Monday, June 24, 2013

WANITA YANG BERWATAK RAJA-RAJA



WANITA YANG BERWATAK RAJA-RAJA

KATA PENGANTAR


        Wanita Minang lemah lembut, tapi kokoh pendiriannya. Orang luar Minang, kalau mencari menantu selalu bertaya, wanita, gadis mana dia? Karena gadis yang berwatak raja-raja banyak sisi positifnya dalam rumah tangga. Biasanya ekonominya akan kuat. Suaminya berusaha lebih termotifasi. Di Riau daratan, khusunya Rengat dan Taluk Kuantan, ada istilah orang mencari menantu. “ Berbapak ke Minangkabau, beribu, bainduak  ke Indragiri.”
Menurut  berita indosiar.com, Sumatera Barat-Wataknya  Rumpuik Dipijak Indak patah, Alu Tataruang Patah Tigo…
Itulah pepatah yang mengatakan bahwa perempuan Minang lemah lembut, tapi di sisi lain, perempuan Minang sangat keras dan tidak lekas menyerah .
Sebagai Limpapeh Rumah Gadang, atau penguasa di rumahnya, perempuan Minang lebih banyak menjadi Puro, atau Bendahara dalam keluarganya.
Di daerah Bukittinggi Kabupaten Agam, Sumatera Barat, kerasnya dan menonjolnya peranan wanita dalam perekonomian bisa dilihat di lingkungann Kampung Kapau. Sebuah perkampungan yang dihuni, didominasi oleh para pedagang nasi Kapau yang seluruhnya perempuan. Kalaupun ada kaum lelaki, mereka lebih banyak sebagai pekerja saja.
Para pedagang nasi Kapau biasanya berjualan dari pasar ke pasar. Salah satunya adalah Hajjah Syamsinar. Perempuan yang lebih akrab disapa Etek Sam oleh penikmat nasi Kapau di Pasar Lereng, Bukittinggi ini, tidak pernah melihat adanya lelaki berperan langsung dalam mengelola dan berdagang nasi Kapau. Sejak ia masih kecil, ketika ia mulai mengikuti neneknya berdagang nasi Kapau dengan berjalan kaki dari pasar ke pasar, tidak pernah mengajak saudaranya yang laki-laki.
Hingga sekarang ia lebih banyak mempekerjakan saudaranya yang perempuan, bahkan untuk pekerjaan berat sekalipun. Ilmunya dalam meracik bumbu, yang sudah dimiliki sejak turun-temurun, pun hanya diajarkan kepada anaknya yang perempuan. Bahkan ilmu berdagang dan pengelolaan keuangan, tidak diajarkan kepada kaum laki-laki.
Tek Syam yang hanya berdagang 4 kali dalam seminggu di dua pasar secara bergantian, sudah mulai mempersiapkan meracik masakannya sejak sore, hingga dinihari, sebelum dibawa ke pasar yang dituju. Rendang itik, atau bebek, adalah khas masakan Etek Syam, dalam berdagang nasi Kapau. Hanya saja untuk memasak rendang itik, butuh persiapan lebih banyak dari jenis masakan lainnya, dengan adonan bumbu yang lebih rumit.
Kepiwaian Etek Syam dalam meracik bumbu telah membuatnya berhasil mendongkrak perekonomian keluarga setelah ditinggal suami belasan tahun lalu. Bahkan keahlian tersebut telah mengantarnya menunaikan ibadah haji ke tanah suci, dan mendirikan rumah yang terbilang mewah di Kampung Kapau.
Kabupaten Agam yang dikenal juga dengan Luhak Agam, tidak saja menelurkan para perempuan perkasa dari Kampung Kapau. Tak jauh dari pusat Kota Bukittinggi, terdapat pusat sulaman bordir milik Hajjah Rosma, yang dikenal juga sebagai aktivis perempuan di Kabupaten Agam. Kegigihannya untuk membina kaum perempuan agar bisa tegar dan mandiri, menjadikannya sebagai pelopor dan cerminan bagi wanita lainnya di daerah ini.
Setelah berbagai usaha dilakukannya untuk bisa bertahan hidup, akhirnya Hajjah Rosma memilih untuk mengembangkan sulaman bordir, yang memang sudah dikuasainya sejak kecil. Kini, usaha sulaman bordir yang telah ia rintis sejak tahun 60-an, telah menjadi patokan sejumlah kreasi bordir yang sekarang banyak terdapat di pasar-pasar sekitar Bukittinggi, bahkan hingga mancanegara.
Hajjah Rosma pun menularkan ilmunya ini pada kaum hawa lainnya. Ratusan perempuan mandiri telah lahir dari didikan tangannya untuk bisa bertahan hidup, dan tidak harus bergantung kepada orang tua atau suami. Pengerjaan bordir harus dilakukan dengan mesin jahit manual, sehingga bisa menghasilkan sebuah kreasi yang mempunyai nilai jual tinggi. Hentakan kaki dan keahlian jari tangan menari diatas gambar, serta memainkan kombinasi warna benang, adalah kuncinya.
Dari roda mesin jahit yang berputar inilah, puluhan remaja ini menumpukan harapan hidup mereka di masa depan, tanpa harus melupakan putaran bumi, yang selama ini lebih banyak membuat kaum mereka tertinggal di belakang.
Dominasi para wanita Minang dalam perekonomian keluarga tak lepas dari sistem Matriakat, atau Matrilineal, yang dianut masyarakat Minangkabau. Seiring dengan perubahan zaman, peran laki-laki lebih banyak dalam keluarganya. Keluarga Minang tidak lagi terkonsentrasi dalam sebuah keluarga besar, namun sudah beranjak menjadi keluarga kecil, atau Nuklear Famili, sehingga peran seorang ayah lebih banyak mendominasi sebuah keluarga.
Tapi sesungguhnya, ini bukanlah sebuah perang antar dua dunia, perempuan atau laki-laki. Sejatinya ini hanyalah soal pembagian tugas. Tidak masalah siapa yang mencari nafkah. Hidup ini indah jika dijalani tanpa prasangka.(Inti)


BAB I
DALAM BUDAYA ARAB LAKI-LAKILAH
YANG HARUS BERWATAK RAJA-RAJA

A.Latar Belakang
         Jika wanita seperti Di Minangkabau berwatak raja, akan sulit patuh kepada suami yang juga berwatak raja-raja bagi orang Arab. Tapi di Sumbar atau Riau, hal itu tidak jadi masalah. Yang penting adanya kesepakatan kedua belah pihak. .‎Dalam suatu rumah tangga tidak jarang terjadi perselisihan atau persengketaan ‎antara suami-istri. Baik dikarenakan kesalahan suami atau sebaliknya. Bentuk ‎kesalahan tersebut bisa berupa unsur ketidaksengajaan atau kesengajaan. Penyelesaian ‎kesalahan yang disebabkan unsur ketidaksengajaan, tiada lain dengan kebesaran hati ‎memaafkan pihak yang bersalah dengan persyaratan jangan sampai diulangi. ‎Sedangkan penyelesaian kesalahan disebabkan unsur kesengajaan seperti ‎pembangkangan seorang istri, Allah SWT menjelaskannya pada surat An-Nissa’ ayat ‎‎34, yaitu dengan memberikan nasihat, tidak melakukan hubungan suami-istri dan ‎memukulnya.‎.‎
Penyelesaian nusyuz di atas, ada yang menjadi permasalahan pada konteks ‎kekinian, yaitu pada penafsiran para mufasir terhadap lafadz wadribuhunna dengan ‎memukul tanpa menyakitkan atau pukulan mendidik. Sehingga penafsiran ini ‎dijadikan justifikasi pembolehan pemukulan terhadap istri. Sebagian ilmuwan dan ‎cendekiawan muslim sekarang atau mufasir kontemporer, ada yang tidak menyepakati ‎wadribuhuinna ditafsirkan dengan memukul. Meskipun para ulama telah menegaskan ‎harus pukulan yang tidak menyakitkan. Hal ini dikarenakan bertentangan dengan ayat ‎selanjutnya dan beberapa ayat dan hadits yang mengisyaratkan tidak boleh melakukan ‎kekerasan dalam dalam rumah tangga.‎

B. Rumusan masalah
1. Ayat –ayat yang berkaitan dengan nusyuznya wanita yang berwatak raja.
2. Nusyuz timbul dari pihak suami dan istri yang tinggi egonya
3. Tahapan yang dilakukan dalam menghadapi gejala nusyuz isteri durhaka.


BAB II
PEMBAHASAN

A. AYAT-AYAT NUSYUZ
Untuk mempermudah pembahasan ini diawali dari ayat yang membahas nusyuz ‎adalah surat an-Nissa ayat 34 dan 128 sebagai berikut:‎
‎“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah ‎telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), ‎dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab ‎itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika ‎suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). Wanita-wanita ‎yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah ‎mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka ‎mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. ‎Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar (34)
makna mufrodat:

 الرجال قوامون على النساء= bermakna bahwa kaum pria adalah pemimpin kaum wanita, yang lebih dituakan atasnya, yang menjadi pemutus atas segala perkaranya, dan yang berkewajiban mendidiknya jika melenceng atau melakukan kesalahan. Seorang pria berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pemeliharaan atas wanita.
 نُشُوزَهُنَّ ‏ ‏ ‏‎= ‘kebencian’, ‘antipati’, ‘kedurhakaan istri terhadap suami’‎
 ‎  فَعِظُوهُنَّ = memberi nasihat dan arahan/petunjuk
 ‏ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ = berpindah tempat tidur, khithabnya tertuju kepada para suami yang takut ‎atas nusyuz istrinya. ‎sehingga berarti bagi suami yang khawatir akan nusyuz istri diperintahkan untuk ‎meninggalkannya di tempat tidur.
 ‎ وَاضْرِبُوهُنَّ = pukullah untuk mendidik
 قَانِتَاتٌ = dimaksud ‎disini adalah wanita-wanita yang taat kepada Allah SWT dan taat kepada suami-suami ‎mereka.‎ ‎ menurut Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud adalah wanita-wanita yang ‎taat kepada suaminya.‎
 وَاللاَّتِي,=‎wanita siapa saja yang oleh suami dikhawatirkan nusyuznya.‎

selanjutnya surat annisa ayat 128
Terjemahnya:‎
‎“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari ‎suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang ‎sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu ‎menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan ‎memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah ‎adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”‎


B.ASBABUN NUZUL
Adapun sebab-musabab turunya Q.S. an-Nissa: 34, ialah bahwa ada seorang ‎sahabat Rasul, yang termasuk salah seorang guru (naqib) mengajarkan agama kepada ‎kaum Anshar, namanya Sa’ad bin Rabi bin Amr, berselisih dengan istrinya Habibah ‎binti Zuhair. Suatu ketika Habibah menyanggah (nusyuz) kepada suaminya Sa’ad itu. ‎Lalu Sa’ad menempeleng muka istrinya itu. Maka datanglah Habibah ke hadapan ‎Rasul ditemani oleh ayahnya sendiri, mengadukan halnya. Kata ayahnya: ‎‎“disetidurinya anakku, lalu ditempelengnya.” Serta merta Rasulullah menjawab: ‘biar ‎dia membalasnya (Qisas). Artinya Rasulullah mengizinkan perempuan itu membalas ‎memukul sebagai hukuman. Tetapi ketika bapak dan anak perempuannya telah ‎melangkah pergi, Rasul berkata: “kembali! kembali! ini jibril datang!” maka turun ayat ‎ini (membolehkan memukul)”. Maka berkatalah Rasulullah: “ kemauan kita lain, ‎kemauan Tuhan lain, maka kemauan Tuhanlah yang lebih baik”. Ada riwayat lain ‎bahwa nama perempuan itu ialah Khaulah binti Muhammad bin Salamah.
Sedangkan ayat 128‎ ‎
‎ Imam syafi’I meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kasus putrid Muhammad Ibn Malamah yang akan di cerai oleh suaminya, lalu dia bermohn agar tidak di cerai dan rela dengan apa saja yang di tetapkan suaminya. Mereka berdamai dan turunlah ayat ini

C.KANDUNGAN AYAT
Dalam kitab fikih atau tafsir klasik, kata nusyuz sering ‎diartikan istri yang tidak taat atau membangkang kepada suami. Pendapat ini ‎berdasarkan surat an-Nisa: 34. Ayat ini juga sering ditafsirkan dan dijadikan legitimasi ‎laki-laki melakukan tindak kekerasan terhadap istri yang telah dianggap nusyuz.. ‎Menurut pendapat Sayyid Quthb yang ‎menyatakan bahwa nusyuz lebih merujuk pengertian terjadinya ketidakharmonisan ‎dalam suatu perkawinan.‎ ‎ ‎
Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya atau ‎menentang perintah suami. Untuk nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras ‎terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya yaitu ‎menafkahinya dengan baik. Nusyuz dari pihak suami diterangkan dalam
Pembahasan pada Nusyuz dalam surat an-Nissa ayat 34, yang artinya Laki-laki mempunyai kelayakan memimpin kaum wanita, karena Allah telah memberikan kelebihan atas yang lain dan karena mereka memberi nafkah.
Ar-Rijâl qawwâm ‘alâ an-nisâ’ bermakna bahwa kaum pria adalah pemimpin kaum wanita, yang lebih dituakan atasnya, yang menjadi pemutus atas segala perkaranya, dan yang berkewajiban mendidiknya jika melenceng atau melakukan kesalahan. Seorang pria berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pemeliharaan atas wanita. Ibn ‘Abbas, mengartikan kata qawwâmûn sebagai pihak yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik wanita. at-Thabari menegaskan, bahwa kata qawwâmûn bermakna penanggung jawab, dalam arti, pria bertanggung jawab dalam mendidik dan membimbing wanita dalam konteks ketaatannya kepada Allah.
Wanita-wanita yang salehah ialah yang taat beribadah,yang menjaga amanat sewaktu suami berpergian, karena Allah telah memelihara mereka menunjukan ‎nusyuz istri terhadap suami. Yang bermakna perlawanan seorang istri terhadap suami, ‎yang sebelumnya menyebutkan istri yang shalihah dan taat kepada Allah dan suami. ‎Ibnu Katsir menyimpulkan dari ayat tersebut bahwa istri-istri itu ada dua macam, ada ‎yang shalihah dan ada pula yang membangkang atau melawan suam.
Istri yang shalihah menurut ayat tersebut adalah perempuan yang taat kepada ‎Allah dan suaminya, menjaga dirinya (kehormatan), anak dan harta suaminya, baik ‎sewaktu bersama suami maupun sewaktu tidak bersama-sama. , Istri yang membangkang (nusyuz) yaitu kebalikan dari istri yang taat. Allah ‎SWT memberikan cara untuk menanggapi istri yang nusyuz, untuk tingkat pertama ‎dengan memberikan nasihat. Para mufasir seperti Ibnu Abas dan Mujahid menafsirkan ‎bahwa yang dimaksud dengan nasihat adalah mengajakan atau mengarahkan dengan ‎al-Qur’an supaya bertakwa kepada Allah SWT dan mentaati suami.‎ ‎ Nasihat ini harus ‎disampaikan dengan penuh hikmah dan pengajaran yang baik.‎ ‎ Sayyid Quthub dalam ‎tafsirnya fizilalil qur’an mengatakan bahwa inilah tindakan pertama yang harus ‎dilakukan pemimpin dan kepala rumah tangga, yaitu melakukan tindakan pendidikan, ‎yang memang senantiasa dituntut kepadanya dalam semua hal.Setelah diberikannya nasihat dan arahan dari sang suami, tetapi istri masih ‎tetap berbuat nusyuz karena hawa nafsunya lebih dominan, memperturutkan perasaan, ‎merasa lebih tinggi, atau menyombongkan kecantikannya, kekayaannya, status sosial ‎keluarganya, dan sebagainya. Maka Allah SWT memerintahkan supaya berhijrah ‎tempat tidur dengannya. Ibnu Abbas berpendapat bahwa maksudnya jangan ‎menyetubuhinya, jangan tidur dekatnya, atau belakangi dia sewaktu tidur.‎ ‎ ‎Begitupula para mufasir lainnya, mengartikan lafadz itu adalah suatu kinayah supaya ‎jangan berbuat jim’a dengan istri.‎
Akan tetapi, jika langkah kedua ini juga tidak mencapai hasil, maka Allah ‎menyuruh untuk memukul istri tersebut, tetapi mesti lebih ringan dampaknya ‎dibandingkan dengan kehancuran rumah tangga itu sendiri gara-gara nusyuz.‎
Pada ayat 128 terkandung tentang Nusyuz-nya suami dengan sikapnya yang melampaui batas kepada istrinya, menyakitinya dengan mendiamkannya atau memukulnya tanpa alasan syar‘i, tidak menafkahinya dan mempergaulinya dengan akhlak yang buruk.
Al Qur’an menyebutkan nusyuz-nya suami ini dalam firman-Nya:
“Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya atau khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada keberatan atas keduanya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya.” (An Nisa’:128)
Apabila seorang istri melihat suaminya menjauh darinya, mungkin karena kebencian suami terhadapnya atau ketidaksukaannya terhadap beberapa perkara yang ada pada dirinya seperti parasnya yang jelek, usianya atau karena ketuaannya ataupun perkaranya yang lain, maka tidak masalah bagi keduanya untuk mengadakan kesepakatan atau perjanjian

D.MUNASABAH AYAT
Ayat yang lalu ( ayat 32 dan 33 ), melarang berangan – angan serta iri menyangkut keistimewaan masing – masing manusia, baik pribadi maupun kelompok atau jenis kelamin. Keistimewaan yang di anugerakan Allah itu antara lain karena masing – masing mempunyai fungsi yang harus di embannya dalam masyarakat, sesuai dengan potensidan kecenderungan jenisnya. Karena itu pula ayat 3 mengingatkan bahwa Allah telah menetapkan bagian masing – masing menyangkut harta warisan, di mana terlihat adanya perbedaan antara laki – laki dan perempuan. Kini fungsi dan kewajibanmasing – masing jenis kelamin, serta latar belakang perbedaan itu, disinggung oleh ayat ini{34) dengan menyatakan bahwa : Para lelaki, yaitu jenis kelamin atau suami adalah qawwamin, pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dank arena mereka, yakni laki – laki secara umum atau suami telah hidup untuk istri dan ank – anaknya. Kemudian ayat ini juga menjelaskan hak-hak masing-masing ‎suami istri dan memberi petunjuk langkah-langkah penyelesaian jika istri ‎dikhawatirkan terjadi Nusyuz dan rmaksiat. Kemudian dilanjut dengan ayat ‎selanjutnya penyelesaian tentang syiqoq, yaitu suatu perselisihan yang mampu ‎menghancurkan hubungan keluarga dan diasumsikan berawal dari nuzyuz.‎

E. PERMASALAHAN HUKUM
Dalam islam, Rasulullah SAW mensunahkan kepada orang muslim agar tidak memukul istrinya, Nabi sendiri tidak pernah memukul istrinya hal itu menunjukan bahwa memukul adalah tercela yang tergolong ke dalam perbuatan makruh bahkan haram, karena Nabi sangat marah dan murka terhadap para suami yang memukul istri mereka, sebagaimana kisah dimasa nabi banyaknya suami-suami yang memukul istrinya sehingga mereka mengadu kepada rasul SAW, seraya Rasul marah dan keras terhadap suami-suami yang telah memukul istrinya. Kalaupun terpakasa dan tak bisa mengelak untuk memukul, maka Rasulullah SAW menganjurkan untuk memukul dengan siwak seperti sikat gigi dan semacamnya.
Menurut Wahbah Az Zuhaili, saat suami melakukan pemukulan terhadap istri haruslah dihindari, 1. bagian wajah, sebab wajahn adalah bagian tubuh yang paling dihormati, 2. Bagian perut dan bagian tubuh lain yang dapat menyebabkan hal yang negatif atau kematian, sebab pemukulan tidak dimaksudkan untuk mencederai apalagi membunuh istri yang nusyuz melainkan untuk mengubah sikap nusyuznya, 3. Memukul hanya pada suatu tempat , karena akan menambah rasa sakit dan memperbesar kemungkinan timbulnya bahaya di daerah lain. Dalam soal memukul istri yang nusyuz, dalam mazhab Hanafi dianjurkan agar menggunakan alat berupa sepuluh lidi atau kurang atau dengan alat yang tidak akan melukai istri.
Para ulama memberi juga petunjuk cara memukul itu, yakni supaya jangan memukul mukanya, jangan pada bahagian badannya yang akan merusak, serupa juga dengan memukul anak.
Ibnu Abbas memberikan tafsir : “ Pukullah tetapi jangan yang menyebabkan dia menderita.Lalu Ulama – ulama Fiqhi menjelaskan : “ Jangan sampai melukai, jangan sampai patah tulang, jangan berkesan dan jauhi memukul muka, karena mukalah kumpulan segala kecantikan. Dan hendakla berpisah – pisah pukulan itu. Jangan hanya di satu tempat, supaya jangan benar.” Bahkan ada pula para ahli Fiqhi berkata : “ Pukula saja dengan tangan yang diselubungi sapu tangan ; jangan dengan cambuk dan jangan dengan tongkat.
Akibat daripada perbuatan nusyuz ialah:Isteri hilang haknya sebagai isteri, Suami tidak lagi bertanggungjawab memberi nafkah kepadanya, Isteri tidak berhak mendapat layanan dankeadilan daripada suaminya.Isteri tidak boleh membuat tuntutan daripada suaminya.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dalam kitab fikih atau tafsir klasik, kata nusyuz sering ‎diartikan istri yang tidak taat atau membangkang kepada suami. Nusyuz bias terjadi dari pihak wanita maupun pihak laki-laki.
Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya atau ‎menentang perintah suami. Untuk nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras ‎terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya yaitu ‎menafkahinya dengan baik. Nusyuz dari pihak suami diterangkan dalam Q.S. an-‎Nissa: 128.
Istri yang membangkang (nusyuz) yaitu kebalikan dari istri yang taat. Allah ‎SWT memberikan cara untuk menanggapi istri yang nusyuz, untuk tingkat pertama ‎dengan memberikan nasihat. Setelah diberikannya nasihat dan arahan dari sang suami, tetapi istri masih ‎tetap berbuat nusyuz karena hawa nafsunya lebih dominan. Maka Allah SWT memerintahkan supaya memisahi ‎tempat tidur dengannya. Akan tetapi, jika langkah kedua ini juga tidak mencapai hasil, maka Allah ‎menyuruh untuk memukul istri tersebut, dengan aturan pukulan itu tidak meyakitkan dan menimbulkan bekas.
Tentang Nusyuz-nya suami dengan sikapnya yang melampaui batas kepada istrinya, menyakitinya dengan mendiamkannya atau memukulnya tanpa alasan syar‘i, tidak menafkahinya dan mempergaulinya dengan akhlak yang buruk. maka tidak masalah bagi keduanya untuk mengadakan kesepakatan atau perjanjian.








DAFTAR PUSTAKA


Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, juz. 1 (Beirut: Darl –al-Fikr, 2000)
Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, juz. 4(Beirut: Dar al-Fikr, 1991)
Ahmad mustofa al maraghi, Tafsir al-maraghi, juz 4. darul ilmi assabiq
Prof. Dr. Hamka, Tafsir al azhar, juz 6-7(Jakarata;pustaka panjimas,2005)
M.Quraisy syihab, Tafsir Al-Misbah, juz 2(Jakarta;lentera hati, 2002)
Sayyid Quthb, Tafsir Fizhilalil Qur’an (Dibawah naungan qur’an).Juz 5, (terj), as’ad
yasin.( Jakarta; Gema insani press 2004)
Diposkan oleh pietly di 10.03
Label: tafsir ayat hukum keluarga islam

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook