Monday, June 24, 2013

KEKERASAN ISTERI TERHADAP SUAMI. (ADA YANG MEMAKAI GUNA-GUNA MENAKLUKKAN SUAMI, BERMACAM CARA)




 ZAMAN SUDAH TERBALIK
SUAMI LEMBUT, ISTERI CERDIK.
TUNTUNAN AGAMA, DIBOLAK BALIK
KEKERSAN ISTERI, SEMAKIN LICIK

ADA YANG MEMAKAI GUNA-GUNA
MENAKLUKKAN SUAMI, BERMACAM CARA
BUKAN TAK MENGERTI, ATURAN AGAMA
ISTERI MERASA, SEBAGAI RAJA.

   Peribahasa yang mengatakan, sepandai- pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga telah terbukti kepada diriku. Sepandai-pandainya aku menyembunyikan
hubungannya dengan Salam,
akhirnya ketahuan juga oleh suamiku. Aku, ketahuan
selingkuh setelah
suamiku membaca SMS Salam yang berisi kata-kata mesra. Ia pun
memaksa aku untuk mengaku.

       Aku saat itu tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi suamiku
langsung menghubungi nomor ponsel Salam. Awalnya Salam
membantah, dan mengatakan bahwa ia dan diriku hanya berteman.
Namun, setelah  diancam oleh suamiku, Salam mengakuinya dan
meminta maaf. Namun, suamiku sudah terlanjur sakit. Ia pun langsung
menceraikanku. Saat ini aku, dan Rudi masih dalam tahap perceraian.
Namun, dalam doaku setiap selesai shalat aku memohon maaf
kepada Allah SWT,
kepada suamiku, kepada anak-anakku dan kepada
keluargaku karena aku telah menyia-nyiakan cinta mereka. Aku ikhlas
menerima ini semua
atas konsekuensi dari perbuatanku sendiri. Namun,
aku masih tetap
berharap untuk bisa kembali bersama dengan Rudi,
dan akan aku buktikan untuk menjadi istri yang baik."

Catatanku:

Sejatinya Teknologi diciptakan untuk mempermudah manusia dalam kehidupannya sehari hari,tapi sayang,kenyataannya kita sendiri yang menyalah gunakan teknologi tersebut untuk hal-hal yang tidak baik,karena menurut data yang ada,sumber perceraian terbesar dunia saat ini adalah perselingkuhan via FACEBOOK disusul oleh TWITTER dan SMS,

Oleh karena itu facebook dilarang oleh beberapa negara mengingat dampaknya yang sangat besar kekehidupan masyarakat,apalagi rakyat kita yang terkesan "LATAH " Dengan berbagai teknologi,coba lihat point blank yang sudah membuat anak indonesia kehilangan kehidupan keluarga dan belajarnya,akibat berlama lama di warnet atau didepan PC.
jadi pertanyaannya,
-siapkah kita jika istri kita diselingkuhi dan selingkuh dengan orang lain melalui facebook?A

-tahukah kita kalau istri atau suami yang selingkuh seharusnya dihukum cambuk?

-tahukah kita kalau istri atau suami yang berzinah tidak akan diterima allah amal ibadahnya selama 80 tahun,dan gimana kalau kita mati pada usia muda?

-siapkah kita jika istri kita disetubuhi orang lain melalui facebook?
EKSTRIM BANGET KAN?tapi itulah kenyataannya.
Terima Kasih dan mudah mudahan bermanfaat untuk kita dan semua keluarga indonesia.

Koalisi Jahat Seorang Istri

Selasa, 15 Maret 2011 - 20:33 WIB

DEMI melapangkan perjalanan asmaranya, Ny. Sundari, 55, tega hendak meracun suami sendiri. Tapi sial, minuman beracun itu jusru terminum anak sendiri. Tak sampai wasalam memang. Tapi dari sana terungkap bahwa istri Paimo, 60, ini sengaja membangun “koalisi jahat” untuk bisa kawin dengan PIL-nya.
Yang namanya politik selalu menghalalkan segala cara. Tapi biasanya ini politik untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Lihat saja itu Muamar Khadafi dari Libia, dia tega menembaki rakyat sendiri lewat udara, karena tak mau diganggu kekuasaanya. Kesimpulannya, di mata politik nyawa itu tak ada harganya.
Bagaimana dengan politik untuk meraih kenikmatan ragawi? Ternyata banyak juga yang tega berbuat aniaya. Ny. Sundari ini contohnya. Agar bisa segera menikah dengan PIL-nya, dia dengan tega hati hendak melenyapkan suami sendiri. Padahal jika Allah belum menghendaki, apa yang jadi target justru malah meleset. Ceritanya mau membunuh suami, justru anak yang kejet-kejet (nyaris tewas).
Usia Ny. Sundari bukan lagi muda, apa lagi suami. Tapi di kala anak-anak sudah gede bahkan sebagaian sudah mentas (menikah), eh mereka malah berusaha pecah koalisi. Apalah terjadi pengkhianatan dalam setgab koalisi? Apakah Sundari mau niru Lily Wachid, apakah Paimo mengikuti jejak Effendi Khoiri? Sepertinya tidak. Tapi yang jelas, kini Paimo – Sundari sudah tidak tinggal serumah. Sebetulnya Sundari sudah minta cerai, tapi suami tak pernah mengizinkan.
Meski sudah bukan lagi muda, ternyata Sundari masih pengin juga membangun koalisi dengan lelaki lain, apa lagi dia sudah punya cem-ceman baru. Sayangnya, niat itu susah dilaksanakan, lantaran Paimo masih pegang kendali setgab. Lalu bagaimana akal? Bandi, 50, kekasih Sundari pun melempar wacana. “Kalau suamimu masih ada, mustakhil rencana kia terlaksana.” Ujar Bandi.
Jadi Paimo harus dilenyapkan? Meski sebetulnya berat, tapi demi rencana koalisi asmaranya, Sundari menerima saran kekasihnya. Lalu Bandi pun memberikan sejimpit racun, agar dituangkan ke dalam air mineral yang biasa dibawa Paimo selagi ke sawah. Lagi-lagi demi asmara yang sedang membara, Sundari menurut saja.
Diam-diam dia memasukkan racun ke dalam botol air mineral itu. Teorinya, air kemasan itu akan dibawa suami ke sawah dan di sana dia segera meregang nyawa setelah meminumnya. Ternyata teorinya meleset.  Justri Dimin, 27, anak keduanya, sepulang bepergian langsung makan. Dan karena keseretan, air mineral di atas meja itu pun ditenggaknya, gleg, gleg.
Tapi mendadak perut sakit, seperti diaduk-aduk dan mata kunang-kunang. Dimin dilarikan ke Puskesmas Jogorogo. Masih bisa diselamatkan nyawanya. Tapi dari situ semuanya jadi terungkap bahwa air maut itu sedianya akan dipakai mencelakakan suami. Gara-gara rencana jahat ini, Paimo terpaksa melaporkan istrinya ke polisi.
Kini Sundari warga Desa Dawung Kecamatan Jogorogo Kabupaten Ngawi (Jatim) ini mendekam dalam tahanan Polres Ngawi. Dalam pemeriksaan dia mengakui bahwa memang sengaja mau meracun suami, atas sponsor Bandi. Polisi pun kini mengejar PIL-nya Sundari, sebab setelah usahanya gagal total dia buru-buru melarikan diri entah ke mana.
Tunggu ya, gagal naik pelaminan, malah naik mobil polisi dengan tangan diborgol. (HS/Gunarso TS)


         Boleh dibilang sampai saat ini kasus tindak kejahatan ISTERI kepada suami, yang terjadi di Negara kita dalam ruang lingkup kekeluargaan, yang mana sasaran obyek dalam kekerasan tersebut menurut UU Nomor 23 Pasal 2 ayat 1 dan 2 adalah suami, isteri dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang lain.[1] Hal itu juga sering disebut KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Tindakan tersebut bias berbuntut perpecahan dalam sebuah keluarga.

       Tindakan kekerasan di dalam rumah tangga,[2] pada umumnya melibatkan pelaku dan korban di antara anggota keluarga di dalam rumah tangga. Sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan dalam lingkup psikis. Pelaku dan korban tindak kekerasan di dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja. Tidak dibatasi oleh strata sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa. Sehingga hal itu merupakan suatu problem serius dalam konteks hukum ataupun sosial yang perlu diatasi.

        Oleh karena itu, berangkat dari problem di atas maka sejatinya pemerintah mengeluarkan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi senjata untuk mereduksi semua tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga selama ini. Namun, yang menjadi permasalah adalah: Apakah Undang-Undang tersebut secara aplikatif sudah dapat melindungi hak-hak seseorang dalam keluarga secara utuh? Karena banyak factor-faktor yang mendorong tenggelamnya kasus tersebut dalam tatanan hokum dengan alasan tindak kekerasan pada isteri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga (privasinya) yang berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home).
Akibatnya, ia lebih merupakan kejadian sederhana yang kurang menarik ketimbang sebagai fakta sosial yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus dan penanganan yang sungguh-sungguh dari masyarakat dan pemerintah. Tak ayal, dengan pemahaman seperti itulah yang menjadi penyakit dari bermunculannya tindak-tindak kekerasan untuk kesekian kalinya.
Maka dari itu, menarik untuk dapat dikaji secara tegas, terkait hal-hal yang menyangkut dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga ini. Maka dapat dipastikan pada perspektif kacamata hokum (yurisprudensi law) yang mana dapat divariasikan dengan tatanan psikologis. Oleh sebab itu, dalam makalah ini pemateri akan menyajikan pembahasan seputar KDRT dengan merujuk kembali pada UU Nomor 23 Tahun 2004, terkait definisi KDRT, macam-macam bentuk kekerasan, factor-faktor yang mempengaruhi timbulnya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Sanksi bagi pelaku tindak pidana kekerasan, tata cara pengaduan tindak kekerasa, dampak KDRT, solusi untuk mengatasi KDRT, dan aplikasi perundang-undangannya.
WORKING THOUGHT
A.    Definisi KDRT
Secara terminology, KDRT pada dasarnya mempunyai dua unsur; pertama yaitu arti dari kekerasan itu sendiri dan kedua adalah arti kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kekerasan mempunyai tiga pengertian: pertama sebagai suatu perihal (yang bersifat atau bercicir) keras.Kedua, perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik dan barang orang lain. Ketiga, kekerasan diartikan sebagai paksaan.[3]
Menurut Mansour Fakih, ia lebih menitik beratkan pada pengertian kekerasan sebagai suatu serangan atau invasi terhadap fisik ataupun intergritas mental psikologis seseorang. Kekerasan sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber. Namun, salah satu kekerasan terhadap suatu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan bias gender ini disebut gender-related violence.[4]
Sementara pengertian KDRT sendiri adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan. Hal itu dapat menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hokum dalam lingkup rumah tangga, termaktub dalam UU KDRT Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, pasal 1.
B.     Macam-macam Bentuk Kekerasan Beserta Sanksinya[5]
Adapun macam-macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang mana diatur di dalam UU Nomor 23 Tahun 2004:
1.      Kekerasan Fisik
Dalam hal ini, kekerasan fisik sering kali terjadi. Namun terdapat pula klasifikasi atau macam-macam bentuk kekerasan yang mengakibatkan ancaman sanksi pidanapun berbeda. Secara umum apabila tindak kekerasan ini dilakukan maka dipidana penjara 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
Adapun kekerasan fisik terbagi menjadi dua:
1.      Kekerasan fisik berat: berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul, menyundut, melakukan percobaan pembunuhan, atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan: cidera berat, pingsan, luka berat pada tubuh dan luka sulit disembuhkan. Selain itu, kehilangan salah satu indera, terdapat cacat, menderita sakit lumpuh, terganggu daya pikirnya selama empat minggu atau lebih, dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda uang sebanyak 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Sedangkan apabila korban mengakibatkan matinya kandungan seorang perempuan, kematian korban, maka dipidana penjara maksimal 15 tahun atau denda 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
1.      Kekerasan fisik ringan: berupa tamparan, menjambak, mendorong dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan: cidera, sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat sehingga membuat korban tidak mampu menjalankan tugas aktivitas sehari-hari, dipidana penjara 4 bulan atau denda uang sebanyak 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Namun, apabila melakukan repetisi kekerasan fisik ringan yang dapat dimaksudkan dalam kekerasan fisik berat, maka dapat dijatuhi sanksi hokum berat sebagai mana yang telah disebutkan di atas.[6]
2.      Kekersan Psikis
Bentuk-bentuk kekerasan psikis yang sering dialami ataupun sebaliknya isteri antara lain:
1.      Menghina isteri atau melontarkan kata-kata yang merendahkan dan melukai harga diri isteri.
2.      Melarang isteri untuk mengunjungi saudara atau teman.
3.      Melarang isteri dalam aktif disuatu kegiatan social.
4.      Mengancam akan menceraikan isteri dan memisahkan dengan anak-anaknya    bila tidak menuruti kemauan dari suami.[7]
5.      Untuk pidana kekerasan psikis  “berat”,[8] di sini maka dipidana penjara 3 tahun atau denda uang Rp. 9.000.000.00 (sembilan juta rupiah). Sedangkan psikis “ringan”, dipidana penjara maksimal 4 bulan atau denda 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
3.      Kekerasan Seksual
Bentuk-bentuk kekerasan seksual, yang terdapat pada pasal 8 UU Nomor 23 Tahun 2004, meliputi:
1.      Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tersebut. Bagi yang melakukan tindakan tesebut, maka dipidana penjara maksimal 12 Tahun atau denda maksimal Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
2.      Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu, dipidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 15 tahun atau denda minimal Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda maksimal Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
3.      Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada pasal 46 dan pasal 47 (kekerasan seksual) yang mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak member harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan dipidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).[9]
4.      Penelantaran Rumah Tangga
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hokum yang berlaku, baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).[10]
Sedang sanksi pidana bagi yang melakukan pada pasal 9 butir a dan b,[11] adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 50, hakim juga dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
1.      Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
2.      Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Namun yang menarik dalam hokum positif Indonesia semisal dalam KUHP kekerasan dalam rumah tangga yang masuk dalam tindak kekerasan (KDRT) dapat dijaring dengan pasal-pasal kejahatan. Walaupun hanya terbatas pada tindak pidana umum (korban atau pelaku laki-laki atau perempuan) seperti dalam kasus kesusilaan, perkosaan, penganiayaan, pembunuhan, dll.
Tindak pidana tersebut dirumuskan dalam pengertian sempit (terbatas), meskipun terdapat pemberatan pidana (sanksi hukuman) hingga perbuatan tersebut dilakukan dalam hubungan keluarga seperti terhadap ibu, isteri, dan anak.[12]
Di dalam KUHP pidana, pasal 89, misalnya hanya menekankan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Rumusan ini mengisyaratkan bahwa prilaku kekerasan hanya pada prilaku fisik.[13] Secara garis besar, tindak kekerasan yang telah diatur lebih banyak merupakan tindakan fisik, dan sebagian besar sifatnya umum, dilihat dari segi korbannya bisa masuk dalam pasal 282 tentang pornografi, pasal 285 tentang perkosaan, pasal 290 tentang perbuatan cabul, pasal 351 tentang penganiayaan, pasal 338 tentang pembunuhan, pasal 328 tentang penculikan.
C.     Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya KDRT
Faktor pendorong terjadinya kekerasan, secara garis besarnya yang menyebabkan adalah:
1.      Budaya Patrialkhi: budaya yang meletakkan laki-laki sebagai makhluk yang istimewa, memiliki nilai lebih, unggul, dan diutamakan, serta meletakkan perempuan sebagai makhluk subordinat di bawah kuasa laki-laki.
2.      Relasi kuasa yang timpang: system social mendorong perempuan untuk tergantung pada suami, utamanya perihal ekonomi. Sehingga pola relasi antar suami dan isteri tidak seimbang (balance). Selain itu, aplikasi pola struktural dalam perkawinan atau keluarga juga rentan untuk memunculkan pola relasi kuasa dalam keluarga. Pola relasi kuasa ini yang pada akhirnya bermuara pada tindak kekerasan, baik emosional, psikologi, fisik, ekonomi, dan seksual yang dimunculkan dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan yang lebih.[14]
3.      Role Modeling (prilaku hasil meniru): Proses meniru yang dilakukan sejak kecil melalui lingkungan keluarga yang orang tuanya sering melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, seperti seorang ibu atau isteri yang memiliki prilaku sering memukul suami atau sebaliknya dan juga memukul anak. Pola prilaku ini dapat mempengaruhi terhadap perkembangan psikologis anak sehingga berdampak buruk terhadap perkembangan anak, lebih-lebih ketika ia dewasa (berumah tangga).
4.      Pemahaman Keagamaan: Adanya banyak penafsiran yang keliru seputar relasi antara laki-laki dan perempuan (suami-isteri) sehingga banyak menimbulkan anggapan bahwa laki-laki memiliki kekuatan multak, sehingga perempuan dapat ditempatkan pada posisi yang rendah (inferior). Pola relasi tersebut terhadap pemahaman yang keliru memberikan peluang bagi tindakan kekerasan dalam rumah tangga.[15]
D.     Dampak KDRT
Terkait dengan munculnya KDRT dalam rumah tangga, maka dampak-dampaknya yang dihasilkan dari adanya kekerasan tersebut sangatlah fatal, dan diantaranya dampak dari kekerasan dalam rumah tangga adalah:
1.      Dampak yang bersifat fatal (Pembunuhan, bunuh diri, kematian)
2.      Tidak fatal (Luka-luka, cacat fungsi tubuh, kondisi kesehatan buruk, cacat permanen)
3.      Kondisi kronis (Meliputi sindrom sakit dan parah)
4.      Kesehatan mental (Stres pasca trauma, depresi, cemas, phobia, penghargaan kepada diri yang rendah)
5.      Prilaku yang tidak sehat (Merokok, penggunaan alcohol dan obat-obatan terlarang, tidak melakukan aktifitas fisik)
6.      Kesehatan reproduksi (Penyakit menular seksual, tidak berfungsinya organ seks, kompilasi kehamilan, keguguran)
            Dampak terhadap anak:
      Dampak kekerasan terhadap anak-anak secara umum adalah anak akan mengalami gangguan perkembangan dan emosional pribadi, anak akan kehilangan rasa percaya diri terhadap orang tua dan akan selalu merasa bersalah karena kedua orang tuanya tidak harmonis. Di samping itu, anak juga akan merasa takut dan berfikir ia juga akan mengalami kekerasan yang sama, kemudian merasa cemas dengan masa depannya. Selain itu, anak merasa sedih dan mereka akan kehilangan sosok orang tua jika mereka bercerai.
Ciri-ciri anak yang menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah tangga:
1.      Sering gugup
2.      Sering menyendiri
3.      Cemas
4.      Sering ngompol
5.      Gelisah
6.      Gagap
7.      Sering menderita gangguan perut
8.      Sakit kepala dan Asma
9.      Kejam pada binatang
10.  Ketika bermain meniru bahasa dan prilaku kejam
11.  Suka memukul teman

Dampak terhadap masyarakat
            Terganggunya ketentraman dalam masyarakat bisa jadi tidak sehat karena salah satu unsure pembentuknya (keluarga) sedang bermasalah, dan apabila kekerasan dalam rumah tangga terus berlangsung dimungkinkan akan terjadi pembudayaan akan kekerasan sebagai penyelesaian terhadap masalah dalam masyarakat.

Dampak terhadap keutuhan rumah tangga
     Sudah menjadi realitas social bahwa kekerasan dalam rumah tangga sedikit banyak akan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan dalam rumah tangga. Kondisi yang sangat tidak menguntungkan ini kalau tetap dibiarkan (pembiaran) dan tidak dapat diselesaikan secara baik, akan sangat rentan sekali terjadi perceraian. Perceraian adalah jalan terakhir yang ditempuh oleh pasangan suami-isteri yang tidak harmonis lagi.

E.      Langkah-langkah Yang Dapat Dilakukan Apabila Menjadi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga:
1.      Menceritakan kejadian kepada orang lain, seperti teman dekat, kerabat, lembaga-lembaga pelayanan/konsultasi
2.      Melaporkan ke Polisi
3.      Mencari jalan keluar dengan konsultasi psikologis maupun konsultasi hokum
4.      Mempersiapkan Perlindungan diri, seperti uang, tabungan, surat-surat penting untuk kebutuhan pribadi dan anak
5.      Pergi ke Dokter untuk mengobati luka-luka yang dialami, dan meminta Dokter membuat visum.[16]

Adapun kesimpulan yang dapat dipetik:
1.      Bahwa sudah jelas, UU Nomor 23 Tahun 2004 memaparkan permasalahan KDRT dalam bentuk pasal per pasal (UU Nomor 23 Tahun 2004). Kendatipun, pada realitasnya, masih meriuhnya kasus tindak kekerasan (baik fisik maupun psikis). Namun, jika mengacu pada UUD 45 pasal 1 ayat (1) Negara Indonesia berdasarkan Negara hokum, bukan Negara kekuasaan. Oleh karena itu, dilarang untuk memberlakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga.
2.      Bahwa sudah jelas, dalam suatu ikrar (pernikahan suami dan isteri), keduanya berikrar akan memperkokoh rumah tangga, dan menjalani tanggung jawab (antara kewajiban isteri dan kewajiban suami). Maka dari itu, antara keduanya merujuk pada ikrar dalam pernikahan yang sesuai dalam Al-Qur’an (QS. Ar-rum: 21) serta Hadits yang menguraikan permasalahan dalam rumah tangga.
3.      Bahwa sudah jelas, adanya pengaruh KDRT dapat berakibat fatal pada perkembangan dan pertumbuhan anak-anaknya, bisa-bisa anak akan mengikuti apa yang telah terjadi. Hal itu sebagai imbas dari prilaku suami terhadap isteri ataupun sebaliknya.
            Layaknya jenjang pernikahan bukanlah sebagai sebuah permainan, yang setelah beberapa hari, minggu, bulan, ataupun bertahun-tahun menjalani bahtera rumah tangga, kandas tengah jalan. Hal demikian lantaran ada permasalahan intern dalam rumah tangga, hingga berakibat kekerasan yang tidak bisa terelakkan. Dalihpun beragam; bisa berakibat perselingkuhan, pihak suami tidak paham kondisi istri (factor sosiologis maupun psikologis) ataupun sebalinya (diantara keduanya sama-sama berprofesi).
Akan tetapi, kekerasan tidak akan terjadi, jika antara keduanya (suami dan isteri) saling memahami (kekurangan maupun kelebihan), mendiskusikan permasalahan keluarga secara dingin, dan sharing idea akan berdampak share of taste untuk kepentingan bersama (antara suami-isteri, terlebih terhadap anak-anaknya). Apapun kasus KDRT bisa diakhiri dengan memberikan PALU(protection, attention, love and understanding).
            Betapa bahagianya jika dunia dihuni oleh suami-suami dan isteri-isteri dalam menjalankan bahtera rumah tangga dengan penuh kebahagiaan, keharmonisan, tanpa sedikitpun celah. Memang meskipun UU Nomor 23 Tahun 2004 sebagai instrumen (acuan) mengatur suatu masalah (kejanggalan di dalam rumah tangga). Akan tetapi, walaupun peraturan perundang-undangan tersebut menjadi penyanggah untuk dipatuhi. Sebagai manusia yang mengakui kesempurnaannya untuk menyadari apa tujuan hidupnya dalam mengarungi kebahagian berumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.[17]
           

[1] Hubungan darah, perkawinan, penyusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
[2] Sebuah rumah tangga dengan keluarga inti (nuclear family) hanya terdiri atas seorang suami, seorang isteri, dan anak. Lazim pula dijumpai dalam sebuah masyarakat, sebuah rumah tangga terdiridari keanggotaan atau keluarga yang lain seperti mertua, ipar, dan sanak saudara atas dasar pertalian darah maupun perkawinan dengan suami-isteri bersangkutan. Selain itu, rumah tangga dalam kehidupan modern di perkotaan umumnya diramaikan lagi dengan kehadiran orang lain yang berperan sebagai pembantu. Sang pembantu bisa berasal dari kerabat atau keluarga pasangan suami-isteri bersangkutan dan bisa pula orang luar.
[3] Tim Penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet ke-4 (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1993), hlm. 425.
[4] Mansour Fakih, analisis gender dan tranformasi sosial, cet ke-4 (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 17.
[5] Namun, dewasa ini bentuk-bentuk kekerasan juga telah merambah dalam ruang lingkup ekonomi, sehingga mengakibatkan adanya bentuk kekerasan ekonomi. Menurut RUU adalah tindakan eksploitasi, manipulasi, dan pengendalian melalui sarana ekonomi dengan memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif, mengontrol keuangan secara ketat, melarang korban bekerja tetapi menelantarkan, mengambil, merampas, atau memanipulasi harta-benda korban.
[6] Sesuai pasal 6, UU Nomor 23 Tahun 2004
[7] Nurhayati, kekerasan terhadap isteri, (Yogyakarta: Rifkan Anisa, 1999), hlm. 1
[8] Yang dapat menimbulkan penyakit dan menyebabkan halangan korban dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari.
[9] UU Nomor 23 Tahun 2004 pasal 48.
[10] Sekilas tentang Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Lacak http://www.lbh-apik.or.id/fact-58.htm.
[11] a. setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hokum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
b. penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar Rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
[12] Riska Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Dalam Rumah Tangga, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 5
[13] Ibid, hal. 6
[14] Fathul Jannah, Kekerasan Terhadap Isteri, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 17-18
[15] Hussien Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (pembelaan kiyai pesantren), (Bandung: Institut Pahmina dan LKiS, 2004), hlm. 224
[16] Ninik Sri Rahayu, Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga,(Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2009)
[17] Menyangkut ketentraman jiwa (psikis) serta pemilahan kekuasaan (pekerjaan). Hal ini kedua-dunya juga tidak boleh over derreption (seimbang dalam melakukan aktifitas sebagai suami begitu juga sebagai isteri.
Ditulis pada Uncategorized
Posted on September 1, 2010 | Komentar Dimatikan
“Tidak ada kata sesal, jika sudah terlanjur memilih, mana yang bermanfaat tapi berakibat fatal dan menyakitkan semua orang (pengguna Gas), dan mana yang bermanfaat tapi sulit dan langka dipergunakan (minyak tanah). Semua adalah peralihan pemakaian dalam memenuhi kebutuhan hidup dalam keluarga”. Apakah sebaliknya, masihkah ada yang mau menjadi pengatin “kematian” berikutnya.
Petikan yang saya buat di atas menjadi fenomena sosial sampai saat ini. Pemberitan tentang ledakan Gas LPG 3 Kilogram masih menjadi hantu yang menghantui perasaan pengguna tersebut. Walaupun demikian, masih banyak penggemar Gas LPG, khususnya di DIY. Tak heran, meskipun ancaman menjadi resiko besar, masih banyak mempergunakannya.
Dari data yang diperoleh dari Dinas Perindagkop dan UKM DIY, konsumsi (2009) dan penyaluran Gas LPG (juni 2010) di DIY misalnya; di Yogyakarta, sebanyak 16, 585 % pengguna Gas LPG 3 Kilogram, serta penyalurannya sebanyak 10,163 %. Di Bantul, sebanyak 18,802 penggunan Gas LPG 3 Kilogram, serta penyalurannya sebanyak 10,689 %. Di Kulonprogo, sebanyak 3,521 masih lebih minim dibanding daerah Yogyakarta, dan sejumlah daerah lainnya, dan penyalurannya lebih tinggi; 3,725 %. Selain itu, di Gunung Kidul, sebanyak 4.448 % pengguna Gas LPG (sama), tingkat penyalurannya sebanyak 16,993. terakhir di daerah Sleman, pengguna Gas LPG sebanyak 14.163.
Apakah dengan kuantitas penggemar Gas LPG, serta kualitas pengguna dari tiap tahunnya, benar-benar ada pengawasan dari pihak pertamina, atau pemerintah bisa menjamin kelayakan serta keamanan cara pemakaiannya?
Selanjutnya, apakah pemerintah benar-benar mengacu terhadap antisipasi terjadinya ledakan LPG berikutnya? Sebab, apa fungsi dari label SNI, jika masih terjadi ledakan baru. Bagi saya, kinerja pemerintah (pusat dan daerah) serta pihak terkait (pertamina), belum memaksimalkan bom waktu Gas yang menjadi alternatif kedua, setelah Minyak tanah, yang kian melambung tinggi. Perlu kiranya kesungguh-sungguhan, dan mampu mengemban aspirasi masyarakat, demi mewujudkan mutu serta kualitasnya.
Jeritan Rakyat
Tentu trauma pemakaian Gas LPG masih membuat resah, pelik, takut terjadi sesuatu tidak diinginkan. Pertaruhan nyawa tidak sebanding harga Gas LPG. Siapa yang betanggungjawab jika telah menelan jutaan korban? Pemerintahkah, pihak pertaminakah, atau pengguna Gas tersebut.
Mungkin dari sejumlah penuturan yang resah dengan Gas LPG, dapat kita jumpai dua orang yang berlainan daerah. Sebut saja Nina asal jakarta barat, dan susi Hariyani asal Jawa Timur, Hingga saat ini anaknya bernama Ridho masih menjalani perawatan di Rumah sakit, lantaran menjadi korban ledakan bom LPG 3 Kilogram di rumahnya, setelah diketahui ada kebocoran tabung yang dibelinya. Korban selanjutnya, Sri winih, tukang jamu asal cilacap jawa tengah, tak luput dari amukan ledakan Gas LPG. Ujung-ujungnya takut, berhenti memakai Gas LPJ. Ada apa dibalik semua ini?
Dari ketiga penurutan korban diatas dapat diketahui, betapa pentingnya pengkajian ulang, perihal tabung Gas LPG. Apalagi mirisnya, ilegal Gas LPG yang terjadi akhir-akhir ini, melalui inspeksi mendadak dari pihak berwenang, guna menindak-lanjut pemalsu label SNI Gas LPG. Terlebih Dinas perindustrian dan perdagangan di pelbagai kota beserta pihak berwajib, sebagai penegak hukum, patut mengentaskan keamanan “merazia produk ilegal” secara terus menerus (tidak sekedar hangat-hangat tahi ayam), guna meminimilisir ledakan berkelanjutan.
Kembali pada muasal?
Kiranya menjadi tanda tanya besar jika masih belum redanya kasus ledakan Gas LPG, hingga sampai merenggut puluhan korban atau lebih. Apalagi melihat siklus peralihan ekonomi masyarakat (menengah-kebawah), setidaknya pemerintah memberikan solusi terbaik sebagai tindak lanjut mengenai kebutuhan rumah tangga, karena hingga kini, tanda tanya besar terhadap pemakaian Gas LPG masih menyisakan trauma akut, hal ini ramainya “gandrung akan Gas LPG” buatan pemerintah “yang kelibat serba mudah”, semestinya menjamin labelisasi keamanan yang memang menjamin kebutuhan Ibu rumah tangga di pelbagai Daerah.
Di sisi lain, minat masyarakat kekinian masih dipertanyakan, apakah mereka mau kembali seperti semula, Menggunakan minyak tanah. Sejatinya, minyak tanah lebih efektif dibanding Gas LPG. Kendatipun, melambungnya kebutuhan pokok, mulai dari rempah-rempah; cabe yang kian hari, kian melonjak, merembet harga minyak tanah, berkisar 8000 rupiah perliternya. Sudah merasa legakah pemerintah? Puaskah, atau merasa bijakkah pemerintah dalam mengentaskan Gas LPG sebagai kemudahan dan solusi terakhir untuk kebutuhan sehari-hari?
Akhirnya, kita tunggu waktu, apakah pemerintah betul-betul memikirkan nasib rakyat, atau malah meletarkan rakyat, hingga menjadi pengantin “korban” keganasan Gas LPG, yang pengujian regulator (layak tidaknya) masih menimbulkan pertanyaan dan pembalikan fakta. Kita tunggu apa yang akan dicanangkan kembali oleh pemerintah, kaitannya Gas Alternatif, sesuai kebutuhan dan keselamatan masyarakat dari ancaman bom Gas LPG. 

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook