Tuesday, June 18, 2013

PROFILKU BERIKUT INI. Jurusan Hukum Islam. (Kandidat doktor 2013)


PROFILKU BERIKUT INI

Nama   : Muhammad Rakib
Umur   :   54 tahun
Pekerjaan   : Dosen Persada Bunda dan Widyaiswara LPMP. Riau Pekanbaru- Indonesia, sejak tahun 2000. Punya Yayasan Raksya Riau
HP. 0812  6748 8881
Lahir   : KUALA KAMPAR. Penyalai 31 Gustus 1959
Nama Orang tua :  Janib Maryama
Pendidikan terakhir   :  Program Doktor UIN Suska Riau Indonesia. Jurusan Hukum Islam. (Kandidat doktor 2013)Mohon doa pembaca agar sukses atas izin Allah. Bimbingan Prof. Dr. Sudirman, M.Djohan dan Prof.Dr.Syafrinaldi, M.Cl.

ANAK ANDA ADALAH PENGGUGAT ANDA

DISERTASIKU ANALISIS HUKUM TENTANG MEMUKUL ANAK YANG TIDAK SHOLAT

A.Perlindungan anak dalam Islam
1. Perlindungan dari hukuman fisik.
            Di masa hidupnya Rasulullah, di masa Amirul Mukminin, dan di masa jayanya dinasti Umayyah dan Abbasiyah, hukuman fisik oleh orang tua dan guru, yang digunakan  untuk menghukum anak-anak adalah cambuk kecil,[1] untuk menakut-nakuti anak-anak  yang tidak disiplin belajar  dan tidak shalat. Menanamkan sikap kesatria dan bertanggungjawab,bersedia dihukum, mau mengakui kesalahan, merupakan salah satu bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk melestarikan, menanamkan (internalisasi) dan mentransformasikan nilai-nilai Islam tersebut kepada pribadi generasi penerusnya sehingga nilai-nilai cultural-religious yang dicita-citakan tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu-kewaktu. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk lembaga dan sistem pendidikan Islam pada masa khalifah Harun ar-Rasyid dan al-Makmun?
                Hukuman fisik tidak banyak ditulis para ilmuwan. Lembaga pendidikan Islam yang berkembang pada masa khalifah Harun ar-Rasyid berbentuk: kuttab, pendidikan rendah di istana, halaqah, masjid, majelis, rumah sakit dan rumah-rumah ulama’, toko buku dan perpustakaan. Sedangkan lembaga pendidikan Islam pada masa al-Makmun yaitu: kuttab, pendidikan rendah di istana, halaqah, masjid, majlis, rumah sakit, observatorium, khan, ribat, toko buku dan perpustakaan. Sistem pendidikan Islam pada masa kedua khalifah ini meliputi: tujuan, kurikulum, metode, kehidupan guru dan murid serta hubungan guru dan murid. Tujuan Pendidikan Islam pada masa Pola hubungan guru dan murid  tidak ditemui informasi tentang kekerasan apapun. Karena didasarkan pada prinsip demokratis dan kesucian batin serta akhlaqul karimah.
              Dari data historis tersebut, menurut   analisis penulis  angtara konsep Hukum Islam dan UU RI No 23, secara  tekstual seakan-akan terjadi pertentangan secara tekstual. Sedangkan secara  kontekstual, “ tidak”, karena hukuman fisik terhadap anak-anak dalam Islam, tidak mengandung kekerasan, dan digunakan sebagai alternatif terakhir, sekaligus sebagai antisipasi kerusakan (dar’ul mafasid).[2]Dar’ul mafasid, artinya mencegah  kerusakan yang lebih besar. Maksudnya memberikan hukuman fisik kepada anak-anak adalah untuk mencegah kejahatan yang mungkin akan dilakukannya, akan tetapi jangan sampai menghasilkan manusia yang suka dengan tindak kekerasan dikemudian hari. Kalau itu terjadi, maka pendidikan saat ini hanya menghasilkan kesalahan besar.
2.Melindungi anak-anak dari kekerasan guru.
Dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang UU Perlindungan Anak pasal 54 menyebutkan: “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”.
Apakah bertentangan dengan Hukum Islam yang membolehkan hukuman fisik sekedarnya, untuk melindungi dan  menjunjung tinggi kesucian kehidupan anak-anak. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah ayat-ayat dalam al-Qur’an dan  hadits. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, Islam memberikan landasan hukum yang jelas bahwa kehidupan manusia itu suci sehingga haruslah dipelihara dan tidak boleh dihancurkan (diakhiri) kecuali dilakukan untuk suatu sebab atau alasan yang benar, misalnya pembelaaan diri yang dibenarkan. Berikutnya akan dianalisis pandangan-pandangan  ulama fikh tentang kekerasan, argumentasi methodologis (usul fikh), solusi fikh, dan  argumentasi fikh. Berikut ini disajikan tabel :





Tabel  5
Perbedaan antara UU Perlindungan Anak dan Hukum Islam, tentang hukuman fisik, bagi anak-anak.

No
     UU Nomor 23 Tahun 2002
                    Hukum Islam
1
Berdasarkan HAM dan konvensi PBB tentang hak-hak anak.
Berdasarkan Al-Quran dan Hadits
2
Keterangannya bersifat  global
Keterangannya  bersifat  detil
3
Untuk semua agama
Untuk umat Islam dan dunia
4
Melarang hukuman fisik, tanpa batas
Membolehkan hukuman fisik, dengan batas-batas tertentu.
5
Bersifat sekular rasionalis
Bersifat sakral relegius
6
Memuat sanksi hukuman penjara dan denda bagi yang melanggarnya.
Memuat sanksi hukuman qishas dan ta’zir  bagi yang melanggarnya.
Keterangan  tabel  5
             Pada  baris nomor 5 dalam tabel ini, dibandingkan tentang dasar atau landasan atau fondasi dari UU Nomor 23 Tahun 2002 adalah  Hak Asasi Manusia (HAM) dan Konvensi PBB tentang hak-hak anak yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Sedangkan Hukum Islam, dasarnya adalah  Al-Quran dan  Hadits. Walaupun dasarnya dan landasannya berbeda, tapi tujuannya sama, yaitu memberikan perlindungan kepada anak-anak. Dalam Islam, anak-anak sampai umur tujuh tahun, dibimbing dan diberi contoh, bagaimana melakukan shalat. Mereka biasanya lebih terpengaruh oleh kebiasaan dan didikan orang tuanya. Namun setelah mulai masuk sekolah ia akan terbina oleh gurunya dan terpengaruh oleh teman-temannya di sekolah. Kalau pembinaan guru-gurunya baik dan pengaruh teman-temannya pun baik maka insya Allah jiwa anak terbina dgn baik. Sebaliknya kalau pembinaan dari guru-gurunya hanya sekadarnya dan pengaruh teman-temannya buruk maka si anak terbentuk dalam pola yang kurang baik.
           Di saat seperti itu pembinaan ataupun kebiasaan kedua orang tuanya yang ditanamkan kepada si anak selama 7 tahun itu lambat laun terkikis lama-lama bisa habis. Sedang pembinaan dari orang tua belum tentu berlanjut atau setidak-tidaknya tak ada peningkatan. Karena orang tua merasa anaknya sudah disekolahkan pasti telah dibina oleh guru-gurunya di sekolah. Wal hal guru-guru belum tentu membina si anak dgn baik/ intensip. Apalagi kebanyakan pendidikan selama ini kurikulumnya hanya sekadar menyampaikan pelajaran yg sasarannya hanya membekali otak dengan ilmu teori dan itupun sifatnya lbh menjurus kepada materi keduniaan. Sedikit sekali yang menyangkut pembinaan rohani akhlaq jiwa hati keimanan keikhlasan atau akhlaq secara keseluruhan. Sehingga aspek ukhrawi justru terabaikan.           Kemaslahatan manusia  dapat terwujud apabila terjamin kebutuhan pokok (dharuriyah), kebutuhan sekunder (hajiyah) maupun kebutuhan pelengkapnya (tahsiniyah).[3] Yang diinginkan ialah:
1.      Mencari solusi dengan fikih alternatif

            Dalam konteks hukuman fisik , mirip dengan aborsi tak aman yang menimbulkan tingginya kecelakaan, bukan merupakan persoalan sederhana, tetapi memiliki dimensi sosial yang  kompleks baik secara fisik, psikis bagi yang bersangkutan maupun psiko-sosial bagi lingkungannya. Fikih dalam hal ini harus berorientasi pada etika sosial yang produk hukumnya tidak sekedar halal atau haram, boleh dan tidak boleh, tetapi harus memberikan jawaban berupa solusi hukum terhadap persoalan-persoalan sosial yang dihadapi perempuan. Dengan kata lain, diakui pula oleh K.H. Sahal Mahfudz (2003):“Fikih sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam”.[4]

            Dalam konteks menetapkan kepastian hukum mengenai tingginya angka
kematian ibu akibat aborsi tak aman yang merupakan dua kondisi yang sama-sama membahayakan, dapat dianalisa dengan menggunakan beberapa kaidah fikih, antara lain: Pertama, “Bahaya itu menurut agama harus dihilangkan (al-dlarar yuzaalusyar’an)”; Kedua, “Bahaya yang lebih berat dapat dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih ringan (al-dharar al-asyadd yuzaalu bi al-dharar al-akhaff)” atau “Jika dihadapkan pada dua kondisi yang sama-sama membahayakan, maka pilihlah bahaya yang lebih kecil risikonya (Idza ta’aaradlat al-mafsadataani ruu’iyaa’dhamuhuma dlararan)”; Ketiga, “Keterpaksaan dapat memperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang (al-dlaruraatu tubiihul mahdzuraat)”; [5]Keempat, perubahan hukum Islam dapat dilakukan dengan adanya perubahan zaman, perubahan tempat, perubahan kondisi, perubahan niat dan kultur atau adat (taghayyir al-ahkam bitaghayyur al-azminah wal-amkinah wal-ahwal wan-niyaat wal-‘awaaid)”[6].
2.      Mengutamakan pencegahan
              Ada argumentasi klasik di kalangan ulama bahwa pencegahan atau men- dahulukan prevensi (syaddu al-dzari’ah) lebih baik. Dalam hal    hukum   aborsi,
melarang aborsi dianggap lebih aman, karena ada kehawatiran kalau aborsi     di- bolehkan akan dijadikan sebagai peluang bagi pelaku seks di luar nikah mencari
jalan keluar. Bila aborsi dibolehkan sama dengan memberikan kesempatan untuk
melakukan perzinahan atau seks bebas. Pertanyaannya adalah bagaimana fikih
menjawab realitas yang sudah terjadi berupa tingginya angka aborsi tak aman yang jelas-jelas mengancam kematian, apakah masih relevan menjawab dengan
argumentasi preventif. Pandangan tersebut nampak sangat tekstual karena hanya
berorientasi pada teks tanpa melihat realitas sosial bahwa ada satu   kondisi yang
mengancam kematian perempuan yang perlu dijembatani supaya aborsi tak aman
tidak terjadi. Di sinilah letak kesenjangannya antara teks fikih dan kenyataan di
lapangan.Argumentasi klasik tersebut terpatahkan dengan ditemukannya fakta bahwa dari jumlah rata-rata 2 juta kasus aborsi pertahun, 76.6% dilakukan oleh perempuan berstatus menikah.[7] Penelitian terakhir oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (2003),87% klien aborsi berstatus menikah.[8]
B. Status Anak sebagai subjek dan objek hukum Islam
1.Anak-anak bukan subjek hukum.
            Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa anak-anak statusnya belum bisa menjadi subjek hukum. Bukan mahkum alaihi. Yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah seorang perbuatannya dikenai khitab Allah SWT, yang disebut dengan mukallaf. Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqih, istilah mukallaf disebut juga dengan mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah allah maupun dengan larangan-nya. Seluruh tindakan mukallaf harus dipertanggung jawabkan. Apabila mengerjakan perintah allah swt, ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah SWT., ia mendapat risiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.
       2.        Dasar penetapan subjek hukum
             Anak-anak belum dikenai taklif (pembenanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama ushul fiqih, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman. Maksudnya, seorang baru dapat dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena tidak atau belum berakal, mereka dianggap tidak dapat memahami taklif fari syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan mabuk tidak dikenai taklif karena berada dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Hal ini, sejalan dengan sabda Rasulullah SAW. : “diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang), orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan gila sampai sembuh.”[9]  Dalam hadits lain dikatakan : “ummatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan terpaksa.”
       3.        Syarat-syarat taklif
Ada dua syarat sahnya memberi beban kepada mukallaf, yaitu berikut ini :
       a.         Mukallaf dapat memahami dalil taklif, yaitu mampu memahami nash yang dibebankan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah secara langsung atau melalui perantaraan. Orang yang tidak mampu memahami dalil taklif tidak dapat tumpuan yang dibebankan kepadanya dan tujuannya tidak dapat mengarah kesana. Kemampuan memahami dalil itu hanya dapat nyata dengan akal sehingga dengan akal tersebut adanya nash-nash yang dibebankan dapat diterima pemahamannya karena akal merupakan alat memahami dan menjangkau. Dengan akal tertujulah keinginan untuk mengikuti. Ketika akal itu adalah hal yang sembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh indera lahir, maka syar’i telah menghubungkan beban taklif dengan hal nyata yang dapat dijangkau oleh indera, yang menjadi tempat dugaan akal, yaitu sifat kedewasaan. Dengan demikian barang siapa telah sampai pada keadaan dewasa dan tak tampak padanya sifat-sifat yang merusak kekuatan akalnya, ia telah sempurna untuk diberi beban. Atas dasar ini orang gila dan anak-anak tidak dapat deberi beban karena tidak adanya akal yang menjadi alat memahami yang dibebankan. Juga orang yang lupa, tidur, dan mabuk tidak dapat diberi beban.
             Rasulullah SAW bersabda : “ Diangkatlah pena itu (tidak digunakan untuk mencatat amal perbuatan manusia) dari tiga orang, pertama dari orang yang tidur sampai ia bangun, kedua dari kanak-kanak sampai dia dewasa dan ketiga dari orang gila sampai dia berakal.” Beliaupun bersabda : “ Barangsiapa tidur sampai ia tertinggal melakukan shalat atau lupa mengerjakannya, hendaklah dia mengerjakan shalat itu ketika ingat, sesungguhnya ketika ingat itulah waktu shalat.” Adapun kewajiban zakat, nafkah, jaminan (dhamman) atas anak-anak dan orang gila, bukan berarti memberi beban kepadanya. Akan tetaping memberikan beban kepada walinya agar melaksanakan kewajiban harta yang menjadi milik anak-anak dan orang gila itu, seperti membayar pajak tanah dan irigasi dari harta miliknya. Adapun firman Allah SWT. :
4:43

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,[10] sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.....” [11]  

Adapun Awaridl Muktasabah (halangan yang dibuat sendiri) :
1.      Mabuk, ialah hilangnya akal karena khamar atau yang menyerupainya hingga kacau omongannya dan mengigau.
Mabuk menurut jalannya terbagi atas dua macam :
a.       Pertama yang jalannya tidak diharamkan seperti mabuknya orang yang terpaksa minum khamar dan mabuk yang timbul dari obat-obatan. Ini hukumnya sama dengan pingsan, tidak sah tindakannya, thalaqnya dan pembebasan budaknya.
b.      Kedua yang jalannya diharamkan dan ini tidak membatalkan taklif sehingga berlakulah hukum-hukum bagi pemabuk dan ucapan-ucapannya seperti thalaq, pembebasan budak, jual beli, pengakuan, mengawinkan anak kecil, kawin, menghutangi dan minta dihutangi.
Hal itu karena akalnya sempurna, hanya saja ia kehilangan pemahaman khitob oleh maksiat, maka tetaplah taklifnya dalam hak dosa dan kewajiban mengqodlo bagi ibadah yang diqodlo secara syara’.
         Muhamad ’Atthiyyah Al-Abrasyi, mengemukakan bahwa ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam memberikan hukuman fisik (jasmaniah) terhadap anak, yaitu :
  1. Sebelum berumur 10 tahun, anak-anak tidak boleh dipukul.
  2. Pukulan tidak lebih dari 3 kali. Yang dimaksud dengan pukulan disini ialah dengan menggunakan lidi atau tongkat kecil bukan dengan tongkat besar.
  3. Diberikan kesempatan besar kepada anak-anak untuk tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan pukulan atau merusak nama baiknya (menjadikan ia malu).[12]
  Penulis mencoba sedikit membandingkan dan  mengaitkan dengan Teori Hukuman  yang sudah dinenal dunia Barat. Berdasarkan sudut pandang  hukuman yang mendidik, maka timbullah beberapa teori tentang hukuman, di antaranya ialah:
a. Teori Hukum Alam.
    1.  Teori hukum alam, Umar Muhammad Al-Taumy Al-syaibany bahwa “ alam natural bukan saja mencakup segala mahluk yang akan tetapi juga merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan persyaratan disekelilingnya, sependapat  dengan penganjur Pendidikan Alam, yaitu J.J. Rousseau. Rousseau tidak menghendaki hukuman yang dibuat-buat. Biarkan alam sendiri yang menghukumnya. Yang dimaksud di sini ialah, bahwa hukuman itu hendaknya merupakan akibat yang sewajarnya dari suatu perbuatan, hukuman harus merupakan sesuatu yang natuur menurut hukum-hukum alam, sesuatu akibat logis yang tidak dibuat-buat. Misalnya, anak yang senang memanjat pohon, adalah wajar dan logis apabila suatu ketika ia jatuh. Jatuh ini adalah merupakan suatu hukuman menurut alam sebagai akibat dari perbuatanya dari senang memanjat pohon . [13]
    2.  J.J. Rousseau dengan aliran negativisme dalam pendidikan, berpendapat bahwa hukuman fisik  bagi anak manusia tak berguna. Semua pembawaan anak adalah baik. Ia membiarkan anak berkembang sendiri dan menyerahkannya kepada alam. Kalau anak berbuat salah, biarlah alam yang menghukumnya, anak akan menderita sebagai akibatnya. Hukuman semacam ini dinamai hukum alam.
            Contoh dari hukuman alam adalah, anak bermain dengan air panas dan berakibat tersiram kakinya. Anak dibiarkan merasakan kakinya sakit, hukuman lain tidak ada . Dari hukuman alam tersebut, anak akan menerima pendidikan dan berusaha tidak menjalankan permainan yang berbahaya itu lagi, atau ia meneruskannya akan tetapi ia berusaha mengelak.

b. Teori ganti rugi
      1.      Dalam hal ini, anak diminta untuk bertanggung jawab atau menanggung risiko dari perbuatannya, misalnya anak yang mengotorkan atau merobekkan buku milik kawannya, maka harus menggantinya. Anak yang berkejar-kejaran di kelas, kemudian memecahkan jendela, maka ia harus mengganti kaca jendela itu dengan kaca yang baru.
     2.      Teori ganti rugi,[14] di mana anak harus mengganti kerugian akibat perbuatannya yang salah, misalnya anak memecahkan kaca jendela tetangga, maka ia harus mengganti dengan uang tabungannya.

c. Teori menakut-nakuti.[15]
      1.      Hukuman yang diberikan untuk menakut-nakuti anak agar anak tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang, dalam hal ini nilai didik itu telah ada, hanya saja perlu diperhatikan bahwa hal ini harus dijaga jangan sampai anak itu tidak berbuat kesalahan lagi hanya karena rasa takut saja, melainkan tidak berbuat kesalahan lagi karena adanya kesadaran, sebab apabila tidak berbuat kesalahan itu karena hanya takut, takut kepada bapak atau ibu guru. Maka jika tidak ada bapak atau ibu guru, kemungkinan besar ia akan mengulang kembali perbuatannya. Ia akan mengulangi perbuatannya secara sembunyi-sembunyi. Jika terjadi demikian, maka dapat dikatakan bahwa nilai didik dari hukuman tersebut sangat minim sekali.[16] Teori menakutkan ialah memberi hukuman supaya menimbulkan rasa takut pada anak;
      3.      teori ini bertujuan menimbulkan rasa takut kepada orang lain. Biasanya hukuman dilaksanakan di muka umum. Pelanggaran kedua kalinya dihukum lebih berat, sebab perulangan pelanggaran berarti jeranya pelanggar. Begitulah hukuman makin lama makin berat, agar orang lain menjadi lebih takut. Fungsi hukuman dengan teori hukuman menakuti ini terhadap orang lain juga preventif.
d. Teori balas dendam
Macam-macam hukuman yang paling jelek, yang paling jahat dan paling tidak dipertanggung jawabkan dalam dunia pendidikan ialah hukuman yang didasarkan kepada rasa sentimen. Sentimen ini dapat ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan (frustasi) yang dialami oleh guru, baik mengenai hubungannya dengan orang-orang lain, maupun hubungannya dengan para siswa secara langsung. Misalnya, karena seorang guru merasa dikecewakan dalam hal cinta oleh seorang gadis atau pemuda, maka ia melempiaskan kekecewaannya itu kepada para siswanya. Bagi guru muda, tidak terkecuali pria atau wanita, mungkin merasa bahwa seorang siswa telah dianggap sebagai saingan atau penghalang dari maksud-maksudnya, maka ia berusaha mencari kesempatan untuk setiap saat akan menghukum-nya atau menjatuhkannya.

e. Teori memperbaiki
1.       Satu-satunya hukuman yang dapat diterima oleh dunia pendidikan ialah hukuman yang bersifat memperbaiki, hukuman yang bisa menyadarkan anak kepada keinsafan atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Dan dengan adanya keinsafan ini, anak akan berjanji di dalam hatinya sendiri tidak akan mengulangi kesalahannya kembali. Hukuman yang demikian inilah yang dikehendaki oleh dunia pendidikan. Hukuman yang bersifat memperbaiki ini disebut juga hukuman yang bernilai didik atau hukuman pedagogis.[17]
       2.       Teori inilah yang harus kita gunakan sebagai pendidik, maksudnya untuk memperbaiki perbuatan anak yang buruk/salah.[18]
      3.       Teori ini bertujuan untuk memperbaiki. Adapun yang perlu diperbaiki ialah hubungan antara pemegang kekuaaan dan pelanggar dan sikap serta perbuatan pelanggar. Hubungan antara penguasa dengan umum yang tadinya telah menjadi rusak dengan terjadinya pelanggaran oleh orang yang bersikap dan berbuat salah itu perlu dibetulkan lagi. Rusaknya hubungan itu mengakibatkan hilangnya kepercayaan penguasa terhadap pelanggar. Fungsi hukuman dengan teori membetulkan ini korektif dan edukatif.
       Di dalam dunia pendidikan,[19] pendidik tidak menganut teori hukuman lain dari pada teori hukuman pembetulan. Hal ini sesuai dengan tugas pendidik, yaitu membimbing anak didik agar berbuat dan bersikap luhur. Tidak pada tempatnya pendidik menakut-nakuti dan membalas dendam anak didiknya. Anak didik yang takut pada pendidiknya menutup diri baginya dan tidak bersedia menerima petunjuk. Pendidik yang membalas dendam anak didiknya menganggap anak didiknya sebagai musuh, bukan sebagai anak asuhannya.[20] 
      
f. Teori melindungi
Teori melindungi, anak dihukum untuk melindungi lingkungan,[21] atau masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan salah yang merusak/ merugikan lingkungan tersebut.[22] 

g. Teori menjerakan
Teori ini bertujuan agar pelanggar sesudah menjalankan hukumannya akan jera dan tidak akan menjalankan pelanggaran lagi. Fungsi hukuman tersebut adalah preventif, yaitu mencegah terulangnya pelanggaran sesudah pelanggar dikenai hukuman. Sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya.
C. Hak  dan   kewajiban  anak   dalam Islam
1.Pengertian hak
Kata hak berasal dari bahasa Arab 'haqq'  yang memiliki beberapa makna. Di antaranya, hak bermakna 'ketetapan' atau 'kewajiban'. [23]Hal ini bisa dipahami dari firman Allah.[24]
8:8
2.Hak anak.
Di dalam hadits dinyatakan:
                 Seorang anak diakikahkan pada hari ketujuh dan diberi nama, dibersihkan dari penyakit, maka apabila dia sudah berumur enam tahun hendaklah dididik, apabila sudah berumur sembilan tahun hendaklah dipisahkan tempat tidurnya, apabila sudah berumur tiga belas tahun, hendaklah dipukul apabila meninggalkan shalat dan puasa, dan apabila sudah berumur 16 tahun hendaklah dinikahkan, kemudian dia memegang tangannya seraya mengatakan: aku telah mendidik dan mengajarmu dan juga menikahkanmu, aku berlindung dari fitnah yang kau bawa di dunia dan siksaanmu di akhirat.[25]
          Di dalam hadits yang lain dinyatakan:
Segala sesuatu selain dari  zikir  adalah  sia-sia, atau melalaikan,  kecuali empat hal: 1. Perjalan seorang dengan dua tujuan .2. Memanah),3. Mendidik kuda tunggangan, bersenda-gurau dengan keluarganya, dan  4.Mengajarinya anak berenang.[26]
            Kesalahan besar orang tua, jika berpendirian bahwa anak tidak boleh mengungkapkan pendapat! Penerapannya bisa saja keliru bahwa haram hukumnya anak tidak melaksanakan perintah orang tua selama tidak menyalahi aturan agama. Apakah jika seorang anak yang harus menururti keinginan orang tua jika tidak boleh memilih jurusan sekolah sesuai kemampuan anak dan hanya menuruti ego orang tua agar bersekolah sesuai keinginan orang tua? Lalu bagaimana dengan orang tua yang selalu mengumpat anaknya,[27] dan selalu marah? Bagaimana orang tua yang sibuk bekerja lalu saat pulang ke rumah menumpahkan kekesalan sementara anak tidak boleh melawan, tidak boleh sakit hati? Bagaimana pula dengan orang tua yang mengutuki anak?                   
D.Sanksi Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Anak-Anak Menurut Hukum Islam
            Orang tua atau guru atau orang dewasa lainnya yang yang melanggar hak anak-anak, berupa memukul atau menzalimi, sebahagian ulama menyatakan, boleh diberlakukan hukum qishash. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa, Jika yang berhak menuntut balas itu belum dewasa, ataukah gila, atau tidak ada ditempat. Dalam hal dewasa ditunda sampai anak yang belum dewasa dan dalam hal tak adadi tempat ditunggu sampai ada di tempat. Namun dalam hal ini ulama berbeda pendapat.Menurut sebagian ulama Hanafiyah, pelaksanaan hukuman Qisash   menunggu sampai ia dewasa atau sembuh dari gilanya. Sebahagian yang berpendapat hukuman qishas  dilaksanakan oleh qadhi (hakim) yang mewakili Mustahik tersebut. Menurut Malikiyah pelaksanaan hukuman qisash tidak perlu menunggu anak tersebut dewasa atau sembuh dari gila. Alasannya adalah karena Qisash itu tujuannya untuk mengobati rasa duka, dan untukmenghilangkannya tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain, baik itu hakim atau wali. [28] 
             Apabila dibandingkan dengan hukuman terhadap orang dewasa yang melakukan pelanggaran  hukum  pada Pasal 77 UU Nomor 23 Tahun 2002, dinyatakan bahwa: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:  1.diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau  2. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).[29]
           Sedangkan di dalam hukum Islam, seperti yang dinyatakan, Jurnal al Mawaddah Edisi 4 tahun ke-3, November 2009 “Ketahuilah, anakmu bukanlah tawanan perang, bukan seorang budak,[30] bukan seorang tahanan yang jahat, bukan musuh yang lihai, berbuat makar dan bukan pula seorang penjahat yang seantiasa mencari kesempatan untuk membahayakanmu.[31] Namun ia adalah bagian dari tubuhnmu yang keluar dari sulbimu, seorang anak kecil yang lemah dan akalnya belum sempurna, kesalahanya bukan dengan kesengajaan. Ia membutuhkan rasa santun, lembut, kasih sayang dan maaf darimu. Tentang hal  ini, terdapat kesamaan antara UU RI Nomor 23 Tahun  dan Hukum Islam.
Tabel   5
Kesamaan UU  RI  Nomor 23 Dan Hukum Islam Tentang Hukuman Fisik

No
UU Nomor 23 Tahun  2002
Hukum Islam
1
Penegakkan asas perlindungan anak
Penegakkan asas perlindungan anak
2
Dapat diubah sesuai dengan tuntutan zaman
Dapat diubah sesuai dengan tuntututan  zaman.
3
Diawasi oleh negara dan masyarakat
Diawasi oleh negara dan masyarakat
4
Anak-anak ialah orang yang berumur di bawah 18 tahun
Anak-anak ialah  orang yang berumur di bawah 15 tahun
5
Bukan kelach delik
Bukan kelach delik
6
Mengandung prinsip keseimbangan hubungan orang tua dan anak
Mengandung prinsip keseimbangan hubungan orang tua dan anak
Keterangan tabel   4
             Pada baris pertama, diterangkan tentang penegakan asas perlindungan anak-anak dari ketidaknyamanan akibat perbuatan orang tua, guru, orang dewasa, bahwa di antara sesama temannya sendiri. Kemudian  pada baris kedua, dinyatakan bahwa UU I Nomor.23 tahun  2002  dan hukum Islam sama-sama dapat diubah, sesuai dengan tuntutan zaman.[32] Selanjutnya, dikatakan: Lihatlah diri anda. Anda adalah orang dewasa yang berakal dan pemimpin yang diamanati Allah untuk memelihara seorang anak yang tidak memiliki apa-apa. Tidakkah anda merasa malu apabila sering memarahi da memukul anak anda padahal dirimu yang sempurna dan berakal sempurna masih sering berbuat kesalahan, baik di hadapan orang tua, mertua atau guru?” demikianlah penuturan Abdur Rohman al Buthoni dalam pembahasan tentang : Bilakah anak harus dipukul?
          Terkadang guru dan  orang tua, dihadapkan pada kondisi di mana anak-anak melakukan kenakalan yang membuat marah, kecewa dan jengkel. Perasaan-perasaan itu kemudian mendorong untuk melakukan pemukulan kepada mereka, mulai  dari pukulan yang ringan sampai pukulan yang keras. Memang Rasulullah SAW. pun membolehkan orang tua memukul anaknya sebagaimana hadits (artinya): Perintahkan anak-anakmu untuk melakukan sholat ketika berusia 7 tahun dan pukullah mereka jika meninggalkannya ketika berusia 10 tahun.[33]  Bagaimana Islam menuntun para orang tua untuk mengamalkan hadits di atas? Ayah dan Ibu  serta guru-guru. Selanjutnya tentang masalah ini  Abdur Rohman al Buthoni menurunkan sebuah analisis:
a.    Ketentuan dan aturan dalam memukul anak-anak
1.      Hendaknya       meyakini bahwa memukul adalah peritah Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian perasaan, emosi dan rasa kesal yang berlebihan yang biasanya mendomiasi sikap orang tua akan hilang ketika menerapkan metode ini.[34]
  1. Maksud dari memukul adalah tarbiyah/pendidikan untuk memperbaiki anak, bukan melampiaskan amarah, menakut-nakuti, mengancam atau yag semisalnya. Pukulan harus dilakukan dengan rasa cinta kasih dan sayang disertai doa yang baik untuknya.
  2. Usia anak sudah 10 tahun dan sebab memukulnya adalah karena dia meninggalkan sholat. Adapun penyebab selainnya, maka dilakukan orang tua bila melihat ada maslahatnya (sisi positifnya), misalnya anak tidak berhenti dari penyelewengan kecuali dengan dipukul.
  3. Tidak menyiksa dan tidak menyakitkan, serta jangan memukul wajah.
  4. Hindari riya’ dan sum’ah (pamer) karena sebagian orang tua berkeliling dengan tongkat mencari anaknya dalam keadaan marah dan memukulnya sepanjang jalan untuk memperlihatkan kepada manusia bahwa ia amat sungguh-sungguh, tegas dan sangat peduli dalam mentarbiyah dan menghukum anak. Ini salah dan merupakan amal yang sia-sia.
  5. Berhubung pemukulan ini maksudnya adalah sebagai obat,[35] maka harus disesuaikan kadarnya dan tidak boleh melampaui batas. Artinya, memukul sekali dan tidak boleh berkali-kali sehingga akan menyiksa. Pemukulan dengan pelan sehingga tidak menyakitkan, dengan tangan biasa tanpa alat dan bukan dengan kaki, bukan pula meninju atau bukan menempeleng kepala.
b.Maqashid al-Syari’ah  memukul anak yang tidak shalat.
            Setiap yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya pasti memiliki  maqashid,[36] atau hikmah dan tujuan. Dalam hal perintah dan larangan Allah, secara umum manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu (1) orang yang cukup menerima nasihat dengan dalil kitab dan sunnah dan (2) orang yang membangkang. Golongan yang kedua inilah yang perlu diterapkan hukuman padanya. Firman Allah ta’ala (artinya):…Dan kami menurunkan besi yang memiliki kekuatan yang sangat keras dan bermanfaat bagi manusia…[37]
             Maqshid itu di antaranya bermakna manfaat, misalnya manfaat besi adalah untuk memerangi orang-orang kafir dan untuk menegakkan qishash. Ini adalah manfaat yang sangat nampak, sebab manusia akan takut pada pedang sehingga mereka pasrah pada agama Allah. Maka maqashid atau manfaat memukul anak karena meninggalkan sholat, bertujuan untuk antara lain:
  1. Memberi pelajaran kepada anak bahwa hak Allah adalah sangat lebih besar, sehingga segala sesuatu akan menjadi hina di hadapan-Nya. Tubuh yag seharusnya dipelihara dan tidak boleh (haram) disakiti menjadi halal dan harus merasakan sakit lantaran meremehkan hak Penciptanya.
  2. Menampakkan kepada anak bahwa orang tua memiliki kekuasaan dalam melazimkan hukum-hukum Allah kepada mereka, sehingga tidak ada pilihan baginya kecuali pasrah dan menyerah kepada Rabbnya.
  3. Memberi pelajaran kepada anak bahwa manusia setinggi apapun kedudukannya, status sosialnya dan nasab keturunannya, tidak memiliki kebebasan mutlak dalam mengikuti kehendaknya yang bertentangan dengan kehendak Allah.
c. Memukul anak yang sesuai dengan maqashid al-syari’ah.
              Ada perbedaan antara memukul biasa, dengan memukul  yang diatur oleh  syari’at.[38] Memukul menurut kebiasaan sebagian orang tua atau pendidik yang gampang emosi dan suka memukul. Suka memukul adalah akhlaq tercela. Perhatikan nasehat Rasulullah SAW., kepada Fatimah binti Qois tatkala mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya dilamar oleh dua orang sahabat, salah satunya adalah Abu Jahm. Maka Rasulullah bersabda,”Adapun Abu Jahm, maka ia suka memukul wanita (maksudnya akhlaqnya tidak baik).” Dan ketahuilah bahwa maksud dari memukul adalah agar anak takut, sehingga tunduk kepada perintah Allah bukan agar si anak takut kepada bapaknya semata, sehingga makin berwibawa. Maksud memukul adalah agar anak mengamalkan perintah Allah dengan ikhlas karena-Nya. Sesungguhnya tidak ada manfaatnya bila seorang anak nampak taat kepada Allah di hadapan orang tuanya sementara di balik itu ia tidak bertaqwa kepada-Nya.
d.Jangan melampaui batas
             Orang-orang yang  memukul anak-anak hendaknya takut kepada Allah. Jangan sampai  termasuk golongan orang-orang yang tidak masuk surga atau bahkan tidak mencium baunya. Di antaranya  sekelompok manusia yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia.[39] Ada ulama fiqih yang menyatakan bahwa yang dimaksud ”orang yang boleh memukul,” bisa saja guru, para polisi, satpam, mandor-mandor pada jaman sekarang ini.[40] Mereka berkeliling dengan tongkat lalu memukul dan menendang siapa saja, hanya karena mengatur dan megamankan. Lalu bagaimana caranya agar guru, polisi, satpam dan para mandor mengamankan dan mengatur tanpa berbuat aniaya? Jawabnya, dengan anjuran taqwa kepada Allah, nasihat dan pengarahan dengan lisan, dengan cara yang baik atau dengan tangan tanpa menyakiti karena kezhaliman adalah kegelapan di akhirat!
            Aturan yang paling populer selama ini ialah anak-anak harus berhati-hati dengan ‘kekeramatan’ orang tua. Tapi patut diingat, secara religi ada lima,[41] kejahatan orangtua yang wajib dihindarkan. Pertama, apabila suka memaki. Kedua menghina anak sendiri. Ketiga melebihkan anak dari yang lain. Keempat mendoakan keburukan anak. Kelima tidak memberi pendidikan anak. Merupakan kemuliaan bangsa, jika orang tua dan guru, mampu menjadikan generasi muda, cerdas lahir batin, bermoral mulia dan berbhakti kepada orangtua, sesama, bangsa dan semesta.

              Hukuman itu untuk menyadarkan bukan untuk melakukan pembalasan. Hukuman itu agar anak-anak menyadari kekeliruan mereka dan agar tidak mengulangi perbuatan jeleknya, bukan untuk melakukan balas dendam. Hukuman dalam pendidikan jangan dikelirukan dengan balas dendam. Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman-hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna."

           Tetapi argumentasi beliau ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim dan belum tentu bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya kita terima pernyataan seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari hukuman-hukuman keras yang diterima dari orangtuanya, maka akarnya adalah terlalu kerasnya hukuman tersebut dan bukan hukuman biasa. Hukuman ekstrim itulah yang menjadi sumber penderitaan umat manusia. [42]

              Russel menambahkan, "Hukuman fisik yang ringan memang tidak begitu berbahaya, tapi tetap saja tidak ada gunanya dalam pendidikan. Hukuman seperti itu baru efektif kalau bisa menyadarkan si anak. Sementara hukuman fisik seperti itu biasanya tidak bisa membuat jera. Hukuman fisik itu membuat si anak merasa terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri." Jawabannya bahwa anak-anak akan menyadari kekeliruannya melalui hukuman itu, dan kemudian dia akan lebih mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi orang lain dan karena ia ingin diterima oleh orang lain, ia akan berusaha menyesuaikan keinginannya dengan keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan bantuan atau memperoleh apa yang diinginkannya dari orang lain. Dengan demikian, hukuman fisik yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan kadar dan waktu yang tepat.[43]
             Argumen lain yang disodorkan oleh kelompok penentang adalah bahwa pendidikan yang dijalankan dengan menanamkan rasa takut kepada si anak, akan membuat si anak seperti robot yang harus mengikuti suatu perintah. Proses pendidikan seperti itu sangat membahayakan perkembangan jiwa si anak, karena akan melahirkan anak-anak yang bermental budak yang harus tunduk terhadap segala perintah. Hal ini masih bisa dibantah dengan kenyataan bahwa memang anak-anak tidak boleh dididik dengan sistem perbudakan, tapi tidak semua hukuman itu akan melahirkan kondisi demikian. Kalau hukuman itu dijalankan dengan benar dan dengan memperhatikan seluruh syarat-syaratnya maka tidak akan lahir anak-anak seperti. itu. Seorang anak yang terus-menerus melakukan perbuatan yang buruk padahal sudah sering kali diperingatkan agar tidak melakukan perbuatan tersebut mau tidak mau harus dihentikan dengan hukuman, sebab kalau kebiasaan buruknya tidak segera dihentikan, maka sang anak malah akan semakin berani. Tentunya hukuman itu harus ringan dan mengena kepada sasaran.

             Alasan lain menurut kelompok tersebut bahwa hukuman fisik itu sama sekali tidak mendidik, sebab hukuman itu tidak menghilangkan motivasi buruknya. Memang ia akan mengurungkan niatnya karena perasaan takut, tapi di dalam batinnya keinginan itu tetap ada. Ketika rasa takut itu hilang si anak akan kembali mengulangi perbuatan buruknya. Pukulan itu mungkin dihadapi oleh si anak dengan pura-pura berjanji akan menghentikan kebiasaan buruknya. Karena itu patut diingat statemen mereka bahwa hukuman juga akan melahirkan anak-anak yang asosial, penakut serta pasif.

              Pernyataan  bahwa hukuman itu tidak menghentikan apa yang bergetar di dalam batin. Untuk menghentikan kenakalan-kenakalannya, hal ini harus dipelajari apa sebetulnya yang menjadi latar belakang kenakalan-kenakalannya dan dicari solusinya sehingga anak-anak itu tidak mengulangi perbuatan buruknya.[44] Tetapi jika si anak tetap saja mengulangi perilaku jeleknya, maka tidak ada cara lain selain memberinya hukuman. Rasa takut akan hukuman itu dapat menghentikan keinginan atau minimal mengurangi minatnya untuk berbuat buruk. Kalau hukuman itu diberikan secara proporsional, tidak akan melahirkan hal-hal yang tidak diharapkan. Memang benar seorang anak harus tumbuh dalam keceriaan dan kebebasan tapi pada saat yang sama anak-anak juga harus diajari bahwa di dunia ini tidak semua orang bisa hidup dengan kebebasan mutlak, apalagi kalau kebebasan itu dapat merugikan orang lain.
                Hukuman adalah Instrumen Sekunder .Sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya. [45]

            Dalam kaitan ini, Russel menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin mengatakan bahwa hukuman dalam proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin hanya masuk sebagai alternatif kedua."  John Locke menulis, "Benar bahwa hukuman fisik kadang-kadang diperlukan. Tetapi harus disadari bahwa tujuan sebuah pendidikan adalah mendidik moral. Yang harus kita lakukan adalah membuat si anak tersebut merasa malu berbuat nakal dan bukan malah takut akan hukuman. Hukuman yang terlalu keras melatih anak-anak menjadi patuh secara lahiriahnya saja."[46]

             A.L Gary Gore  menulis, "Ada kalanya orang dewasa harus memberikan hukuman kepada anak-anak. Misalnya jika anak-anak usia sekolah atau sudah agak dewasa mengganggu ayah dan ibu atau adik mereka yang sedang tidur. Sebelumnya mereka sudah diperingatkan tapi tetap saja meneruskan kenakalannya, maka anak-anak itu harus diberi hukuman.." Sebaliknya orangtua selayaknya menggunakan hukuman ini dengan cara dan strategi yang tepat. Kalau hukuman itu dilaksanakan ketika orangtua dalam puncak kemarahan dan tanpa pertimbangan terhadap kondisi dan psikologi anak-anak, maka bisa-bisa hukuman itu akan merusakkan hubungan orangtua dan anak. Si anak akan kehilangan kepercayaan dan juga akan mendendam. Hukuman asal-asalan terhadap anak karena tidak mematuhi keinginan orangtua malah akan melukai hatinya. Sehingga timbul dalam diri si anak keinginan untuk membalas rasa sakit hatinya itu. Sebelum menjatuhkan hukuman terhadap anak-anak sebaiknya pertimbangkanlah secara baik-baik dan pelajari manfaat dan mudaratnya secara seksama. Hukuman apa dan dalam kondisi bagaimana hukuman itu patut diberikan dan tidak patut diberikan terhadap anak-anak.

           Pakar pendidikan ini ingin mengatakan bahwa hukuman memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi tertentu mutlak diperlukan sekali. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak keberatan dengan hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat.
Ia menambahkan, "Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya. Hindarilah hukuman-hukuman seperti memukul, atau menyekap anak di ruangan yang gelap dan sempit." [47]

                Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan,[48] terhadap guru atas profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum terlaksana.
            Islam menerima hukuman sebagai bagian dari sistem pendidikan. Ada beberapa kategori hukuman dalam Islam: Hukuman non-fisik seperti ancaman, peringatan atas orang-orang yang berdosa dengan siksaan di hari akhirat, denda, dan diat. Ayat-ayat al-Quran mengilustrasikan dalam berbagai kesempatan tentang kabar gembira untuk orang-orang yang beriman dan ancaman akhirat untuk orang-orang yang berdosa. Bahkan nabi sendiri diperkenalkan sebagai pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan.  Hukuman jenis kedua yaitu hukuman fisik yang bersyarat,[49] seperti hukuman penjara, pengasingan, kisas, pukulan, hukuman potong yang aturannya telah ditetapkan oleh syariat.

              Dalam pembunuhan yang disengaja si wali yang dibunuh bisa meminta hukuman kisas terhadap hakim. Dalam pembunuhan yang tidak disengaja si pembunuh wajib menyerahkan denda (diat) kepada wali yang dibunuh. Perempuan dan laki-laki yang berzina akan mendapatkan hukuman cambuk sebanyak seratus kali deraan. Perilaku homo seksualitas (liwâth) yang disengaja dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman mati. Peminum khamar dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman cambuk seratus kali, mencuri dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman potong tangan. Siapa saja yang dengan sengaja mengakibatkan anggota badan orang lain terpotong akan dikisas oleh hakim syar'i, yaitu dipotong anggota badan yang sama, tapi kalau secara tidak sengaja maka ia harus membayar denda dalam jumlah tertentu. Untuk mengetahui lebih lengkap tentang aturan-aturan hukuman Islam, Anda bisa merujuk kitab-kitab fikih. Hukuman jenis ketiga yaitu ta'zîr. Ta'zîr adalah hukuman fisik yang ketentuannya diatur oleh seorang hakim tetapi tentunya lebih ringan dari had.  Dalam kasus pelanggaran yang hukumannya tidak ditentukan oleh syariat, sang hakim tidak bisa memberikan hukuman yang sesuai dengan pelanggaran itu hanya demi kemaslahatan umum, tapi ia bisa memberikan hukuman yang kurang dari had. Contohnya kalau seorang laki-laki mencium anak atau perempuan yang bukan istrinya dengan penuh nafsu, sang hakim syar'i dapat menjatuhkan hukuman ta'zîr . Demikian juga terhadap seorang laki-laki dan perempuan (bukan muhrim) yang tidur terlentang di atas ranjang. Secara umum siapa saja yang melakukan dosa besar maka ia bisa dijatuhi hukuman ta'zîr dari sang hakim.  Seperti yang Anda simak, bahwa Islam memberi tempat bagi hukuman fisik,[50] dan non-fisik dan itu bagian dari pendidikan yang penting dan demi memelihara keadilan dan ketenteraman masyarakat. Islam melegalkan hukuman-hukuman itu bukan sebagai bentuk balas dendam kepada orang-orang yang berdosa, namun untuk menjaga stabilitas sosial dan hak-hak manusia.
Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannnya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.[51]
Abd al- Qodir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu :
1)      Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti pencurian harta (syirkah), pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan percurian yang bukan harta benda.
2)      Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
3)      Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi perimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.
  Dalam menetapkan jarimah ta’zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i.[52]Hukuman-hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman-hukuman ta’zir antara lain.
1.      Hukuman mati
Pada dasarnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa fuqaha memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. Namun menurut sebagian fuqaha yang lain dalam jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati.[53]
2.      Hukuman Jilid
Di kalangan fuqaha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imama Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali. Sedangkan di kalangan  madzhab Syafi’i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada ta’zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain bahwa jarimah ta’zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.
Dalam mazhab Hambali ada lima pendapat. Tiga diantaranya sama denga pendapat madzhab Imam Syafi’i. pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta’zir tidak boleh melebihi 10 kali. Alasannya ialah hadits dari Abu Darda sebagai berikut :
“Seseorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman hudud
3.      Hukuman (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman  dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, hukuman tahanan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama Syafi’iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan maslahat.[54]Kedua, hukuman tahanan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman tahanan ini tidak ditentukan terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang-ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.
b)      Perbedaan jarimah ta’zir dengan hudud
Perbedaan yang menonjol antara jarimah hudud, qishas, dan jarimah ta’zir:
1.      Dalam jarimah hudud tidak ada pemaafan, baik oleh perseorangan maupun oleh ulul amri. Sedangkan jarimah ta’zir kemungkinan pemaafan itu ada, baik oleh perorangan maupun oleh ulul amri, bila hal itu lebih maslahat.
2.      Dalam jarimah ta’zir hakim dapat memilih hukuman yang lebih tepat bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat kejahatan. Sedangkan dalam jarimah hudud yang diperhatikan oleh hakim hanyalah kejahatan material.
3.      Pembuktian jarimah hudud dan qishas harus dengan saksi atau pengakuan, sedangkan pembuktian jarimah ta’zir sangat luas kemungkinannya.
4.      Hukuman Had maupun qishas tidak dapat dikenakan kepada anak kecil, karena syarat menjatuhkan had si pelaku harus sudah baligh sedangkan ta’zir itu bersifat pendidikan dan mendidik anak kecil boleh.  
                  Sebagai perbandingan, hukuman bagi  anak sebagai pelaku tindak pidana (“Anak Nakal”)[55] dengan ancaman pidana mati, menurut hukum positif, tidak akan dikenai pidana mati maupun pidana penjara seumur hidup. Hal ini didasarkan pada Pasal 26 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“UU 3/1997”) yang menyatakan: “Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.” Bagaimana sanksi hukum bagi anak berumur 14 tahun yang melakukan pembunuhan,[56] pencurian motor? Apakah dibebaskan dengan syarat? Apakah bebas tanpa syarat jika pihak korban menarik kembali tuntutannnya? Jika bebas tanpa syarat, berhakkah pihak polisi menahan anak tersebut? Jika tidak apa yang harus saya lakukan sebagai wali anak tersebut, mengingat pihak polisi bersikukuh menahannya! Dalam kasus  anak  berumur 14 (empat belas) tahun maka sanksi yang dijatuhkan dapat saja berupa pidana. [57]
          Namun pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang melanggar hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak. Oleh karena itu, keputusan yang diambil Hakim (apabila kasus diteruskan sampai persidangan) harus adil dan proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan atas pertimbangan hukum, tapi juga mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti kondisi lingkungan sekitar, status sosial anak, dan keadaan keluarga. Hal-hal ini dijamin serta diatur dalam UU Pengadilan Anak. Misalnya adalah pada saat polisi melakukan penangkapan dan pemeriksaan, ia wajib untuk menghubungi dan mendatangkan seorang petugas Bapas (Balai Pemasyarakatan, biasa juga disebut PK atau Petugas Kemasyarakatan). Petugas Bapas berfungsi hampir sama seperti probation officer. Polisi wajib menyertakan hasil Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) yang dibuat oleh petugas Bapas dalam Berita Acara Pemeriksaannya. Tanpa Litmas, Jaksa harus menolak BAP dan meminta kelengkapannya kembali.



Tabel  7
Tabel ini dapat menunjukkan hukum kebiasaan internasional yang dapat dijadikan parameter untuk menentukan usia pertanggungjawaban pidana.[58]

Nama Negara
Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal
Austria
14
Belgia
18
Denmark
15
Inggris
10
Finlandia
15
Perancis
13
Jerman
14
Yunani
12
Irlandia
7
Itali
14
Luxemburg
18
Belanda
12
Irlandia Utara
8
Portugal
16
Skotlandia
8
Spanyol
16
Swedia
15

             Melihat kecenderungan praktek-praktek negara berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa rata-rata negara tersebut menetapkan usia pertanggungjawaban pidana minimal  di atas 12 tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan usia 12 tahun sebagai batas minimal usia pertanggungjawab tindak pidana telah menjadi hukum kebiasaan internasional (international customary law).[59]Berbeda halnya dengan anak yang dikenakan hukuman mati.[60]
          Jika dibandingkan dengan Hukum Islam, anak-anak yang membunuh, tidak dikenakan hukuman, jika belum mumayyiz. Bukan hanya kejahatan membunuh, tapi juga segala jenis kejahatan yang disebut had dan jarimah. Adapun jenis atau macam-macam perbuatan jarimah yaitu perbuatan  yang masuk ke dalamnya, sebagai berikut:
1.      Mencuri
Mencuri pada fikih jarimah terbagi menjadi dua, yaitu :
1)      mencuri yang dikenakan had
2)      mencuri yang dikenakan hukuman ta'zir.[61]
Mencuri yang dikenakan had menurut pendapat Fuqaha adalah perbutan mukalaf mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya dan mencapai satu nishab dan orang yang mencuri tak mempunyai andil kepemilikan terhadap barang tersebut. Dari definisi diatas, dapat dirumuskan bahwa pencurian yang dikenakan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1)      mengambil harta orang lain
2)       pengambilannya secara sembunyi-sembunyi
3)      harta itu disimpan di tempat penyimpanannya
4)      pelaku  adalah mukallaf
5)      barang yang dicuri mencapai satu nishab
6)      pelaku tidak mempunyai andil kepemilikan atas harta yang dicuri. Had mencuri Allah berfirman dalam Alquran Surat Al-Maidah : 38 dinyatakan bahwa pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah kedua tangannya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah Mahaperkasa lagi Bijaksana”
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:" Jika ia mencuri (kali pertama) maka potonglah salah satu tangannya, kemudian jika ia mencuri yang kedua potonglah salah satu kakinya, kemudian jika ia mencuri (yang ketiga) potonglah tangannya kemudian jika ia mencuri maka potonglah kakinya.
Jika pencuri masih mencuri lagi kelima kalinya, maka menurut sebagian ulama seperti imam Syafi'i dan Imam Malik
, orang itu  dikenakan ta'zir.[62] Namun Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat hukuman potong tangan hanya dapat dilakukan pada kali pertama dan kedua sedangkan pencurian ketiga dan seterusnya dikenai ta'zir. Pencurian yang dapat dikenai had adalah jika barang yang dicuri mencapai nilai seperempat dinar atau tiga dirham atau setara dengan emas seberat 3.34 gram. Berdasarkan Hadist Riwayat Bukari dan Muslim:
Tangan pencuri tidak dipotong kecuali dalam pencurian mencapai seperempat dinar atau lebih.” Seseorang dinyatakan benar-benar mencuri secara syar'i jika terbukti dengan salah satu dari tiga kemungkinan di bawah ini :
1. Kesaksian dari dua orang saksi laki-laki yang adil dan merdeka
2. pengakuan dari pelaku
3. sumpah dari yang mengadukan perkara
  Adakah pemberian maaf dalam pencurian. Ulama sepakat bahwa pemilik barang yang dicuri dapat memaafkan pencurinya sehingga bebas dari had sebelum kasusnya sampai ke pengadilan. Sebab sebelum sampai pengadilan,  had  mencuri adalah  had hamba dan jika sampai ke pengadilan berubah menjadi had Allah. "Diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya;" sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "Maafkanlah had-had selama masih berada di tanganmu, adapun had yang sudah sampai di telingaku maka wajib dilaksanakan."
             Khamr, secara bahasa, khamr artinya sesuatu yang menutupi, sedangkan menurut dalam itilah fiqh yaitu segala macam yang memabukan, menutupi akal. Sebagaimana sabda Rsulullah SAW yang artinya kurang lebih; " Tiap-tiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram." [63] Dengan demikian yang dinamakan khmar tidak hanya terbatas pada minuman keras tetapi mencakup segala jenis barang yang memabukan seperti yang telah kita kenal mulai dari Miras, Narkotik, Ganja, Putaw, Sabu-Sabu .[64]
Adapun penyebab gugurnya had qadzaf adalah:
1)        penuduh dapat membuktikan dengan empat orang saksi bahwa   tertuduh telah benar-benar berzina.
2)        dengan cara li'an jika tertuduh adalah istri penuduh
3)        pengakuan dari si tertuduh bahwa tuduhan adalah benar.
      4)      Zin
   Kifarat secara bahasa berarti menutup. Sedangkan secara istilah yaitu sejumlah denda yang wajib dibayar oleh seseorang yang melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh Allah. Kifarat adalah hak Allah sebagai tanda tobat. Membunuh adalah menghilangkan nyawa seseorang baik dengan sengaja atau tidak


             [1] Hukuman fisik dapat dihindari dengan kekuatan bai’at kepada guru. Masalah bai’at cukup ramai dalam dunia dakwah, simpang siur pendapat dalam masalah ini cukup membuat bingung para penganut jama’ah dakwah bahkan para aktivisnya. Namun sangat disayangkan kebanyakan mereka tatkala membahas masalah yang satu ini tidak merujuk kepada penjelasan para ulama Ahlussunnah.
Bahkan mereka mengambil hadits-hadits Nabi S
AW., dalam masalah ini, lalu mereka memahaminya dengan akal pikiran mereka sendiri. Lebih parah jika kemudian disesuaikan dengan kepentingan pribadinya, kelompoknya atau pahamnya, sehingga bai’at menjadi jaring atau tali pengikat para pengikut jama’ah dakwah untuk tidak lepas darinya. Kalau tetap saja lepas maka… Tak sedikit orang dianggap kafir dan diberlakukan padanya hukum-hukum orang kafir di dunia dan akhirat karena tidak berbai’at.  Lihat Irpan Ubaidillah, bahwa Harun ar-Rasyid dan al-Makmun berorientasi pada aspek kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah., pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun status sosial guru ditentukan berdasarkan kompetensi, profesionalitas dan akhlaqul karimah. Sedangkan kehidupan murid pada masa ini yaitu belajar langsung di depan syaikh, diskusi dan Rihlah Ilmiah. Irpan Ubaidillah, Disertasi, Studi Tentang Pendidikan Islam Pada masa Daulah Abbasiyah,(Surakarta, Univerversitas Muhammadiyah : 2001),256 .

            


           [2] Benturan antara maslahat dan mafsadat, dalam artian kalau ingin mengerjakan kemaslahatan tersebut maka mesti melakukan mafsadatnya. Jika hal ini yang terjadi maka secara umum dapat diurai kan sebagai berikut: 1. Apabila mafsadatnya lebih besar dibanding maslahatnya, maka meng-hindari mafsadat itu dikedepankan daripada meraih kemaslahatan tersebut. 2. Apabila maslahatnya jauh lebih besar dibandingkan dengan mafsadat yang akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih diutamakan daripada menghindari mafsadatnya. Oleh karena itu, jihad berperang melawan orang kafir disyari’at kan, karena meskipun ada mafsadatnya yaitu hilangnya harta, jiwa dan lainnya, namun maslahat me negakkan kalimat Alloh di muka bumi jauh lebih utama dan lebih besar. 3. Apabila maslahat dan mafsadat seimbang, maka secara umum saat itu menolak mafsadat lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan yang ada. Berdasarkan kaidah umum: (Menghilangkan mafsadat itu lebih dida-hulukan daripada mengambil sebuah maslahat).Untuk mengetahui perincian permasalahan ini lihat kembali kaidah (Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan).Lihat Asmawi, Perbandingan Usul Fqih, (Jakarta , Penerbit Amzah : 2011),57

             [3]  Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairy Al-Naisabury. 261 H. Shahih Muslim. Beirut: Daar Al-Fikr, 1992, jilid 2, hal. 123, hadits nomor 15.
            [4] Sahal Mahfudh, M.A. 2003. Fikih Sosial: Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan
Madzhab Manhaji. Pidato Promovendus pada Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Fikih Sosial di UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta, 18 juni. Jakarta: Universitas Islam Negeri, 18.
                [5] Totik Jumanto dan Samsul Munir Amin, Op.Cit.,169
              [6] Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakr (terkenal dengan panggilan Ibnu
Qayyim Al-Juuziyyah). 1980. ‘Alaam al-Muwaqqi’iin ’an Rabbi al-‘Alamiin. Cairo: Mathabi’ Al-
Islam, jilid 3,  3.

            [7] WHO dalam Gulardi Wignyosastro. Masalah Kesehatan Perempuan Akbat Reproduksi,
Makalah Seminar Penguatan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, PP Fatayat NU dan Ford Foundation, Jakarta, 1 September 2001
           [8] Ninuk Widyantoro. 2003. Pengakhiran Kehamilan Tak Diinginkan yang Aman Berbasis
Konseling. Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan.Lihat juga Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit. ,189

                 [9] HR. Ibnu Majah dan At-Thabrani. Lihat juga HR. Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ad-Daruquthni dari ‘Aisyah dan ‘Ali bin Abi Thalib.
              [10] Asbab al-nuzulnya : Ketika telah turun ayat 43 surat Al-Nisa dan hukum khamar ialah haram, tetapi tidak secara mutlak. Para shahabat saat itu masih ada sebahagian dari mereka yang masih meminum khamar dan mabuk-mabukkan yang mengakibatkan prilaku mereka sangat jauh dari aturan. Oleh karena itulah pada tahapan selanjutnya Allah menurunkan ayat 90 surat Al Maidah yang berisi pengharaman khamar secara mutlak. Dalam ayat ini Allah mengharamkan khamar melalui beberapa sebutan, yakni : Rijsu (رجس ) yang berarti al najasah ( النجاسة ) najis dan najis merupakan sesuatu yang dilarang oleh Allah (diharamkan). Kedua, Allah mengkategorikan meminum khamar ke dalam perbuatan yang selalu dilakukan oleh Syaitan. Dengan turunnya ayat ini  semua para ulama sepakat bahwa hokum dari khamar itu ialah haram. Penerapan metode Tadrij dalam penerapan hukum Islam di Peradilan Indonesia.
              [11] QS.An-Nisa (4) : 43
                [12] Muhamad ’Atthiyyah Al-Abrasyi, At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, 2003
               [13] Ibid
          [14] Membiasakan Anak dengan Pakaian yang Syar’i.Hendaknya anak-anak dibiasakan meng-gunakan pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak laki-laki menggunakan pakaian laki-laki dan anak perempuan menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan anak-anak dari model-model pakaian barat yang tidak syar’i, bahkan ketat dan menunjukkan aurat.Tentang hal ini, Rasulullah bersabda,Barangsiapa yang meniru sebuah kaum, maka dia termasuk mereka.” Shahih, HR. Abu Daud,
               [15] Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Umar Muhammad Al-Taumy Al-syaibany bahwa “ alam natural bukan saja mencakup segala mahluk yang akan tetapi juga merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan persyaratan disekelilingnya. Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Hasan Langgulung, (Jakarta, Bulan Bintang 1979),58.
              [16] Ibid
                 [17] Amin Danien Indrakusuma, 1973:151
                 [18] Suwarno, 1992:115
           [19] Hukuman pun sering diterima siswa manakala mereka  melanggar tata tertib yang telah disepakati. Hukuman itu dimaksudkan  sebagai upaya mendisiplinkan siswa terhadap peraturan yang berlaku. Sebab, dengan sadar pendidik memegang prinsip bahwa disiplin itu merupakan kunci sukses hari depan. Apakah bentuk-bentuk hukuman bisa dikembangkan untuk mendisiplinkan siswa? Pertanyaan seperti inilah menjadi dilema  bagi kaum pendidik  dalam mengemban  kewajiban dan tanggung jawabnya. Apabila sanksi hukuman sama sekali tidak diadakan  niscaya   perilaku siswa akan lebih  semrawut.  Orang dapat menduga-duga, ada penerapan hukuman saja siswa yang melanggar masih banyak, apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan. Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan menuntut konsekuensi bagi para pendidik itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus benar-benar bisa sebagai suri tauladan bagi anak didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi para siswa yang melanggar tetapi tidak diikuti kedisiplinan pendidik, bagaikan halilintar di waktu siang bolong, banyak yang menyepelekan. UU menyebutkanPendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan. Lihat Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003
               [20] Agus Seojono,op.cit, 1980:165
             [21] Hukuman sebagai salah satu teknik pengelolaan kelas sebenarnya masih terus menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi, apa pun alasannya, hukuman sebenarnya tetap diperlukan dalam keadaan sangat terpaksa, katakanlah semacam pintu darurat yang suatu saat mungkin diperlukan. Hukuman merupakan alat pendidikan represif, disebut juga alat pendidikan korektif, yaitu bertujuan untuk menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang benar dan/atau yang tertib. Alat pendidikan represif diadakan bila terjadi suatu perbuatan yang diangap bertentangan dengan peraturan-peraturan atau suatu perbuatan yang dianggap melanggar peraturan. Penguatan negatif dan penghapusan sebenarnya bernilai hukuman juga. Menyajikan stimulus tidak menyenangkan dalam pemakaian teknik penguatan negatif maupun tidak memberikan penguatan yang diharapkan siswa dalam teknik penghapusan, pada dasarnya adalah hukuman walaupun tidak langsung. Kalau penguatan negatif dan penghapusan dapat dikatakan hukuman tidak langsung, maka yang dimaksud dengan hukuan di sini adalah hukuman langsung, dalam arti dapat dengan segera menghentikan tingkah laku siswa yang menyimpang.
                 [22] Suwarno, 1992:115
             [23] Kerusakan anak-anak itu kebanyakan bersumber dari orang tua yang membiarkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dan sunnah din ini kepada mereka. Mereka tidak memperhatikan masalah-masalah agama tersebut saat masih kecil, sehingga saat sudah besar mereka sulit meraih manfaat dari pelajaran agama dan tidak bisa memberikan manfaat bagi orang tua mereka.” Tuhfatul Maudud, I: 229.Lihat Muhammad Al-Ghazali, op.cit.,463
             [24] QS. Al Anfal (8) :8
             [25] H.R. Ibnu Hiban.
             [26] H.R.Thabrani
           [27] Pakar pendidikan ini ingin mengatakan bahwa hukuman memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak-anak, malahan dalam situasi tertentu mutlak diperlukan sekali. Tetapi pada saat yang sama ia sama sekali tidak setuju secara mutlak dengan hukuman fisik. Ia tidak keberatan dengan hukuman-hukuman non-fisik tapi bukan hukuman non-fisik yang berat.Ia menambahkan, “Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya.

                [28] Ahmad Wardi Muslich. 2002, 158
                 [29] UU Perlindungan Anak Dan Pejelasannya, (Jakarta, Harvarindo : 1998), 117
               [30] Menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Apabila pada suatu kali anak menyalahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak membongkar dan membeberkan kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya itu mungkin akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi kesalahannya.Menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan hal tersebut Al-Ghazali menegaskan ”Jangan terlampau banyak mencela setiap saat karena perkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau orang tua menjaga kewibawaan nasehatnya.”Seorang pendidik harus mengetehui cara pertumbuhan akal manusia yang bertahap hingga ia mampu mensejalankan pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik. Ia menasehatkan agar tidak kasar dalam memperlakukan anak didik yang masih kecil, mencubit tubuh dalam pengajaran merusak anak didik, khususnya anak kecil. Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil dapat menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka untuk berbohong serta memalingkan diri dari ilmu dan pengajaran. Oleh karena itu pendidik harus memperlakukan anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang serta tegas dalam waktu-waktu yang diutuhkan untuk itu.
               [31] Jurnal Mawaddah Edisi 4 tahun ke-3, November 2009
       [32] Adapun yang dimaksud oleh Yusuf Qardhawi, dengan istilah ini ialah hukum-hukum yang menglami perubahan. Perubahan disini maksudnya ialah hukum-hukum yang mengalami perubahan dengan perubahannya zaman, keadaan dan tempat. Terjadinya perubahan hukum karena perubahan dalam masyarakat. Dalam satu kaedah, disebutkan sebagai berikut    .: Fatwa (hukum) dapat berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan dan adat (‘urf).
              [33] Shohih Abu Dawud 494
          [34] Usia anak sudah 10 tahun dan sebab memukulnya adalah karena dia meninggalkan sholat. Adapun penyebab selainnya, maka dilakukan orang tua bila melihat ada maslahatnya (sisi positifnya), misalnya anak tidak berhenti dari penyelewengan kecuali dengan dipukul. Ini ketetpan Allah, bukan ketetapan guru atau mufti. Imam Ibnu Qayyim berkata  " Seorang mufti dan seorang hakim (penguasa, qadhi) tidak akan bisa berfatwa dan memutuskan perkara dengan kebenaran, kecuali bila memadukan dua pemahaman (fiqih). Pertama : memahami dan mengerti betul waqi' (realita), serta menyimpulkan ilmu tentang hakekat realita yang ada dengan qarinah, amarah dan 'alamat (bukti-bukti dan data-data) sehingga ilmunya meliputi realita. Kedua :  memahami apa yang wajib (kewajiban syariat) atas realita, yaitu memahami hukum Allah yang ditetap kan dalam kitab-Nya atau melalui lesan Rasul-Nya atas realita tersebut. Baru kemudian menerapkan yang satu (hukum syariat, pent) atas yang lain (realita)
           [35] Arti penting teori maqashid al-syari’ah yang pertama tersebut dianggap dapat memberi napas bagi produk-produk fiqih para ulama yang terlalu terpaku pada teks dan tanpa mengindahkan konteks. Misalnya hukuman fisik bagi anak yang tidak shalat, merupakan obat bagi kemalasannya. Lebih dari itu juga dapat menepis anggapan sementara orang bahwa hukum Islam adalah hukum yang mati, ambigu, bahkan terkadang, menurut mereka, kurang manusiawi (al-Turabi, 2000: 18). Oleh karena itulah, teori ushul fiqih dan maqashid al-syari’ah harus dikawinkan untuk mengatasinya. Selanjutnya, dengan metodologi Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat-nya yang mencoba menggabungkan teori-teori ushul fiqih dengan maqashid al-syari’ah akan menjadi penghubung sekaligus jembatan untuk meng-“ishlahkan” kedua kecenderungan di atas. Memisahkan maqashid al-syari’ah dari teori-teori ushul fiqh merupakan kesalahan karena tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan maqashid al-syari’ah an.sich,. Apa yang dikemukakan Thahir bin Asyur dalam bukunyaMaqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah yang secara yakin menjadikan maqashid al-syari’ah ini sebagai ilmu mustaqil yang terlepas dari ilmu ushul  fiqh (Asyur, 1999: 180), kata Darusmanwiati, adalah tidak benar, karena teori-teori dan kerangka yang dikemukakan Asyur sendiri, disadari atau tidak, adalah teori-teori ushul fiqh itu sendiri hanya dengan format yang berbeda (Darusmanwiati, Islamlib: 309). Sebenarnya, maqashid al-syari’ah telah dikembangkan oleh para mujtahid sebelum al-Syathibi dan bahkan dikembangkan dan disempurnakan juga oleh para pemikiran kontemporer zaman ini. Kata al-maqashid sendiri menurut Ahmad Raisuni, pertama kali digunakan oleh al-Turmudzi al-Hakim, ulama yang hidup pada abad ke-3. Dialah, menurut Raisuni, yang pertama kali menyuarakan maqashid al-syari’ah melalui buku-bukunya, al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan juga bukunya al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi menjadi judul buku karangannya (al-Raisani, 1995: 32).
               [36] Sudah tidak asing di kalangan para ulama yang berkecimpung dalam juresprudensi Islam (ushul al-fiqh) mengenai teori maqashid al-Syari’ah yang disistematisasi dan dikembangkan oleh al-Syathibi. Bahkan Musthafa Said al-Khin dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy  membuat kategorisasi baru dalam aliran Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqahaatau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, maka al-Khin membaginya menjadi lima bagian:MutakalliminHanafiyyahal-Jam’iTakhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan  Sya-thibiyyah (al-Khin, 2000: 8). Dengan demikian, pembagian tersebut telah menempatkan pemikiran Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagiatn corak aliran yang terpisah dari aliran ushul fiqih lainnya. Hal ini karena dalam coraknya, al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat) ushul fiqh dengan konsep maqashid al-syari’ah sehingga produk hukum yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual. Menurut Darusmanwiati, Ada dua nilai penting apabila model al-Syathibi ini dikembangkan para ulama sekarang dalam menggali hukum: Pertama, dapat men-jembatani antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul fiqh sedangkan “aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenyatajdid ushul al-fiqh dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul fiqih demi menghasilkan produk fiqih yang lebih kapabel …. Kedua, model al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu al-Qayyim, al fiqh al-hayy, fiqih yang hidup. Karena itu, fiqih yang terlalu teksbook yang penulis istilahkan dengan Fiqh Ushuly akan berubah menjadi Fiqh Maqashidy Darusmanwiati, Islamlib: 309.
               [37] QS. Al Hadid (57)  : 25
             [38] Suruhlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 180, 187), Abu Dawud (no. 495), Al-Hakim (I/197), Al-Baihaqi (III/84), Ibnu Abi Syaibah (no. 3482), Ad-Daruquthni (I/230), Al-Khathib (II/278), dan Al-‘Uqaili (II/167), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma. Lihat juga Shahihul Jami’ (no. 5868)] Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan kepada anak ini, yaitu:
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul.
b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati , 55-56
               [39] HR. Muslim : 2128
               [40] Lihat  Jurnal al Mawaddah Edisi 4 tahun ke-3, November 2009
             [41] Editor Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan, 9 Januari 2012 lalu, tak ubahnya drama sarat makna kehidupan. Pelajaran hidup, terutama bagi orangtua di tengah kehidupan global yang "lebih" mendewakan materi daripada nilai-nilai religi dan budaya.  Vita, sapaan akrab Ruvita Sari, nekat kabur ke Sorong, Papua Barat bukan tanpa sebab. Kenekatan model iklan berusia 13 tahun ini, berlatar tekanan psikis hebat dari ibunya, Ny Lily.Setelah ditemukan polisi di rumah orangtua angkatnya, Bunda Maya di Sorong, Kamis (26/1/2012) sore, Vita mengaku sering dipukul ibunya kalau menolak syuting.Tidak sampai di situ, sang ibunda "terlalu" mengatur selera dan kehidupan anak. Mulai urusan busana hingga rileks (jalan-jalan), Vita perlu menangis. Vita pun mengalami memar akibat pukulan sang ibu, manakala model iklan cokelat pasta itu pulang pukul 21.00 WIB. Sang Ibu tak mengelak, mengakui pernah juga menarik rambut Vita dan menjepret kaki putrinya menggunakan karet. Benarkah cara orangtua pada buah hatinya ini? Prinsipnya, tak seorang orangtua pun di muka bumi, ingin menzalimi anak kandungnya.Harimau yang paling buas sekalipun, tak pernah memakan anak-anaknya, meski kelaparan. Kaum sufi psikologi maupun agama, justru meyakini cinta orangtua kepada anak, lebih besar dibanding cinta anak kepada orangtuanya.
            [42] Adapun pukulan yang dimaksud adalah: a. Pukulan yang dapat diterima oleh si anak, yakni pukulan yang ringan, b. Pukulan yang tidak menimbulkan bekas atau luka pada tubuh si anak, c. Pukulan di bagian tubuh, kecuali wajah. [Lihat Menanti Buah Hati, hal. 347-348). Bersikap adil kepada semua anak dan bersabar dalam menghadapi mereka. Orang tua terkadang memiliki kecenderungan pada salah satu atau sebagian anak dibandingkan dengan anak-anak lainnya, baik dalam hal materi maupun imateri. Padahal, sikap orang tua yang demikian itu tidak akan memberikan dampak yang baik bagi kejiwaan anak-anaknya. Sebab akan ada anak yang merasa tidak disayangi dan tersisihkan, sementara dia melihat saudaranya mendapatkan perlakuan berbeda dari orang tuanya. Hal seperti ini akan sangat mungkin untuk memicu perselisihan bahkan permusuhan antar sesama saudara. Dan sikap seperti ini juga berarti menzhalimi mereka. [Lihat Ensiklopedi Adab Islam (I/201)] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Aku tidak mau menjadi saksi atas perbuatan zhalim, bertakwalah kalian kepada Allah dan bersikap adillah kepada anak-anak kalian.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2586, 2587) dan Muslim (no. 1623), dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu] Selain itu, orang tua juga harus menyadari bahwa anak adalah fitnah (ujian) bagi orang tua maka hendaknya orang tua dapat bersabar dalam menghadapi gangguan dari anak-anaknya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, Artinya: “Dan ketahuilah! Sesungguhnya harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu). Dan sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat ganjaran yang besar.” (Qs. Al-Anfal: 28) Artinya: “Hanya saja harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu). Dan sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat ganjaran yang besar.” (Qs. Ath-Taghabun: 15).Terutama bagi pasangan orang tua yang memiliki anak perempuan, hendaknya mereka bersabar dalam mengasuh dan mendidiknya, karena anak perempuan yang diasuh dengan baik oleh orang tuanya dapat menjadi penghalang bagi kedua orang tuanya dari api Neraka. Dan hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya berikut ini,. Artinya: “Barang siapa diuji dengan anak-anak perempuan lalu dia memberi asuhan yang baik kepada mereka, maka anak-anak perempuan itu akan menjadi penghalang antara dirinya dari Neraka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 1418, 5998) dan Muslim (no. 2629)]
             [43] Apabila manusia telah meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kebaikan baginya.[Hadits  shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), Ahmad (II/372), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud (no. 2880), An-Nasa’i (VI/251), Tirmidzi (no. 1376), dan Al-Baihaqi (VI/278) dari Abu Hurairah.
            [44] Sudah tidak asing lagi di beberapa pondok,pengurus atau pihak pondok menetapkan aturan dng cara menta'zir yg salah satunya dng menarik uang(denda) bagi santri yang melanggar aturan yang telah ditetapkan pihak pondok. Contoh pada pesantren di Jawa,karena , mereka  para kiyai tahu hukum menta'zir dengan uang, sehingga  timbul pertanyaan: 1. bagaimanakah hukum menta'zir dengan meng-gunakan uang(mendenda).....2. jika tidak boleh,apakah ada cara lain yang membolehkanya,mungkin dengan hilah(mreka daya hukum)? 3. hukum helah yang diperbolehkan seperti apa kriteria yang diperbolehkan menurut syar'i? Ternyata di dalam madzhab Syafi'i menghukum dengan denda uang itu tidak boleh,tapi menurut pendapat imam malik boleh menghukum dengan denda uang.....Batas pukulan mendidik yaitu dari pantat ke bawah,kalau pun organ atas yaitu hanya kuping dengan cara dijewer. Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim,. 7



           [45] Anak yang menjadi dambaan setiap keluarga adalah rizki sekaligus ujian dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya bahwa anak adalah salah satu kesenangan dan perhiasan dunia, Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Qs. Al-Kahfi: 46) Kehadiran anak di tengah-tengah keluarga merupakan amanah yang sangat besar bagi kedua orang tuanya. Oleh karenanya, para orang tua dituntut untuk senantiasa memperhatikan perkembangan jasmani dan rohani sang buah hati. Namun, belakangan sering kita temui peristiwa-peristiwa memilukan yang menimpa anak-anak akibat perbuatan orang tuanya.
               [46] Hukuman dalam kasus seperti ini ditujukan untuk melatih anak-anak memiliki kepekaan terhadap lingkungan, memiliki rasa tanggung jawab dan kemampuan mengendalikan diri.
               [47] Menurut data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak, pada 2011 telah terjadi 1.851 pengaduan ABH yang diajukan ke pengadilan. Hampir 89,8 persen kasus ABH berakhir pada pe¬mi¬danaan atau diputus pidana. Data lain yang dirilis Ke¬men¬terian Hukum dan HAM 2010 menunjukkan bahwa di 16 La¬pas di Indonesia ditemukan 6.505 ABH yang diajukan ke penga¬dilan dan 4.622 ABH di antara¬nya mende¬kam dipenjara. Jumlah ini mung¬kin jauh lebih besar karena angka ini hanya bersumber dari laporan 29 Balai Pe¬masyarakatan (Bapas), se¬mentara di Indonesia terdapat 62 Bapas (Rakyat Merdeka, 19 Januari 2012).
            [48] Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan Guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru.
                  [49] Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan Guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum terlaksana.Lihat Bunadi Hidayat, Pemidanaan Aanak Di Bawah Umur,(Bandung, PT.Alumni : 2010), 115
            [50] Secara tidak sadar orangtua menghukum anaknya dengan emosi dan cara yang kasar, seperti langsung memukulnya. Tindakan seperti ini kurang dibenarkan, karena bagaimana pun didikan orangtua turut menciptakan kondisi anak pada masa mendatang.Rasulullah SAW mengajarkan tanggapan bagaimana seharusnya orangtua menghukum anak, yakni orangtua menunjukan kesalahan dengan pengarahan secara langsung, menunjukan kesalahan dengan isyarat, hardikan dan pukulan. Hukumsn pukulan adalah jalan terakhir untuk menghukum anak agar jera, namun pukulan tersebut harus didasari rasa kasih sayang. Bunadi Hidayat, op.cit, 183
              [51] Menurut sbagian madzhab hanafi boleh menta'zir dengan pakai uang tapi bila sudah taubat, harus dikembalikan uangnya.fiqh ala al madyhab al arba'ah 5/ 401.Yang tidak memperbolehkan silahkan dicek di kitab tanwir al quluub,hasyiyah al jamal ala al manhaj dan gyoyah talkhis almurod hamisyi bughyah. “Dan tidak boleh menta’zir (menghukum) dengan mencukur jenggot atau dengan mengambil harta”.(Tanwiir al-Quluub , 2001), 392


             [52] Ta’zir tidak boleh dengan mengambil harta”. Hasyiyah al-Jamal V/164 “Dan haram menta’zir dengan mencukur jenggot, memotong anggauta dan melukainya, Ta’zir diharamkan juga dengan mengambil atau merusak harta benda karena tidak terdapati ketetapan syara’ yang demikian dari prilaku yang dapat diikuti dan karena tujuan diperlakukan menta’zir demi mengajari tatakrama yang tidak ada ketentuan dengan merusak harta benda berbeda menurut Imam Taqiyuddin yang memperkenankan ta’zir dengan mengambil atau merusak harta benda”. Mathaalib Ulin Nuhaa VI/224
               [53] Seorang sahaya menganiaya sahaya lainnya, maka bagi sahaya yang menganiaya diperlakukan ta’zir dari sayyidnya sesuai petunjuk hakim atau yang ditempatkan pada posisinya dengan dipenjara, dipukul, atau dinaikkan keledai dengan berbalik dan semacamnya.Janganlah memberikan balasannya pada sahaya yang dianiaya, dan tidak diperbolehkan menta’zir dengan mengambil harta benda menurut kami (Syafi’iyyah). Bughyah al-Mustarsyidiin , 532

              [54] Bentuk Ta’zir bisa dengan berupa dipenjarakan atau pukulan yang tidak menyakitkan, menampar, atau mencelanya dengan ucapan atau diasingkan dalam kurun kurang setahun didaerah yang panas atau kurang dari kurun separoh tahun didaerah yang dingin atau diberdirikan dalam satu majlis atau dibuka penutup kepalanya atau dicoreng hitam mukanya atau dicukur rambutnya bagi orang yang tidak suka potong rambut tapi tidak dicukur jenggotnya meskipun menurut kami hal demikian adalah makruh menurut pendapat yang paling shahih, atau dinaikkan pada keledai dengan berbalik dan diarak berkeliling ditengah-tengah orang banyak dan mengancamnya dengan aneka siksaan-siksaan lainnya”.Nihaayah al-Muhtaaj VIII/21

           [55] Mengenai berapa lama pidana penjara dijatuhkan kepada anak nakal, Pasal 26 ayat (1) UU 3/1997 menentukan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.Jadi, harus dilihat kembali pada ketentuan pidananya. Misalnya, jika anak tersebut dijerat dengan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Sehingga, pidana untuk anak nakal yang melakukan pembunuhan dan dijerat dengan Pasal 359 KUHP adalah paling lama 2,5 (dua setengah) tahun.
             [56] Pengadilan anak-anak Mencatut Demi Hukuman Mati?Pada tahun 1995, seorang bocah di Lumajang dijerat pasal dengan ancaman hukuman mati. Kini urusan hidup-mati Ma’ruf – bukan nama sebenarnya – yang masih berusia 14 tahun, sepenuhnya berada ditangan majelis hakim. Sebab, Jaksa Imam Sudarmadji menuduh Ma’ruf telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Buyar, teman sekampungnya. Artinya, anak ke empat pasangan Sariman-Sarmi ini  diancam hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup. Untuk perbuatan itu, ancaman hukuman paling ringan adalah penjara 20 tahun. Menurut dakwaan jaksa, perbuatan itu terjadi pada tanggal 9 April silam, di persawahan desa Mlawang, Kecamatan Klakah, Lumajang. Pembunuhan itu terjadi akibat perkelahian di antara mereka dengan menggunakan clurit. Hujaman clurit tersangka menjadi penyebab kematian korban. Sumber : www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1995/08/14/0007.html
            [57] Dalam kasus ini, jika anak ditahan sebaiknya segera ditanyakan apakah ia telah ditemui oleh seorang petugas Bapas. Dan apakah padanya telah diberikan haknya untuk tetap memperoleh penasehat hukum, karena petugas Bapas bukanlah seorang penasehat hukum. Harus diingat, anak berhak memperoleh dan negara wajib memberikan proses hukum yang cepat.Apabila pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar proses hukum sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam hal ini polisi, yang terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan untuk melakukan diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi kepentingan anak.

               [59] Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (United Nations Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty)   Adopted by General Assembly resolution 45/113 of 14 December 1990
           [60] Komite HAM PBB (Human Rights Committee) dalam Komentar Umum No. 6 menegaskan bahwa “ekspresi tentang kejahatan yang paling serius harus diartikan secara terbatas, bahwa pidana mati hanya dilaksanakan sebagai tindakan luar biasa. UU Nomor 23 tahun 2002 Pasal 2 menyatakan bahwa asas dan tujuan perlindungan anak salah satunya berlandaskan pada prinsip-prinsip KHA  : a)     non diskriminasi; b)     kepentingan yang terbaik bagi anak; c)      hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d)     penghargaan terhadap pendapat anak.Dalam konteks anak yang berkonflik dengan hukum, undang-undang ini mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan khusus (Pasal 59).

             [61] Hukuman tidak dimaksudkan untuk sebuah pembalasan dan pembebasan dari dosa. Hukuman lebih dimaksudkan sebagai cara mencegah orang untuk berbuat kejahatan. Teori ini dikenal dalam hukum Islam sebagai “zawajir”, pencegahan, penghentian (deterrence). Ahli hukum Islam klasik Al Mawardi (w. 1075 M), mengatakan : “Hukuman-hukuman pidana (hudud) adalah “zawajir” (pencegahan) yang ditetapkan Tuhan agar orang tidak melanggar hukum dan memperingatkan orang akan ancaman adanya rasa sakit jika dia melanggarnya”. Hal ini menurutnya jauh lebih luas efek positifnya bagi sistem kehidupan dibanding sekedar untuk menghukum pelakunya.( Fathi,14).
             [62] Seorang memukul  gurunya atau petugas, ia diaggap melakukan jarimah ganda, walaupun pelakunyamenganggap melakukan jarimah tunggal, hal ini dikarenakan yang dipukul adalah petugas sehinnga oleh hukum dianggap berbuat jarimah ganda yaitu memukul orang dan melawan petugas. Gabungan anggapan (concurcus idealis) Gabungan jarimah itu karena hanya bersifat anggapan, sedang pelakunya hanya hanya berbuat satu jarimah. Pertimbangan fuqaha tentang eksistensi gabungan hukuman yang berdasarkanatas dua teori :Teori saling memasuki atau melengkapi. Dalam teori ini yang dimaksudkan oleh menulis, bahwa pelaku jarimah dikenakan suatuhukuman, walaupun melakukan tindakan kejahatan ganda, karena perbuatan satu denganyang lainnya dianggap saling melengkapi atau saling memasuki. Teori ini ada dua pertimbangannya. Bila pelaku hanya melakukan tindakan kejahatan sejenis sebelum diputuskan oleh hakim, maka hukumannya dapat dijatuhkan satu macam saja, jika satu hukumandianggap cukup. Akan tetapi jika ia belum insaf atau jera dan mengulangi lagi, maka iadapat dikenakan hukuman lagi. Lihat Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah umur,(Bandung  PT.Alumni : 2010), 135

              [63] HR. Muslim
            [64] Akibat Menggunakan Shabu-shabu : Merusak organ-organ tubuh terutama otak, dan syaraf yang mengatur pernafasan. Banyak yang mati karena sesak nafas, dan tiba2 berhenti bernafas karena syaraf yang mengendalikan pernafasan sudah rusak dan tidak ada lagi instruksi untuk bernafas, sehingga nafasnya putus/berhenti, dan mati.  Paranoid, otak suah dipakai berpikir dan konsentrasi, jet lag dan tidak mau makan.Rasa gembira / euforia, Rasa harga diri meningkat.Banyak bicara, Kewaspadaan meningkat, denyut jantung cepat.
  • Pupil mata melebar.
  • Tekanan darah meningkat, berkeringat/rasa dingin
  • Mual/muntah, (Dalam waktu 1 jam setelah pemakai gelisah)
  • Delirium/kesadaran berubah (pemakai baru, lama, dosis tinggi), 
  • Perasaan dikejar-kejar.
  • Perasaan dibicarakan orang.
  • Agresif dan sifat bermusuhan.
  • Rasa gelisah.
  • Tak bisa diam, (Dalam waktu 24 jam). 
  • Gangguan irama detak jantung.
  • Perdarahan otak.
  • Hiperpireksia atau syok pada pembuluh darah jantung yang berakibat meninggal.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook