Monday, June 10, 2013

MUTIARA TERINDAH KAIDAH FIQHIYAH


MUTIARA TERINDAH
 KAIDAH FIQHIYAH

KATA PENGANTAR
       Penulis tertarik dengan kaedah fiqhiyah ini, semenjak sekolah di madarasah MTI Ranah Airtiris, tahun 1974-1980, tetapi hanya sedikit waktu bagi penulis untuk menghafalnya, karena sambil sekolah, sambil menari sesuap nasi:

Pernah kucoba, berladang padi,
Lima tahun mengorbankan diri.
Sambil sekolah, mencari rezeki,
Ke Airtiris, pergi mengaji.

        Di pertengahan 1980-an penulis masuk fakultas tarbiyah IAIN Suska Riau Indonesia, juga tidak banyak dapat mengusai kaedah fiqhiyah, yang banyak disajikan justru psikologi pendidikan dan statistik.  Tapi setelah tahun 2008 entah mengapa penulis bisa masuk ke fakultas Syari’ah program doktor UIN Suska Riau. Nah di sinilah penulis menggali kembali kaedah fiqhiyah dan usul fiqih yang lama tidak digunakan, sehingga penulis membaca berbagai buku, dan semua artikel fiqih di internet. Buku yang sering penulis baca adalah "Asbah Wan Naza'ir, karya As-Suyuty. Semoga Allah meredai. Robbi zidni ilman, warzuqni fahman.


Pendahuluan

          Penulis mengutip kaedah fiqhiyah ini, rasanya seperti mengutip mutiara di tengah samudera. Kaidah-kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok adalah merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa di bawah suatu kaidah. Kaidah itu digali dari sumber-sumber hukum, baik melalui al qur’an dan as sunnah. Karena itu setiap kaidah didasarkan atas nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fiqih sehingga sampai dari nash itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash ahkam.

Permasalahan
Dalam makalah ini kami bersama-sama untuk mendiskusikan permasalahan mengenai sepuluh kaidah yaitu mulai kaidah sebelas sampai kaidah dua puluh.
Pembahasan

1.    Kaidah pertama

الخرا با لضمان

“Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”

Dasar kaidah ini ialah hadist Nabi:
انَ رجلا ابتاع عبدا فاقام عنده ما شا ء الله ان يقيْم,
ثموجد به عيبا فخا صمه الى النبي صلى الله عليه وسلم فردَ ه عليه فقا ل   الرجل: يا رسول الله فقد استعمل غلا مى فقال: الخراج با لضمان.

“Bahwa seorang laki-laki menjual seorang budak, maka budak itu bermukim di tempat pembeli dalam beberapa hari kemudian si pembeli mendapatkan cacat pada budak tersebut dan melaporkan kepada nabi SAW, maka nabi mengembalikan budak itu kepada laki-laki yang menjual. Maka berkata lah laki-laki itu: “Wahai rasulullah, ia (pembeli) telah mempekerjakan (mengambil manfaat) terhadap budakku”. Rasulullah bersabda: “Hak mendapatkan hasil itu disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”.

2.    Kaidah kedua

الخروج من الخلا ف مستحبَ
“Keluar dari khilaf itu adalah keutamaan”.
Maksud dari kaidah ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan yang hukum halalnya atau bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.
Dasar kaidah ini ialah sabda nabi SAW:

فمن اتقى الشبها ت فقدا ستبرأ لدينه وعرضه

“Maka barang siapa menjaga diri dari subhat (tidak jelas hukumnya) maka ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya”.
Menurut Tajuddin As-Subky, kaidah ini berasal dari firman Allah:

    ياايّها الذين امنوااجتنوْاكثرامن الظّنّ انّ بعض الظّنّ اثْم

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa”.
Selanjutnya beliau berkata, bahwa ayat ini mengandung perintah untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan yang tidak berdosa, karena dikhawatirkan jatuh kepada pekerjaan yang berdosa. Tindakan berhati-hati ini memang kadang-kadang menganggap ada terhadap barang yang tidak ada, dan sesuatu yang diragukan menjadi seperti sungguh-sungguh.

Contoh dari perbuatan dalam rangka keluar dari khilaf, artinya melaksanakan sesuatu dengan cara yang dapat dibenarkan oleh dua pendapat yang berbeda ialah:
Mengutamakan menggosok anggota wudlu, meratakan dalam mengusap kepala, meninggalkan shalat ada’ di belakang orang yang shalat qodlo’ dan sebaliknya, melakukan shalat qashar dalam bepergian yang berjarak tiga markhalah dan meninggalkan qashar dalam jarak yang kurang dan sebagainya.
Dalam memperhatikan dan menjaga khilaf itu ada beberapa syarat, yaitu:

1.    Jangan sampai membawa khilaf yang lain. Karena itu memutus shalat witir itu lebih utama dari pada menyambung nya.
2.    jangan sampai menselisihi sunnah yang tsabitah. Sehingga karenanya dihukumi sunnah mengangkat tangan dalam shalat, dan tidak perlu memperhatikan pendapat yang membatalkan shalat dari sebagian ulama Hanafi, karena hadist tentang mengangkat tangan ini adalah jelas dari nabi SAW diriwayatkan dari 50 orang sahabat.
3.    Hendaknya kuat dasarnya, tidak hanya yang dianggap sebagai suatu kesilapan, sehingga karena itu puasa itu dalam bepergian lebih utama bagi yang kuat, dan tidak perlu diperhatikan pendapat Adh-Dhohiry yang menganggap bahwa puasanya tidak sah. Dalam hal ini Tahuddin As-Subky mengatakan, bahwa kalau pendapat itu kemah dan jauh dari dasar penetapan hukum syara’ maka dianggap sebagai kesilapan, bukan perbedaan pendapat.
Jadi diutamakan keluar dari khilaf itu kalau kedudukan dua pendapat itu sama atau hampir sama, sehingga tidak semua perbedaan pendapat diperhatikan.

3.    Kaidah ketiga
الدّفع اقوى من الرفع

“Menolak itu lebih kuat dari pada mengangkat”

Artinya menolak agar tidak terjadi itu lebih kuat daripada mengembalikan seperti sebelum terjadi.
Menjaga diri agar tidak sakit lebih utama dari pada mengobati setelah sakit.
Contoh pelaksanaan kaidah ini ialah:
Air musta’mal apabila sampai dua kulah, kembalinya menjadi suci diperselisihi, tetapi kalau sejak semula sudah dua kulah banyaknya, disepakati sucinya. Bedanya kalau sudah banyak sejak semula berarti menolak, dan banyak setelah musta’mal berarti mengangkat. Jadi menolak lebih kuat dari pada mengangkat.
 

4.    Kaidah keempat

الرّ خص لا تنا ط با لمعاصى

“Keringanan atau rukhshoh itu tidak dihubungkan atau dikaitkan dengan kemaksiatan-kemaksiatan”.
Rukhshoh diberikan adalah karena adanya sebab, namun apabila sebab itu ada kaitannya dengan perbuatan maksiat atau perbuatan haram, maka rukhshoh ini tidak diberikan. Atau dengan kata lain, pada perbuatan maksiat itu tidak diberikan rukhshoh.
Bepergian untuk maksiat tidak diizinkan untuk mengqosor dan menjamak, atau berbuka puasa. Sedang kalau bepergiannya tidak maksiat semua ini dibolehkan.

5.    Kaidah kelima

الرّ خص لا تنا ط با لشّكّ

“Keringanan atau ruhsoh tidak dikaitkan atau dihubungkan dengan syak (ragu-ragu)”
Artinya apabila orang ragu-ragu tentang dibolehkannya qashar, maka ia wajib menyempuranakan shalatnya, karena yang asal ibadah harus dikerjakan secara sempurna.
Demikian juga bagi mereka yang ragu-ragu akan mubah akan bolehnya mengusap sepatu, wajib membasuh kedua kakinya, karena yang asal dalah membasuh. Mengusap adalah ruhsoh dengan syarat-syarat. Apabila tidak yakin denan syarat-syarat, maka kembali kepada asal yaitu fardlu untuk membasuh.
6.    Kaidah keenam

       الرّ ضا با لشّيء رضا بما يتو لّد
منْه
“Rela terhadap sesuatu adalah (juga) rela terhadap apa yang timbul dari sesuatu itu”
Searti dengan kaidah ini adalah kaidah:

المتو لد منْ مأ ذون فيه لا اثر له
“Yang timbul dari sesuatu yang telah diizinkan (diterima) tidak ada pengaruh baginya”.

Artinya apabila seseorang telah rela dan menerima sesuatu, maka ia harus menerima segala rentetan persoalan akibat dari sesuatu yang telah diterima. Yang berarti menerima segala resiko akibat penerimaannya.
Contoh: orang membeli barang yang sudah cacat, dia harus rela terhadap semua keadaan akibat dari cacat itu. Misalnya: cacatnya berkembang lebih besar. Demikian pula membeli binatang yang sakit, dia harus menerima semua yang terjadi akibat dari sakitnya binatang itu.

7.    Kaidah ketujuh
السّؤال معاد فى الجواب
“Pertanyaan itu diulangi di dalam jawaban”
Jadi hukum dari pada suatu jawaban itu adalah terletak pada soalnya. Sehingga apabila seorang hakim bertanya dengan maksud minta keterangan kepada seorang tergugat: “Apakah istrimu telah engkau talak?”. Apabila dijawab: “Ya”, maka istri tergugat telah berlaku hukum sebagai wanita yang telah ditalak oleh suaminya. Dalam hal ini tergugat telah mengakui atas gugatan muda’iy.

8.    Kaidah kedelapan
لا ينسب الى سا كت قوْل
“Tidak dapat diserupakan kepada orang yang diam, suatu perkataan”
Kaidah ini adfalah kata-kata Imam Syafi’i dan berdasarkan kaidah ini, maka diamnya seseorang tidak menepati kedudukan sebagi orang yang bicara.
Diamnya janda waktu diminta ijin untuk dikawinkan tidak berarti memberi ijin.
Pengecualian dari kaidah ini ialah diamnya gadis waktu diminta ijin untuk dikawinkan. Sabda Rasul SAW:
واذْ نها صما تها
“Ijin adalah diamnya”
Diamnya seorang tertuduh setelah disumpah adalah berarti mengingkari tuduhan

9.    Kaidah kesembilan
ما كان اكثر فعلا كان اكثر فضلا
“Apa yang lebih banyak perbuatannya, tentu lebih banyak keutamaanya”
Dasar dari kaidah ini adalah sabda Nabi SAW kepada Aisyah RA:

اجرك على قدر نصبك
“Pahalamu adalah berdasarkan kadar usahamu”
Sesuai dengan hadist yang menjadi dasar kaidah ini, maka dengan sendirinya yang dimaksud oleh kaidah ialah perbuatan kebaikan, sehingga makin banyak diperbuat, makin tambah keutamaannya.
Contoh: shalat witir dengan cara diputus lebih utama dibanding dengan secara disambung, sebab dengan diputus akan tambah niat, takbir, dan salam.
Merupakan pengecualian dari kaidah ini ialah beberapa perbuatan, diantaranya ialah:
1)    Shalat qashar dalam bepergian yang memenuhi syarat-syaratnya, lebih baik dari pada shalat dengan tidak qashar.
2)    Membaca surat-surat pendek dalam shalat lebih utama dari pada bacaan panjang potongan dari surat yang panjang karena inilah yang banyak dikerjakan oleh Nabi SAW.
3)    Shadaqah qurban dengan lebih dahulu dimakan sedikit untuk mengambil barakah, lebih utama dari pada seluruhnya dishadaqahkan, sesuai dengan saba nabi SAW:
كلوا و تصدّ قوْا وادّ خروا
“Makan lah kamu sekalian, kemudian shadaqah kan dan simpanlah”

10.    Kaidah kesepuluh
المتعدّى افضل من القا صر
“Perbuatan yang mencangkup kepentingan orang lain, lebih utama daripada yang hanya terbatas untuk kepentingan sendiri”.

Suatu perbuatan yang dapat menghasilkan kemanfaatan yang dapat mencakup kepada orang lain, lebih utama dari pada perbuatan yang manfaatnya hanya dirasakan oleh dirinya sendiri.
Berdasarkan kaidah ini maka Abu Ishak, Imam Haramain, dan ayahnya berpendapat, bahwa bagi yang melakukan fardu kifayah mempunyai kelebihan daripada melakukan fardu ‘ain, karena dengan melakukan fardlu kifayah itu berarti menghilangkan kesukaran-kesukaran yang pada umat.
Menurut Imam Syafii, mencari ilmu itu lebih utama dari pada shalat sunnah, karena mencari ilmu akan bermanfaat kepada orang banyak, sedangkan shalat sunnah itu hanya manfaatnya hanya pada diri sendiri.
Kesimpulan
Dari penjabaran kaidah-kaidah di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa di dalam penentuan hukum Islam telah ditetapkan kaidah-kaidah yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam menentukan suatu permasalahan hukum yang belum ada dalam nash al qur’an atau as sunnah.

                                                                Penutup 
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Kami sadar dari makalah ini banyak sekali kekurangannya untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.


                                                       DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujib, Kaidah-Kaidah Ilmu  Fiqih, Bandar Jaya, Jakarta: 2004
Jaih Mubarak, Kaidah Fiqih, Raja Grafindo, Jakarta: 2002
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Raja Grafindo, Jakarta: 2002

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook