Sunday, July 7, 2013

بسم الله الرحمن الرحيم Hikmah di Balik Syariat


ZINA DILAKUKAN, SUKA SAMA SUKA
TETAP DIKUTUK, OLEH ALLAH
MANUSIA TINGGI, MARTABATNYA
BUKAN BINATANG, BISA SEMAUNYA.

Hikmah di Balik Syariat 


ZINA SUKA SAMA SUKA TETAP DILARANG




Drs.Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag







بسم الله الرحمن الرحيم


 Pada tahun 1990, penulis menjadi ketua Biro Pemuda Dakwah IKMI Riau, bersama dengan Prof.Dr.Helmi Karim. penulis diundang orang ceramah di rumah keluarga  Kampar Riau, di Pndau Permai, pinggiran kota Pekanbaru, yang mengadakan arisan. Mendadak pertanyaan dari seorang pemuda, “mengapa zina suka sama suka diharamkan juga,kan tidak ada yang dirugikan?”

Yang jadi fikiran penulis, apa hikmahnya pengharaman zina, sekalipun suka samasuka.

ZINA DILAKUKAN, SUKA SAMA SUKA
TETAP DIKUTUK, OLEH ALLAH
MANUSIA TINGGI, MARTABATNYA
BUKAN BINATANG, BISA SEMAUNYA.

HIKMAHNYA AGAR TERBUKA POLIGAMI
BANYAK WANITA BISA, TERAYOMI
JANDA-JANDA, TERLINDUNGI
KETURUNAN BERSIH, DIRIDOI ILAHI


Solusi Islam

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, yakni kemenangan atau kesuksesan Iblis dalam menggelitik potensi kepenasaran seksual manusia, maka Islam pun memberikan tuntunan-tuntunan mengenai interaksi antara pria dan wanita. Tuntunan-tuntunan tersebut membentuk suatu pola pergaulan yang khas Islam, yang jika dicermati, merupakan suatu pola pergaulan yang elegan dan modern, beradab dan estetis. Kesan ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mempunyai hikmah, kebijaksanaan.

        JANGAN-janganlah kita heran mengapa hukuman zina bagi  yang masih lajang terlihat lebih ringan daripada bagi yang sudah menikah. Tentu saja, yang demikian itu karena Islam memahami bahwa rasa penasaran  seorang lajang tentu jauh lebih besar daripada yang sudah menikah, sehingga godaannya pun lebih besar. Itulah  sebabnya mengapa Nabi mengatakan,”Menikahlah kalian, karena menikah itu bisa menjaga pandangan dan menjaga kemaluan”.Tidak lupa pula, kita mesti sering mendengar pada khutbah walimatul-‘urus bahwa Nabi berkata,”Apabila seorang suami melihat seorang wanita di jalanan yang menarik hatinya, maka hendaknya ia segera pulang karena ia akan mendapati apa yang menarik hatinya itu pada diri isterinya”. Singkatnya, seorang yang sudah menikah tentunya lebih terjaga. Karena itu, jika dalam kondisinya seperti itu, dia masih juga berzina maka tidaklah aneh jika hukumannya pun lebih berat, dirajam sampai mati.

         Satu kesimpulan yang bisa kita petik dari rangkaian kalimat diatas ialah bahwa godaan seksual pada diri seseorang yang masih lajang amatlah hebat dan dahsyat. Wajar saja, jika Nabi menjadi khawatir dan berkata,”Wahai sekalian pemuda, siapapun diantara kalian yang telah mampu menikah maka menikahlah karena menikah itu bisa menjaga pandangan dan menjaga kemaluan. Jika kalian belum mampu maka banyak-banyaklah berpuasa, karena puasa itu perisai (terhadap syahwat)”.
Selanjutnya, marilah kita renungi mengapa zina dilarang oleh Islam. Bukankah jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang yang suka sama suka [apalagi jika orangtua dari kedua belah pihak juga sama-sama rela atau bahkan senang] maka bukankah kelihatannya hal itu tidak merugikan siapa pun juga ? Bahkan kelihatannya saling memberikan kenikmatan dan keuntungan ?

Mengapa Zina Dilarang?

       Zina ma’qubat (yang bisa dikenai hadd) ialah perbuatan dimana seorang laki-laki dan perempuan yang jelas-jelas tidak diikat oleh pernikahan yang sah (menurut syariat Islam), melakukan hubungan kelamin sedemikian sehingga hasyafah si laki-laki masuk kedalam farj si wanita, tidak peduli apakah terjadi orgasme ataukah tidak. Dalam hal ini, pelaku-pelaku harus berada dalam kondisi terikat taklif. Mereka yang terbebas dari taklif adalah:
  1. Yang tidak berakal: belum baligh, gila, tidur.
  2. Yang dipaksa (mukrah).
  3. Yang terpaksa (mudhtarir).
Disamping itu, ‘uqubat (hukuman, hadd) baru bisa dijatuhkan apabila tidak ada syubhat.

Zina dengan definisi diatas itulah yang akan dikenai sanksi (‘uqubat) duniawi. ‘Uqubat duniawi ini merupakan aspek zhahiriyah yang diatur oleh syariat. Fungsi ‘uqubat tersebut adalah untuk memberikan pelajaran kepada masyarakat dan juga kepada pelaku. Sementara itu, aspek batiniyah merupakan urusan antara pelaku dan Allah.
  1. Jika secara batin ia bertaubat dan ditunjukkan dengan kesediaannya di-hadd maka Insya Allah ia diampuni oleh Allah.
  2. Jika ia di-hadd karena dipaksa oleh kondisi (yakni akibat divonis berzina atas dasar  persaksian orang lain) sedangkan secara batin ia tidak mau bertaubat maka ia masih punya urusan dengan Allah.
  3. Jika secara batin ia bertaubat namun tidak bersedia di-hadd (karena takut atau malu misalnya) maka:
  • Taubatnya patut diragukan, barangkali belum mencapai taubat nasuha.
  • Jika rasa takut atau malunya merupakan perasaan kemanusiaan yang berlebihan dalam dirinya, sehingga ia tidak bersedia mengakui perbuatannya (yang berakibat ia bisa di-hadd), maka urusannya terserah Allah saja.
  • Jika ia harus di-hadd karena vonis yang diakibatkan oleh persaksian yang benar dari orang lain, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali memenuhi panggilan hukuman. Jika ia melarikan diri, wajib bagi pemerintah untuk mengejarnya, sebab  ia telah melakukan tindak melawan hukum, yang berarti melawan syariat, yang berarti pula melawan Allah dan rasul-Nya.
Adapun pengertian zina yang hakiki, tidaklah terkait dengan bisa jatuhnya hadd atau tidak. Setiap bentuk hubungan kelamin antara dua orang berlainan jenis yang tidak diikat dalam pernikahan yang sah (menurut syariat Islam) adalah zina, tidak peduli terjadi orgasme ataukah tidak, dan tidak peduli apakah perbuatan itu jelas di mata hakim atau tidak (dalam rangka menjatuhkan hadd). Tetapi keterikatan terhadap taklif tetap merupakan prasyarat bahwa perbuatan yang sedemikian itu bisa disebut sebagai zina. Sebagai contoh, jika dua orang berlainan jenis yang tidak diikat oleh pernikahan yang sah melakukan hubungan kelamin secara sengaja maka keduanya dikatakan telah berzina secara hakiki, meskipun keduanya tidak mengaku atau tidak ada kesaksian yang cukup dari orang lain atas perbuatan mereka, sehingga hakim tidak bisa menjatuhkan hadd.
Sementara itu, berbagai bentuk perbuatan yang mengarah kepada zina hakiki (yakni berupa hubungan kelamin) termasuk dalam kategori mendekati zina, dan hukumnya adalah haram berdasarkan hukum Al-Qur’an. Contohnya adalah berbagai bentuk hubungan badan tanpa hubungan kelamin, bercengkerama yang mengarah kepada zina, berdua-duaan, pergaulan bebas, dan segala hal yang terangkum dalam apa yang biasa dikenal sebagai berpacaran, adalah haram karena tergolong mendekati zina, yang mana hal itu telah jelas-jelas diharamkan oleh Allah melalui Al-Qur’an.  
Dalam hukum Barat, dua orang yang berzina atas dasar suka sama suka tidaklah dikategorikan melanggar hukum. Atau, jika tidak ada tuntutan kepada lembaga peradilan maka masalah ini bukanlah perkara hukum. Namun secara adat, sebagian besar masyarakat (termasuk non muslim) masih menganggap zina sebagai perbuatan tercela (aib). Anggapan ini tidak lain berasal dari fitrah kemanusiaan mereka. Buktinya, binatang tidak pernah menganggap perbuatan semacam itu sebagai perbuatan tercela.
Dalam Islam, justeru yang dilakukan secara suka sama suka itulah yang dinamakan dengan zina. Jika dilakukan secara paksa (yakni memperkosa) maka pemerkosa telah dikategorikan melakukan tindak hirabah, bukan lagi zina. Sementara yang diperkosa tidak dihukum, karena ia dipaksa. Hanya saja perlu dicatat bahwa‘uqubat zina tidak akan jatuh apabila tidak ada pengakuan dari pelaku atau tidak ada tuntutan kepada pelaku (melalui persaksian yang memenuhi syarat). 
Jadi, karena hukum Barat tidak mempunyai sandaran transendental, namun sekedar atas dasar humanisme (anthropo-sentris), maka sesuatu yang dilakukan atas dasar rela sama rela (tidak dipermasalahkan di kalangan manusia) – meskipun sebetulnya keji menurut agama, seperti perkara zina - sama sekali tidak diatur ketentuannya. Artinya, tidak dianggap sebagai bentuk pelanggaran hukum. Namun hukum Islam tidaklah demikian. Ia bersifat Ilahiyah (transendental). Meskipun seluruh manusia rela (ridha) namun Allah tidak ridha maka itu sudah termasuk pelanggaran hukum. Barangkali konsep ini akan lebih mudah dimengerti apabila dibahas dalam terminologi haqq Allah dan haqq al-Adamiy. Dalam hal ini, meskipun suatu pelanggaran hukum hanya berkaitan dengan haqq Allah maka itu sudah dikatakan sebagai pelanggaran hukum (yang bisa mendatangkan hukuman). Dan apabila diteliti secara amat mendalam, pada setiap bentuk pelanggaran hukum yang menyangkut haqq Allah saja sekalipun, mesti mengandung hikmah bagi kemaslahatan manusia.
Jadi, zina dilarang oleh Islam, bukanlah atas dasar seseorang yang berzina akan merugikan sesamanya (baik pasangan zinanya ataupun masyarakat). Namun, zina dilarang sebagai suatu hudud Allah (batasan-batasan Ilahiyah).
“Tilka hudud al-Lah fa la taqrabuha (Yang demikian itu merupakan hudud Allah maka janganlah kalian mendekatinya)”.
“Wa la taqrabu al-zina (Janganlah kalian mendekati zina)”.
Permasalahan yang hampir sama adalah larangan Allah kepada Adam agar tidak mendekati sebuah pohon di surga. Allah melarang Adam tanpa memberikan penjelasan yang memuaskan kecuali hanya “fa takuna min al-zhalimin (sehingga kalian berdua akan termasuk kedalam golongan orang-orang yang aniaya)”.
Demikian juga dengan zina. Allah tidak memberikan penjelasan panjang lebar kecuali hanya “innahu kana fahisyat wa sa’ sabil(a)”. Dari ungkapan tersebut, kita tahu bahwa Allah melarang zina karena zina itu:
1.      Fahisyat (keji)
2.      Sabil al-su’ (jalan yang buruk)
Secara umum, Allah memang melarang segala bentuk fahisyat (Jmk: fahsya’). “Inna al-Lah ya’murukum bi al-‘adl wa al-ihsan wa yanhay ‘an al-fahsya’ wa al-munkar wa al-baghy”.
Dalam sebuah kamus disebutkan:
Al-fuhsy: al-qabih min al-qaul aw al-fi’l.
Al-fahisy (Muannats: al-fahisyat): al-qabih.
Jadi secara lughawi, fahisyat berarti segala yang buruk dan tercela, baik perkataan maupun perbuatan. Karena itu sudah cukup tepat kiranya jika fahisyat diterjemahkan sebagai “perbuatan keji”. Hanya saja permasalahannya kemudian adalah buruk atau keji menurut siapa? Jawabannya adalah buruk menurut Allah (karena Dia sendiri telah menyatakan demikian dalam Al-Qur’an) dan juga buruk menurut fitrah kemanusiaan (sebelum fitrah itu terkotori).
Sekarang kita membahas tentang zina sebagai sabil al-su’ (jalan yang buruk). Sabil (jalan) ialah suatu sarana untuk mengarahkan sesuatu kepada tujuan (target). Zina merupakan sarana yang mengantarkan manusia kepada kesengsaraan dan kehinaan. Dalam hal ini yang jelas adalah kesengsaraan dan kehinaan di akhirat. Apakah zina juga akan mengakibatkan kesengsaraan dan kehinaan di dunia? Ya. Kalaupun sepintas lalu terlihat tidak demikian, ketahuilah bahwa secara hakiki (minimal di mata Allah)  zina akan menyebabkan kesengsaraan dan kehinaan di dunia ini. Jalan ke Surabaya tidak akan mengantarkan orang ke Madiun. Perumpamaan ini menggambarkan bahwa zina sekali-kali tidak akan pernah mengantarkan pelakunya kepada kebaikan yang hakiki. Tidak akan pernah!
Kalau ada sabil al-su’ maka tentunya juga ada sabil al-khair, yang dalam hal ini adalah “al-ladzina hum li furujihim hafizhun illa ‘ala azwajihim aw ma malakat aimanuhum fainnahum ghairu malumin, fa man ibtaghay wara’a dzalika fa ulaika hum al-‘adun” (yakni orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak mereka. Mereka itu bukanlah orang yang tercela. Adapun barangsiapa menempuh jalan selain itu maka mereka adalah orang-orang yang melampaui batas).
Dari nash-nash yang ada, dapat dilakukan istiqra’ (inferensi induktif) bahwa zina dilarang dalam rangka daf’ al-mafasid wa jalb al-mashalih (mencegah kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan). Secara lebih khusus, pelarangan zina merupakan penjagaan terhadap al-‘irdh (kehormatan) atau al-nasl (keturunan), yang mana hal ini termasuk kedalam al-dharuriyyat al-mu’tabarat.
Berangkat dari pemahaman bahwa dilarangnya zina merupakan hudud Allah maka implikasinya adalah bahwa kegagalan manusia dalam menyingkap hikmah-hikmahnya tidaklah akan bisa membatalkan pelarangan zina. Lagipula, berhasil tidaknya usaha-usaha menyingkap hikmah amat bergantung pada kemampuan akal manusia. Padahal, akal manusia bersifat terbatas.
Baiklah, mari kita mencoba mencari hikmah dibalik pelarangan zina:
  1. Apabila zina dibiarkan berkembang marak maka lembaga pernikahan (keluarga yang sah) akan rusak. Lahirlah anak-anak hasil zina tanpa ayah, yang akan tersia-siakan dan terlantar. Anak tersebut tidak mempunyai nasab yang jelas (ibnu man). Dalam Islam, nasab yang  diakui adalah nasab patrilinier hasil pernikahan yang sah.
  2. Karena tidak mempunyai ayah yang sah maka hak-haknya untuk mendapat warisan menjadi rusak. Apabila anak tersebut seorang wanita, ia akan kehilangan kewalian seorang ayah. Tanpa ayah, seorang anak juga akan kehilangan pendidikan yang seharusnya bisa diperoleh dari seorang ayah (fatherly guide and advice). Disamping itu, anak akan merasa merana (mengalami beban psikologis) karena dipandang secara negatif oleh masyarakat. Anjuran Islam untuk memperhatikan nasab dalam memilih jodoh, akan menjadikannya tersisihkan. Beban-beban psikologis ini sangat potensial menimbulkan pesimisme, apatisme, dan berbagai kondisi psikologis yang fatal. Kondisi ini dalam batas tertentu sangat mudah mendorong si anak menjadi penjahat dan berbuat nekat.
  3. Karena hak mewarisi pada si anak menjadi rusak maka lembaga ‘aqilah (penanggung) juga ikut rusak.
  4. Meskipun pada dasarnya setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, namun kondisi ayah dan ibunya juga akan turut menentukan kondisi (kepribadian) si anak. Bagaimana jika ayah dan ibunya adalah pezina?
  5. Apabila si ibu meninggalkan anak tersebut, sehingga si anak hanya tinggal bersama ayahnya misalnya, maka si anak akan kehilangan kasih-sayang, pemeliharaan, dan pendidikan dari seorang ibu. Padahal, peran ibu amatlah penting bagi seorang anak.
  6. Pelarangan zina akan menjaga martabat kemanusiaan. Dengan menghindari zina, seorang manusia akan menjadi berbeda dengan binatang (yang bersenggama tanpa harus ada akad nikahnya dulu).
  7. Pelarangan zina akan mendidik sifat dan sikap bertanggung jawab. Seseorang yang ingin melampiaskan kebutuhan biologisnya (seksual), diharuskan menikah terlebih dulu, yang mana didalam pernikahan itu akan ada tanggung jawab yang harus diemban. Apabila belum mempunyai istitha’ah, seseorang dianjurkan menahan diri terlebih dulu sembari mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk mencapai istitha’ah. Ini semua mendidik rasa tanggung jawab. Lain halnya dengan seorang pezina. Untuk melampiaskan nafsu seksualnya ia melakukan zina, yang tidak menuntut tanggung jawab dan tidak meninggalkan beban-beban yang harus diemban sesudah melakukannya.
  8. Kasus-kasus zina terbukti telah menaikkan angka aborsi. Sementara aborsi sendiri adalah suatu dosa besar, disamping juga membahayakan kesehatan si ibu. Bahkan, seringkali terdengar berita seorang ibu mencincang-cincang bayi yang baru dilahirkannya akibat zina, kemudian dimasukkan kedalam plastik dan dibuang ke tempat sampah. Na’udzubillah. Kalaupun tidak begitu, biasanya seorang wanita pezina akan merasa malu tidak kepalang begitu melahirkan bayinya, sehingga dengan pikiran yang bingung ia pun membunuh bayinya.
  9. Kasus-kasus selingkuh (zina yang dilakukan oleh orang yang telah berkeluarga) akan menumbuhkan perasaan saling mencurigai, saling membenci, dan saling mendendam. Hal ini akan menumbuhkan permusuhan dan dendam dalam masyarakat. Bahkan fenomena ini juga kerap terjadi akibat zina pasangan muda-mudi (ghairu muhshan). Bagaimana berangnya keluarga si gadis begitu mengetahui anak gadisnya digauli secara tidak sah!
  10. Zina akan menumbuhsuburkan berkembangnya penyakit-penyakit kelamin. Yang paling menghebohkan sampai saat ini adalah HIV/AIDS.
  11. Hubungan bebas antara laki-laki dan perempuan  - yang bisa mengarah kepada zina -  seringkali menumbuhkan permusuhan dan dendam. Alangkah seringnya terjadi kasus perkelahian  - bahkan pembunuhan – diantara dua pemuda hanya gara-gara gadis pujaannya dipacari oleh pemuda lain. Sebaliknya, Islam mencegah fenomena semacam ini. Seorang muslim dilarang meng-khitbah seorang wanita yang sudah di-khitbah oleh saudaranya (muslim yang lain).
  12. Kasus-kasus aborsi akibat zina ataupun teknologi pencegahan kehamilan yang dimanfaatkan oleh para pezina, akan berdampak pada penurunan angka kelahiran. Apabila hal ini terjadi di kalangan umat Islam, maka jumlah generasi muslim akan berkurang. Hal ini berlawanan dengan tuntutan syariat dan akan menghambat laju kebangkitan Islam.
  13. Pelarangan zina akan melatih seseorang untuk pandai mengendalikan dirinya.
  14. Secara mental-spiritual, orang yang gemar berzina akan kehilangan kebijaksanaan (kearifan) dan cahaya hati.
Setelah kita merenungi hikmah dilarangnya zina, marilah sekarang memikirkan makna firman Allah “wa la taqrabu al-zina”. Teks ayat tersebut menunjukkan larangan mendekati zina (shighat nahy). Larangan mendekati disini bermakna sadd dzari’ah (prevensi) atau ihtiyath (kehati-hatian). Kalau mendekati saja tidak boleh, apalagi melakukannya (qiyas aula).
Mengapa zina tidak boleh didekati? Logika yang paling mungkin adalah karena Allah tahu bahwa orang yang mendekati zina tidak akan bisa selamat dari zina – kecuali atas perlindungan dari Allah, sebagaimana kasus Yusuf as.
Dalam kondisi seseorang dekat dengan zina, godaan untuk melakukan zina akan dapat mengalahkan dzikir dan rasa takutnya kepada Allah (baca: lupa diri). Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena hebatnya tipu daya syaithan dan juga karena kelemahan manusia itu sendiri. Diantara kelemahan manusia  adalah tergesa-gesa, yakni cenderung berpikir pendek dan sulit berpikir jauh ke depan.
Demikianlah, mengapa mendekati zina itu dilarang.
Terminologi “mendekati zina” bersifat relatif, karena ukuran dekat itu relatif. Yang jelas, semakin dekat suatu perbuatan kepada terjadinya zina maka semakin besar larangan terhadapnya dan tentu saja semakin besar dosanya. Jadi, derajat larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang bisa mengarah kepada zina itu berbeda-beda, tergantung pada seberapa dekatnya kepada terjadinya zina. Semakin jauh seseorang mengambil jarak terhadap kemungkinan terjadinya zina, berarti dia semakin berhati-hati, aman, dan terjaga kehormatannya.
Marilah kita renungkan sebuah hadits Nabi yang menyatakan bahwa Allah telah menetapkan bagi setiap manusia bagiannya dari zina.
  • Zina mata : melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah dalam melihatnya.
  • Zina telinga : mendengarkan hal-hal yang diharamkan mendengarkannya.
  • Zina tangan : menyentuh lawan jenis yang bukan haknya.
  • Zina hati : mengkhayalkan perbuatan zina.
Sedangkan yang akan membenarkan atau mendustakannya adalah kelaminnya (yakni terjadinya zina yang hakiki, dalam bentuk hubungan kelamin).
Dari hadits diatas, dapat dipahami bahwa zina mata, zina telinga, zina tangan, dan zina hati merupakan perbuatan-perbuatan mendekati zina. Perbuatan-perbuatan tersebut dilarang berdasarkan firman Allah “wa la taqrabu al-zina”.
Islam juga mengharuskan usaha-usaha untuk menghilangkan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya zina, misalnya tradisi berpakaian yang mengumbar aurat di hadapan orang asing / umum dan beredarnya berbagai bentuk pornografi. Hal ini mutlak dalam rangka penegakan syariat Islam. Selagi iklim suatu masyarakat masih sangat kondusif bagi tumbuh suburnya zina, maka hadd zina belum boleh diterapkan. Jika tidak begitu, alangkah banyaknya orang yang mesti dicambuk dan dirajam! Padahal, tujuan hadd bukanlah untuk menyakiti an sich, akan tetapi untuk mendidik. Iklim yang bebas dari pornografi dan menjamurnya tempat-tempat mesum merupakan prasyarat bagi pemberlakuan hadd. Jika iklim positif sudah terbentuk, saat itulah penguasa harus menerapkan hadd.

Selanjutnya, mari kita menyimak apa yang ingin dikatakan oleh Al-Qur’an.
“Dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu keji (fahisyat) dan jalan yang buruk”
“Dan apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (istri-istri Nabi) maka mintalah kepada mereka dari balik hijab. Yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka”.
Dari ayat pertama kita bisa memahami bahwa Allah melarang segala bentuk perbuatan yang bisa mendekatkan manusia kepada zina. Sementara dari ayat kedua, kita bisa memahami bahwa Allah memerintahkan manusia agar menjaga kesucian hatinya. Dua kata kunci, tidak mendekati zina dan menjaga kesucian hati, merupakan landasan kita dalam membahas masalah etika interaksi antara pria dan wanita.

Banyak hikmah di belakang syariat berqurban yang mengingatkan seorang hamba kepada Allah ‘Azza wa Jalladan hari akhirat.( Al Ustadz Dzulqarnain)

Di antara hikmah tersebut adalah:
1. Menegakkan peribadahan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ menjelaskan ibadah qurban sebagai salah satu bentuk penegakan perintah dan penyerahan diri kepada-Nya sebagaimana dalam firman-Nya,
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan saya adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’.” [Al-An’âm: 162-163]
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ juga menjelaskan bahwa berqurban adalah ibadah yang agung bila disertai dengan takwa dan keikhlasan sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging dan darah (unta) itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya.” [Al-Hajj: 37]
2. Sebagai lambang kesyukuran seorang hamba terhadap nikmat Allah Subhânahû wa Ta’âlâ.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan sesuatu yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kalian, mudah-mudahan kalian bersyukur.” [Al-Hajj: 36]
3. Menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim ‘alaihis salâm.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ. وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya saya melihat dalam mimpi bahwa saya menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ (Anaknya) menjawab, ‘Wahai ayahku, kerjakanlah sesuatu yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan (Ibrahim) membaringkan (anak)nya di atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia, ‘Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami menebus (anak itu) dengan seekor sembelihan yang besar.” [Ash-Shaffât: 102-107]
Sementara itu, Allah Subhânahû wa Ta’âlâ telah memerintah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan umat beliau untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim ‘alaihis salâm sebagaimana dalam firman-Nya,
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim dengan hanif (lurus, condong kepada tauhid),’ dan dia tidaklah termasuk ke dalam golongan orang-orang musyrikin.” [An-Nahl: 123]
Seorang muslim, bila mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihis salâm, akan mencontoh kesabaran mereka berdua dalam hal menjalankan perintah Allah ‘Azza wa Jalla, dan selalu mengingat bahwa mendahulukan perintah Allah di atas segala hal adalah lebih baik baginya.
4. Memperkuat tali persaudaraan dan kecintaan antara sesama muslim.
Hal ini sangat tampak dari beberapa syariat dalam berqurban, seperti memberi sebagian daging qurban kepada tetangga dan fakir miskin serta pembolehan kepada tujuh orang untuk berserikat dalam penyembelihan.
5. Pengagungan terhadap simbol Allah Subhânahû wa Ta’âlâ.
Tidak diragukan bahwa ibadah qurban adalah salah satu simbol Allah yang sangat agung. Menegakkan simbol tersebut merupakan buah ketakwaan. Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [Al-Hajj: 32]
6. Mendulang kebaikan dari pelaksanaan ibadah qurban.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ
“Dan telah Kami jadikan untuk kalian unta-unta itu sebagian dari syiar Allah agar kalian memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” [Al-Hajj: 36]
Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata, “Sesungguhnya sebagian salaf ada yang berutang untuk menggiring unta. Oleh karena itu, dikatakan kepadanya, ‘(Mengapa) engkau berutang untuk menggiring unta?’ Dia menjawab, ‘Saya mendengar Allah berfirman, ‘Untuk kalian memperoleh kebaikan yang banyak padanya.’.’.”
7. Memberi kelapangan kepada anak, keluarga, dan tetangga pada hari ‘Id.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
“Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan sesuatu yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” [Al-Hajj: 36]
Dari Al-Barâ` bin Azib radhiyallâhu ‘anhumâ, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِى يَوْمِنَا هَذَا نُصَلِّى ثُمَّ نَرْجِعُ فَنَنْحَرُ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِى شَىْءٍ.
“Sesungguhnya permulaan, yang kita mulai pada hari kita ini, adalah shalat. Setelah itu, kita kembali lalu menyembelih. Barangsiapa yang mengerjakan hal tersebut, sesungguhnya ia telah mencocoki sunnah kami, dan barangsiapa yang menyembelih sebelum pelaksanaan shalat (‘Id), sesungguhnya (sembelihan) itu hanyalah daging yang dia peruntukkan untuk keluarganya, tidak terhitung sebagai nusuk (sembelihan) sama sekali.” [1]
Sumber: Dzulqarnain.net

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook