Sunday, June 30, 2013

PUKULAN YANG BUKAN KEKERASAN ( Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag Riau Pekanbaru Indonesia)



 PUKULAN YANG BUKAN KEKERASAN
 Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag 
Riau Pekanbaru Indonesia
         Pukulan yang tidak mangandung unsur kekerasan, menurut Atha’ bertanya kepada Ibnu Abbas, “Apa yang dimaksudkan dengan pukulan yang tidak membahayakan?” Beliau menjawab, “Gunakan siwak dan sejenisnya.” Jika memukul, hindari lokasi-lokasi berbahaya seperti kepala, perut, juga wajah. Karena Nabi  melarang memukul wajah secara umum. Dalam hadits Mu’awiyyah bin Hidah  – rodhiyallohu ‘anhu  – disebutkan bahwa ia bertanya, tentang hak istri atas diri suami.?” Beliau menjawab, “Hendaknya engkau memberinya makanan sebagaimana yang engkau makan dan memberinya pakaian sebagaimana yang engkau kenakan; jangan engkau menjelek-jelekkannya dan jangan memukul sembarangan.‘jangan memukul wajah.”[1]

HUMANIORAMUI: Guru Mencubit Demi Kemajuan Murid Senin, 06 Mei 2013 | 08:32 WIBIlustrasi--MI/Immanuel Antonius.
Metrotvnews.com, Waykanan: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Waykanan Provinsi Lampung Bunyamin Sidik mengatakan, tindakan guru Sari Asih Sosiawati yang dipidanakan orang tua murid lantaran mencubit siswa seharusnya dimaknai sebagai peringatan pendidikan demi anaknya.

"Rasanya hampir semua murid di zaman dulu mengalami peringatan oleh gurunya, dicubit, dijewer, disebat pakai mistar, dipukul pakai rotan, dilempar pakai kapur dan pengapus dan lain sebagainya," ujar Bunyamin, di Blambangan Umpu, Senin (6/5).

Oleh sebab itu, Ketua MUI Waykanan menambahkan, orang tua murid seharusnya bisa menyikapi cubitan Asih sebagai peringatan demi kemajuan
pendidikan anaknya.

"Saya sewaktu belajar di pondok pesantren juga pernah mengalami pukulan rotan di telapak tangan kiri dan kanan masing-masing tujuh kali karena tidak hafazd atau hafal mata pelajaran alfiah olah almarhum KH Mustafa. Dan saya memaknainya sebagai peringatan sehingga memacu untuklebih giat belajar," ujarnya lagi.

Bunyamin yang juga Kepala Badan Keluarga Berencana, Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Perempuan itu menegaskan pelapor perlu mendapat pencerahan moral dan psikologi agama serta psikologi pendidikan.

Sari Asih Sosiawati, pengajar Bahasa Lampung di SDN Tiuhbalak, Baradatu, pada 29 Agustus 2012 mencubit seorang murid. Asih mengatakan mencubit pada bagian atas perut bawah ketiak sebelah kiri dengan tangan kanannya karena pelajar yang dicubitnya tersebut tidak mengerjakan ulangan serta terhitung sudah dua kali.

Akibat cubitan itu, PNS golongan III A itu dilaporkan oleh ke Polsek Baradatu oleh orang tua siswa yang dicubitnya. Dan kepada sejumlah jurnalis pula, Asih yang disangkakan terkena pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak, juga mengatakan jika dimintai pelapor Rp24 juta sebagai uang damai. (Ant)

Editor: Irvan Sihombing

             Jabir, berkata, Rasulullah  melarang memukul di wajah dan memberi alamat (dengan menggores) di wajah[2] Berkata Imam An-Nawawi, “Adapun pemukulan di wajah dilarang pada seluruhnya…, pada manusia, keledai, kuda, unta,  kambing, dan yang lainnya. Pada manusia lebih terlarang lagi karena wajah manusia tempat terkumpulnya keindahan padahal wajah itu lembut (halus) yang mudah nampak bekas pemukulan. Terkadang bekas tersebut menjadikan wajah menjadi jelek atau bahkan terkadang mengganggu panca indra yang lain”.[3]
           Jika Rasulullah SAW melarang memukul wajah hewan, lebih-lebih lagi wajah manusia.., lebih  lagi jika wajah seorang wanita dan anak-anak, karena itu Rasulullah melarang secara khusus untuk memukul wajah. Seseorang bertanya kepada Nabi SAW, “Apa hak seorang wanita terhadap suaminya?”, Rasulullah  menjawab, “Memberi makan kepadanya, memberi pakaian, dan tidak memukul wajahnya, tidak menjelekannya,[4] serta tidak meng-hajr (menjauhi istrinya dari tempat tidur) kecuali di dalam rumah[5]. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani.

             Suami yang memukul wajah istri dengan apa saja yang ada di tangannya?. Ini menunjukkan lemahnya nilai keaagamaan dan pendeknya akal sang suami.   Pemukulan tidak boleh sampai mematahkan tulang, tidak sampai merusak anggota tubuh, dan tidak sampai mengeluarkan darah. Pemukulan terhadap istri  dan  anak, adalah ibarat obat yang  harus diperhatikan jenisnya, kapan dilakukan, bagaimana caranya, dan ukuran pemukulan tersebut. “Dan merupakan hak kalian agar mereka (istri-istri kalian) untuk tidak membiarkan seorangpun yang kalian benci untuk masuk ke dalam rumah kalian, dan jika mereka melakukan maka “pukullah” mereka dengan pukulan yang tidak membekas[6]

           Syaikh Utsaimin mengomentari hadits ini, “Jika perkara yang besar ini (yaitu sang istri memasukkan seorang lelaki ke dalam rumahnya tanpa izin suaminya) dan sang wanita hanya dipukul dengan pukulan yang tidak keras maka bagaimana lagi dengan bentuk-bentuk ketidaktaatan istri yang lain (yang lebih ringan)? tentunya lebih utama  tidak dipukul hingga membekas...” [7]

           Berkata Ibnul ‘Arabi, “ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ yaitu pukulan yang tidak ada bekasnya di badan berupa darah maupun patah”[8] Yang sangat menyedihkan sebagian suami yang keras hatinya memukul istrinya seperti memukul hewan?[9] Rasulullah SAW.,bersabda,“Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk, memukul istrinya sebagaimana mencambuk (memukul) seorang budak lantas ia menjimaknya di akhir hari[10]Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan ancaman bagi para lelaki jika mereka berbuat sewenang-wenang terhadap wanita tanpa ada sebab karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar yang merupakan wali para wanita dan Allah akan membalas siapa saja yang menzholimi mereka dan menganiaya mereka” menurut Tafsir Ibnu Katsir I/493, dalam Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja. Karena itu maka Wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
               Kemudian dinyatakan, “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, nasehatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”.Ayat ini, memberikan informasi  tentang memukul istri yang tidak patuh, pada perintah suami, di mana perintah suami tidak untuk kejelekan istri tetapi untuk kebaikan istri dan keluarga. Dalam pergaulan hidup tentu suami yang baik menghendaki istri bergaul dalam komunitas yang baik pula. Terkadang banyak istri yang bergaul secara salah tanpa sepengetahuan suami. Dalam hal ini jika ada kecenderungan istri ke arah sana (pergaulan yang tidak baik) maka suami harus menasehati dan jangan memukul, karena dalam kalimat diatas kata menasehati lebih dulu daripada memukul. Dan tahap dalam menasehati ini tentu tidak hanya sekali, tetapi harus berulang kali sampai istri sadar. Nah, jika istri sudah dinasehati tetapi masih bergaul secara salah, maka suami boleh memukul. Ayat tentang ini ada asbanunnuzulnya.[11] Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana arti dari memukul tersebut. Banyak kalangan yang salah mengartikan arti memukul sebagai sesuatu yang menakutkan. kata “Pukullah”,[12] adalah kata umum. Dan masing-masing manusia mengartikan sendiri-sendiri dari kata ini. Adapun  maksud dan arti “memukul” :
1. Membenturkan benda ke tubuh.
2. Membenturkan kepalan tangan (tangan) ke tubuh.
            Dari dua arti diatas tentu masih bernuansa umum, karena benda yang dipakai juga tidak jelas, apakah besar, sedang atau kecil. Apakah bendanya panjang atau pendek. Dalam membenturkan tangan juga tidak jelas apakah dengan kekuatan penuh, sedang atau lemah. Ayat diatas tidak ada keterangan bagaimana harus memukul. Dalam pemahaman Islam mengenai konteks ayat diatas tentu arti memukul adalah membenturkan sesuatu benda atau tangan ke pihak istri dimana pukulan itu bisa menyadarkan pihak istri. Dan tentu masing-masing pukulan akan berbeda tentunya, karena ada istri yang dicubit saja langsung sadar, ada yang dipukul pelan saja sudah sadar, dan ada yang dipukul keras, baru sadar dan yang terakhir tadi tentu sejelek-jelek pukulan. [13]
                      Bagaimana jika sudah dipukul dengan segala tingkatan pukulan tidak mau sadar?. Islam melarang untuk menyakiti manusia apalagi istri dengan keras (lebih jauh), untuk itu jika memang demikian daripada takut nanti melukai istri lebih lanjut maka diperbolehkah bercerai meski itu sangat dibenci oleh Allah. Memukul peminum khamar,memang diberlakukan hukum hudud, seorang muslim yang kedapatan dan terbukti meminum khamar oleh pengadilan (mahkamah syar`iyah) hukumannya adalah dipukul. Bentuk hukuman ini bersifat mahdhah, artinya bentuknya sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT. Sehingga tidak boleh diganti dengan bentuk hukuman lainnya seperti penjara atau denda uang dan sebagainya.
          Dalam istilah fiqih disebut hukum hudud, yaitu hukum yang bentuk, syarat, pembuktian dan tatacaranya sudah diatur oleh Allah SWT.[14]  Hudud jamak dari hadd, arti aslinya batas antara dua hal. Menurut bahasa bisa juga cegahan. Sedangkan menurut syari'at yang dimaksud ialah hukuman yang telah ditetapkan dalam al qur'an sebagai hak Allah. Ketetapan Allah SWT mengenai hukuman zina pada Qs.An-Nisa':15-16. Kegunaannya untuk mencegah perbuatan keji, antara perbuatan zina,  dan semua perbuatan mesum seperti, : zina, homosek dan yang sejenisnya. Keji menurut pendapat Muslim dan mujahid, bahwa yang dimaksud dengan perbuatan keji ialah musahaqah (homosek antara wanita dengan wanita). Menurut Jumhur Mufassirin jalan yang lain itu, itu ialah dengan turunnya ayat 2 surat An Nur. Dasar pensyariatannya adalah hadits Nabi SAW berikut ini :
              "Siapa yang minum khamar maka pukullah". Hadits ini termasuk jajaran hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada tiap thabawatnya (jenjang) dan mustahil ada terjadi kebohongan diantara mereka.  Di tingkat shahabat, hadits ini diriwayatkan oleh 12 orang shahabat yang berbeda. Mereka adalah Abu Hurairah, Muawiyah, Ibnu Umar, Qubaishah bin Zuaib, Jabir, As-Syarid bin suwaid, Abu Said Al-Khudhri, Abdullah bin Amru, Jarir bin Abdillah, Ibnu Mas`ud, Syarhabil bin Aus dan Ghatif ibn Harits.
               Syarat diberlakukannya hudud bagi peminum khamar, para ulama sepakat bahwa agar hukuman pukul atau cambuk itu dapat terlanksana, syarat dan ketentuannya harus terpenuhi terlebih dahulu. Tidak asal ada orang minum khamar lantas segera dicambuk. Di antara syarat dan ketentuannya antara lain :
1. Berakal
Peminumnya adalah seorang yang waras atau berakal. Sehingga orang gila bila meminum minuman keras maka tidak boleh dihukum hudud.[15]
2. Baligh
Peminum itu orang yang sudah baligh, sehingga bila seorang anak kecil di bawah umur minum minuman keras, maka tidak boleh dihukum hudud. [16]
3. Muslim
Hanya orang yang beragama Islam saja yang bila minum minuman keras yang bisa dihukum hudud. Sedangkan non muslim tidak bisa dihukum bahkan tidak bisa dilarang untuk meminumnya.
4. Bisa memilih
            Peminum minuman keras, dalam kondisi bebas bisa memilih dan bukan dalam keadaan yang dipaksa. 



                  [1]Hadits Riwayat Ibnu Majah 1850 dan Ahmad IV: 446
                  [2]HR Muslim III/1673 no 2116
                  [3]Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim XIV/97
                  [4]Ada yang mengatakan maksudnya adalah tidak mengatakan “Wajahmu jelek” atau mengatakan, “Semoga Allah menjelekkan wajahmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Maksudnya adalah janganlah sang suami mensifati sang istri dengan keburukan. Dan zhohir hadits menunjukan bahwa sang suami tidak mensifati istrinya dengan keburukan baik yang berkaitan dengan tubuhnya ataupun dengan akhlaknya. Yang berkaitan dengan tubuhnya misalnya ia mensifati kejelekan di matanya atau hidungnya atau telinganya atau tingginya atau pendeknya. Yang berkaitan dengan akhlaknya misalnya ia mengatakan kepada istrinya, “Kamu goblok”, “Kamu gila” dan yang semisalnya. Karena jika sang suami mensifatai istrinya dengan keburukan maka hal ini akan menjadikan sang istri terus mengingat celaannya tersebut hingga waktu yang lama” (Syarah Bulughul Maram kaset no 12)
[5]HR Abu Dawud no 2142 dan Ibnu Majah no 1850 dari hadits Mu’awiyah bin Haidah.Ibnu Hajar menyatakan hadits ini bisa dijadikan hujjah, Al-Fath IX/301
            [6]HR Muslim II/890 no 1218
            [7]Asy-Syarhul Mumti’ XII/444
            [8]Ahkamul Qur’an I/535
[9]Berkata Ibnu Hajar, “(yaitu) kemungkinan jauhnya terjadi hal ini (digabungkannya) dua perkara dari seorang yang memiliki akal, yaitu memukul istri dengan keras kemudian menjimaknya di akhir harinya atau akhir malam. Padahal jimak hanyalah baik jika disertai kecondongan hati dan keinginan untuk berhubungan, dan biasanya orang yang dicambuk lari dari orang yang mencambuknya…dan jika harus memukul maka hendaknya dengan pukulan yang ringan dimana tidak menimbulkan pada sang istri rasa yang amat sangat untuk lari (menjauh), maka janganlah ia berlebih-lebihan dalam memukul dan jangan juga kurang dalam memberi pelajaran bagi sang istri” [Fathul Bari IX/303, lihat juga HR Al-Bukhari V/2009]Barangsiapa yang berbuat aniaya dengan memukul istrinya padahal istrinya telah taat kepadanya, atau dia memukul istrinya karena merasa tinggi dan ingin merendahkan istrinya maka sesungguhnya Allah lebih tinggi darinya dan akan membalasnya.   Allah berfirmam, jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.QS. 4:34.
                  [10]HR Al-Bukhari V/1997 no 4908 dan Muslim IV/2191 no 2855 dari hadits Abdullah bin Zam’ah
                [11]Ibnu Abu Hatim mengetengahkan dari Hasan, katanya, "Seorang wanita datang kepada Nabi saw. mengadukan suaminya karena telah memukulnya, maka sabda Rasulullah saw., 'Berlaku hukum kisas,' maka Allah pun menurunkan, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita...' sampai akhir ayat." (Q.S. An-Nisa 34.) Demikianlah wanita itu kembali tanpa kisas. Ibnu Jarir mengetengahkan pula dari beberapa jalur dari Hasan, yang pada sebagiannya terdapat bahwa seorang laki-laki Ansar memukul istrinya, hingga istrinya itu pun datang menuntut kisas. Nabi saw. pun menitahkan hukum kisas di antara mereka, maka turunlah ayat, "Dan janganlah kamu mendahului Alquran sebelum diputuskan mewahyukannya bagimu." (Q.S. Thaha 114) dan turunlah ayat, "Kaum lelaki menjadi pemimpin kaum wanita..." Dan dikeluarkan pula yang serupa dengan ini dari Ibnu Juraij dan Saddiy. Ibnu Murdawaih mengetengahkan juga dari Ali, katanya, "Seorang laki-laki Ansar datang kepada Nabi saw. dengan membawa istrinya, maka kata istrinya, 'Wahai Rasulullah! Dia ini memukul saya hingga berbekas pada wajah saya.' Jawab Rasulullah, 'Tidak boleh ia berbuat demikian', maka Allah swt. pun menurunkan ayat, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin kaum wanita...sampai akhir ayat.' (Q.S. An-Nisa 34) Maka hadis-hadis ini menjadi saksi, yang masing-masingnya menguatkan yang lainnya."
             [12]Bahwasanya Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma apabila mendapati salah seorang anggota keluarganya bermain dadu, beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu. (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1273. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad mauquf) Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, sebagaimana penuturan Syumaisah Al-’Atakiyyah: “Pernah disebutkan tentang pendidikan bagi anak yatim di sisi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, maka beliau pun berkata, ‘Sungguh, aku pernah memukul anak yatim yang ada dalam asuhanku hingga dia telungkup menangis di tanah.” HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 142, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad.  Akan tetapi, ada yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Orang tua tidak diperkenankan memukul wajah. Hal ini secara umum dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu: “Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.”HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612.
            [13]Para ulama mengatakan bahwa ini adalah larangan memukul wajah secara tegas. Karena wajah merupakan sesuatu yang lembut yang terkumpul padanya seluruh keindahan. Anggota-anggota tubuh yang ada di wajah demikian berharga, dan sebagian besar penginderaan seseorang diperoleh dengan anggota tubuh tersebut. Sehingga terkadang pukulan di wajah bisa menghilangkan atau mengurangi fungsi anggota tubuh itu, terkadang pula menjadikan wajah cacat. Sementara cacat di wajah itu sendiri demikian buruk karena nampak jelas dan tidak mungkin ditutupi. Dan pada umumnya pukulan di wajah itu tidak lepas dari kemungkinan timbulnya cacat. Termasuk pula dalam larangan ini seseorang yang memukul istri, anak, ataupun budaknya dalam rangka mendidik, hendaknya dia hindari wajah. (Syarh Shahih Muslim, 16/164) Hal lain yang perlu diperhatikan pula, pukulan pada si anak adalah semata-mata dalam rangka mendidik. Yang dimaksud dengan pukulan yang mendidik adalah pukulan yang tidak membahayakan. Sehingga tidak diperkenankan seorang ayah memukul anaknya dengan pukulan yang melukai, tidak boleh pula pukulan yang bertubi-tubi tanpa ada keperluan. Namun bila dibutuhkan, misalnya sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tua untuk memukul bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. (Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/123-124). Semua ini perlulah kiranya untuk diketahui oleh orang tua yang hendak mengarahkan anak-anak mereka, mengingat tanggung jawab yang dibebankan ke pundak mereka, manakala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan akan ditanyai tentang tanggung jawabnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanya tentang mereka. Seorang laki-laki adalah penanggung jawab atas keluarganya dan kelak dia akan ditanya tentang mereka. Seorang istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak suaminya, dan kelak akan ditanya. Seorang hamba sahaya adalah penanggung jawab harta tuannya dan kelak dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.”HR. Al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829
          [14]Keterangan ayat tentang Hudud. (Perempuan yang berzina dan laki - laki berzina) kedua - duanya bukan muhshan atau orang yang terpelihara dari berzina disebabkan telah kawin. Hadd bgi pelaku zina muhshan adalah dirajam, menurut keterangan dari sunnah.(maka deralah tiap - tiap seorang dari keduanya seratus kali dera) yakni seratus kali pukulan.Jika dikatakan Jalahadu artinya ia memukul kulit seseorang; makna yang dimaksud adalah mendera. kemudian ditambahkan hukuman bagi pelaku zina yang bukan muhshan ini menurut keterangan dari Sunnah, yaitu harus diasingkan atau dibuang selama satu tahun penuh. bagi hamba sahaya hanya dikenakan hukuman separuh dari hukuman orang yang merdeka tadi. Lihat Muchtar Yahya, op.cit., hlm. 511.

          [15]Ta'ziî adalah jenis hukuman, bukan bentuk hukuman. Bentuk hukuman bisa dalam bentuk cambuk, rajam atau diasingkan. Tapi kalau kita bicara tentang jenis hukuman, maka jenis hukuman itu ada 2 macam, yaitu hukum hudud dan hukum ta'zir. Sedangkan bentuknya bisa saja cambuk, rajam atau lainnya. Beda Ta'zir dengan Hudud .Jadi padanan dari hukum ta'zir bukan cambuk, melainkan hukum hudud. Hukum hudud adalah hukum yang semua aturannya langsung ditetapkan Allah. Mulai dari batasan pelanggaran, pembuktian, syarat saksi hingga pada bentuk hukumannya. Semua ditetapkan Allah SWT bahkan nabi SAW tidak punya hak untuk mengubahnya.Contoh hudud adalah ketentuan memotong tangan pencuri. Allah secara langsung menetapkan hukuman buat pencuri. Bahkan ketika seorang wanita dari Bani Makhzum mencuri dan para shahabat berpandangan untuk meminta keringanan dari nabi untuk tidak dipotong tangannya, beliau SAW menolak keringanan itu seraya menjelaskan bahwa ketentuan potong tangan bukan wewenangnya. Hukum ta'zir adalah hukuman yang semua ketentuannya ditetapkan oleh hakim. Meski tetap mengacu kepada syariat dari Allah SWT juga. Namun khusus untuk hukuman ta'zir, hakim mendapatkan hak lebih besar untuk menentukan bentuk dan beratnya hukuman.Contohnya adalah hukuman buat pelaku zina yang kurang buktinya, misalnya tidak ada 4 orang saksi yang memenuhi syarat. Mereka ini tidak bisa dirajam meski melakukan zina, bila tidak ada saksinya. Tetapi karena jelas-jelas melakukan kemesuman, maka hakim berhak untuk menjatuhkan hukuman 'pelajaran' kepada mereka, misalnya dicambuk 10 kali. Hukuman ta'zir ini bukan untuk menghukum kasus zina, melainkan tindakan mesum yang boleh jadi belum memenuhi derajat zina.Maka salah satu peran hukuman ta'zir ini adalah agar para pelaku hukum hudud yang kurang syaratnya tidak lolos begitu saja. Maklumlah, kita tahu bahwa untuk menjatuhkan hukum hudud, diperlukan syarat yang sangat njelimet dan nyaris bisa-bisa semua tertuduh bebas.
              [16]Hukum Hudud telah sekian lama dipropagandakan oleh media-media barat dan musuh-musuh Islam agar masyarakat melihatnya sebagai ganas dan tidak sesuai diamalkan dalam zaman yang serba moden ini. Sedangkan Hukum Hudud dan undang-undang Islam lain yang Allah perintahkan dalam AlQuran untuk dilaksanakan adalah relevan sepanjang zaman hinggalah ke Hari Kiamat, dan ianya WAJIB untuk dilaksanakan. Hudud ialah satu cabang dari undang-undang jenayah Islam. Di dalam perundangan jenayah Islam terdapat tiga jenis hukuman iaitu Hudud, Qisas dan Ta'zir.Hudud ialah kesalahan jenayah yang melanggar hak-hak Allah iaitu melanggar batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah dan hukumannya adalah berdasarkan kepada nas, sama ada melalui AlQuran atau AlHadits. Ia meliputi keperluan menjaga agama, nyawa, akal, keturunan dan harta benda. "Itu adalah Hudud (had-had) dari Allah,  barangsiapa ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, nescaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar." Surah An-Nisaa'(4) : Ayat 13.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook