Monday, June 10, 2013

MISTERI LANCANGKUNING RIAU SEJAK ZAMAN KERAJAAN

MISTERI LANCANGKUNING


LANCANG KUNING, BERLAYAR MALAM,
TALINYA TETAP, BERPILIN TIGA.
PELATIHAN SUDAH, BERMACAM-MACAM,
 MENGAJARNYA GURU, BEGITU-BEGITU JUGA

TAK AKAN MELAYU, HILANG DI BUMI
BEGITULAH, KATA HANG TUAH
JIKA ANAK CUCU, TEGAS DAN BERANI
HASIL BUMI, TAK AKAN BERPINDAH

KALAU ROBOH, KOTA BATAM
PEKANBARU, SEMAKIN PADAT
KALAU CEROBOH, BERCAMPUR DENDAM
KEUNTUNGAN APAPAUN, TIDAK DIDAPAT


Lancang Kuning

          Lancang adalah sebuah perahu dengan ukurang yang berbeda-beda, karena ada yang kecil dan ada pula yang besar, yang jelas lancang adalah alat perhubungan air pada masa lalu. Dalam masyarakat Riau lebih dikenal dengan Lancang Kuning yang merupakan suatu lambang kebesaran daerah Riau. Karena itu Lancang Kuning ditetapkan menjadi lambang dan nyanyi (nyanyian—pent.) daerah Riau.

          Adapun cerita Lancang Kuning adalah berasal dari sebuah kerajaan yang terdapat di Bukit Batu, wilayah Kabupaten Bengkalis. Kerajaan ini diperintah oleh raja yang bernama Datuk Laksmana Perkasa Alam serta dibantu oleh dua orang panglima yaitu Panglima Umar dan Panglima Hasan. Panglima Umar adalah seorang panglima yang dipercaya oleh Datuk Laksmana Perkasa untuk menyelesaikan sesuatu jika terjadi persoalan dalam kerajaan. Umpamanya jika terjadi perampokan di perairan, setiap tugas dapat diselesaikannya dengan baik.
          Pada suatu hari Panglima Umar menghadap Datuk Laksmana untuk menyampaikan hasrat hati untuk mempersunting Zubaidah, seorang gadis negeri itu. Permohonan Umar disambut dengan baik oleh Datuk Laksmana. Dengan persetujuan Datuk Laksmana dilangsungkan pernikahan dan tanda kegembiraan diadakan pesta dan keramaian besar-besaran.
          Rupanya kepercayaan yang diberikan dan perkawinan Umar dengan Zubaidah menimbulkan rasa tidak senang bagi Panglima Hasan, timbul dendam. Hal ini timbul dikernakan (karena—pent.) rupanya Panglima Hasan juga simpati dan mencintai Zubaidah itu. Rupanya apa yang diinginkan itu telah didahului Panglima Umar.
          Untuk melepaskan rasa sakit hati Panglima Hasan mencarai akal bagaimana agar Zubaidah dapat dimilikinya, maka dengan akal busuknya Panglima Hasan menyuruh Domo menyampaikan kepada datuk bahwa dia bermimpi agar Datuk Laksmana membuat Lancang Kuning untuk mengamankan semua perairan dari lanun. Apa yang disampaikan Pawang Domo diterima oleh Datuk Laksmana, sehingga Lancang Kuning dikerjakan siang malam. Setelah Lancang Kuning hampir selesai tersebar berita bahwa Batin Sanggoro telah melarang para pelaut untuk mencari ikan di Tanjung Jati.
          Dengan adanya berita ini Datuk Laksmana memerintahkan agar Panglima Umar berangkat dan menemui Batin Sanggoro, sungguh berat hati Panglima Umar untuk berangkat karena istrinya sedang hamil tua dan tak lama lagi ia akan melahirkan, tapi karena tugas yang sangat penting, semua perasaan itu ditahan, demi kerajaan yang tercinta.
          Setelah berlayar beberapa hari sampailah Panglima Umar kepada Batin Sanggoro dan diceritakan semua berita yang tersebar di Bukit Batu. Mendengar cerita itu Batin Sanggoro terkejut, karena selama ini dia tidak pernah melarang nelayan Bukit Batu menangkap ikan di Tanjung Jati. Mendengar cerita Batin Sanggoro Panglima Umar termenung dan berpikir, apakah gerangan yang terjadi di balik peristiwa ini? Melihat keadaan ini lalu Batin Sanggoro menganjurkan agar cerita ini diselidiki dari mana asal mulanya, dan diselidiki sewaktu perjalan pulang.
          Rupanya apa yang disampaikan Batin Sanggoro dituruti Panglima Umar, sewaktu perjalanan pulang Panglima Umar berkeliling karena mencari siapa yang membuat berita itu, sehingga tidak dirasakan bahwa (pent.—tulisan tidak jelas) perjalanan sudah satu bulan.
          Malam ini tepat lima belas hari bulan purnama. Malam itu Lancang Kuning akan diluncurkan ke laut. Di balai-balai telah banyak awak (pent.—tulisan tidak jelas) kerajaan dan penduduk negeri untuk menyaksikan peluncuran Lancang Kuning tersebut. Bermacam-macam hiburan daerah dipertunjukkan. Semua (pent.—tulisan tidak jelas) penduduk negeri berkembira kecuali Zubaidah, kerna suaminya Panglima Umar sudah satu bulan pergi dan sampai saat ini belum juga kembali (pent.—tulisan tidak jelas) dan kerna itu tidak pergi menghadiri acara peluncuran Lancang Kuning ke laut pada malam itu.
          Setelah semua keperluan peluncuran Lancang Kuning disiapkan Pawang (pent.—tulisan tidak jelas) Domo memberikan petunjuk kepada Datuk Laksmana. Acara peluncuran diawali dengan tepung tawar pada dinding Lancang Kuning kemudian dilanjutkan Panglima Hasan dan pemuka masyarakat lainnya. Selesai tepung tawar dilanjtkan dengan pengasapan dan barulah semua yang hadir diperintahkan supaya (pent.—tulisan tidak jelas) berdiri di samping Lancang Kuning dan semua bunyi-bunyian dibunyikan. Dan semua yang telah memegang Lancang Kuning mendorong, tetapi alangkah anehnya, Lancang Kuning tersebut tidak bergerak sedikitpun. Hal ini dikerjakan berulang-ulang bahkan tenaga sudah ditambah, namun Lancang Kuning tidak juga bergerak. Hadirin yan hadir bmerasa heran dan bertanya-tanya, muka Pawang Domo merah padam.
          Pawang Domo segera bersembah kepada Datuk Laksmana dan berkata: ampun tuanku yang mulia! Rupanya Lancang Kuning tidak bisa diluncurkan jika.... Jika apa Wak Domo? Kata Datuk Laksmana, katakanlah! Jika Lancang Kuning ingin juga diluncurkan harus ada korban. Korban berapa ekor kerbau yang diperlukan Wak Domo? Tuanku yang mulia, bukan kerbau. Wak Domo menghampiri Datuk Laksmana dan membisikkan bahwa korban yang diperlukan adalah perempuan hamil sulung—Datuk Laksmana tertunduk dan termenung serta berkata kepada Pawang Domo—bahwa tidak mungkin itu dilakukan,  maka Datuk Laksmana memerintahkan agar peluncuran Lancang Kuning diundurkan saja.
          Setelah sebagian orang pulang, Panglima Hasan pergi ke rumah Zubaidah dan didapatinya Zubaidah sedang duduk termenung. Zubaidah terkejut dengan  (pent.—tulisan tidak jelas) kedatangan Panglima Hasan sambil berkata. Mengapa lagi kau ke sini Panglima Hasan? Berkata Panglima Hasan: Zubaidah apa lagi yang kau tunggu Zubaidah? Suamimu tidak akan kembali lagi, karena itu biar aku yang mejadi ayah anakmu itu! Apa katamu panglima pengkhianat?  Biar saya mati  (pent.—tulisan tidak jelas) dari pada bersuamikan kamu! Apa? Jawab Panglima Hasan. Jika kamu masih menolak permintaanku, kamu akan saya jadikan gilingan Lancang Kuning yang akan diluncurkan ke laut.
          Kerna Zubaidah tetap menolak permintaan Pangliama Hasan, maka Zubaidah ditarik dan matanya ditutup dengan dibantu oleh pengawalnya, setelah sampai di (pent.—kata “di” dengan lambang huruf   tertutup garis hitam bekas fotocopy) Lancang Kuning yang akan diluncurkan, Panglima Hasan mendorongkan tubuh Zubaidah ke bawah Lancang Kuning dan ketika itu juga Panglima Hasan memerintahkan supaya  (pent.—tulisan tidak jelas) Lancang Kuning didorong ke laut. Hanya didorong oleh beberapa orang saja (pent.—tulisan tidak jelas) Lancang Kuning itu meluncur dengan mulus.
          Setelah Lancang Kuning sampai di laut tampaklah darah dan daging Zubaidah berserakan di tanah dan ketika itu turunlah hujan serta (pent.—tulisan tidak jelas) petir dan angin kencang serta bertepatan waktu itu Panglima Umar merapat ke pelabuhan Bukit Batu.
          Setelah perahu ditambatkan di pelabuhan Panglima Umar langsung ke rumah untuk melihat istrinya dan anaknya yang telah ditinggalkan selama sebulan, tapi setelah sampai di rumah, rumahnya kosong, dipanggilnya Zubaidah tetapi tidak ada jawaban. Hati pnglima sudah mulai gelisah, maka ia berangkat ke pelabuhan, di tengah jalan ia berpapasan dengan Panglima Hasan, langsung Panglima Umar bertanya kepadanya, dimana gerangan istriku. Panglima Hasan menceritakan, istrinya Zubaidah telah dijadikan gilingan Lancang Kuning oleh Datuk Laksmana.
   Mendengar cerita Panglima Hasan tersebut Panglima Umar langsung pergi ke tempat peluncuran Lancang Kuning, didapatinya darah berserakan alangkah sedih hati Panglima Umar melihat tubuh istrinya itu, disapunya darah yang ada yang di tanah itu serta diusapkan ke muka serta berkata bahwa dia akan membalas atas kematian istrinya itu kepada datuk laksmana, tetapi baru saja ia berjalan dilihatnya Datuk Laksmana berjalan kearahnya.
   Setelah mereka bertemu Panglima Umar langsung menyerang Datuk Laksmana dengan pedang yang panjang ke perut Datuk Laksmana, tanpa ada pembicaraan sedikit pun, akhirnya Datuk Laksmana mati di tangan Panglima Umar, ketika itu juga datanglah Pawang Domo serta menceritakan segala kejadian yang sebenarnya, bahwa yang menjadikan Zubaidah untuk gilingan Lancang Kuning adalah Panglima Hasan, tanpa mengulur waktu Panglima Umar pergi mencari Panglima Hasan.
Dari kejauhan Panglima Umar melihat Panglima Hasan sudah bersiap-siap untuk melarikan diri menuju Lancang Kuning tapi belum sempat melepaskan talinya Panglima Umar telah sampai, dengan pedang terhunus sambil berkata: nah. . . malam ini. . . engkau atau aku akan mati. Dengan disaksikan penduduk mereka berkelahi di atas Lancang Kuning. Dan akhirnya Panglima Hasan dapat ditikam Panglima Umar dan matinya jatuh ke laut.
Waktu itu lah Panglima Umar melihat ke pantai dan berkata kepada orang yang ada di pantai bahwa ia telah membunuh Datuk Laksmana karena perbuatan Panglima Hasan dan Panglima Hasan pun sudah mati di tangannya, kerna itu ia akan pergi dengan Lancang Kuning untuk selama-lamanya, dan ketika sampai di Tanjung Jati datanglah ombak besar dan angin topan sehingga Lancang Kuning tersebut karam dan ia bersama Lancang Kuning terkubur dalam laut Tanjung Jati serta kejayaan kerajaan negeri bukit batu berangsur-angsur mundur dan akhirnya tinggal setumpuk rumah saja lagi.
            
            2.2. Analisis Naskah Melayu “Lancang Kuning” berdasarkan Teori Strukturalisme
2.2.1. Analisis Plot pada Teks Melayu “Lancang Kuning”
Plot atau alur cerita merupakan salah satu unsur yang penting dalam sebuah karya sastra fiksi, bahkan tak sedikit orang yang menganggap plot unsur terpenting sebagai pembangun karya fiksi. Tinjauan struktural pun sering ditekankan pada pembahasan plot. Stanton (dikutip Nurgiyantoro, 2010:113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian , namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Plot ini dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku dan sikap-sikap tokoh utama cerita.
Peristiwa demi peristiwa yang ditampilkan yang hanya mendasarkan pada urutan waktu belum dapat dikatakan plot. Agar menjadi sebuah plot, peristiwa-peristiwa tersebut harus disiasati secara kreatif, sehingga menghasilkan sesuatu yang menarik dan indah. Abrams (dikutip Nurgiyantoro, 2010:113) yang menyetujui adanya perbedaan cerita dengan plot mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebgaimana terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebit untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.
Dalam teks “Lancang Kuning” ini plot yang sangat menonjol adalah ketika Panglima Hasan menjadikan Zubaidah gilingan Lancang Kuning dan dia mengatakan kepada Panglima Umar bahwa Datuk Laksmana yang melakukannya menyebabkan Datuk Laksmana terbunuh di tangan Panglima Umar tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu. Kemudian berita itu diluruskan oleh Pawang Domo sehingga diketahuilah bahwa pelaku sebenarnya adalah Panglima Hasan. Hal ini kembali menyebabkan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh Panglima Umar terhadap Panglima Hasan di atas Lancang Kuning.
Untuk lebih jelas mengenai plot yang terdapat pada teks yang berjudul “Lancang Kuning” ini, dapat kita runut peristiwa, konflik dan klimaks sebagai berikut.

1. Peristiwa
Sejauh ini kita sering mendengar kata peristiwa maupuun kejadian disebut-sebut oleh banyak orang dalam pembicaraan tentang karya fiksi, namun belum diketahui secara jelas apa sebenarnya peristiwa itu. Dalam berbagai literatur berbahasa Inggris sering dikemukakan penggunaan istilah action (aksi, tindakan) atau event (peristiwa, kejadian) secara bersamaan atau bergantian, walau sebenarnya kedua istilah itu menyaran pada dua hal yang berbeda. Action merupakan sebuah aktivitas yang dilakukan oleh tokoh manusia, misalnya memukul dan memarahi. Di pihak lain, event lebih luas cakupannya menyaran pada sesuatu yang dilakukan dan atau dialami oleh manusia yang terjadi diluar aktivitas manusia, misalnya peristiwa alam seperti banjir dan tanah longsor. Dalam penulisan ini, kedua hal itu disederhanakan menjadi: peristiwa atau kejadian. Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg dikutip Nurgiyantoro, 2010:117)
Peristiwa yang terjadi dalam teks “Lancang Kuning” ada enam, dimulai dari niat Panglima Umar yang hendak mempersunting Zubaidah, seorang putri raja di daerah Bukit Batu, wilayah Kabupaten Bengkalis, pada masa lampau. Suntingan Panglima Umar terhadap Zubaidah diterima dan dilangsungkan pesta pernikahan secara besar-besaran. Peristiwa kemudian beralih kepada perasaan Panglima Hasan yang terluka dan sakit hati karena niatnya telah didahulukan oleh Panglima Umar. Dari rasa sakit hatinya itu, muncul niat jahat Panglima Hasan dengan menyiarkan kabar bahwa Batin Sanggoro telah melarang para pelaut untuk mencari ikan di Tanjung Jati. Kemudian peristiwa beralih pada Batin Sanggoro yang tidak mengakui kebenaran berita itu setelah ditanyakan oleh Panglima Umar. Sanggoro meminta Panglima Umar mencari kebenaran berita itu, dari mana asal muasalnya. Perjalanan Panglima Umar mencari kebenaran berita itu berlangsung selama sebulan. Selama itu pula ia meninggalkan Zubaidah yang sedang hamil tua.
Di samping peristiwa itu juga terdapat peristiwa lain yang dialami oleh Datuk Laksmana dan masyarakat Bukit Batu. Ketika Datuk Laksmana mendapat berita dari Pawang Domo untuk membuat perahu yang digunakan untuk mengusir para lanun dari perairan Bukit Batu, maka perahu yang diberi nama Lancang Kuning itu dikerjakan siang dan malam. Tetapi ketika Lancang Kuning sudah selesai dikerjakan dan hendak diluncurkan ke laut melalui berbagai ritual, Lancang Kuning tetap tidak mau meluncur ke laut karena membutuhkan korban dari seorang wanita yang sedang hamil sulung. Peristiwa beranjak pada perbuatan Panglima Hasan yang keinginannya untuk menjadi suami Zubaidah ditolak oleh Zubaidah kemudian menjadikan Zubaidah sebagai korban untuk meluncurkan lancang Kuning ke laut. Sesaat setelah kejadian itu, Panglima Umar kemmbali ke Bukit Batu dan mendapat kabar dari Panglima Hasan bahwa istrinya telah dijadikan gilingan Lancang Kuning oleh Datuk Laksmana. Kemudian peristiwa beranjak pada peristiwa pembunuhan Datuk Laksmana dan Panglima Hasan oleh Panglima Umar. Sementara peristiwa akhir dari kisah kerajaan Bukit Batu ini ditandai dengan kepergian Pangkima Umar berlayar dengan Lancang Kuning dan tenggelam di perairan Tanjung Jati serta mengakibatkan mundurnya kerajaan Bukit Batu.

2. Konflik
Konflik juga termasuk salah satu unsur yang penting dalam sebuah plot. Peristiwa yang terjadi berupa peristiwa yang fungsional, utama, atau kernel yang sangat esensial dalam pengembangan sebuah plot. Konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita, yang jika tokoh-tokoh itu dapat memilih, ia memilih peristiwa itu tidak akan menimpa dirinya (Meredith & Fitzgerald dikutip Nurgiyantoro, 2010:122). Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek & Warren dikutip Nurgiyantoro, 2010:122). Dengan demikian, konflik menyaran pada konotasi yang negatif, sesuatu yang tak menyenangkan. Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun hakikatnya merupakan sebuah peristiwa. Adanya peristiwa tentu dapat menimbulkan konflik. Konflik demi konflik yang disusul peristiwa demi peristiwa pada akhirnya dapat menyebabkan konflik semakin meningkat dan mencapai klimaks.
Konflik-konflik yang terjadi dalam teks Melayu “Lancang Kuning” mulai muncul ketika Zubaidah dijadikan gilingan perahu Lancang Kuning oleh Panglima Hasan. Hal ini terjadi akibat penolakan Zubaidah terhadap Panglima Hasan yang ingin menjadi suami Zubaidah dengan alasan bahwa Panglima Umar takkan pernah kembali lagi. Zubaidah menolak keras permintaan Panglima Hasan dan menyebabkan ia diseret ke pantai untuk dijadikan gilingan Lancang Kuning. Zubaidah yang dijadikan gilingan Lancang Kuning meninggal dengan mengenaskan. Daging dan darahnya berserakan di pasir pantai. Seketika turun hujan dan serentak dengan kepulangan Panglima Umar yang sudah merapat di pelabuhan Bukit Batu. Panglima Umar yang tidak menemukan istrinya di rumah menemui Panglima Hasan secara tak sengaja. Pada saat itu Panglima Hasan mengatakan bahwa istrinya telah dijadikan gilingan Lancang Kuning oleh Datuk Laksmana. Perkataan Panglima Hasan mengundang amarah Panglima Umar yang menyebabkan kematian Datuk Laksmana.
Dapat kita lihat dari penjelasan di atas bahwa konflik muncul secara berurut. Konflik pembunuhan Datuk Laksmana oleh Panglima Umar terjadi karena peristiwa yang dipicu oleh Panglima Hasan yang menjadikan Zubaidah sebagai gilingan perahu Lancang Kuning dan memfitnah Datuk Laksmana. Dari konflik ini dapat kita ketahui karakter tokoh Panglima Hasan yang tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang telah ia lakukan. Panglima Hasan rela mengorbankan nyawa Datuk Laksmana untuk menutupi kesalahan dirinya dan pura-pura tidak tahu atas kejadian itu. Selain itu dapat juga kita lihat karakter tokoh Zubaidah yang rala mati demi mempertahankan kehormatan dirinya dan rumah tangganya yang sudah ia bangun bersama Panglima Umar. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara unsur-unsur intrinsik yang membangun sebuah karya fiksi. Unsur-unsur itu tidak dapat berdiri sendiri karena melalui salah satu unsur kita dapat mengetahui unsur pendukung lainnya.

3. Klimaks
Konflik dan klimaks merupakan unsur yang paling penting dalam struktur pembangun plot. Konflik demi konflik yang terjadi jika telah mencapai titik puncak dapat menyebabkan terjadinya klimaks (puncak konflik). Dengan demikian terdapat keterkaitan yang erta antara konflik dan klimaks. Klimaks hanya akan terjadi jika terdapat konflik yang mendukungnya. Namun tidak semua konflik dapat mencapai klimaks. Klimak, menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2010:127) adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan saat itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya. Klimaks merupakan kejadian puncak yang menarik dan menegangkan dan biasanya tidak ada lagi kejadian lain yang sama dengan klimaks. Kalau pun ada, itu hanyalah kejadian/konflik ringan yang masih bisa diatasi sebagai peregangan untuk menuju penyelesaian atau akhir dari sebuah cerita.
Klimaks dalam teks Melayu “Lancang Kuning” terjadi ketika konflik-konflik yang diawali oleh Panglima Hasan ini sudah semakin meruncing. Jika meninjau kembali pembahasan penulis mengenai konflik-konflik yang terjadi dalam teks “Lancang Kuning”, dapat kita lihat bahwa terbunuhnya Datuk Laksmana merupakan konflik penegangan tetapi belum mencapai klimaks. Klimaks terjadi ketika Pawang Domo yang melihat Datuk Laksmana sudah  terbunuh mengatakan kepada Panglima Umar mengenai hal yang sebenarnya, yaitu Panglima Hasan lah yang menjadikan Zubaidah sebagai gilingan perahu Lancang Kuning. Semakin beranglah Panglima Umar. Ia mencari Penglima Hasan dan menemukannya ketika Panglima Hasan hendak melarikan diri bersama Lancang Kuning. Tetapi usahanya sempat ditunda oleh Panglima Umar. Dengan sigap Panglima Umar naik ke Lancang Kuning dan bertarung dengan Panglima Hasan. Akhirnya pada pertarungan itu Panglima Hasan terbunuh dan mayatnya jatuh ke laut.
Melalui konflik dan klimaks dapat kita lihat bahwa Panglima Umar merupakan seseorang yang tidak sabar dan terlalu cepat menyimpulkan suatu permasalahan. Ia membunuh Datuk Laksmana tanpa bertanya terlebih dahulu mengenai kebenaran meninggalnya Zubaidah. Ia lebih memilih tak lagi bicara dan langsung membunuh Datuk Laksmana sehingga Datuk Laksmana yang tidak bersalah ikut menjadi korban amarahnya.
Dari penjelasan peristiwa, konflik dan klimaks dapat kita simpulkan bahwa plot yang terdapat dalam teks Melayu “Lancang Kuning” menggunakan plot lurus, yaitu plot yang peristiwa-peristiwa dan konflik-konfliknya terjadi secara kronologis dan dapat dengan mudah dirunut. Melalui plot juga dapat kita tentukan karakter tokoh Panglima Umar, Panglima Hasan dan Zubaidah.

2.2.2. Analisis Tokoh pada Teks Melayu “Lancang Kuning”
Tokoh merupakan pelaku cerita. Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Tokoh cerita, menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang dideskripsikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dengan penerimaan pembaca.
Tokoh yang terdapat dalam teks “Lancang Kuning” dibedakan berdasarkan penting tidaknya tokoh ada Zubaidah dan Panglima Hasan sebagai tokoh utama serta Panglima Umar, Datuk Laksmana dan pawang Domo sebagai tokoh tambahan. Dari penting tidaknya tokoh, tentu saja dapat dilihat melalui peran masing-masing tokoh dalam mendukung sebuah cerita. Seperti Panglima Hasan, perannya dominan karena sejak awal Panglima Hasan selalu memulai untuk menimbulkan sebuah peristiwa dan memunculkan konflik. Sementara Zubaidah adalah tokoh yang dijadikan korban dan merupakan salah satu penyebab munculnya konflik yang terjadi antara Panglima Hasan dan Panglima Umar. Dengan demikian, Panglima Hasan dan Zubaidah dapat disebut sebagai tokoh utama. Tanpa Panglima Hasan memunculkan peristiwa dan konflik maka cerita ini tidak akan menemukan klimaks. Begitupun Zubaidah, tanpa peran Zubaidah yang dijadikan korban untuk gilingan perahu Lancang Kuning Panglima Umar tidak akan marah dan membunuh Datuk Laksmana dan Panglima Hasan.
Sementara itu, tokoh tambahan dalam cerita ini adalah Panglima Umar, Datuk Laksmana dan Pawang Domo. Peran mereka tidak terlalu besar dalam cerita ini tapi cukup fungsional karena tanpa mereka tokoh Panglima Hasan hanya akan melakukan hal yang sia-sia. Jika Panglima Umar tidak ada, perbuatan Panglima Hasan tidak ada yang menentang dan Panglima Hasan tidak mendapatkan aksi balasan dari tokoh yang bertentangan dengannya. Hal yang sama juga berlaku pada Datuk Laksmana dan Pawang Domo. Masing-masing mereka hanya dominan muncul pada proses peluncuran Lancang Kuning ke laut. Kemudian muncul kembali pada bagian akhir cerita ketika Datuk Laksmana muncul dan langsung dibunuh oleh Panglima Umar, sedangkan Pawang Domo muncul setelah kejadian terbunuhnya Datuk Laksmana.
Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh dalam teks “Lancang Kuning” dapat dibagi menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh antagonis dalam teks ini adalah Panglima Hasan. Sangat jelas terlihat melalui percakapan tokoh dengan Zubaidah. Selain itu karakter tokoh dapat dilihat melalui tingkah laku tokoh yang memfitnah Datuk Laksmana sehingga menjadi korban pembunuhan yang dilakukan oleh Panglima Umar. Sikap tidak bertanggung jawab menjadi salah satu indikator bahwa tokoh Panglima Hasan bukanlah seorang yang baik. Sementara itu, tokoh Panglima Umar, Datuk Laksmana, Pawang Domo, dan Zubaidah merupakan tokoh protagonis dalam cerita ini. Tidak tampak perbuatan masing-masing tokoh untuk berbuat jahat. Tokoh Panglima Umar dinilai baik oleh penulis karena Panglima Umar bersedia melakukan perintah Datuk Laksmana untuk mencari kebenaran berita tentang larangan melaut di Tanjung Jati kepada Batin Sanggoro. Datuk Laksmana dinilai baik karena ia tidak ingin mengorbankan siapapun demi kelancaran peluncuran Lancang Kuning ke laut. Pawang Domo menunjukkan sikap baiknya dengan memberitahu hal yang sebenarnya terjadi kepada Zubaidah.  Sedangkan Zubaidah dinilai sebagai tokoh protagonis karena ia berani mempertahankan kehormatan dirinya dan rumah tangganya dengan Panglima Umar yang juga diajarkan oleh agama islam.
Tokoh-tokoh ini dapat diketahui penggolongannya melalui dialog tokoh ataupun tingkah laku tokoh terhadap tokoh lain. karakter tokoh juga dapat dilihat melalui peristiwa-peristiwa yang menimbulkan konflik-konflik yang terjadi dalam cerita. Ini membuktikan bahwa unsur tokoh dan plot memiliki keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, seitap unsur instrinsik yang mambangun sebuah cerita tidak dapat berdiri sendiri.
Diriwayatkan dalam shoheh Muslim, dari Ummu Salamah Radliallahu anha, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :


" ستكون أمـراء ، فتعرفون وتنكـرون ، فمن عرف برئ ، ومن أنكـر سلم ، ولكن من رضي وتابع ، قالوا : أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا ما صلوا ".


Akan ada para pemimpin, dan diantara kamu ada yang mengetahui dan menolak kemungkaran kemungkaran yang dilakukan, barang siapa yang mengetahui bebaslah ia, dan barang siapa yang menolaknya selamatlah ia, akan tetapi barang siapa yang rela dan mengikuti, ( tidak akan selamat ), para sahabat bertanya : bolehkah kita memerangi mereka ?, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab :” Tidak, selama mereka mengerjakan shalat.”

4- Diriwayatkan pula dalam shaheh Muslim, dari Auf bin Malik rodhiallohu ‘anhu ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

" خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم، ويصلون عليكم وتصلون عليهم، وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم، وتلعنونهم ويلعنونكم، قيل: يا رسـول الله، أفلا ننابذهم بالسيف ؟ قال : لا، ما أقاموا فيكم الصلاة ".


Pemimpinmu yang terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan merekapun menyukaimu, serta mereka mendoakanmu dan kamupun mendoakan mereka, sedangkan pemimpinmu yang paling jahat adalah mereka yang kamu benci dan merekapun membencimu, serta kamu melaknati mereka dan merekapun melaknatimu, beliau ditanya : ya Rasulallah, bolehkan kita memusuhi mereka dengan pedang ?, beliau menjawab :” tidak, selama mereka mendirikan shalat dilingkunganmu.”

Kedua hadits yang terahir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat, dan tidak boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka melakukan kakafiran yang nyata, yang bisa kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit rodhiallohu ‘anhu :

دعانا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فبايعناه ، فكان فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا ، وأن لا ننازع الأمـر أهله، قال : إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان.


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah mengajak kami, dan kamipun membaiat beliau, diantara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan ( kepemimpinan ) ini, sabda beliau :” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang terangan yang ada buktinya bagi kita dari Allah.”

Atas dasar ini, maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai alasan untuk menentang dan memerangi mereka dengan pedang adalah kekafiran yang terang terangan yang bisa kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti.


Tidak ada satu nash pun dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia adalah mu’min. kalaupun ada hanyalah nash nash yang menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “La ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh karenanya, namun nash nash tersebut muqoyyad (dibatasi ) oleh ikatan ikatan yang terdapat dalam nash itu sendiri, yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu difahami menurut dalil dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sebab dalil dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat bersifat khusus, sedangkan dalil yang khusus itu harus didahulukan dari pada dalil yang umum.

Jika ada pertanyaan : apakah nash nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat itu tidak boleh diberlakukan pada orang yang meninggalkannya karena mengingkari hukum kewajibannya ?
Jawab : tidak boleh, karena hal itu akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya :
Pertama : menghapuskan atribut yang telah ditetapkan oleh Allah dan dijadikan sebagai dasar hukum.
Allah telah menetapkan hukum kafir atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas dasar mengingkari kewajibannya, dan menetapkan persaudaraan seagama atas dasar mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui kewajibannya, Allah tidak berfirman :” jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi Muh

KONSEKWENSI HUKUM KARENA RIDDAH YANG DISEBABKAN KARENA MENINGGALKAN SHALAT ATAU SEBAB YANG LAINNYA

Ada beberapa kosekwensi hukum baik yang bersifat duniawi, maupun ukhrawi, yang terjadi karena riddah ( keluar dari Islam ) :
KONSEKWENSI HUKUM YANG BERSIFAT DUNIAWI :

1- Kehilangan haknya sebagai wali.
Oleh karena itu, dia tidak boleh sama sekali dijadikan wali dalam perkara yang memerlukan persyaratan kewalian dalam Islam, dengan demikian, ia tidak boleh dijadikan wali untuk anak anaknya atau selain mereka, dan tidak boleh menikahkan salah seorang putrinya atau putri orang lain yang dibawah kewaliannya.

Para ulama fiqh kita - Rahimahumullah – telah menegaskan dalam kitab kitab mereka yang kecil maupun besar, bahwa disyaratkan beragama islam bagi seorang wali apabila mengawinkan wanita muslimah, mereka berkata : “ tidak sah orang kafir menjadi wali untuk seorang wanita muslimah.”
Ibnu Abbas rodhiallohu ‘anhu berkata : “ Tidak sah suatu pernikahan kecuali disertai dengan seorang wali yang bijaksana, dan kebijaksanaan yang paling agung dan luhur adalah agama Islam, sedang kebodohan yang paling hina dan rendah adalah kekafiran, kemurtaddan dari Islam.

Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :

ومن يرغب عن ملة إبراهيم إلا من سفه نفسه


Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri …” ( QS. Ibrahim, 130 ).

2- Kehilangan haknya untuk mewaris harta kerabatnya.

Sebab orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam, begitu pula orang Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir, berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid rodhiallohu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم.


Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang muslim.” ( HR. Bukhori dan Muslim ).

3- Dilarang baginya untuk memasuki kota Makkah dan tanah haramnya.

Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

يا أيها الذين آمنوا إنما المشركون نجس فلا يقرب المسجد الحرام بعد عامهم هذا


Hai orang orang yang beriman, sesungguhnya orang orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Al Masjidil Haram sesudah tahun ini …” ( QS. At Taubah, 28 ).

4- Diharamkan makan hewan sembelihannya.

Seperti onta, sapi, kambing, dan hewan lainnya, yang termasuk syarat dimakannya adalah sembelih, karena salah satu syarat penyembelihannya adalah bahwa penyembelihnya harus seorang muslim atau ahli kitab ( Yahudi dan Nasrani ), adapun orang murtad, paganis, majusi, dan sejenisnya, maka sembelihan mereka tidak halal.

Al Khazin dalam kitab tafsirnya mengatakan : “Para ulama telah sepakat bahwa sembelihan orang orang majusi dan orang orang musyrik seperti kaum musyrikin arab, para penyembah berhala, dan mereka yang tidak mempunyai kitab, haram hukumnya.”

Dan Imam Ahmad mengatakan : “Setahu saya, tidak ada seorangpun yang berpendapat selain demikian, kecuali orang orang ahli bid’ah.”

5- Tidak boleh dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan ampunan dan rahmat untuknya.

Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

ولا تصـل على أحد منهم مات أبدا ولا تقـم على قبـره إنهم كفروا بالله ورسوله وماتوا وهم فاسقون


Dan janganlah kamu sekali kali menshalatkan ( jenazah ) seorang yang mati diantara mereka, dan janganlah kamu berdiri ( mendoakan ) di kuburannya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan RasulNya, dan mereka mati dalam keadaan fasik.” ( QS. At Taubah, 84).
Dan firmanNya :

ما كان للنبي والذين آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا أولي قربى من بعد ما تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم . وما كان استغفار إبراهيم لأبيه إلا عن موعدة وعدها إياه ، فلما تبين له أنه عدو لله تبرأ منه إن إبراهيم لأواه حليم


Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang orang yang beriman memintakan ampun ( kepada Allah ) bagi orang orang musyrik, walaupun mereka itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahim, dan permintaan ampun dari Ibrahim ( kepada Allah ) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu, tetapi ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka berlepas diri darinya, sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.”

Doa seseorang untuk memintakan ampun dan rahmat untuk orang yang mati dalam keadaan kafir, apapun sebab kekafirannya, adalah pelanggaran dalam doa, dan merupakan suatu bentuk penghinaan kepada Allah, dan penyimpangan dari tuntunan Nabi dan orang orang yang beriman.

Bagaimana mungkin orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat mau mendoakan orang yang mati dalam keadaan kafir, agar diberi ampun dan rahmat, padahal dia adalah musuh Allah ? sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

من كان عدوا لله وملائكته ورسله وجبريل وميكال فإن الله عدو للكافرين .


Barang siapa yang menjadi musuh Allah, Malaikat malaikat-Nya, Rasul rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuhnya orang orang kafir.” ( QS. At Taubah, 98 ).

Dalam ayat ini, Allah telah menjelaskan bahwa Dia adalah musuh nya semua orang orang kafir. Yang wajib bagi orang mu’min ialah melepaskan diri dari setiap orang kafir, karena firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

وإذ قال إبراهيم لأبيه وقومه إنني براء مما تعبدون إلا الذي فطرني فإنه سيهدين .


Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya : “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, kecuali Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” ( QS. Az Zukhruf, 26 –27 ).

Dan firmanNya :

قد كانت لكم أسوة حسنة في إبراهيم والذين معه إذ قالوا لقوهم إنا برءاؤ منكم ومما تعبدون من دون الله كفرنا بكم وبدا بيننا وبينكم العـداوة والبغضاء أبدا حتى تؤمنوا بالله وحده


Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka : “sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari ( kekafiran ) mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja …” ( QS. Al Mumtahanah, 4 ).

Untuk mencapai demikian adalah dengan mutaba’ah ( meneladani ) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :

وأذان من الله ورسوله إلى الناس يوم الحج الأكبر أن الله بريء من المشركين ورسوله


Dan ( inilah ) suatu permakluman dari Allah dan RasulNya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang orang musyrik .” (QS. At Taubah, 3 ).

6- Dilarang menikah dengan wanita muslimah.

Karena dia kafir, dan orang kafir tidak boleh menikahi wanita muslimah, berdasarkan nash dan ijma’.

Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :

يا أيها الذين آمنوا إذا جاءكم المؤمنـات مهاجـرات فامتحنوهن الله أعلم بإيمانهـن فإن علمتموهـن مؤمنات فلا ترجـعوهن إلى الكفار لا هن حل لهم ولا هم يحلون لهن


Hai orang orang yang beriman, apabila perempuan perempuan yang beriman datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji ( keimanan ) mereka, Allah lebih mengetahui tentang mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka ( benar benar ) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka ) orang orang kafir, mereka tidak halal bagi orang orang kafir itu, dan orang orang kafir itu tidak halal bagi mereka …”( QS. Al Mumtahanah, 10 ).

Dikatakan dalam kitab Al Mughni, jilid 6, hal 592 : “Semua orang kafir, selain Ahli kitab, tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama, bahwa wanita wanita dan sembelihan sembelihan mereka haram bagi orang Islam …, dan wanita wanita yang murtad ( keluar dari Islam ) ke agama apapun haram untuk dinikahi, karena dia tidak diakui sebagai pemeluk agama baru yang dianutnya itu, sebab kalau diakui sejak semula sebagai pemeluk agama itu, maka kemungkinan bisa dihalalkan.” ( seperti wanita yang berpindah dari agama Islam ke agama ahli kitab, maka diharamkan untuk dinikahi, tetapi bila wanita itu sejak semula telah memeluk agama ahli kitab ini, maka dihalalkan untuk dinikahi, pent ).

Dan disebutkan dalam bab “ orang murtad ”, jilid 8, hal 130 : “Jika dia kawin, tidak sah perkawinannya, karena tidak ditetapkan secara hukum untuk menikah, dan selama tidak ada ketetapan hukum untuk pernikahannya, dilarang pula pelaksanaan pernikahannya, seperti pernikahan orang kafir dengan wanita muslimah.”

Sebagaimana diketahui, telah dikemukakan dengan jelas, bahwa dilarang menikah dengan wanita yang murtad, dan tidak sah kawin dengan laki laki yang murtad.

Dikatakan pula dalam kitab Al-Mughni, jilid 6, hal 298 : “apabila salah soerang dari suami istri murtad sebelum sang istri digauli, maka batallah pernikahan mereka seketika itu, dan masing masing pihak tidak berhak untuk mewarisi yang lain, namun, jika murtad setelah digauli maka dalam hal ini ada dua riwayat : pertama : segera dipisahkan, kedua : ditunggu sampai habis masa iddah.”

Dan disebutkan dalam Al-Mughni, jilid 6, hal 639 : “Batalnya pernikahan karena riddah sebelum sang istri digauli adalah pendapat yang dianut oleh mayoritas para ulama, berdasarkan banyak dalil, adapun bila terjadi setelah digauli, maka batallah pernikahan seketika itu juga, menurut pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah, dan menurut pendapat Imam Syafii : ditunggu sampai habis masa iddahnya, dan menurut Imam Ahmad ada dua riwayat seperti kedua madzhab tersebut.”
Kemudian disebutkan pula pada halaman 640 : “apabila suami istri itu sama sama murtad, maka hukumnya adalah seperti halnya apabila salah satu dari keduanya murtad, jika terjadi sebelum digauli, segera diceraikan antara keduanya. Dan jika terjadi sesudahnya, apakah segera diceraikan atau menunggu sampai habis masa iddah . Ada dua riwayat, dan inilah madzhab Syafi’i.

Selanjutnya disebutkan bahwa menurut Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidaklah batal berdasarkan istihsan ( catatan: kebijaksanaan yang diambil berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tanpa mengacu kepada nash secara khusus ), karena dengan demikian, agama mereka berbeda, sehingga ibaratnya seperti kalau mereka sama sama beragama Islam. Kemudian analogi yang digunakan itu disanggah oleh penulis al Mughni dari segala segi dan aspeknya.

Apabila telah jelas dan nyata bahwa pernikahan orang murtad dengan laki laki atau perempuan yang beragama Islam itu tidak sah, berdasarkan dalil Al Qur’an dan As Sunnah, dan orang yangmeninggalkan shalat adalah kafir berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah serta pendapat para sahabat, maka jelaslah bagi kita bahwa seseorang apabila tidak shalat, dan mengawini seorang wanita muslimah, maka pernikahannya tidak sah, dan tidak halal baginya wanita itu dengan akad nikah ini, begitu pula hukumnya apabila pihak wanita yang tidak shalat.

Hal ini berbeda dengan pernikahan orang orang kafir, ketika masih dalam keadaan kafir, seperti seorang laki laki kafir kawin dengan wanita kafir, kemudian sang istri masuk Islam, jika ia masuk Islam sebelum digauli, maka batallah pernikahan tadi, tapi jika masuk Islam sesudah digauli, belum batal pernikahannya, namun ditunggu : apabila sang suami masuk Islam sebelum habis masa iddah, maka wanita tersebut tetap menjadi istrinya, tetapi apabila telah habis masa iddahnya sang suami belum masuk Islam, maka tidak ada hak baginya terhadap istrinya, karena dengan demikian nyatalah bahwa pernikahannya telah batal, semenjak sang istri masuk Islam.

Pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam ada sejumlah orang kafir yang masuk Islam bersama istri mereka, dan pernikahan mereka tetap diakui oleh Nabi, kecuali jika terdapat sebab yang mengharamkan dilangsungkannya pernikahan tersebut, seperti apabila suami istri itu berasal dari agama majusi dan terdapat hubungan kekeluargaan yang melarang dilangsungkannya pernikahan di antara keduanya, maka kalau keduanya masuk Islam, diceraikan seketika itu juga antara mereka berdua, karena adanya sebab yang mengharamkan tadi.

Masalah ini tidak seperti halnya orang muslim, yang menjadi kafir karena meninggalkan shalat, kemudian kawin dengan seorang wanita muslimah, wanita muslimah itu tidak halal bagi orang kafir berdasarkan nash dan ijma’, sebagaimana telah diuraikan di atas, sekalipun orang itu aslinya kafir bukan karena murtad, untuk itu, jika ada seorang laki laki kafir kawin dengan wanita muslimah, maka pernikahannya batal, dan wajib diceraikan antara keduanya. Apabila laki laki itu masuk Islam dan ingin kembali kepada wanita tersebut, maka harus dengan akad nikah yang baru.

7- Hukum anak orang yang meninggalkan shalat dari perkawinannya dengan wanita muslimah.

Bagi pihak istri, menurut pendapat orang yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, maka anak itu adalah anaknya, dan bagaimanapun tetap dinasabkan kepadanya, karena pernikahannya adalah sah.

Sedang menurut pendapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, dan pendapat ini yang benar sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada fasal pertama, maka kita tinjau terlebih dahulu :
· Jika sang suami tidak mengetahui bahwa pernikahannya batal, atau tidak meyakini yang demikian itu, maka anak itu adalah anaknya, dan dinasabkan kepadanya, karena hubungan suami istri yang dilakukannya dalam keadaan seperti ini adalah boleh menurut keyakinannya, sehingga hubungan tersebut dihukumi sebagai hubungan syubhat ( yang meragukan ), dan karenanya anak tadi tetap diikutkan kepadanya dalam nasab.
· Namun jika sang suami itu mengetahui serta meyakini bahwa pernikahannya batal, maka anak itu tidak dinasabkan kepadanya, karena tercipta dari sperma orang yang berpendapat bahwa hubungan yang dilakukannya adalah haram, karena terjadi pada wanita yang tidak dihalalkan baginya.

KONSEKWENSI HUKUM YANG BERSIFAT UKHRAWI.

1- Dicaci dan dihardik oleh para malaikat.
Bahkan para malaikat memukuli seluruh tubuhnya, dari bagian depan dan belakangnya.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :

ولو ترى إذ يتوفى الذين كفروا الملائكة يضربون وجوههم وأدبارهم وذوقوا عذاب الحريق ذلك بما قدمت أيديكم وأن الله ليس بظلام للعبيد


Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut nyawa orang orang yang kafir, seraya memukul muka dan belakang mereka ( dan berkata ) : “Rasakanlah olehmu siksa nereka yang membakar”, ( tentulah kamu akan merasa ngeri ). Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, sesungguhnya Allah sekali kali tidak menganiaya hambaNya.” ( QS. Al Anfal, 50 –51 ).

2- Pada hari kiamat ia akan dikumpulkan bersama orang orang kafir dan musyrik, karena ia termasuk dalam golongan mereka.

Firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

احشروا الذين ظلموا وأزواجهم وما كانوا يعبدون من دون الله فاهـدوهم إلى صراط الجحيم


( Kepada para malaikat diperintahkan ) : “Kumpulkanlah orang orang yang dzalim beserta orang orang yang sejenis mereka dan apa apa yang menjadi sesembahan mereka, selain Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.” ( QS. Ash Shaffat, 22 –23 ).
Kata “ أزواج ” bentuk jama’ dari “ زوج ” yang berarti : jenis, macam. Yakni : “Kumpulkanlah orang orang yang musyrik dan orang orang yang sejenis mereka, seperti orang orang kafir dan yang dzalim lainnya.”

3- Kekal untuk selama lamanya di alam neraka.

Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

إن الله لعن الكافـرين وأعد لهم سعيرا خالدين فيها أبدا لا يجدون وليا ولا نصيرا يوم تقلب وجوههم في النار يقولون يا ليتنا أطعنا الله وأطعنا الرسولا.


Sesungguhnya Allah melaknati orang orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selama lamanya, mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak ( pula ) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak balikkan dalam neraka, mereka berkata : Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah, dan taat ( pula ) kepada Rasul.” ( QS. Al Ahzab, 64 – 66 ).

Berbagai Kasus Orang yang Meninggalkan Shalat

1. Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.

2. Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.

3. Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)




1 comment:

Komentar Facebook