Tuesday, June 25, 2013

PUKULAN PALING RINGAN DALAM PENDIDIKAN


PUKULAN PALING RINGAN
DALAM PENDIDIKAN




PENDAHULUIAN 


GURU BUKAN DITAKUTI
CUKUP HANYA, DISYANGI
TAMBAH LAGI, DISEGANI
PENDIDIKAN, SANGAT BERARTI










GURU JANGAN, RINGAN TANGAN
SALAH SEDIKIT,KENA PUKULAN
PERBNYAKLAH, MEMBERI PUJIAN
CALON PEMIMPIN, DIPERSIAPKAN



       Kadang-kadang guru kini bukan lagi untuk digugu dan ditiru melainkan untuk ditakuti. Para guru ringan tangan itulah yang berhasil menciptakan citra tersebut, dimana tangan dan penunjuk papan tulis bukan lagi alat untuk mengajar, melainkan untuk menghajar. Seperti banyak kasus penganiayaan yang dilakukan para guru terhadap muridnya yang masih sering hingga saat ini. Seperti yang terjadi di Banyumas,Jawa Tengah, Jumat, 24 Februari lalu, seorang guru diduga menendang dan memukul siswanya di kantin, dikarenakan siswa tersebut tidak mengikuti pelajaran tambahan. Kejadian itu menimpa Adam Bisno, murid kelas 9 di SMP Negeri 2 Baturraden Banyumas.
  Berikut ini, penulis kutip alasan guru menghukum dengan menyakiti Murid secara fisik adalah agar memberi efek jera terhadap murid-murid yang melanggar tatatertib. Namun sangat disayangkan, hukuman fisik yang diberikan tidak hanya meninggalkan bekas luka ditubuh namun juga meninggalkan efek buruk secara psikologis. Pukulan, cambukan atau cubitan yang diberikan guru memicu anak untuk memberontak dan berbohong. Mengapa berbohong? Ya, si anak akan berbohong karena untuk menghindari hukuman berat yang akan menimpanya apabila diketahui telah melanggar peraturan. Selain itu, memberikan pukulan hingga meninggalkan bekas luka akan mengakibatkan si murid dendam terhadap gurunya. Sudah tentu secara psikologis itu adalah sebuah penyimpangan.
          Sebuah studi berjudul Issue of Child Development yang dilakukan oleh Victoria Talwar dan Kang Lee pada bulan November 2011 lalu menjelaskan bahwa anak-anak usia 3-4 tahun yang tumbuh dalam lingkunganyang penuh dengan hukuman akan membuat mereka lebih sering berbohong. Studi ini disusun berdasarkan penelitian yang melibatkan murid sekolah di Afrika Barat, negara yang memiliki sejarah dimana para murid mengalami kekerasan dan hukuman fisik. Penelitian ini memilih sampel dari sekolah swasta yang masih menerapkan hukuman fisik, dan sekolah swasta lain yang tidak menggunakan hukuman fisik. Hasilnya, di sekolah swasta yang menerapkan sistem hukuman fisik, sekitar 90 % anak berbohong dan mengatakan bahwa mereka tidak melihat mainan tersebut. Sedangkan di sekolah yang tidak menggunakan hukuman fisik ini, hanya setengah dari mereka yang berbohong.
         Memang benar apabila anak dianggap berperilaku buruk dan tidak mengindahkan larangan guru, hukuman pantas diberikan sebagai bagian dari pendidikan anak. Memberikan sangsi anak agar menjadi jera terhadap perilaku buruk mereka merupakan salah satu solusi yang bisa dilakukan para guru. Tetapi hukuman tidak harus bersifat fisik atau kekerasan seperti pukulan, cubitan, cambukan atau hal lain yang malah membuat anak bertindak lebih kasar dan berbohong untuk menghindari hukuman. Hukuman dapat kita berikan melalui penguatan negatif yang kita berikan. Teori bihaviorisme Skinner menyatakan bahwa di dalam pembelajaran terdapat pengkondisian operan. Pengkondisian operan adalah sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari prilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas prilaku itu akan diulangi (Margaret E. Bell Gredler, hlm 122). Teori tersebut juga menyatakan bahwa pembelajaran pada anak terdapat 2 unsur penting yaitu hukuman dan penguatan. Hukuman fisiklah yang sangat dihindari Skinner dalam metodenya. Sebagai pengganti untuk mengatasi siswa-siswa yaitu dengan penguatan, baik positif maupun negatif.
        Penguatan positif betujuan meningkatkan sisi baik yang siswa berikan. Misalnya siswa tepat waktu atau dengan baik telah mengumpulkan tugas, maka bentuk-bentuk penguatan positif yang diberikan diantaranya berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A, Juara 1 dsb). Dengan begitu siswa akan terangsang untuk melakukannya lagi. Namun apabila siswa melanggar peraturan, bertindak nakal atau tidak mengerjakan tugas, para guru dapat memberikan penguatan negatif. Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll). Dengan memberikan respon yang tidak menyenangkan tersebut akan menyadarkan siswa untuk tidak melakukan kenakalan atau pelanggaran lagi.

PUKULAN YANG RINGAN  

      Abdullah Ibn Baz  berkata, "Perhatikanlah keluarga dan jangan lalai dari mereka wahai hamba Allah. Hendaknya kalian bersungguh-sungguh untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera puteri kalian melakukan shalat saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka saat berusia sepuluh tahun “dengan pukulan yang ringan” yang dapat mendorong mereka untuk taat kepada Allah dan mem-biasakan mereka menunaikan shalat pada waktunya agar mereka istiqomah di jalan Allah dan mengenal yang haq, dijelaskan dari riwayat shahih dari Nabi SAW.[1]

              Ibnu Utsaimin  berkata, "Nabi Muhammad SAW, telah memerintahkan agar kita memerintahkan anak-anak kita melakukan shalat, saat mereka berusia tujuh tahun, atau kita memukul mereka, saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu mereka belum berusia baligh. Tujuannya adalah agar mereka terbiasa melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka mencintainya. Begitu pula dengan perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum baligh, agar mereka tidak terbiasa dan akrab ketika sudah besar." Beliau juga berkata, "Perintah ini bermakna wajib. Akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi tidak bermanfaat pukulan tersebut. Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat. Kemudian, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan perbaikan bukan mencelakakan."[2] 

            Beliau juga berkata, "Tidak boleh dipukul dengan pukulan melukai, juga tidak boleh memukul wajah atau di bagian yang dapat mematikan. Hendaknya dipukul di bagian punggung atau pundak atau semacamnya yang tidak membahayakannya. Memukul wajah mengandung bahaya, karena wajah merupakan bagian teratas dari tubuh manusia dan paling mulia.[3] Syaikh Fauzan berkata, "Pukulan merupakan salah satu sarana pendidikan. Sorang guru boleh memukul, seorang pendidik boleh memukul, orang tua juga boleh memukul sebagai bentuk pengajaran dan peringatan. Seorang suami juga boleh memukul isterinya apabila dia membangkang. Akan tetapi hendaknya memiliki batasan. Misalnya tidak boleh memukul yang melukai yang dapat membuat kulit lecet, mematahkan tulang. Cukup pukulan seperlunya." . [4]
            Penting juga diperhatikan bahwa pembinaan terhadap anak, bukan hanya karena dia meninggalkan shalat saja, tapi juga jika sikapnya meremehkan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya dan wajibnya. Kadang sang anak shalat, tapi shalatnya dia jamak, atau dia shalat tanpa wudhu, atau tidak benar shalatnya. Maka ketika itu hendaknya diajarkan semua perkara shalat dan memastikan bahwa dia menunaikan kewajiban, syarat dan rukunnya. Jika mereka lalai dalam sebagiannya, maka kita kuatkan lagi nasehatnya, diajarkan terus menerus. Jika masih juga lalai, boleh diperingatkan dengan pukulan hingga shalatnya benar. Al-Mubarkafuri dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi mengutip pendapat Al-‘Alaqi, dengan mengatakan: Berkata Al-‘Alaqi: … yang dimaksud dengan pukulan (di hadits tersebut) adalah pukulan yang tidak menyakitkan, dan harus menghindari bagian wajah.
[5] 

             Pukulan yang tidak menyakitkan batasannya adalah pukulan yang tidak menyebabkan bekas atau memar, apalagi menyebabkan sobeknya kulit, pecahnya tulang, atau menimbulkan cacat. Sedangkan pukulan yang tidak boleh mengena wajah adalah pukulan baik secara langsung, misalnya tonjokan atau tamparan, atau menggunakan alat pemukul seperti kayu, rotan, kabel, besi. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw berikut. Dari Abi Hurairah dari Nabi saw, beliau ber-sabda:  Apabila salah seorang dari kalian memukul maka hindarilah memukul bagian wajah .
[6]Apakah hukuman ini bisa diterapkan oleh selain orang tua, seperti misalnya guru di sekolah atau ustadz di pesantren?[7] dan apakah hukuman ini bisa diterapkan untuk hal lain seperti saat anak didik tidak ikut shalat berjama'ah, ber-shaff dengan tidak lurus, mengantuk saat membaca Al-Qur'an, melanggar disiplin bahasa, tidak masuk kelas tanpa izin.?
              Untuk yang pertama jawabannya, syara'  tidak hanya memberikan "kewenangan menghukum" tersebut hanya kepada orang tua tidak kepada yang lainnya. Kedua, hukuman tersebut tidak bisa diterapkan untuk pelanggaran-pelanggaran lainnya sebagaimana yang disebutkan. Menurut para ulama, syara' menjadikan hukuman demikian ini hanya pada syari'at shalat dan tidak pada syari'at-syari'at lainya, tidak lain karena kewajiban shalat merupakan kewajiban yang sangat besar bagi seorang muslim dan akan terasa berat apabila tidak ada pembiasaan sejak dini. Dimana ketika seorang anak sudah memasuki masa baligh, maka meninggalkan shalat dengan sengaja sudah menjadi dosa besar baginya.

E.Perbandingan sanksi hukum terhadap pelanggaran hak anak-anak
1.Sanksi umum
           Sanksi umum, bisa berupa penangkapan dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 jam (Ps 36 (2)Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:  1. UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya. 2. UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 3. UU 1/1974 tentang Perkawinan.  UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); dan  4. UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
           Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik keke-rasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Kepolisian dapat menangkap untuk selan-jutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas (Ps 35 (1). Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah per -lindungan (Ps 36 (1).  Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat meng -ajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan (Ps 37 (1). Bilamana pengadilan mendapatkan laporan tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan ini, pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 jam guna dilakukan pemeriksaan, di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi (Pasal 37 (2)
 2. Sanksi khusus           
            Sanksi khusus, hanya merupakan sanksi moral. Lebih-lebih lagi menurut Hukum Islam, Syari’ hanya mengizinkan para suami untuk menghukum istrinya yang    nusyuz     (membangkang),[8] dengan tiga macam hukuman, yaitu menasihatinya, memisahkannya dari ranjang (pisah ranjang), dan pukulan. berdasarkan ayat:

...wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,[9] Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.[10] 
             Asbab al-Nuzulnya menurut Ibnu Juraij dan Saddiy. Ibnu Murdawaih mengetengahkan juga dari Ali bin Abi Thalib, " laki-laki Ansar datang kepada Nabi saw.,membawa istrinya. Kata istrinya, 'Wahai Rasulullah! Dia ini memukul saya hingga berbekas pada wajah saya.' Jawab Rasulullah, 'Tidak boleh ia berbuat demikian', maka Allah swt. pun menurunkan ayat,’'Kaum lelaki menjadi pelindung  wanita...sampai akhir ayat.' (QS. An-Nisa’ 34) Hadis ini menjadi saksi, yang masing-masingnya menguatkan yang lainnya." Berikut ini tentang kesamaan Al-quran dan hadits, tentang tingkatan hukuman antara isteri dan anak.



TABEL    4.5
KEMIRIPAN REDAKSI AYAT DAN HADITS TENTANG HUKUMAN PUKULAN
DARI SEGI URUTAN KATA.

No
QS An-Nisa’ (4) : 34
Hadits
1
Dinasehati isterimu
Disuruh anakmu
2
Pisahkan dari tempat tidur
Pisahkan tidurnya
3
Pukullah isterimu
Pukullah mereka

             Dari tiga tingkatan, pernyataan  dari ayat Al-Quran  dan hadits tersebut,  yang penulis  soroti adalah  yang nomor tiga,  karena ada kata “ Pukullah mereka”. Kaitannya, dengan penelitian ini ialah , kata pukulan itu, termasuk  kekerasan menurut HAM dan UU RI Nomor 23 Tahun 2002. Akan tetapi menurut analisis penulis, sebenarnya  ada hukuman pukulan yang tidak masuk kategori kekerasan fisik, yaitu memukul yang tidak berdarkan emosi, tidak gores, tidak berbekas, dan tidak boleh memukul wajah.
             Ada tiga jenis hukuman, yang dapat  dilakukan kepada isteri, secara bertahap, tidak menerapkan hukuman berikutnya jika dengan hukuman pertama si istri bisa berubah. Nasihat adalah nasihat yang menyadarkan, jika tidak ‘mempan’ maka dengan pisah ranjang, jika tidak juga mempan maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak diwajah. Hukuman terakhir ini tidak jauh beda dengan hukuman macam ke dua di atas, yaitu hukuman bersifat ta'dib (edukasi) bukan hukuman bersifat ta'dzib (penyiksaan). Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut menjelaskan sifat pukulan tersebut, mengutip perkataan ulama:

Hendaknya tidak merusak anggota tubuh apa pun dan tidak menimbulkan bekas sedikitpun.
[11]
             Dari penelaahan penulis  terhadap nash-nash baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah tidak ditemukan sama sekali adanya peluang bagi para pendidik untuk menghukum anak didiknya, selain hanya bagi orang tua terhadap anaknya sendiri, itupun sangat terbatas. Apa yang bisa diperbuat oleh para pendidik ketika menjumpai anak didiknya melanggar, baik terhadap hukum syara' maupun terhadap peraturan-peraturan administratif setempat, untuk anak-anak ditinjau dari segi usianya.
            Batasan usia yang diajukan dalam menelaah mengenai pengertian anakremaja, berdasarkan dari pendapat pakar-pakar psikologi oleh Andi Mappiaremengutip Elizabeth B. Hurlock dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak)menyebutkan bahwa pengertian remaja adalah suatu batasan usia dengan rentang usia antara 13 (tiga belas) tahun, sampai dengan 21 (dua puluh satu) tahun. Sedangkan pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga dalam batasan konsep penulisan hukum ini adalah bagi anak / remaja dalam rentang usiaantara 13 – 21 tahun. Di bawah ini tabel perbandinmgan batas usia menurut undang-undang.
      
              Secara yuridis formal, masalah pertanggung jawaban mengenai kenakalan anak atau remaja yang dapat menimbulkan kejahatan ini telah memperolehpedoman yang baku dalam hukum. Pertama-tama adalah hukum pidana yang pengaturannya tersebar dalam beberapa pasal, dan sebagian pasal yang bersifatembrional adalah Pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Bandingkan ketentuan umur yang disebut di dalam hadits  yang    menyururuh uru anak-anak melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan memukulnya  jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.[12]
             Hukuman  untuk anak-anak, tentu saja, hal yang bisa dilakukan adalah tindakan  “yang bukan berupa hukuman, melainkan konsekwensi logis” yang sejalan dengan syari'at Islam. Misalnya ketika ada seorang santri atau siswa melanggar disiplin administratif berupa lalai atau berbohong saat meminta izin, tindakan yang bisa ditempuh misalnya menasihati dengan nasihat yang baalighoh dengan kata-kata yang menyentuh,  tanpa amarah atau membentak-bentak dengan mengangkat suara, hingga seorang anak menyadari sendiri kesalahannya dan menyesalinya.
             Kemudian ciptakan suasana agar murid, mau meminta maaf seraya bertaubat kepada Allah SWT., pendidik bisa memintanya untuk membaca istighfar sebanyak-banyaknya saat itu, atau membangunkannya untuk shalat taubat di malam harinya. Apabila kesalahan sudah mencapai tingkatan yang sangat parah, dan pendidik melihat hal itu berdampak buruk bagi anak-anak didik lainya, selanjutnya bisa menempuh jalan untuk memulangkannya atau mengeluarkannya dari lembaga. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Imam Al-Hasan Al-Bashri terhadap bekas muridnya yaitu Washil bin 'Atho' tatkala beliau menjumpainya menyimpang dan tidak ada harapan untuk kembali ke jalan yang lurus, Al-Hasan Al-Bashri tidak menjatuhkan hukuman apa pun terhadap dirinya, beliau hanya mengusirnya dari majlis ilmu yang beliau bina.

             Terkait hukuman fisik, dalam bentuk apapun, karena menyakiti sesama muslim adalah dosa di sisi Allah SWT. Sedangkan antara para pendidik dan para santri atau siswa pada hakikatnya adalah sesama muslim, yang tidak boleh saling menyakiti satu sama lain. Rasulullah saw bersabda:

Dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang menyakiti seorang muslim,  sungguh ia telah menyakitiku, dan siapa siapa yang telah menyakitiku maka sungguh ia telah menyakiti Allah swt .
[13]




                [1]Fatawa Nurun ala Darb, 11/386. Lihat juga Majmu Fatawa Bin Baz, 6/46
                [2]Kitab Liqo Al-Bab Al-Maftuh, 95/18.
                [3]Jika dipukul bagian wajah, maka sang anak merasa terhinakan melebihi jika dipukul di bagian punggung. Karena itu, memukul wajah dilarang." Fatawa Nurun ala Darb ,13/2.
                [4]Ighatsatul Mustafid Bi Syarh Kitab Tauhid, hlm. 282-284.
                [5]Tuhfatul Ahwadzi, 2/370
                [6]HR. Abu Dawud
                [7]Pada saat anak sudah masuk masa baligh maka hukuman pukulan tersebut tidak berlaku lagi, hukuman bagi mukallaf yang melakukan keharaman selain terkait hudud dan jinayat adalah hukuman ta'zir oleh khalifah, tidak boleh lagi dilakukan oleh orang tua. Jadi, hukuman pukulan oleh orang tua terhadap anak yang meninggalkan shalat ini hanya berlaku saat anak sudah memasuki usia 10 tahun hingga anak memasuki masa baligh.Abu A’la Al-Maududi, op.cit.,155
            [8]Kecintaan kepada istri, tanpa disadari banyak menggiring suami ke bibir jurang petaka. Betapa banyak suami yang memusuhi orang tuanya demi membela istrinya. Betapa banyak suami yang berani menyeberangi batasan-batasan syariat karena terlalu menuruti keinginan istri. Malangnya, setelah hubungan kekerabatan berantakan, karir hancur, harta tak ada lagi yang tersisa, banyak suami yang belum juga menyadari kesalahannya. Ummu Ishaq Al-Atsariyyah) Majalah Asy-Syari’ah Edisi 027
             [9]Asbabunnuzul ayat ini ialah: Ibnu Abu Hatim mengetengahkan dari Hasan, katanya, "Seorang wanita datang kepada Nabi saw. mengadukan suaminya karena telah memukulnya, maka sabda Rasulullah saw., 'Berlaku hukum kisas,' maka Allah pun menurunkan, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita...' sampai akhir ayat." (Q.S. An-Nisa(4) 34.) Demikianlah wanita itu kembali tanpa kisas. Ibnu Jarir mengetengahkan pula dari beberapa jalur dari Hasan, yang pada sebagiannya terdapat bahwa seorang laki-laki Ansar memukul istrinya, hingga istrinya itu pun datang menuntut kisas. Nabi saw. pun menitahkan hukum kisas di antara mereka, maka turunlah ayat, "Dan janganlah kamu mendahului Alquran sebelum diputuskan mewahyukannya bagimu." (Q.S. Thaha 114) dan turunlah ayat, "Kaum lelaki menjadi pemimpin kaum wanita..."
          [10]Walaupun tidak menutup kemungkinan sudah ada pesantren yang tidak menggunakan sistem tersebut, atau paling tidak sudah mengganti bentuk hukumannya dengan hukuman yang lebih mendidik, akan tetapi dari data yang ada pesantren yang menggunakan cara itu masih banyak. QS. An-Nisa [4]: 34)
             [11]Tafsir Ibn Katsir, Jilid 2, hlm. 295.
               [12]HR. Abu Dawud.
                [13]HR. Ath-Thabrani.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook