Wednesday, July 31, 2013

Jangan berbisik tentang aurat,, aib orang lain.



PAMERAN  AURAT

Jangan  berbisik tentang aurat,, aib orang lain.

SUNGGUH MENARIK, PAMERAN AURAT,
BERHASIL DALAM, BANGKITKAN  SYAHWAT
GHASWULFIKRI, DATANG DARI BARAT
MEMBUAT DUNIA,GEMAR MAKSIAT.


فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)
HILANGLAH SEMUA, RASA MALU
SEPERTI BINATANG, TIADA RAGU
HALAL HARAM, SEMUANYA LALU
SIFAT RAKUS, SUNGGUH TERLALU

PAMERAN  AURAT

SUNGGUH MENARIK, PAMERAN AURAT,
BERHASIL DALAM, BANGKITKAN SYAHWAT
GHASWULFIKRI, DATANG DARI BARAT
MEMBUAT DUNIA,GEMAR MAKSIAT


Yang menjadi sasaran ghazwul Fikri adalah pola pikir dan akhlaq. Apabila seseorang sering menerima pola pikir sekuler, akan berprilaku ala sekuler. Bila seseorang sering didoktrin paham komunis , materialis, fasis, marksis, liberalis, kapitalis atau yang lainnya,  merekapun akan berpikir dari sudut pandang paham komunis. Sementara itu dalam hal akhlaq, boleh jadi pada awalnya seseorang menolak terhadap suatu tata cara kehidupan tertentu, namun karena tiap kali ia selalu mengkonsumsi tata cara tersebut, akan timbul perubahan dalam dirinya. Seperti contohnya adanya pergaulan bebas antara wanita dan pria yang bukan muhrim, seperti terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian  alat Ghazwul Fikri ialah:
1)   Membius pandangan mata, dengan banyaknya disuguhkan wanita-wanita  dari kalangan artis. Mereka menjadikan ruang redaksi bagaikan rumah bordil yang menggelar zina mata massal.
2)   Pameran aurat di saluran televisi yang berlomba-lomba menyajikan artis-artis, baik dengan pakaian biasa, ketat, pakaian renang, sampai yang telanjang. Penonton diajak untuk tidak punya rasa malu, hilang iman, mengikuti panggilan nafsu, dan menghidupkan dunia mimpi.[1]
3)   Membudayakan ikhtilat. Sekumpulan laki-laki dan wanita yang bukan muhrim, biasa bergumul jadi satu tanpa batas. Tayangan semacam ini memang mendekati zina, bahkan membuka transaksi zina.[2]
4)   Membudayakan khalwat. Kisah-kisah percintaan bertebaran di berbagai acara. Frekuensi suguhan kisah-kisah pacaran dan kencan makin melegitimasi budaya khalwat.
5)   Membudayakan tabarruj. Banyak pelaku di layar kaca yang mempertontonkan bagian tubuhnya yang seharusnya ditutupi, untuk dinikmati para pemirsa.
   Demikianlah bahaya ghazwul fikri. Ia akan menyeret seseorang ke dalam jurang kesesatan dan kekafiran tanpa terasa. Ibaratnya seutas rambut yang dicelupkan ke dalam adonan roti, kemudian ditarik dari adonan tersebut. Tak akan ada sedikitpun adonan roti yang menempel pada rambut. Rambut itu keluar dari adonan dengan halus sekali tanpa terasa. Demikianlah, seseorang hanya tahu bahwa ternyata dirinya sudah berada dalam kesesatan, tanpa terasa! Apakah seorang ibu yang meninggalkan anaknya begitu saja dan tidak merawat, dengan kasih sayang disebut kasih sepanjang jalan? Apakah orang tua yang menjadi germo bagi anaknya disebut orang tua yang mencintai dan paling tahu kebutuhan anaknya? Apakah orang tua yang mengurung anaknya di rumah dan tidak boleh bermain hanya boleh belajar dalam kamar disebut orang tua yang memahami anak?.
               Ketika  murid beberapa kali mendapat hukuman dari guru, saat ini bisa merupakan bentuk penganiayaan. Hukuman diberikan karena memang murid salah. Apapun kesalahan, pasti mendapatkan hukuman. Itulah yang berlaku saat itu. Ketika pelajaran menggambar, beberapa murid  lupa membawa pengaris, lalu disuruh maju ke depan kelas, menyodorkan tangan, guru menghantamkan penggaris kayu besar (panjang sekitar 1 meter dengan ketebalan sekitar 1 cm) mendarat di punggung dan telapak tangan siswa, penggaris hancur. Ada murid perempuan sampai menangis, sedangkan  yang laki-laki hanya bisa meringis. Hasil hukuman hari itu bukan hanya tangan memar, tapi hari itu murid tidak bisa menulis. Itulah contoh kekeran yang diancam oleh UU Nomor 23 tahun 2002.
              Untuk jenis hukuman “tempeleng,”  sudah menjadi kebiasaan sebelum berlakunya UU No.23 tersebut, seringkali guru menempeleng murid untuk kategori pelanggaran ringan. Pernah yang ditempeleng dengan  jari guru mengenai mata. Kalau pelanggaran berat,  dipukul di betis dengan menggunakan kayu rotan. Sekalipun murid sering mendapatkan kekerasan dari guru, tidak ada yang berani melaporkan peristiwa itu kepada orang tua. Bukan lantaran diancam oleh guru, melainkan karena takut mendapat hukuman tambahan dari orang tua. Dahulu di kampung   pada umumnya, jika di sekolah murid  dihukum dan diketahui oleh orang tua, berarti  akan mendapatkan lagi hukuman dari orang tua. Justru karena hukuman itu banyak orang  yang sukses dan berhasil. Mereka-mereka ini berhasil menghadapi hukuman karena bagian dari proses pendidikan dan pembinaan. Dengan hukuman itu murid belajar mengetahui kesalahan dan menemukan kebenaran dan kebaikan. Orang yang tidak berani menghadapi hukuman dengan cara lari meninggalkan sekolah, orang-orang ini yang gagal dalam hidupnya.
               Sejak tanggal 22 Oktober 2002, Pemerintah R.I, memberlakukan UU Perlindungan Anak ( UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Sejak saat itu keberadaan sanksi hukuman fisik terhadap anak-anak  di sekolah menjadi sensasi berita. UU Perlindungan anak, khususnya pasal 13 ayat (1), menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a.       diskriminasi.
b.       eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.
c.       penelantaran;
d.       kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan
e.       ketidakadilan; dan
f.       perlakuan salah lainnya.
            Ketentuan yang sangat tegas tertulis  dalam pasal 13 ayat (1) ditegaskan dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
             Dengan adanya UU Perlindungan Anak, guru di sekolah tidak berani memberikan hukuman kepada anak, takut karena sanksi hukumannya tidak ringan. Sanksi hukuman terhadap tindakan penganiayaan anak tertuang dalam pasal 80. bahwa:
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Ternyata bukan UU Perlindungan Anak saja yang menjadi instrumen perlindungan anak, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur soal penganiayaan secara umum. Hal itu terdapat dalam Pasal 351 jo. 352 KUHP.
            “Penganiayaan” masih terjadi, sekalipun UU Perlindungan Anak sudah diundangkan, ternyata tindakan memberi hukuman, yang masuk kategori penganiayaan, masih kerap terjadi, misalnya penamparan oleh oknum guru terhadap murid SD Harmoni di Batam. Dikatakan bahwa bekas tamparan itu meninggalkan luka lebam di pipi anak kecil itu sehingga menjadi trauma ke sekolah. Orang tua sudah melaporkan kasus itu ke polisi. Diberitakan, guru M dilaporkan ke Polsek diduga melakukan penganiayaan terhadap muridnya, Dias Ganang Fardian yang mengaku ditampar satu kali sehingga mengalami luka lebam di bawah mata kirinya. Alasan pemukulan itu, karena korban melanggar disiplin saat upacara bendera. Sedangkan Kepala SMK  membantah perlakuan guru terhadap muridnya itu sebagai tindakan penganiayaan. “Itu cuma pembinaan, karena murid ini ramai bercanda dengan temannya saat upacara berlangsung. Pembinaan dan penegakan disiplin  yang cukup ketat.”
              Menurut penulis, tindakan guru menghukum murid, tidak salah seratus persen, wajar, tapi jangan menimbulkan memar. Guru memegang prinsip:yang salah harus dihukum.Tidak mungkin guru menghukum murid yang baik. Dengan hukuman, anak disadarkan. UU Perlindungan Anak dapat membuat anak tidak menemukan kesalahan diri murid. Muridpun merasa  benar. Buktinya, dibela dan guru dihukum. Konsep benar-salah menjadi hilang. Derita Guru: Sebuah Dilema Pendidikan. Keberadaan UU Perlindungan Anak ini, menurut penulis menjadi sebuah penderitaan guru. Mereka dihadapkan pada  masalah dilematis dalam proses pendidikan dan pembinaan anak muridnya. Situasi mereka berhadapan dengan UU Perlindungan Anak. Demi pembinaan dan penegakan disiplin kepada siswa, ada guru yang terpaksa menampar siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan pada jerat hukum. Maksud baik  guru justru berakibat buruk. Padahal  menyadarkan murid. Di antara cara penyadaran adalah tempeleng”, walaupun bisa pakai cara lain yang tanpa kekerasan. UU Perlindungan Anak tidak membolehkan memakai cara kekerasan, padahal cara itu bisa menjadi sarana paling efektif. Tingkat penyadarannya lebih kuat dibandingkan menegur dan menasehati. Tempeleng  hanya sekali, bisa merupakan bentuk shock therapy.
               Menurut penulis UU Perlindungan Anak menjadi penderitaan para guru di sekolah. Mereka tidak berani bertindak tegas kepada murid karena takut terkena sanksi dari UU Perlindungan Anak. Bayangkan saja, terkena pasal 80 ayat (1)  merupakan penderitaan yang bebat bagi guru yang berpenghasilan pas-pasan. Ada guru memilih masuk penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan terus,  tidak akan jadi masalah serius. Tetap mengajar dengan ganti rugi sebesar 72 juta rupiah, jelas akan memberatkan keluarganya.
                Analisis kasus, di sebuah sekolah menengah pertama, tentang siswa sedang berkelahi, guru melerai. Tapi disambut dengan caci maki oleh siswa yang berkelahi, karena tidak terima acara duelnya dipisahkan. Guru juga masih muda, dan caci maki itu terjadi di muka umum, diketahui murid lain, dan demi harga diri yang diinjak murid, guru itu menampar siswa. Cuma sekali. Sang guru dilaporkan ke polisi, beberapa hari di penjara. Akhirnya dibebaskan dengan tebusan.
                Guru- guru lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa dan para siswa berbuat seenaknya saja. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak berani menegur. Yang terjadi adalah proses pembiaran. Ketika guru bertindak tegas, anak dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah mengejek gurunya bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa karena takut dengan UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak merusak dunia pendidikan. Tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan anak untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para guru.
                  Menurut penulis, hukuman fisik, sebahagian bukan penganiayaan, ada  perbedaan pemahaman dalam UU Perlindungan Anak, berkaitan dengan kata “penganiayaan” dan kekerasan. Kategori penganiayaan adalah kekerasan yang bertubi-tubi, mirip dengan penyiksaan. Memukul atau menempeleng berkali-kali, sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma sekali, bukan penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan, seperti kasus IPDN, penganiayaan memang kejam, karena bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang berkali-kali. Karena itu ada yang cacat dan bahkan sampai tewas.
              Penulis  tidak setuju jika hukuman “menempeleng,” satu kali saja masuk kategori kekerasan dan kekejaman (pasal 13 ayat 1) tidak manusiawi (pasal 16 ayat 1). Dalam kasus-kasus penganiayaan  di sekolah, dilakukan oknum guru sebenarnya tidak masuk kategori kekerasan, yang bukan kekejaman, penganiayaan yang tidak manusiawi.Yang menjadi persoalan, haruskah kekerasan itu dihukum, jika bertujuan baik,  menyadarkan murid akan kesalahannya. Untuk bisa sadar,  sering menyakitkan. Tapi itulah shock therapy. Harus juga diperhatikan kewajiban anak. Dalam UU Perlindungan Anak, khususnya soal hak dan kewajiban anak dan pasal lain yang berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja (pasal 19). bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini:
Setiap anak berkewajiban untuk :
1. menghormati orang tua, wali, dan guru;
2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

          Jika anak tidak melaksanakan kewajibannya, sanksi apa yang dapat diberikan UU RI No.23 Th 2002? Tidak ada yang melihat hal ini. Orang hanya  melihat hak anak, mengabaikan hak guru. Kasus ini punya daya tarik bagi polisi dan pengacara? Tidak tentang  bagaimana kewajiban anak? Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak? Kasus anak SD mengganggu temannya yang sedang latihan, berarti tidak melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19) UU Perlindungan Anak. Kasus SMK, siswa tidak melaksanakan kewajiban no. 3 dan 5. Guru punya wewenang melaporkan siswa  ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut? Hak dan kewajiban mesti seimbang. Orang tidak bisa menuntut hak tanpa melaksanakan kewajibannya, karena  berkaitan dengan UU Perlindungan Anak.
               Kritik penulis ialah perlu  ditinjau soal keseimbangan hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri, di dalam UU No.23. Jangan hanya membebani kesalahan pada guru. Penulis setuju dengan pendapat Al-Ghazali, bahwa para pendidik harus membimbing peserta didiknya agar belajar bukan karena ijazah semata, mengejar harta, jabatan, popularitas, dan kemewahan duniawi, sebab semua itu bisa mengarah pada sifat materialistis. Sementara seorang pendidik yang materialistis akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri dan peserta didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali; “Barang siapa mencari harta dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang membersihkan bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang dilayani menjadi pelayan dan pelayan menjadi orang yang dilayani.”
                Pernyataan al-Ghazali yang terkesan mencela pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian harus diartikan, al-Ghazali melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana kesimpulan sebagian ilmuwan –yang kontra dengan al-Ghazali- dalam memandang pendapat al-Ghazali tentang upah bagi pendidik karena harus mengikuti jejak Rasul Saw. Memang sebelumnya al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru (pendidik) mengikuti jejak Rasulullah Saw.; maka ia tidak mencari upah, balasan, dan terima kasih, tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya.”

               Pernyataan ini dapat diartikan bahwa pendidik harus ikhlas dalam mengajar dan kriteria ikhlas itu tidak hanya bersihnya tujuan dari mencari upah. Lebih dari itu, ikhlas berhubungan dengan niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupkan proses panjang, sepanjang usia manusia dalam usahanya menjadikan dirinya sebagai manusia yang sempurna. Lebih jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau amal dan semua aktivitas -yang bernilai ibadah- yang dikerjakan dengan tujuan mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi secara prinsip, al-Ghazali tidak mengharamkan pendidik yang menerima upah karena mengajar.
               Sudah merupakan kewajiaban guru, harus membimbing peserta didiknya agar belajar bukan karena ijazah semata, mengejar harta, jabatan, popularitas, dan kemewahan duniawi, sebab semua itu bisa mengarah pada sifat materialistis. Sementara seorang pendidik yang materialistis akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri dan peserta didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali; “Barang siapa mencari harta dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang membersihkan bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang dilayani menjadi pelayan dan pelayan menjadi orang yang dilayani.”
             Pernyataan al-Ghazali yang terkesan mencela pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian harus diartikan, al-Ghazali melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana kesimpulan sebagian ilmuwan –yang kontra dengan al-Ghazali- dalam memandang pendapat al-Ghazali tentang upah bagi pendidik karena harus mengikuti jejak Rasul Saw. Memang sebelumnya al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru (pendidik) mengikuti jejak Rasulullah Saw.; maka ia tidak mencari upah, balasan, dan terima kasih, tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya.”

            Pernyataan ini dapat diartikan bahwa pendidik harus ikhlas dalam mengajar dan kriteria ikhlas itu tidak hanya bersihnya tujuan dari mencari upah. Lebih dari itu, ikhlas berhubungan dengan niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupkan proses panjang, sepanjang usia manusia dalam usahanya menjadikan dirinya sebagai manusia yang sempurna. Lebih jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau amal dan semua aktivitas -yang bernilai ibadah- yang dikerjakan dengan tujuan mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi secara prinsip, al-Ghazali tidak mengharamkan pendidik yang menerima upah karena mengajar. Pernyataan al-Ghazali; “Hendaknya pendidik melarang  muridnya mempelajari suatu tingkat sebelum menguasai tingkat sebelumnya; dan jangan belajar ilmu yang tersembunyi sebelum selesai ilmu yang terang. Setelah itu menjelaskan kepadanya bahwa maksud menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah; bukan untuk menjadi kepala dan mencari kemegahan.”

                Kenyataan bahwa  akhlak dan etik atau etika telah mulai terpinggirkan di dalam  pendidikan di Indonesia.Pelanggaran etika bukan hanya dilakukan  siswa, bahkan kepala sekolah dan guru. Mahasiswa  pun telah melakukan tindak kekerasan yang menyebabkan kematian temannya. Pendidikan di sekolah telah terreduksi, menjadi penyampaian pengetahuan, tidak lagi mendidik watak atau karakter dan kepribadian. Mendidik bukan lagi sebagai seni yang dilandasi dengan hati dan kasih sayang. Yang selalu muncul adalah wajah seram yang siap memberi hukuman. Tindakan "bullying" sudah menjadi budaya di sekolah yang dilakukan guru maupun siswa tanpa merasa menyesal. Contoh siswa SMP yang keluarganya miskin, ibunya sayur oleh teman-temannya diolok-olok dan dipermalukan sehingga siswa menderita batin (depresi). Peristiwa ini justru pada sekolah yang berlatar belakang agama.[3] Peristiwa-peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan etika tidak lagi menjadi landasan pendidikan, padahal  akhlaklah  dan morallah yang menjadi dasar pembentukan watak. Pendidikian etika yang kini  telah terpinggirkan dan terlupakan oleh dunia pendidikan yang hanya mengejar jumlah kelulusan tinggi pada ujian nasional.
             Kejadian yang mengejutkan, ada oknum  Kepala Sekolah  yang mencoba mencuri soal Ujian Nasional, guru yang memberikan jawaban soal Ujian Nasional kepada siswanya, guru pengawas membiarkan siswa mempergunakan HP saat UN. Editorial Metro Senin 23 April 2007 jam 19.40 menyebutkan dari hasil survai riset ditemukan sebanyak 70% peserta Ujian Nasional menyontek, karena guru pengawas dengan sengaja memberi kan peluang untuk nyontek. Oalam berita jam 18.30 ,pada hari Selasa 24 April 2007 diberitakan guru pengawas Ujian Nasional SMP di sebuah SMP memberikan peluang untuk berbuat curang seperti menyontek dengan cara mengawasi tidak ketat. Oi Medan dilaporkan justru Kepala Sekolah menyuruh guru mendiktekan jawaban ujian (Air Mata Guru Bongkar Kecurangan. Dinamika Pendidikan No. 1ffh.XIV / Mei 2007 13 UN Medan.Kecurangan UN SMA dan SMP direncanakan sangat sistematis. Kompas,Jumat 27 April 2007). Ada guru olah raga yang menempeleng siswasiswanya karena tidak memakai seragam pakaian olah raga. Kejadian tragis di IPDN dengan terbunuhnya sejumlah mahasiswa IPDN karena tindak kekerasan yang terjadi di kampus. Siswa SD klas II meninggal dunia setelah dianiaya oleh 4 ( empat) temannya di kamar mandi sekolah.[4]. Masalah pelanggaran moral yang dilakukan para mahasiswa dan siswa di beberapa daerah juga semakin marak sebagaimana pernah ditulis dalam koran Jawa Pos.

           Di dalam lingkungan perguruan tinggipun tidak luput dari masalah pelanggaran etika akademik. Pada tahun 2000 Universitas Gajah Mada harus mencabut gelar doktor dari seseorang promovendus yang telah dinyatakan lulus ujian doktor.,karena materi disertasi yang diajukan ternyata karya milik orang lain dan dinilai sebagai perbuatan plagiat. Di Universitas Jenderal Soedirman juga  mengangkat seorang dosen yang  ijazah dan gelar kesarjanaan SI, S2 dan S3 nya palsu. Ijazah  yang diperdagangkan di dalam masyarakat.onisnya para pembeli adalah pejabat bupati ada anggota DPR. Gejala tersebut mengindikasikan pendidikan etika akhlak dan moral, baik dari aspek berkehidupan bermasyarakat maupun secara khusus moral agama tidak lagi dipedulikan di dalam institusi pendidikan.
,
                Institusi pendidikan yang seharusnya menanamkan dan mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai luhur sebagai nilai etika, pedoman moral justru berkembang ke budaya kekerasan yang mengarah pada sikap arogansi para siswanya. Pendidikan Agama dan Pendidikan Pancasila tidak lagi mampu mewujudkan misinya dan berubah menjadi wahana penyampai pengetahuan dan bukan membentuk watak and sikap sebagai warga negara, pribadi dan warga masyarakat yang bersifat makluk individu sosial sekaligus. Penulis setelah mencermati kejadian-kejadian tersebut timbul pertanyaan apa yang salah dalam praktek pendidikan. Dalam konteks inilah kajian tentang tinjauan yuridis  hukuman fisik untuk disiplin pendidikan, serta pendidikan  etika yang disajikan.

Etika dimaknai sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Kata etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti: 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak),2) kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.Menurut Bertens  etika mempunyai tiga arti, yaitu: pertama, “etika” biasa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.





               [1]Epistemologis Hukum Islam memandang jika kebenaran mutlak bersumber dari Tuhan (wahyu), karena rasionalitas manusia itu terbatas sehingga tidak semua kebenaran bisa dibuktikan secara rasional. Dan hingga kini, Al-Qur’an terus dan akan tetap sejalan dengan perkembangan sains, karena Al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan yang otentik. Sedangkan Barat memandang kebenaran secara materialis-empiris (tampak dan terbukti). Hal ini dikarenakan Barat mengalami tragedi spiritual yang amat buruk, di mana para ilmuwan sains pada tahun 1600-an M (seperti Galileo dan Copernicus) dihukum karena dianggap telah menentang Gereja, sehingga komunitas ilmuwan akhirnya sepakat bahwa kebenaran sejati akan didapat jika mereka berlepas diri dari dogma Gereja dan menggunakan rasionalitas mereka untuk membuktikan kebenaran secara empiris. Perbedaan Islam dan Barat jelas akan menimbulkan benturan hebat dalam peradaban dunia seperti yang disebutkan Samuel P. Huntington. Salah satu akibatnya, negara-negara dunia yang men-declare sebagai negara Islam atau negara dengan mayoritas penduduk Islam akan cenderung menolak sistem Barat. Dan  telah kita ketahui bersama bahwa potensi energi dunia tersimpan di rahim bumi negara-negara Islam, sehingga dalam konteks ini hasrat barat untuk menguasai minyak bumi menjadi terhambat.
             [2]Hifdz al-Nasl, menjaga keturunan, yakni dianjurkannya nikah demi menjaga keturunan, juga diharamkannya zina karena merusak keturunan. Adalah Thahir Ibnu ‘Asyur seorang pakar maqashid syari’ah yang berasal dari Tunisia. Secara umum gagasan Ibnu ‘Asyur hampir sama dengan wacana yang ditawarkan oleh al-syathibi, hanya saja beliau telah berjasa dalam mengembangkan disiplin ilmu maqashid syari’ah dan menjadikannya sebagai disiplin ilmu baru yang terpisah dengan ilmu ushul fiqh. Beliau diberi gelar sebagai ‘guru kedua’ setelah al-Syathibi yang dijuluki ‘guru pertama’. Beliau telah berhasil mengembangkan teori maqashid yang sebelumnya hanya berkutat pada kajian juz’iyyah dan kulliyah menjadi lebih luas, yakni dengan melebarkan pembahasan maqashid kedalam ‘maqashid syariah khusus tentang muamalat’ yang didalamnya mengupas berbagai isu-isu maqashid seputar maqashid hukum keluarga, maqashid penggunaan harta, maqashid hukum perundangan, dan kesaksian dan lain-lain. Lihat Asmawi, op.cit.,129
               Definisi Tafsir Maqashid. Term tafsir maqashidi bagi sebagian kalangan bisa dibilang belum akrab ditelinga, karena kajian maqashid syari’ah yang berkembang di Indonesia belum menyentuh kepada kajian maqashid dalam metode penafsiran. Para ‘pengobral maslahat’ (sebutan yang biasa disematkan kepada Jaringan Islam Liberal) pun hanya mengkaji maqashid syariah dalam ranah ushul fikih. Di samping itu di Indonesia belum banyak-untuk mengatakan tidak ada- pakar maqashid syariah. Hal ini berbeda dengan kajian maqashid syariah di Maroko, Mesir, dan negara-negara timur tengah lainnya.. Kata maqashidi dalam ‘tafsir maqashidi’ adalah kata maqhashid yang dibubuhi ya’ nisbah. Berarti tafsir maqashidi adalah tafsir yang menggunakan pendekatan maqashid syari’ah, atau dengan kata lain tafsir maqashidi adalah sebuah tafsir yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan menguak dan memepertimbangkan maqashid syari’ah. Hal ini sedikit yang membedakan tafsir maqashidi dengan tafsir-tafsir konvensional lainnya. Seperti tafsir falsafi yang hanya berkutat dengan teori-teori filsafat atas sebuah hikmah saja. Atau juga tafsir sufi yang mengedepankan pendakian kontemplatif sang sufi dalam menyibak teks-teks suci.Tafsir maqashidi tidak mengabaikan teori-teori baku tentang penafsiran, seperti asbab nuzul, ‘am-khos, mujmal-mubayyan dst. Di samping itu tafsir maqashidi juga hirau akan perangkat-perangkat ilmu-ilmu umum seperti sosiologi, antropologi, dan filsafat. Maqashid ini dikaitkan dengan kaedah “ Al-Adatu Muhakkamatun”.Adat kebiasaan yang baik, diakui sebagai dsar hukum. Lihat Al-Suyuty, Al-Asbah wa al-Nazha’ir, terj, Mustafa Muhammad, Kairo:1986),63.
                 [3] Jurnal Dinamika Pendidikan No. 1 / Th. XIV / Mei 2007), hlm 12

                [4] Metro TV  Disiarkan  di beritakan ulang jam 18.30 oleh Metro TV hari Jumat 4 April 2007

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook