Thursday, June 27, 2013

PERTENTANGAN ANTARA UU PERLINDUNGAN ANAK DENGAN HUKUM ISLAM


PERTENTANGAN ANTARA UU PERLINDUNGAN ANAK DENGAN HUKUM ISLAM

By    Muhammad Rakib, S.H,M.Ag
NIM. 30891100007
S 3  UIN SUSKA RIAU.PEKANBARU


          Menurut   analisis penulis  antara konsep Hukum Islam dan UU RI Nomor 23/2002, seakan-akan terjadi pertentangan secara tekstual. Sedangkan secara  kontekstual, tampaknya   tidak ada pertentangan, karena hukuman fisik terhadap anak-anak dalam Islam, tidak mengandung kekerasan, dan digunakan sebagai alternatif terakhir, sekaligus sebagai antisipasi kerusakan (dar’al-mafâsid).[1]

         Dar’al-mafâsid, artinya mencegah  kerusakan yang lebih besar. Tidak semua hukuamn fisik mengadung kekerasan. Maksudnya memberikan hukuman fisik ringan kepada anak-anak, untuk mencegah kejahatan yang mungkin akan dilakukannya, akan tetapi jangan sampai menghasilkan manusia yang suka dengan tindak kekerasan di kemudian hari. Kalau itu terjadi, berarti pendidikan akan melakukan kesalahan besar. Di tengah budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi disiplin, hukuman fisik dianggap suatu yang sangat wajar dan masih banyak para orang tua atau para pendidik yang memberikan hukuman fisik. Suatu data menyebutkan sepanjang kwartal pertama 2007 terdapat 226 kasus kekerasan terhadap anak,[2] di sekolah. Adapun rinciannya, kekerasan fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan kekerasan psikis 210 kasus. Dari jumlah itu 226 kasus terjadi di sekolah.[3]

2. Perlindungan anak menurut UU Nomor 23 tahun 2002
Dalam UU Nomor 23 Tahun 2002, pasal 54 bahwa: Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”. Redaksi paal 54 ini, seakan akan bertentangan dengan Hukum Islam yang membolehkan hukuman fisik terbatas, untuk melindungi dan  menjunjung tinggi kesucian kehidupan anak-anak. Hal ini diterangkan oleh  sejumlah ayat  dan  hadits, yang  memberikan landasan hukum bahwa kehidupan manusia itu suci  harus dipelihara, tidak boleh dihancurkan (diakhiri) kecuali dilakukan untuk suatu sebab atau alasan yang benar, misalnya pembelaaan diri yang dibenarkan. Berikutnya akan dianalisis pandangan-pandangan  ulama fiqh tentang kekerasan, argumentasi methodologis (usul fiqh), solusi fikh, dan  argumentasi fiqh yang penulis temukan dan disajikan dalam bentuk tabel :



 TABEL  4.1
PERBEDAAN ANTARA UU PERLINDUNGAN ANAK DAN HUKUM ISLAM
TENTANG HUKUMAN FISIK BAGI ANAK-ANAK

No
     UU Nomor 23 Tahun 2002
                    Hukum Islam
1
Berdasarkan HAM dan konvensi PBB tentang hak-hak anak.
Berdasarkan Al-Quran dan Hadits
2
Keterangannya bersifat  global
Keterangannya  bersifat  detil
3
Untuk semua agama
Untuk umat Islam dan dunia
4
Melarang hukuman fisik, tanpa batas
Membolehkan hukuman fisik, dengan batas-batas tertentu.
5
Bersifat sekular rasionalis
Bersifat sakral relegius
6
Memuat sanksi hukuman penjara dan denda bagi yang melanggarnya.
Memuat sanksi hukuman qishas dan ta’zir  bagi yang melanggarnya. [4]

             Tabel ini merupakan hasil  telaah penulis  terhadap buku sumber primer dan sekunder secara objektif. Pada  baris nomor 5 dalam tabel ini, dibandingkan tentang dasar atau landasan atau fondasi dari UU Nomor 23 Tahun 2002 adalah  Hak Asasi Manusia (HAM) dan Konvensi PBB tentang hak-hak anak, yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Sedangkan Hukum Islam, dasarnya adalah  al-Qur`an dan  Hadits. Dasar dan landasannya berbeda, tapi tujuannya sama, yaitu memberikan perlindungan kepada anak-anak. Dalam Islam, anak-anak sampai umur tujuh tahun, dibimbing bagaimana melakukan shalat. Mereka biasanya lebih dipengaruhi oleh kebiasaan dan didikan orang tuanya. Setelah mulai masuk sekolah, ia akan dibina oleh guru dan dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-temannya di sekolah. Kalau pembinaan guru-gurunya baik dan pengaruh teman-temannya pun baik, maka jiwa anak terbina dengan baik. Sebaliknya kalau pembinaan dari guru-gurunya hanya sekadarnya dan pengaruh teman-temannya buruk maka si anak terbentuk dalam pola yang kurang baik.

           Di saat seperti itu pembinaan ataupun kebiasaan kedua orang tua yang ditanamkan kepada anak-anak selama masa tujuh tahun itu lambat laun terkikis lama-lama bisa habis. Sedang pembinaan dari orang tua belum tentu berlanjut atau setidak-tidaknya tidak ada peningkatan. Orang tua merasa anaknya sudah disekolahkan pasti telah dibina oleh guru-gurunya di sekolah, padahal guru-guru belum tentu membina  anaknya  dengan baik. Ada guru membekali otak dengan ilmu teori dan itupun sifatnya  menjurus kepada materi keduniaan. Sedikit sekali yang menyangkut pembinaan rohani, akhlaq, jiwa, hati, keimanan, keikhlasan atau akhlaq secara keseluruhan. Sehingga aspek ukhrawi justru terabaikan. Kemaslahatan manusia  dapat terwujud apabila terjamin kebutuhan pokok (dharûriyah/necessary interests) yang meliputi hifzh ‘ala al-dîn, al-nafs, al-nasl, al’aql wa al-mâl, kebutuhan sekunder (hâjjiyah/supporting needs) maupun kebutuhan pelengkapnya (tahsîniyyah/complementary interests).[5]

.3. Solusi  Problema Perlindungan Anak melalui Fikih
            Hukuman fisik bukan merupakan persoalan sederhana, tetapi memiliki dimensi sosial yang  kompleks, baik secara fisik maupun psikis bagi anak didik maupun psikososial bagi lingkungannya. Fikih dalam hal ini, berorientasi pada etika sosial yang produk hukumnya tidak sekedar halal atau haram, boleh dan tidak boleh, tetapi memberikan jawaban berupa solusi hukum terhadap persoalan-persoalan sosial yang dihadapi anak-anak dan perempuan. Fikih sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam.[6]

            Dalam konteks menetapkan kepastian hukum mengenai tingginya angka kekerasan terhadap anak-anak yang tampaknya  tidak aman di rumah atau di sekolah dan merupakan kondisi yang  membahayakan. Hal ini dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa kaidah fikih, antara lain: Pertama, bahaya itu harus dihilangkan  الضَـــرَرُ يُـــزَالُ . Kedua, bahaya yang lebih berat, dapat dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih ringan  اِذَا تَعَارَضَ مَفْسَـــدَتَانِ رُوْعِيَ اَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَــــابِ اَخَفِّهَا    “Jika dihadapkan pada dua kondisi yang sama-sama membahayakan, maka pilihlah bahaya yang lebih kecil risikonya. Ketiga, keterpaksaan dapat memperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang (al-dlaruraatu tubiihul mahdzuraat). [7] Keempat, perubahan hukum Islam dapat dilakukan. Dengan adanya perubahan zaman, perubahan tempat, perubahan kondisi, perubahan niat dan kultur atau adat (taghayyur al-ahkam bitaghayyur al-azminah wal-amkinah wal-ahwal wan-niyaat wal-‘awaaid).[8]
4.Pencegahan kekerasan terhadap anak-anak

              Ada argumentasi klasik di kalangan ulama bahwa pencegahan atau mendahulukan prevensi (syaddu al-dzari’ah) lebih baik. Dalam hal    hukum   aborsi, melarang aborsi dianggap lebih aman, karena ada kehawatiran kalau aborsi dibolehkan akan dijadikan sebagai peluang bagi pelaku seks di luar nikah mencari jalan keluar. Bila aborsi dibolehkan sama dengan memberikan kesempatan untuk melakukan perzinahan atau seks bebas. Pertanyaannya adalah bagaimana fikih menjawab realitas yang sudah terjadi berupa tingginya angka aborsi tak aman yang jelas-jelas mengancam kematian, apakah masih relevan menjawab dengan argumentasi preventif. Pandangan tersebut nampak sangat tekstual karena hanya berorientasi pada teks tanpa melihat realitas sosial bahwa ada satu   kondisi yang mengancam kematian perempuan yang perlu dijembatani supaya aborsi tak aman tidak terjadi. Di sinilah letak kesenjangannya antara teks fikih dan kenyataan di lapangan. sebagian pakar pendidikan menganggap hukuman untuk anak-anak dan remaja masih diperlukan dan masih bisa diandalkan,[9] seperti yang tergambar dalam tabel berikut ini:

TABEL 4.2
 PRO KONTRA HUKUMAN FISIK TERHADAP ANAK-ANAK
No
Pro
Kontra
Konvergensi /Gabungan.[10]
1
Sebahagian psikolog
Marjorie Gannoe
Sebagian  filosuf
Plato dan  Jean Jacke Rousseo
dan Jean Soto
Islam
Berdasarkan
Al-Quran dan
Hadits
2
Tokoh-tokoh
PendidikanMiliter
Nasrani
Tokoh-tokoh
Peneliti
Yahudi  Berdasarkan
Taurat

           Posisi Islam, [11] pada konsep komvergensi, mengabungkan antara pro, [12] dan kontra, tapi tidak sekedar  gabungan, bahkan bersikap moderat (wasathan) berkaitan dengan fitrah manusia. Aristoteles  yang pro dengan hukuman fisik, mengatakan, "Rasa takut akan hukuman itu lebih efektif untuk membina manusia, dari ajakan-ajakan untuk berbuat baik. Hal ini diakui oleh orang yang mengutamakan  nalarnya. Pembuat peraturan untuk mendisiplinkan anak, berkewajiban mengajak kepada  tingkah laku yang nyata,  dan memberikan hukuman kepada anak didik yang melanggar."Powelson mengatakan, "Tanpa rasa takut alias rasa hormat atas wacana hukuman maka pendidikan tidak akan berjalan efektif."Karena pendidikan adalah pembiasaan dan pemaksaan adalah termasuk salah satu cara di dalamnya.[13]

B. Status Anak sebagai Subjek dan Objek Hukum Islam
1.Anak-Anak bukan Subjek Hukum
            Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa anak-anak statusnya belum bisa menjadi subjek hukum. Bukan mahkum alaihi, yang perbuatannya dikenai khitab Allah SWT, bukan mukallaf. Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Istilah mukallaf disebut juga dengan mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf, mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah  maupun dengan larangan. Apabila mengerjakan perintah, ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, apabila  mengerjakan larangan Allah SWT., ia mendapat ganjaran pula.
       2. Dasar Penetapan Subjek Hukum

             Anak-anak belum dikenai taklif (pembenanan hukum) karena belum  cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama ushul fiqih, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman. Seseorang  dapat dibebani hukum apabila dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, yaitu orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Tidak dapat memahami  syara’. Begitu pula orang yang  tidur, mabuk, dan lupa. Orang yang mabuk, tidak sadar (hilang akal). Sabda Rasulullah SAW. :


رفع القلم عن ثلاثعن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق )رواه البخاري وأبوداوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني)

Artinya, Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang), orang tidur sampai  bangun, anak kecil sampai  baligh, gila sampai sembuh.[14]
Dalam hadits lain dikatakan :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
Artinya, Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan terpaksa. [15]
       3.  Syarat-Syarat bagi  Subjek Hukum
Ada dua syarat sahnya memberi beban kepada mukallaf, yaitu berikut ini :
       a.  Mukallaf dapat memahami dalil taklif, yaitu mampu memahami nash yang dibebankan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah secara langsung atau melalui perantaraan. Orang yang tidak mampu memahami dalil taklif tidak dapat tumpuan yang dibebankan kepadanya dan tujuannya tidak dapat mengarah kesana. Kemampuan memahami dalil itu hanya dapat nyata dengan akal sehingga dengan akal tersebut adanya nash-nash yang dibebankan dapat diterima pemahamannya karena akal merupakan alat memahami dan menjangkau. Dengan akal tertujulah keinginan untuk mengikuti. Ketika akal itu adalah hal yang sembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh indera lahir, maka syar’i telah menghubungkan beban taklif dengan hal nyata yang dapat dijangkau oleh indera, yang menjadi tempat dugaan akal, yaitu sifat kedewasaan. Dengan demikian barang siapa telah sampai pada keadaan dewasa dan tak tampak padanya sifat-sifat yang merusak kekuatan akalnya, ia telah sempurna untuk diberi beban.

               Kewajiban zakat, nafkah, jaminan (dhamman) terhadap anak-anak dan orang gila, bukan berarti memberi beban kepadanya, tetapi memberikan beban kepada walinya agar melaksanakan kewajiban harta yang menjadi milik anak-anak dan orang gila itu, antara lain, membayar pajak tanah dan irigasi dari harta miliknya. Dalam kaitan itu, firman Allah SWT. Dalam surah al-Nisâ ayat 43 menjelaskan :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,[16] sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...”  

            Awaridl Muktasabah (halangan yang dibuat sendiri) adalah mabuk. Mabuk ialah hilangnya akal karena khamar atau yang menyerupainya hingga kacau omongan dan mengigau. Menurut Hamka, mabuk tentu luas artinya, yaitu segala sesuatu segala kekacauan fikiran atau fikiran yagn tidak bulat, hati yagn bercabang kepada yang lain atau fikiran yagn sedang susah dibawa ke dalam sembahyang.[17] Mabuk menurut jalannya terbagi atas dua macam :
                     Pertama yang jalannya tidak diharamkan seperti mabuknya orang yang terpaksa minum khamar dan mabuk yang timbul dari obat-obatan. Ini hukumnya sama dengan pingsan, tidak sah tindakannya, thalaqnya dan pembebasan budaknya. Kedua yang jalannya diharamkan dan ini tidak membatalkan taklif sehingga berlakulah hukum-hukum bagi pemabuk dan ucapan-ucapannya seperti thalaq, pembebasan budak, jual beli, pengakuan, mengawinkan anak kecil, kawin, menghutangi dan minta dihutangi. Hal itu karena akalnya sempurna, hanya saja ia kehilangan pemahaman khitob oleh maksiat, maka tetaplah taklifnya dalam hak dosa dan kewajiban mengqodlo bagi ibadah yang diqadla secara syara’.  Muhamad ’Atthiyyah Al-Abrasyi, mengemukakan bahwa ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam memberikan hukuman fisik terhadap anak, yaitu :
1.                  Sebelum berumur 10 tahun, anak-anak tidak boleh dipukul.
2.                  Pukulan tidak lebih dari tiga kali. Yang dimaksud dengan pukulan disini ialah dengan menggunakan lidi atau tongkat kecil bukan dengan tongkat besar dan tidak sampai menyakiti dan menimbulkan cedera.
3.                  Diberikan kesempatan besar kepada anak-anak untuk tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan pukulan atau merusak nama baiknya (menyebabkan malu).[18]
            Penulis membandingkan dan  mengaitkan dengan teori hukuman  yang sudah dikenal dunia Barat, berdasarkan sudut pandang  hukuman yang mendidik, maka timbullah beberapa teori tentang hukuman.

4. Teori-Teori Hukuman Disiplin Terhadap Anak-Anak
    4.1.  Teori Hukum Alam
            Menurut Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany bahwa “hukum alam  bukan saja mencakup segala makhluk,  tetapi juga merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan persyaratan disekelilingnya,[19] sependapat  dengan penganjur pendidikan alam, yaitu J.J. Rousseau. Rousseau tidak menghendaki hukuman yang dibuat-buat. Biarkan alam sendiri yang menghukumnya. Yang dimaksud di sini ialah, bahwa hukuman itu hendaknya merupakan akibat yang sewajarnya dari suatu perbuatan, hukuman harus merupakan sesuatu yang natuur menurut hukum-hukum alam, akibat logis yang tidak dibuat-buat. Anak yang senang memanjat pohon, adalah wajar dan logis apabila suatu ketika ia jatuh. Jatuh ini adalah merupakan suatu hukuman menurut alam sebagai akibat dari perbuatanya dari senang memanjat pohon . [20]
    2.  Teori  Bakat Alam
                      J.J. Rousseau dengan aliran nativisme dalam pendidikan, berpendapat bahwa hukuman fisik  bagi anak manusia, tidak berguna. Semua pembawaan anak adalah baik. Ia membiarkan anak berkembang sendiri dan menyerahkannya kepada alam. Kalau anak berbuat salah, biarlah alam yang menghukumnya, anak akan menderita sebagai akibatnya. Hukuman semacam ini dinamai hukum alam. Contoh dari hukuman alam adalah, anak bermain dengan air panas dan berakibat tersiram kakinya. Anak dibiarkan merasakan kakinya sakit, hukuman lain tidak ada . Dari hukuman alam , anak akan menerima pendidikan dan berusaha tidak menjalankan permainan  berbahaya lagi. Ia berusaha mengelak.

4.2. Teori Ganti Rugi
                Dalam hal ini, anak diminta untuk bertanggung jawab atau menanggung risiko dari perbuatannya, misalnya anak yang mengotorkan atau merobekkan buku milik kawannya, maka harus menggantinya. Anak yang berkejar-kejaran di kelas, kemudian memecahkan jendela, maka ia harus mengganti kaca jendela itu dengan kaca yang baru. Teori ganti rugi,[21] di mana anak harus mengganti kerugian akibat perbuatannya yang salah, misalnya anak memecahkan kaca jendela tetangga, maka ia harus mengganti dengan uang tabungannya.

4.3. Teori Menakut-Nakuti.[22]
                 Hukuman yang diberikan untuk menakut-nakuti anak agar anak tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang, dalam hal ini nilai didik itu telah ada, hanya saja perlu diperhatikan bahwa hal ini harus dijaga jangan sampai anak itu tidak berbuat kesalahan lagi hanya karena rasa takut saja, melainkan tidak berbuat kesalahan lagi karena adanya kesadaran, sebab apabila tidak berbuat kesalahan itu karena hanya takut, takut kepada bapak atau ibu guru. Maka jika tidak ada bapak atau ibu guru, kemungkinan besar ia akan mengulang kembali perbuatannya. Ia akan mengulangi perbuatannya secara sembunyi-sembunyi. Jika terjadi demikian, maka dapat dikatakan bahwa nilai didik dari hukuman tersebut sangat minim sekali.[23] Teori menakutnakuti ialah memberi hukuman supaya menimbulkan rasa takut pada anak, sehingga mencegah dirinya berbuat salah.
                Teori ini bertujuan menimbulkan rasa takut kepada orang lain. Biasanya hukuman dilaksanakan di muka umum. Pelanggaran kedua kalinya dihukum lebih berat, sebab perulangan pelanggaran berarti jeranya pelanggar. Begitulah hukuman makin lama makin berat, agar orang lain menjadi lebih takut. Fungsi hukuman dengan teori hukuman menakuti ini terhadap orang lain juga preventif.
4.4. Teori balas dendam
Macam-macam hukuman yang paling jelek, yang paling jahat dan paling tidak dipertanggungjawabkan dalam dunia pendidikan ialah hukuman yang didasarkan kepada rasa sentimen. Sentimen ini dapat ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan (frustasi) yang dialami oleh guru, baik mengenai hubungannya dengan orang-orang lain, maupun hubungannya dengan para siswa secara langsung. Misalnya, karena seorang guru merasa dikecewakan dalam hal cinta,  melempiaskan kekecewaannya itu kepada para siswanya. Bagi guru muda,  mungkin merasa bahwa seorang siswa telah dianggap sebagai saingan atau penghalang dari maksud-maksudnya, berusaha mencari kesempatan   menghukumnya.[24]
4.5. Teori memperbaiki
                 Satu-satunya hukuman yang dapat diterima oleh dunia pendidikan ialah hukuman yang bersifat memperbaiki, hukuman yang bisa menyadarkan anak kepada keinsafan atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Dan dengan adanya keinsafan ini, anak akan berjanji di dalam hatinya sendiri tidak akan mengulangi kesalahannya kembali. Hukuman yang demikian inilah yang dikehendaki oleh dunia pendidikan. Hukuman yang bersifat memperbaiki ini disebut juga hukuman yang bernilai didik atau hukuman pedagogis.[25] Teori inilah yang harus kita gunakan sebagai pendidik, maksudnya untuk memperbaiki perbuatan anak yang buruk/salah.[26]
                Teori ini bertujuan untuk memperbaiki. Adapun yang perlu diperbaiki ialah hubungan antara pemegang kekuaaan dan pelanggar dan sikap serta perbuatan pelanggar. Hubungan antara penguasa dengan umum yang tadinya telah menjadi rusak dengan terjadinya pelanggaran oleh orang yang bersikap dan berbuat salah itu perlu dibetulkan lagi. Rusaknya hubungan itu mengakibatkan hilangnya kepercayaan penguasa terhadap pelanggar. Fungsi hukuman dengan teori membetulkan ini korektif dan edukatif.
       Di dalam dunia pendidikan,[27] pendidik tidak menganut teori hukuman lain dari pada teori hukuman pembetulan. Hal ini sesuai dengan tugas pendidik, yaitu membimbing anak didik agar berbuat dan bersikap luhur. Tidak pada tempatnya pendidik menakut-nakuti dan membalas dendam anak didiknya. Anak didik yang takut pada pendidiknya menutup diri baginya dan tidak bersedia menerima petunjuk. Pendidik yang membalas dendam anak didiknya menganggap anak didiknya sebagai musuh, bukan sebagai anak asuhannya.[28]        
4.6. Teori melindungi
Teori melindungi, anak dihukum untuk melindungi lingkungan,[29] atau masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan salah yang merusak/ merugikan lingkungan tersebut.[30] 

4.7. Teori menjerakan
Teori ini bertujuan agar pelanggar sesudah menjalankan hukumannya akan jera dan tidak akan menjalankan pelanggaran lagi. Fungsi hukuman tersebut adalah preventif, yaitu mencegah terulangnya pelanggaran sesudah pelanggar dikenai hukuman. Sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya.
C. Hak  dan   kewajiban  anak   dalam Islam
1.Pengertian hak
           Kata hak berasal dari bahasa Arab 'haqq'  yang memiliki beberapa makna. Di antaranya, hak bermakna 'ketetapan' atau 'kewajiban'. [31]Hal ini bisa dipahami dari firman Allah, surah al-Anfal ayat 8 :
8:8
Agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya. [32]  
2.Hak-hak anak
Di dalam hadits dinyatakan:
                Seorang anak diakikahkan pada hari ketujuh dan diberi nama, dibersihkan dari penyakit, maka apabila dia sudah berumur enam tahun hendaklah dididik, apabila sudah berumur sembilan tahun hendaklah dipisahkan tempat tidurnya, apabila sudah berumur “ tiga belas tahun, hendaklah dipukul apabila meninggalkan shalat dan puasa, dan apabila sudah berumur 16 tahun hendaklah dinikahkan, kemudian dia memegang tangannya seraya mengatakan: aku telah mendidik dan mengajarmu dan juga menikahkanmu, aku berlindung dari fitnah yang kau bawa di dunia dan siksaanmu di akhirat.[33]
          Di dalam hadits ini  dinyatakan: 
Apabila sudah berumur “ tiga belas tahun, hendaklah dipukul apabila meninggalkan shalat dan puasa.Segala sesuatu selain dari  zikir  adalah  sia-sia, atau melalaikan,  kecuali empat hal: 1. Perjalan seorang dengan dua tujuan. 2. Memanah, 3. Mendidik kuda tunggangan, bersenda-gurau dengan keluarganya, dan  4. Mengajarinya anak berenang.[34]
              Kesalahan besar orang tua, jika berpendirian bahwa anak tidak boleh mengungkapkan pendapat! Penerapannya bisa saja keliru bahwa haram hukumnya anak tidak melaksanakan perintah orang. Apakah jika seorang anak yang harus menururti keinginan orang tua jika tidak boleh memilih jurusan sekolah sesuai kemampuan anak dan hanya menuruti ego orang tua agar bersekolah sesuai keinginan nya? Ada pula tindakan orang tua yang selalu mengumpat anaknya,[35] dan selalu marah-marah? Bagaimana orang tua yang sibuk bekerja lalu saat pulang ke rumah menumpahkan kekesalan, sementara anak tidak boleh melawan, tidak boleh sakit hati.
4. Makna Memukul Anak yang Tidak Shalat
            Setiap yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya pasti memiliki  maqashid,[36] atau hikmah dan tujuan. Dalam hal perintah dan larangan Allah, secara umum manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu (1) orang yang cukup menerima nasihat dengan dalil kitab dan sunnah dan (2) orang yang membangkang. Golongan yang kedua inilah yang perlu diterapkan hukuman padanya. Maqashid itu di antaranya bermakna manfaat, misalnya manfaat besi adalah untuk memerangi orang-orang kafir dan untuk menegakkan qishash. Ini adalah manfaat yang sangat nampak, sebab manusia akan takut pada pedang sehingga mereka pasrah pada agama Allah. Maqashid atau manfaat memukul anak karena meninggalkan sholat, bertujuan untuk antara lain:
1.                  Memberi pelajaran kepada anak bahwa hak Allah adalah sangat lebih besar, sehingga segala sesuatu akan menjadi hina di hadapan-Nya. Tubuh yag seharusnya dipelihara dan tidak boleh (haram) disakiti menjadi halal dan harus merasakan sakit lantaran meremehkan hak Penciptanya.
2.                  Menampakkan kepada anak bahwa orang tua memiliki kekuasaan dalam melazimkan hukum-hukum Allah kepada mereka, sehingga tidak ada pilihan baginya kecuali pasrah dan menyerah kepada Rabbnya.



              [1]Benturan antara mashlahat dan mafsadat, dalam artian kalau ingin mengerjakan kemaslahatan tersebut, mesti melakukan mafsadatnya. Jika hal ini yang terjadi, secara umum dapat diurai kan sebagai berikut: 1. Apabila mafsadatnya lebih besar dibanding maslahatnya, maka meng-hindari mafsadat itu dikedepankan daripada meraih kemaslahatan tersebut. 2. Apabila maslahatnya jauh lebih besar dibandingkan dengan mafsadat yang akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih diutamakan daripada menghindari mafsadatnya. Oleh karena itu, jihad berperang melawan orang kafir disyari’at kan, karena meskipun ada mafsadatnya yaitu hilangnya harta, jiwa dan lainnya, namun maslahat me negakkan kalimat Alloh di muka bumi jauh lebih utama dan lebih besar. 3. Apabila maslahat dan mafsadat seimbang, maka secara umum saat itu menolak mafsadat lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan yang ada. Berdasarkan kaidah umum: (Menghilangkan mafsadat itu lebih dida-hulukan daripada mengambil sebuah maslahat).Untuk mengetahui perincian permasalahan ini lihat kembali kaidah (Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan).Lihat Asmawi, Perbandingan Usul Fqih, (Jakarta , Penerbit Amzah : 2011), hlm. 57.
               [2]Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan kwartal yang sama tahun lalu yang berjumlah 196. Ketua Umum Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Seto Mulyadi menyatakan selama Januari-April 2007 terdapat 417 kasus kekerasan terhadap anak.
                   [3]Seto Mulyadi, Kekerasan Fisik Terhadap Anak, Diskusi di Jakarta,majalah Forum Keadilan,  Rabu (3/5 2011).

              [4] Lihat Indah SY, Anak di bawah umur diputuskan bersalah oleh PN Surabya, dengan memvonis 6 (enam) bulan, membebankan biaya perkara Rp. 1000 (Seribu Rupiah) dan denda Rp. 1.000 (Seribu Rupiah), selain memenuhi Pasal 290 KUHP hakim juga berdasarkan pada pertimbangan hal-hal yang mem beratkan dan pada hal-hal yang meringankan. Menurut UU perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 pasal 81 dan 82 pelakunya dijatuhi dengan hukuman penjara paling singkat 3 tahun dan hukuman penjara paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000 (Enam Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000 (Tiga Ratus Juta Rupiah). Tentang Pencabulan Dalam Perspektif UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Pidana Islam" Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang apa Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby dan.Bagaimana  Perspektif UU No. 23 Tahun 2002 Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid. B/2008/PN.Sby serta Bagaimana Perspektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby. Lihat Indah SY, Pukullah Anakmu dengan Cinta, (Jakarta, PT.Jaya Pustaka, 2010), hlm134.
            [5]Imran Ahsan Khan Nyazee, Islamic Jurisprudence, /Ushûl al-Fiqh, (Pakistan: The International Institute of Islamic Thought, 2000), hlm. 199. 
             [6]Sahal Mahfudh, M.A. 2003. Fikih Sosial: Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Madzhab Manhaji. Pidato Promovendus pada Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Fikih Sosial di UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta, 18 Juni, Jakarta: Universitas Islam Negeri.
               [7]Totok Jumanto dan Samsul Munir Amin, op.cit., hlm. 169
             [8]Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakr (terkenal dengan panggilan Ibnu Qayyim Al-Juuziyyah), 1980, ‘Alaam al-Muwaqqi’iin ’an Rabbi al-‘Alamiin, (Cairo: Mathabi’ al-Islam, jilid 3,tt.),  hlm. 3.
              [9]Khoja Nashiruddin Thusi mengatakan, "Ajari ia (anak-anak) dengan keras agar tidak melakukan perbuatan buruk. Jangan sampai dari kecil sudah terbiasa melakukan perbuatan jelek.Mereka itu suka berdusta, memiliki sifat hasud, suka mencuri, suka mengadu domba, dan jugabandel, suka mencampuri urusan orang lain. Setelah memberikan pendidikan yang sangat keras maka didiklah agar mereka memiliki sikap sopan-santun. Jadi didiklah anak-anak sejak kecil dengan disiplin. Jangan lupa pula untuk memuji sikap-sikap yang baik darinya, waspadailah agar anak-anak tidak memiliki kebiasaan buruk karena seperti peribahasa Al-Insânu hârisun 'ala ma' muni'a (manusia itu penasaran dengan larangan). Manusia itu suka terhadap hal-hal yang menyenangkan dan tidak tahan dengan penderitaan. Seorang pendidik harus bisa membuat anak didiknya sadar dengan perbuatannya sehingga tidak berani lagi mengulangi perbuatan buruknya."
            [10].Gabungan ini, maksudnya antara setuju dengan tidak setuju, yaitu memukul secara fisik setuju, dalam batas tertentu, tapi jika sudah berlebihan, tidak setuju lagi. (Agree in this egreemen, setuju dalam tidak setuju.)
         [11]Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.”HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612.
           [12]Tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati” Kitab Taurat, Amsal 23:13. Tetapi bukan berarti bahwa orang tua atau guru boleh dengan semena-mena menggunakan haknya untuk memukul anak.Tidak semua penggunaan hukuman atau hukuman fisik itu tidak berfaedah. Alkitab mengajarkan, “Siapa tidak menggunakan tonngkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya menghajar dia pada waktunya”  Taurat Amsal 13:24. Lihat Al-Kitab,Percetakan Lembaga Al-Kitab Indonesia, (Ciluar, Bogor :1982), hlm. 717.
           [13]Argumentasi klasik tersebut terpatahkan dengan ditemukannya fakta bahwa dari jumlah rata-rata 2 juta kasus aborsi pertahun, 76.6% dilakukan oleh perempuan berstatus menikah.[13] Penelitian terakhir oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (2003),87% klien aborsi berstatus menikah. Ninuk Widyantoro. 2003. Pengakhiran Kehamilan Tak Diinginkan yang Aman Berbasis Konseling, Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan. Lihat juga Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit. , hlm. 189

                    [14] HR. Abu Daud 4403, Turmudzi 1423, dan dishahihkan al-Albani . Lihat juga Chaerul Umam, Ushul Fiqh 1, Pustaka Setia, (Bandung, 2000), hlm. 336.
                 [15]HR. Ibnu Majah dan At-Thabrani. Lihat juga HR. Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ad-Daruquthni dari ‘Aisyah dan ‘Ali bin Abi Thalib.
             [16]Asbab al-nuzulnya : Ketika telah turun ayat 43 surat Al-Nisa’ dan hukum khamar ialah haram, tetapi tidak secara mutlak. Para shahabat saat itu masih ada sebahagian dari mereka yang masih meminum khamar dan mabuk-mabukkan yang mengakibatkan prilaku mereka sangat jauh dari aturan. Oleh karena itulah pada tahapan selanjutnya Allah menurunkan ayat 90 surat Al Maidah yang berisi pengharaman khamar secara mutlak. Dalam ayat ini Allah mengharamkan khamar melalui beberapa sebutan, yakni : Rijsu (رجس ) yang berarti al najasah ( النجاسة ) najis dan najis merupakan sesuatu yang dilarang oleh Allah (diharamkan). Kedua, Allah mengkategorikan meminum khamar ke dalam perbuatan yang selalu dilakukan oleh Syaitan. Dengan turunnya ayat ini  semua para ulama sepakat bahwa hukum dari khamar itu ialah haram. Penerapan metode tadrij dalam  hukum Islam. Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir min Ibni Katsir, Penerjemah M.Abdul Ghoffar E.M., Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’i, Cetakan I, Jilid 2, Juli 2009), hlm. 87, dan Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, Cetakan V, Jilid 2, 2003), hlm. 1227.
 [17]Ibid.
                [18]Muhamad ’Atthiyyah Al-Abrasyi, At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, hlm. 2003.
                [19]Ibid.
                [20]Ibid
             [21]Membiasakan anak dengan pakaian yang syar’i. Anak-anak dibiasakan menggunakan pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak laki-laki menggunakan pakaian laki-laki dan anak perempuan menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan anak-anak dari model-model pakaian Barat yang tidak syar’i, bahkan ketat dan menunjukkan aurat. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meniru suatu kaum, maka dia termasuk kaum itu. (HR. Abu Daud).
           [22]Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Umar Muhammad Al-Taumy Al-syaibany bahwa “ alam natural bukan saja mencakup segala mahluk yang akan tetapi juga merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan persyaratan disekelilingnya. Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung, (Jakarta, Bulan Bintang, 1979), hlm. 58.
                 [23]Ibid
              [24] Lihat Nabil Kazhim Muhammad, Mendidik Anak Tanpa Kekerasan, terjemahan, (Pustaka Al-Kautsar, Jakarta: 2010), hlm. 321
                   [25]Amin Danien Indrakusuma, op.cit., hlm. 151.
                   [26]Suwarno, op.cit.,  hlm. 115.
                [27]Hukuman pun sering diterima siswa manakala mereka  melanggar tata tertib yang telah disepakati. Hukuman itu dimaksudkan  sebagai upaya mendisiplinkan siswa terhadap peraturan yang berlaku. Sebab, dengan sadar pendidik memegang prinsip bahwa disiplin itu merupakan kunci sukses hari depan. Apakah bentuk-bentuk hukuman bisa dikembangkan untuk mendisiplinkan siswa? Pertanyaan seperti inilah menjadi dilema  bagi kaum pendidik  dalam mengemban  kewajiban dan tanggung jawabnya. Apabila sanksi hukuman sama sekali tidak diadakan  niscaya   perilaku siswa akan lebih  semrawut.  Orang dapat menduga-duga, ada penerapan hukuman saja siswa yang melanggar masih banyak, apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan. Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan menuntut konsekuensi bagi para pendidik itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus benar-benar bisa sebagai suri tauladan bagi anak didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi para siswa yang melanggar tetapi tidak diikuti kedisiplinan pendidik, bagaikan halilintar di waktu siang bolong, banyak yang menyepelekan. UU menyebutkanPendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan. Lihat Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
                 [28]Agus Seojono,op.cit, hlm. 165.
              [29]Hukuman sebagai salah satu teknik pengelolaan kelas sebenarnya masih terus menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi, apa pun alasannya, hukuman sebenarnya tetap diperlukan dalam keadaan sangat terpaksa, katakanlah semacam pintu darurat yang suatu saat mungkin diperlukan. Hukuman merupakan alat pendidikan represif, disebut juga alat pendidikan korektif, yaitu bertujuan untuk menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang benar dan/atau yang tertib. Alat pendidikan represif diadakan bila terjadi suatu perbuatan yang diangap bertentangan dengan peraturan-peraturan atau suatu perbuatan yang dianggap melanggar peraturan. Penguatan negatif dan penghapusan sebenarnya bernilai hukuman juga. Menyajikan stimulus tidak menyenangkan dalam pemakaian teknik penguatan negatif maupun tidak memberikan penguatan yang diharapkan siswa dalam teknik penghapusan, pada dasarnya adalah hukuman walaupun tidak langsung. Kalau penguatan negatif dan penghapusan dapat dikatakan hukuman tidak langsung, maka yang dimaksud dengan hukuan di sini adalah hukuman langsung, dalam arti dapat dengan segera menghentikan tingkah laku siswa yang menyimpang.Lihat Andri Priyatna, Let’s End Bullying,Memahami, Mencegah Dan Mengatasi Kekerasan Bullying,(PT.Alex Media Komputindo, 2010), hlm. 117.
                 [30]Suwarno, op.cit., hlm. 115.
                 [31]Kerusakan anak-anak  kebanyakan bersumber dari orang tua yang membiarkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dan sunnah din ini kepada mereka. Mereka tidak memperhati kan masalah-masalah agama tersebut saat masih kecil, sehingga saat sudah besar mereka sulit meraih manfaat dari pelajaran agama dan tidak bisa memberikan manfaat bagi orang tua mereka.” Tuhfatul Maudud, I: 229.Lihat Muhammad Al-Ghazali, op.cit., hlm. 463.
               [32]Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 8.
               [33]H.R.Ibnu Hiban. Bandingkan pula hadits Rasulullah secara rinci tentang fase-fase perkembangan anak sekaligus cara atau metode yang harus diterapkan sesuai dengan perkembangan anak. Rasulullah SAW bersabda artinya : “Berkata Anas bersabda Nabi Muhammad SAW, anak itu pada hari ketujuh dari lahirnya disembelihkan aqiqah, diberi nama dan dicukur rambutnya. Kemudian setelah umur 6 tahun dididik kesusilaan, setelah umur 9 tahun dipisahkan tempat tidurnya, bila telah berumur 13 tahun dipukul karena meninggalkan sholat dan puasa, serta umur 16 tahun hendaklah orang tua mengawinkannya, kemudian orang tua berjabatan tangan dan berikrar, saya telah mendidik, mengajar dan mengawinkan kamu, ya Allah lindungilah aku dari fitrahmu di dunia dan siksaanmu di akhirat”.
             [34]H.R.Thabrani.
          [35]Pakar pendidikan ini ingin mengatakan bahwa hukuman memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi tertentu mutlak diperlukan sekali. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak Dia keberatan dengan hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat.Ia menambahkan, “Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya. Kemudian, jangan menghukum anak di saat marah. Lihat Ayah Edi Wahono, Mengapa Anak Saya Suka Melawan dan Susah Diatur, (PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010), hlm. 31.
          [36]Sudah tidak asing di kalangan para ulama yang berkecimpung dalam juresprudensi Islam (ushul al-fiqh) mengenai teori maqashid al-Syari’ah yang disistematisasi dan dikembangkan oleh al-Syathibi. Bahkan Musthafa Said al-Khin dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy  membuat kategorisasi baru dalam aliran Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqahaatau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, maka al-Khin membaginya menjadi lima bagian:MutakalliminHanafiyyahal-Jam’iTakhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan  Sya-thibiyyah (al-Khin, 2000: 8). Dengan demikian, pembagian tersebut telah menempatkan pemikiran Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagiatn corak aliran yang terpisah dari aliran ushul fiqih lainnya. Hal ini karena dalam coraknya, al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat) ushul fiqh dengan konsep maqashid al-syari’ah sehingga produk hukum yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual. Menurut Darusmanwiati, Ada dua nilai penting apabila model al-Syathibi ini dikembangkan para ulama sekarang dalam menggali hukum: Pertama, dapat men-jembatani antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul fiqh sedangkan “aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenyatajdid ushul al-fiqh dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul fiqih demi menghasilkan produk fiqih yang lebih kapabel …. Kedua, model al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu al-Qayyim, al fiqh al-hayy, fiqih yang hidup. Karena itu, fiqih yang terlalu teksbook yang penulis istilahkan dengan Fiqh Ushuly akan berubah menjadi Fiqh Maqashidy Darusmanwiati, Islamlib: 309.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook