Wednesday, July 3, 2013

HAM JANGAN DILETAKKAN DI ATAS QURA'N


HAM JANGAN DILETAKKAN  DI ATAS QURA'N
Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag 
   

HAM tidak mengatasi Qur'an
Keduanya, bisa  sejalan
Arif dalam, menafsirkan
Kepentingan, semua insan


Kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”. Redaksi pasal 54 ini, seakan akan bertentangan dengan Hukum Islam yang membolehkan hukuman fisik terbatas, untuk melindungi dan  menjunjung tinggi kesucian kehidupan anak-anak. Hal ini diterangkan oleh  sejumlah ayat  dan  hadits, yang  memberikan landasan hukum bahwa kehidupan manusia itu suci  harus dipelihara, tidak boleh dihancurkan (diakhiri) kecuali dilakukan untuk suatu sebab atau alasan yang benar, misalnya pembelaaan diri yang dibenarkan. Berikutnya akan dianalisis pandangan-pandangan  ulama fiqh tentang kekerasan, argumentasi methodologis (usul fiqh), solusi fikh, dan  argumentasi fiqh yang penulis temukan dan disajikan dalam bentuk tabel :



 TABEL  4.1
PERBEDAAN ANTARA UU PERLINDUNGAN ANAK DAN HUKUM ISLAM
TENTANG HUKUMAN FISIK KEPADA ANAK-ANAK

No
     UU Nomor 23 Tahun 2002
                    Hukum Islam
1
Berdasarkan HAM dan konvensi PBB tentang hak-hak anak.
Berdasarkan Al-Quran dan Hadits
2
Keterangannya bersifat  global
Keterangannya  bersifat  detil
3
Untuk semua agama
Untuk umat Islam dan dunia
4
Melarang hukuman fisik, tanpa batas
Membolehkan hukuman fisik, dengan batas-batas tertentu.
5
Bersifat sekular rasionalis
Bersifat sakral relegius
6
Memuat sanksi hukuman penjara dan denda bagi yang melanggarnya.
Memuat sanksi hukuman qishas dan ta’zir  bagi yang melanggarnya. [1]

       Tabel ini merupakan hasil  telaah penulis  terhadap buku sumber primer dan sekunder secara objektif. Pada  baris nomor 5 dalam tabel ini, dibandingkan tentang dasar atau landasan atau fondasi dari UU Nomor 23 Tahun 2002 adalah  Hak Asasi Manusia (HAM) dan Konvensi PBB tentang hak-hak anak, yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Sedangkan Hukum Islam, dasarnya adalah  al-Qur`an dan  Hadits. Dasar dan landasannya berbeda, tapi tujuannya sama, yaitu memberikan perlindungan kepada anak-anak. Dalam Islam, anak-anak sampai umur tujuh tahun, dibimbing bagaimana melakukan shalat. Mereka biasanya lebih dipengaruhi oleh kebiasaan dan didikan orang tuanya. Setelah mulai masuk sekolah, ia akan dibina oleh guru dan dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-temannya di sekolah. Kalau pembinaan guru-gurunya baik dan pengaruh teman-temannya pun baik, maka jiwa anak terbina dengan baik. Sebaliknya kalau pembinaan dari guru-gurunya hanya sekadarnya dan pengaruh teman-temannya buruk maka si anak terbentuk dalam pola yang kurang baik.
           Di saat seperti itu pembinaan ataupun kebiasaan kedua orang tua yang ditanamkan kepada anak-anak selama masa tujuh tahun itu lambat laun terkikis lama-lama bisa habis. Sedang pembinaan dari orang tua belum tentu berlanjut atau setidak-tidaknya tidak ada peningkatan. Orang tua merasa anaknya sudah disekolahkan pasti telah dibina oleh guru-gurunya di sekolah, padahal guru-guru belum tentu membina  anaknya  dengan baik. Ada guru membekali otak dengan ilmu teori dan itupun sifatnya  menjurus kepada materi keduniaan. Sedikit sekali yang menyangkut pembinaan rohani, akhlaq, jiwa, hati, keimanan, keikhlasan atau akhlaq secara keseluruhan. Sehingga aspek ukhrawi justru terabaikan. Kemaslahatan manusia  dapat terwujud apabila terjamin kebutuhan pokok (dharûriyah/necessary interests) yang meliputi hifzh ‘ala al-dîn, al-nafs, al-nasl, al’aql wa al-mâl, kebutuhan sekunder (hâjjiyah/supporting needs) maupun kebutuhan pelengkapnya (tahsîniyyah/complementary interests).[2]

.3. Solusi  Problema Perlindungan Anak melalui Fikih
            Hukuman fisik bukan merupakan persoalan sederhana, tetapi memiliki dimensi sosial yang  kompleks, baik secara fisik maupun psikis bagi anak didik maupun psikososial bagi lingkungannya. Fikih dalam hal ini, berorientasi pada etika sosial yang produk hukumnya tidak sekedar halal atau haram, boleh dan tidak boleh, tetapi memberikan jawaban berupa solusi hukum terhadap persoalan-persoalan sosial yang dihadapi anak-anak dan perempuan. Fikih sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam.[3]
            Dalam konteks menetapkan kepastian hukum mengenai tingginya angka kekerasan terhadap anak-anak yang tampaknya  tidak aman di rumah atau di sekolah dan merupakan kondisi yang  membahayakan. Hal ini dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa kaidah fikih, antara lain: Pertama, bahaya itu harus dihilangkan  الضَـــرَرُ يُـــزَالُ . Kedua, bahaya yang lebih berat, dapat dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih ringan  اِذَا تَعَارَضَ مَفْسَـــدَتَانِ رُوْعِيَ اَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَــــابِ اَخَفِّهَا    “Jika dihadapkan pada dua kondisi yang sama-sama membahayakan, maka pilihlah bahaya yang lebih kecil risikonya. Ketiga, keterpaksaan dapat memperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang (al-dlaruraatu tubiihul mahdzuraat). [4] Keempat, perubahan hukum Islam dapat dilakukan. Dengan adanya perubahan zaman, perubahan tempat, perubahan kondisi, perubahan niat dan kultur atau adat (taghayyur al-ahkam bitaghayyur al-azminah wal-amkinah wal-ahwal wan-niyaat wal-‘awaaid).[5]
4.Pencegahan kekerasan terhadap anak-anak

              Ada argumentasi klasik di kalangan ulama bahwa pencegahan atau mendahulukan prevensi (syaddu al-dzari’ah) lebih baik. Dalam hal    hukum   aborsi, melarang aborsi dianggap lebih aman, karena ada kehawatiran kalau aborsi dibolehkan akan dijadikan sebagai peluang bagi pelaku seks di luar nikah mencari jalan keluar. Bila aborsi dibolehkan sama dengan memberikan kesempatan untuk melakukan perzinahan atau seks bebas. Pertanyaannya adalah bagaimana fikih menjawab realitas yang sudah terjadi berupa tingginya angka aborsi tak aman yang jelas-jelas mengancam kematian, apakah masih relevan menjawab dengan argumentasi preventif. Pandangan tersebut nampak sangat tekstual karena hanya berorientasi pada teks tanpa melihat realitas sosial bahwa ada satu   kondisi yang mengancam kematian perempuan yang perlu dijembatani supaya aborsi tak aman tidak terjadi. Di sinilah letak kesenjangannya antara teks fikih dan kenyataan di lapangan. sebagian pakar pendidikan menganggap hukuman untuk anak-anak dan remaja masih diperlukan dan masih bisa diandalkan,[6] seperti yang tergambar dalam tabel berikut ini:

TABEL 4.2
 PRO KONTRA HUKUMAN FISIK TERHADAP ANAK-ANAK
No
Pro
Kontra
Konvergensi /Gabungan.[7]
1
Sebahagian psikolog
Marjorie Gannoe
Sebagian  filosuf
Plato dan  Jean Jacke Rousseo
dan Jean Soto
Islam
Berdasarkan
Al-Quran dan
Hadits
2
Tokoh-tokoh
PendidikanMiliter
Nasrani
Tokoh-tokoh
Peneliti
Yahudi  Berdasarkan
Taurat

           Posisi Islam, [8] pada konsep komvergensi, mengabungkan antara pro, [9] dan kontra, tapi tidak sekedar  gabungan, bahkan bersikap moderat (wasathan) berkaitan dengan fitrah manusia. Aristoteles  yang pro dengan hukuman fisik, mengatakan, "Rasa takut akan hukuman itu lebih efektif untuk membina manusia, dari ajakan-ajakan untuk berbuat baik. Hal ini diakui oleh orang yang mengutamakan  nalarnya. Pembuat peraturan untuk mendisiplinkan anak, berkewajiban mengajak kepada  tingkah laku yang nyata,  dan memberikan hukuman kepada anak didik yang melanggar."Powelson mengatakan, "Tanpa rasa takut alias rasa hormat atas wacana hukuman maka pendidikan tidak akan berjalan efektif."Karena pendidikan adalah pembiasaan dan pemaksaan adalah termasuk salah satu cara di dalamnya.[10]
B. Status Anak sebagai Subjek dan Objek Hukum Islam
1.Anak-Anak bukan Subjek Hukum
            Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa anak-anak statusnya belum bisa menjadi subjek hukum. Bukan mahkum alaihi, yang perbuatannya dikenai khitab Allah SWT, bukan mukallaf. Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Istilah mukallaf disebut juga dengan mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf, mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah  maupun dengan larangan. Apabila mengerjakan perintah, ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, apabila  mengerjakan larangan Allah SWT., ia mendapat ganjaran pula.
       2. Dasar Penetapan Subjek Hukum

             Anak-anak belum dikenai taklif (pembenanan hukum) karena belum  cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama ushul fiqih, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman. Seseorang  dapat dibebani hukum apabila dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, yaitu orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Tidak dapat memahami  syara’. Begitu pula orang yang  tidur, mabuk, dan lupa. Orang yang mabuk, tidak sadar (hilang akal). Sabda Rasulullah SAW. :


رفع القلم عن ثلاثعن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق )رواه البخاري وأبوداوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني)

Artinya, Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang), orang tidur sampai  bangun, anak kecil sampai  baligh, gila sampai sembuh.[11]
Dalam hadits lain dikatakan :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
Artinya, Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan terpaksa. [12]
       3.  Syarat-Syarat bagi  Subjek Hukum
Ada dua syarat sahnya memberi beban kepada mukallaf, yaitu berikut ini :
       a.  Mukallaf dapat memahami dalil taklif, yaitu mampu memahami nash yang dibebankan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah secara langsung atau melalui perantaraan. Orang yang tidak mampu memahami dalil taklif tidak dapat tumpuan yang dibebankan kepadanya dan tujuannya tidak dapat mengarah kesana. Kemampuan memahami dalil itu hanya dapat nyata dengan akal sehingga dengan akal tersebut adanya nash-nash yang dibebankan dapat diterima pemahamannya karena akal merupakan alat memahami dan menjangkau. 

Dengan akal tertujulah keinginan untuk mengikuti. Ketika akal itu adalah hal yang sembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh indera lahir, maka syar’i telah menghubungkan beban taklif dengan hal nyata yang dapat dijangkau oleh indera, yang menjadi tempat dugaan akal, yaitu sifat kedewasaan. Dengan demikian barang siapa telah sampai pada keadaan dewasa dan tak tampak padanya sifat-sifat yang merusak kekuatan akalnya, ia telah sempurna untuk diberi beban.

               Kewajiban zakat, nafkah, jaminan (dhamman) terhadap anak-anak dan orang gila, bukan berarti memberi beban kepadanya, tetapi memberikan beban kepada walinya agar melaksanakan kewajiban harta yang menjadi milik anak-anak dan orang gila itu, antara lain, membayar pajak tanah dan irigasi dari harta miliknya. Dalam kaitan itu, firman Allah SWT. Dalam surah al-Nisâ ayat 43 menjelaskan :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,[13] sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...”  
            Awaridl Muktasabah (halangan yang dibuat sendiri) adalah mabuk. Mabuk ialah hilangnya akal karena khamar atau yang menyerupainya hingga kacau omongan dan mengigau. Menurut Hamka, mabuk tentu luas artinya, yaitu segala sesuatu segala kekacauan fikiran atau fikiran yagn tidak bulat, hati yagn bercabang kepada yang lain atau fikiran yagn sedang susah dibawa ke dalam sembahyang.[14] Mabuk menurut jalannya terbagi atas dua macam :
                     Pertama yang jalannya tidak diharamkan seperti mabuknya orang yang terpaksa minum khamar dan mabuk yang timbul dari obat-obatan. Ini hukumnya sama dengan pingsan, tidak sah tindakannya, thalaqnya dan pembebasan budaknya. Kedua yang jalannya diharamkan dan ini tidak membatalkan taklif sehingga berlakulah hukum-hukum bagi pemabuk dan ucapan-ucapannya seperti thalaq, pembebasan budak, jual beli, pengakuan, mengawinkan anak kecil, kawin, menghutangi dan minta dihutangi. Hal itu karena akalnya sempurna, hanya saja ia kehilangan pemahaman khitob oleh maksiat, maka tetaplah taklifnya dalam hak dosa dan kewajiban mengqodlo bagi ibadah yang diqadla secara syara’.  Muhamad ’Atthiyyah Al-Abrasyi, mengemukakan bahwa ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam memberikan hukuman fisik terhadap anak, yaitu :
1.                  Sebelum berumur 10 tahun, anak-anak tidak boleh dipukul.
2.                  Pukulan tidak lebih dari tiga kali. Yang dimaksud dengan pukulan disini ialah dengan menggunakan lidi atau tongkat kecil bukan dengan tongkat besar dan tidak sampai menyakiti dan menimbulkan cedera.
3.                  Diberikan kesempatan besar kepada anak-anak untuk tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan pukulan atau merusak nama baiknya (menyebabkan malu).[15]
            Penulis membandingkan dan  mengaitkan dengan teori hukuman  yang sudah dikenal dunia Barat, berdasarkan sudut pandang  hukuman yang mendidik, maka timbullah beberapa teori tentang hukuman.

4. Teori-Teori Hukuman Disiplin Terhadap Anak-Anak
    4.1.  Teori Hukum Alam
            Menurut Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany bahwa “hukum alam  bukan saja mencakup segala makhluk,  tetapi juga merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan persyaratan disekelilingnya,[16] sependapat  dengan penganjur pendidikan alam, yaitu J.J. Rousseau. Rousseau tidak menghendaki hukuman yang dibuat-buat. Biarkan alam sendiri yang menghukumnya. Yang dimaksud di sini ialah, bahwa hukuman itu hendaknya merupakan akibat yang sewajarnya dari suatu perbuatan, hukuman harus merupakan sesuatu yang natuur menurut hukum-hukum alam, akibat logis yang tidak dibuat-buat. Anak yang senang memanjat pohon, adalah wajar dan logis apabila suatu ketika ia jatuh. Jatuh ini adalah merupakan suatu hukuman menurut alam sebagai akibat dari perbuatanya dari senang memanjat pohon . [17]
    2.  Teori  Bakat Alam
                      J.J. Rousseau dengan aliran nativisme dalam pendidikan, berpendapat bahwa hukuman fisik  bagi anak manusia, tidak berguna. Semua pembawaan anak adalah baik. Ia membiarkan anak berkembang sendiri dan menyerahkannya kepada alam. Kalau anak berbuat salah, biarlah alam yang menghukumnya, anak akan menderita sebagai akibatnya. Hukuman semacam ini dinamai hukum alam. Contoh dari hukuman alam adalah, anak bermain dengan air panas dan berakibat tersiram kakinya. Anak dibiarkan merasakan kakinya sakit, hukuman lain tidak ada . Dari hukuman alam , anak akan menerima pendidikan dan berusaha tidak menjalankan permainan  berbahaya lagi. Ia berusaha mengelak.

4.2. Teori Ganti Rugi
                Dalam hal ini, anak diminta untuk bertanggung jawab atau menanggung risiko dari perbuatannya, misalnya anak yang mengotorkan atau merobekkan buku milik kawannya, maka harus menggantinya. Anak yang berkejar-kejaran di kelas, kemudian memecahkan jendela, maka ia harus mengganti kaca jendela itu dengan kaca yang baru. Teori ganti rugi,[18] di mana anak harus mengganti kerugian akibat perbuatannya yang salah, misalnya anak memecahkan kaca jendela tetangga, maka ia harus mengganti dengan uang tabungannya.

4.3. Teori Menakut-Nakuti.[19]
                 Hukuman yang diberikan untuk menakut-nakuti anak agar anak tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang, dalam hal ini nilai didik itu telah ada, hanya saja perlu diperhatikan bahwa hal ini harus dijaga jangan sampai anak itu tidak berbuat kesalahan lagi hanya karena rasa takut saja, melainkan tidak berbuat kesalahan lagi karena adanya kesadaran, sebab apabila tidak berbuat kesalahan itu karena hanya takut, takut kepada bapak atau ibu guru. Maka jika tidak ada bapak atau ibu guru, kemungkinan besar ia akan mengulang kembali perbuatannya. Ia akan mengulangi perbuatannya secara sembunyi-sembunyi. Jika terjadi demikian, maka dapat dikatakan bahwa nilai didik dari hukuman tersebut sangat minim sekali.[20] Teori menakutnakuti ialah memberi hukuman supaya menimbulkan rasa takut pada anak, sehingga mencegah dirinya berbuat salah.


          [1] Lihat Indah SY, Anak di bawah umur diputuskan bersalah oleh PN Surabya, dengan memvonis 6 (enam) bulan, membebankan biaya perkara Rp. 1000 (Seribu Rupiah) dan denda Rp. 1.000 (Seribu Rupiah), selain memenuhi Pasal 290 KUHP hakim juga berdasarkan pada pertimbangan hal-hal yang mem beratkan dan pada hal-hal yang meringankan. Menurut UU perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 pasal 81 dan 82 pelakunya dijatuhi dengan hukuman penjara paling singkat 3 tahun dan hukuman penjara paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000 (Enam Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000 (Tiga Ratus Juta Rupiah). Tentang Pencabulan Dalam Perspektif UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Pidana Islam" Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang apa Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby dan.Bagaimana  Perspektif UU No. 23 Tahun 2002 Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid. B/2008/PN.Sby serta Bagaimana Perspektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby. Lihat Indah SY, Pukullah Anakmu dengan Cinta, (Jakarta, PT.Jaya Pustaka, 2010), hlm134.
                   [2]Imran Ahsan Khan Nyazee, Islamic Jurisprudence, /Ushûl al-Fiqh, (Pakistan: The International Institute of Islamic Thought, 2000), hlm. 199. 
         [3]Sahal Mahfudh, M.A. 2003. Fikih Sosial: Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Madzhab Manhaji. Pidato Promovendus pada Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Fikih Sosial di UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta, 18 Juni, Jakarta: Universitas Islam Negeri.
               [4]Totok Jumanto dan Samsul Munir Amin, op.cit., hlm. 169
             [5]Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakr (terkenal dengan panggilan Ibnu Qayyim Al-Juuziyyah), 1980, ‘Alaam al-Muwaqqi’iin ’an Rabbi al-‘Alamiin, (Cairo: Mathabi’ al-Islam, jilid 3,tt.),  hlm. 3.
              [6]Khoja Nashiruddin Thusi mengatakan, "Ajari ia (anak-anak) dengan keras agar tidak melakukan perbuatan buruk. Jangan sampai dari kecil sudah terbiasa melakukan perbuatan jelek.Mereka itu suka berdusta, memiliki sifat hasud, suka mencuri, suka mengadu domba, dan jugabandel, suka mencampuri urusan orang lain. Setelah memberikan pendidikan yang sangat keras maka didiklah agar mereka memiliki sikap sopan-santun. Jadi didiklah anak-anak sejak kecil dengan disiplin. Jangan lupa pula untuk memuji sikap-sikap yang baik darinya, waspadailah agar anak-anak tidak memiliki kebiasaan buruk karena seperti peribahasa Al-Insânu hârisun 'ala ma' muni'a (manusia itu penasaran dengan larangan). Manusia itu suka terhadap hal-hal yang menyenangkan dan tidak tahan dengan penderitaan. Seorang pendidik harus bisa membuat anak didiknya sadar dengan perbuatannya sehingga tidak berani lagi mengulangi perbuatan buruknya."
            [7].Gabungan ini, maksudnya antara setuju dengan tidak setuju, yaitu memukul secara fisik setuju, dalam batas tertentu, tapi jika sudah berlebihan, tidak setuju lagi. (Agree in this egreemen, setuju dalam tidak setuju.)
         [8]Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.”HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612.
           [9]Tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati” Kitab Taurat, Amsal 23:13. Tetapi bukan berarti bahwa orang tua atau guru boleh dengan semena-mena menggunakan haknya untuk memukul anak.Tidak semua penggunaan hukuman atau hukuman fisik itu tidak berfaedah. Alkitab mengajarkan, “Siapa tidak menggunakan tonngkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya menghajar dia pada waktunya”  Taurat Amsal 13:24. Lihat Al-Kitab,Percetakan Lembaga Al-Kitab Indonesia, (Ciluar, Bogor :1982), hlm. 717.
           [10]Argumentasi klasik tersebut terpatahkan dengan ditemukannya fakta bahwa dari jumlah rata-rata 2 juta kasus aborsi pertahun, 76.6% dilakukan oleh perempuan berstatus menikah.[10] Penelitian terakhir oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (2003),87% klien aborsi berstatus menikah. Ninuk Widyantoro. 2003. Pengakhiran Kehamilan Tak Diinginkan yang Aman Berbasis Konseling, Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan. Lihat juga Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit. , hlm. 189

                    [11] HR. Abu Daud 4403, Turmudzi 1423, dan dishahihkan al-Albani . Lihat juga Chaerul Umam, Ushul Fiqh 1, Pustaka Setia, (Bandung, 2000), hlm. 336.
                 [12]HR. Ibnu Majah dan At-Thabrani. Lihat juga HR. Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ad-Daruquthni dari ‘Aisyah dan ‘Ali bin Abi Thalib.
             [13]Asbab al-nuzulnya : Ketika telah turun ayat 43 surat Al-Nisa’ dan hukum khamar ialah haram, tetapi tidak secara mutlak. Para shahabat saat itu masih ada sebahagian dari mereka yang masih meminum khamar dan mabuk-mabukkan yang mengakibatkan prilaku mereka sangat jauh dari aturan. Oleh karena itulah pada tahapan selanjutnya Allah menurunkan ayat 90 surat Al Maidah yang berisi pengharaman khamar secara mutlak. Dalam ayat ini Allah mengharamkan khamar melalui beberapa sebutan, yakni : Rijsu (رجس ) yang berarti al najasah ( النجاسة ) najis dan najis merupakan sesuatu yang dilarang oleh Allah (diharamkan). Kedua, Allah mengkategorikan meminum khamar ke dalam perbuatan yang selalu dilakukan oleh Syaitan. Dengan turunnya ayat ini  semua para ulama sepakat bahwa hukum dari khamar itu ialah haram. Penerapan metode tadrij dalam  hukum Islam. Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir min Ibni Katsir, Penerjemah M.Abdul Ghoffar E.M., Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’i, Cetakan I, Jilid 2, Juli 2009), hlm. 87, dan Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, Cetakan V, Jilid 2, 2003), hlm. 1227.
        [14]Ibid.
                [15]Muhamad ’Atthiyyah Al-Abrasyi, At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, hlm. 2003.
                [16]Ibid.
                [17]Ibid
             [18]Membiasakan anak dengan pakaian yang syar’i. Anak-anak dibiasakan menggunakan pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak laki-laki menggunakan pakaian laki-laki dan anak perempuan menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan anak-anak dari model-model pakaian Barat yang tidak syar’i, bahkan ketat dan menunjukkan aurat. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meniru suatu kaum, maka dia termasuk kaum itu. (HR. Abu Daud).
           [19]Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Umar Muhammad Al-Taumy Al-syaibany bahwa “ alam natural bukan saja mencakup segala mahluk yang akan tetapi juga merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan persyaratan disekelilingnya. Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung, (Jakarta, Bulan Bintang, 1979), hlm. 58.
                 [20]Ibid

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook