendampingan ekonomi dan finansial yang intensif bagi negara yang baru terbentuk. Dan keenam, komunitas internasional juga harus juga harus melihat dampak dari terbentuknya negara baru tersebut bagi stabilitas regional dengan negara-negara sekitarnya, sekaligus dampaknya bagi keseimbangan kekuasaan di level internasional. Dampak ini sangatlah berpengaruh besar. Contoh yang paling jelas adalah pecahnya Uni Soviet. Dalam konteks ini, komunitas internasional harus memutuskan bagaimana mereka harus bersikap terhadap negara baru yang terbentuk, misalnya dalam hal aliansi persenjataan. Beberapa negara bekas Uni Soviet memutuskan untuk bergabung dengan NATO.


Daftar Pustaka
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=373153147539627121

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook