Saturday, August 31, 2013

Bermimpi Koruptor, Di Padang Arafah Dirinya Dikelilingi, Jutaan Monyet.



PANTUN DI  ARAFAH

Memakai motor, berburu jerapah,
Daging direbus, daun kunyit,
Bermimpi Koruptor, Di Padang Arafah
Dirinya Dikelilingi, Jutaan Monyet.

Salah tingkah, menjunjung duri,
Karet Putus, Di Tepi Paya.
Di padang Arafah, bermimpi  pencuri,
Dikejar tikus, sebesar manusia.


PADANG TEKUKUR, TEMPAT BERLAGA,
PADANG ARAFAH, TEMPAT BERHENTI.
ANTARA TERTIDUR, DENGAN TERJAGA,
PEMIMPIN ZALIM, DIKELILINGI BABI.

        Awalnya Buku ini merupakan refleksi atas berbagai persoalan di seputar penyelenggaraan ibadah haji, praktek haji, dan makna-makna simbolik dalam ritual haji. Sebagaimana kita ketahui, masalah haji seringkali menimbulkan konflik di antara para pemangku kepentingan (stake holders) dari mulai masyarakat (umat Islam), pemerintah, DPR, kelompok-kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH), sampai biro-biro perjalanan haji. Masalah-masalah yang dipersengketakan biasanya menyangkut ongkos naik haji atau ONH, kuota haji, maraknya calo-calo haji, pelayanan yang buruk terhadap calon-calon haji, akomodasi haji, hingga persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam bisnis penyelenggaraan haji.

       Masalah-masalah tersebut selalu menjadi isu yang panas, bukan saja karena menyangkut kepentingan banyak orang dan dana triliunan rupiah, tapi terutama karena ibadah haji merupakan rukun Islam, perintah Allah, yang kita semua berharap semestinya tidak ada hambatan apapun dalam pelaksanaannya. Faktanya, dari tahun ke tahun masalah-masalah di seputar itu selalu muncul.

       Tentu saja masalah haji bukan hanya menyangkut persoalan administrasi sebagaimana disebutkan di atas. Masalah haji bisa dibawa lebih jauh lagi menjadi masalah eksistensi, aktualisasi diri, dan dampak setiap ritual ibadah haji pada peningkatan ruhani orang-orang yang melaksanakannya. Buku ini juga menyorot masalah tersebut. Saya memilih pantun sebagai media penyampaian pesan karena tidak ingin terlalu serius terbawa oleh masalah yang sudah begitu pelik. Pantun hanya ingin berkelakar. Sesekali mengejek sambil tersenyum.

Pantun merupakan tradisi sastra yang sangat populer di tengah masyarakat kita, sejak dulu sampai sekarang. Kalau kita menonton tayangan televisi, terutama program hiburan yang dibawakan oleh para komedian, kita selalu mendengar pantun-pantun diucapkan secara spontan untuk menyatakan pujian, kekaguman, kekesalan, bahkan juga celaan secara berseloroh. Hal ini menunjukkan bahwa pantun merupakan tradisi sastra lisan yang benar-benar hidup dalam masyarakat kita.

Para penutur pantun di televisi, terutama para komedian seperti Tukul, Opik Kumis, Ginanjar, Okky Lukman, Dorce, Parto, Sule, dll, mungkin tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang merawat salah satu kekayaan budaya kita. Tatkala tradisi menulis pantun kurang begitu diminati, setidaknya tradisi lisannya masih hidup dan berkembang.
Buku ini ingin berpartisipasi dalam melanjutkan budaya menulis pantun yang mulai jarang itu—kecuali di Sumatera bagian timur, khususnya Tanjung Pinang, yang masih memiliki raja dan ratu pantun. Cara penulisan yang saya lakukan tidak terlampau ketat dengan aturan-aturan yang berlaku di dunia perpantunan. Tak jarang saya merasa gagal mengompromikan isi dengan sampirannya, atau makna dengan iramanya. Entah jadinya pantun beneran atau pantun-pantunan.

Dalam khazanah sastra lama kita mengenal pantun agama atau pantun nasihat. Dengan karakternya yang unik dalam menyampaikan pesan, pantun bisa berkelit dari tendensi yang berlebihan untuk mengubah masyarakat menjadi lebih sejalan dengan tuntunan agama. Itu pekerjaan pada ustadz atau muballigh yang selalu siap dibenci oleh masyarakat karena suka melarang-larang dan menyampaikan kebenaran tanpa tedeng aling-aling. Sedangkan pantun, saya kira, tidak berusaha merumuskan kebenaran vis a vis situasi sosial yang bobrok sekalipun. Pantun hanya merefleksikannya menjadi kenyataan imajiner supaya kebobrokan itu tidak dilupakan orang.

Pantun-pantun dengan tema seputar haji mungkin juga sudah sering dituturkan, misalnya oleh para mubaligh yang berceramah di forum walimatus safar. Penuturan mereka pasti lebih baik karena mereka memang tahu seluk beluk haji dan maknanya. Sedangkan saya, naik haji saja belum pernah, kecuali dalam mimpi. Tapi perasaan jengkel terhadap penyelenggaraan ibadah haji adalah hak semua orang, termasuk mereka yang belum naik haji. Kejengkelan itu juga yang mendorong saya untuk merefleksikannya dalam bait-bait pantun.

Buku-buku mengenai haji yang ditulis secara ilmiah saya kira sudah cukup banyak. Begitu juga kisah-kisah perjalanan haji yang ditulis sebagai memoar. Namun, buku tentang haji yang ditulis dengan media pantun saya kira masih langka, kalau bukan tidak ada, kecuali pantun-pantun terserak dalam blog internet atau diposting dalam jejaring sosial semacam fesbuk dan twitter, dan tidak dihimpun dalam sebuah buku.

Beberapa pantun yang dimuat dalam buku ini juga pernah saya posting sebagai status atau obrolan antardinding di fesbuk. Secara tidak sengaja saya juga pernah memergoki pantun-pantun yang saya posting itu di-copy paste oleh orang lain menjadi statusnya tanpa menyebutkan penulisnya. Meskipun jengkel tapi saya biasanya diam saja. Sebagai penulis profesional (beeeuuhh!!), saya tidak akan pernah melakukan perbuatan tercela semacam itu.

Semua pantun yang dimuat dalam buku ini adalah karya saya sendiri yang ditulis dalam berbagai kesempatan. Saya berterima kasih kepada penemu Communicator dan Black Berry (BB), karena dengan benda-benda itu saya bisa menulis kapan saja tanpa harus duduk di depan komputer. Bahkan ketika menaiki kendaraan, lalu sebuah ilham tiba-tiba datang, saya berusaha menepi untuk segera menuliskannya. Sebab kalau tidak begitu biasanya akan hilang dari ingatan. Sebagian besar pantun dalam buku ini pun lahir di pinggir jalan, di pesta pernikahan, di ruang seminar, di tempat tidur, di masjid, dan tempat-tempat lain yang bukan di depan komputer.

Ide untuk menghimpun pantun-pantun ini dalam sebuah buku datang belakangan, ketika saya melihat jumlahnya sudah cukup banyak. Lalu saya berpikir, mungkin ada gunanya kalau dipublikasikan dalam bentuk buku. Walhasil, inilah buku pantun pertama saya. Saya masih memiliki obsesi untuk terus menulis pantun dalam berbagai tema, sehingga nanti akan ada buku pantun kedua, ketiga, dan seterusnya, hitung-hitung melestarikan budaya Nusantara.

Pada kesempatan ini saya ingin menghaturkan terima kasih kepada para seniman musik yang telah banyak memberi inspirasi kepada saya melalui lagu-lagu mereka yang dikemas dalam irama pantun dan ternyata menghasilkan nada yang merdu, dalam hal ini khususnya alm. Benyamin S, Rhoma Irama, A Rafiq, Iwan Fals, Hj. Nur Asiah Jamil, Siti Nurhaliza dan SM Salim, dan nama-nama lain yang tidak mungkin disebutkan semuanya. Mereka semua telah membangun negeri dengan karya. Semoga pengabdian mereka mendapat pahala berlipat ganda dari Allah SWT.

Ucapan terima kasih juga saya haturkan kepada teman-teman yang telah membaca draft buku ini dan memberikan apresiasinya. Di sini saya harus menyebut nama Hawe Setiawan, penyair dan pengajar Apresiasi Puisi, Prosa, dan Pengantar Sastra di Universitas Pasundan, Bandung; Irfan Abubakar, Direktur Pusat Kajian Agama dan Budaya/ Center for the Study of Religion and Culture (CSRC), UIN Jakarta; dan Jumiatie Zaini, pengajar PAUD dan TK Baiturrahmah, Pamulang, Tangerang.

Secara khusus ucapan terima kasih disampaikan kepada tetehku, ibu Hj. Gina Adriana Sanova, pendiri dan pemimpin pengajian Babussalam, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Berkat dukungannya, buku ini bisa terbit sesuai jadwal yang direncanakan.

Akhir kalam, semoga buku ini bisa menjadi teman untuk berefleksi, merenung, dan menertawakan keadaan karut marut dan gonjang-ganjing yang selalu kita temui dalam kehidupan sehari-hari..


Kecap disimpan,  diatas tempayan,
Tudung  berkilau,   dibuat topi,
Kami ucapkan,  selamat jalan
Jemaah Riau, ke tanah suci.

Anak tupai,  di tudung saji,
Jatuh dari, sebuah  pondok
Ingin sempurna,  ibadah haji,
Jangan menci, jangan merokok.


Memakai kemeja,  merah  merekah,
Dapat hadiah, bagai diukir.
Tempat belanja,  bukan di Mekah,
Fokuskan niat, untuk zikir.


Menggiling mangga,  jauhkan biji,
Ambil sarinya,  buang tempulur
Diiringi doa, Semua  famili,
Agar mendapat, haji  mabrur.

Durian pengat,  di tudung saji,
Dimasak dengan, kayu arang.
Jangan mengejar, gelar haji,
Ingin  terpandang, dipuji.orang.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook