Friday, August 16, 2013

SEHARUSNYA KURIKULUM BARU, DAPAT MENGATASI PENGANGGURAN



INGIN TAHU, MEMANCING IKAN,
UMPANNYA JANGAN,  DIBERI ANGGUR
INGIN TAHU, DOSA PENDIDIKAN
TANYAKAN SARJANA, YANG MENGANGGUR,


TUJUH MENARA, BERTURUT-TURUT
JIKA DIPANDANG, SANGAT MENARIK
BAGAIMANA NEGARA, TIDAK BANGKRUT
ETOS KERJA TIDAK, TERTANAM BAIK

          Berbicara masalah pengangguran rasanya tidak ada habis - habisnya. Karena selama masih ada manusia maka masih akan ada penganggur. Terlebih lagi jika penanganannya tidak dilakukan secara tepat. Pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap kesejahteraan warganya sudah seharusnya merumuskan dan merealisasikan upaya untuk mengurangi pengangguran secara nyata dan berkesinambungan. 


        Buatlah  suatu rumusan dan target yang jelas, juga harus disadari bersama, jika masalah pengangguran tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja, melainkan harus dicarikan solusinya secara bersama - sama, dunia sekolah dan Depnaker, plus perusahaan. Pemerintah mengawali penanganan dari akar permasalahanya yang menyebabkan semakin meningkatnya jumlah pengangguran. Sudah bukan rahasia lagi jika masalah pengangguran di Indonesia berpangkal pada sistem pendidikan di Inonesia yang tidak tepat. Bahkan dapat dikatakan jika sistem pendidikan di Indonesia menggunakan kurikulum sesat. Yang hanya mementingkan satu golongan tertentu. Tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan Bangsa.

         Jika kita cermati. Masalah pengangguran di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Hal ini seperti teori ekonomi. Dimana pertambahan jumlah tenaga kerja tidak sebanding dengan pertambahan jumlah lapangan kerja. Hal ini bisa terjadi karena pendidikan di Indonesia hanya berorientasi untuk menciptakan manusia - manusia yang profesional yang pada kenyataanya hanya untuk dididik menjadi seorang pekerja, bukan pengusaha. Untuk itu jika pemerintah memang serius menangani masalah pengangguran, sudah seharusnya mengawali penanganannya dengan memperbaiki arah pendidikan di Indonesia. tanpa itu, maka sudah hampir dapat dipastikan masalah pengangguran tidak akan pernah selesai.

memprihatin-kan, jumlah pengangguran terdidik setiap tahunsemakin meningkat. Terutama dari kaum terpelajar. Ini bisa kita amati bersamaketika bekal ijazah makin tidak laku di pasar tenaga kerja. Gelar akamedikseakan tak mampu lagi menopang nasib pemiliknya. Begitu juga para sarjanawanpenganggur, semakin merebak ke kota-kota dan pedesaan-pedesaan.

Menurut data BPS, jumlah pengangguran di Indonesia hingga 2011 mencapai7,7 juta orang atau 6,56 persen dari total angkatan kerja. Secara umum tingkatpengangguran terbuka (TPT) cenderung menurun, di mana TPT Agustus 2011 sebesar6,56 persen turun dari TPT Februari 2011 sebesar 6,80 persen dan TPT Agustus2010 sebesar 7,14 persen.

Jika dibandingkan keadaan Februari 2011, TPT pada hampir semua tingkatpendidikan cenderung turun, kecuali TPT untuk tingkat pendidikan SD ke bawahnaik 0,19%, SMP naik 0,54%, dan SMK naik 0,43%. Pada Agustus 2011, TPT untukSMA dan SMK masih tetap menempati posisi tertinggi, masing-masing 10,66% dan10,43%.

Yang paling sering terkena getahnya adalah lembaga pendidikan. Iadianggap tidak bisa mencetak lulusan yang siap pakai. Kualitas para lulusantidak cocok dengan kebutuhan dunia kerja. Mereka tidak memenuhi standarpersyaratan yang ditetapkan bagi rekruitmen tenaga kerja. Padahal, dunia kerjabegitu cepat berkembang. Persyaratan tenaga kerja selalu naik dari waktu kewaktu. Namun, lembaga pendidikan tidak bisa memantau kenaikan-kenaikan itu.Akibatnya, munculnya mis-match yang lebar antara lembaga pendidikan dan duniakerja. Yaitu, ketidaksesuaian antara output lembaga pendidikan dengan inputyang dituntut oleh dunia kerja.

Ketidaksesuaian itu, misalnya, terlihat manakala sekelompok lulusansekolah atau mahasiswa baru saja lulus dari sebuah lembaga pendidikan. Merekabingung mencari pekerjaan. Beberapa iklan lowongan kerja yang dimuat koran samasekali tidak menyentuh kualifikasi yang mereka miliki. Kemudian, arus punkemudian berbalik.

Mereka kembali mencari ilmu tambahan. Walaupun tidak seluruhnya, tetapiamat banyak di antara mereka kemudian mengikuti kursus-kursus pendidikanpraktis. Sebutlah, kursus komputer, bahasa Inggris, manajemen, entrepeneurship,jurnalistik, akuntansi dan lian-lain. Alasannya, kursus-kursus semacam itudianggap lebih laku, lebih marketable daripada kualifikasi sarjana yangdisandangnya.

Lembaga pendidikan memang bukan pabrik. Dan, tujuan seseorang kuliah ataumencari ilmu secara keseluruhan adalah untuk mempertinggi produktivitasdirinya. Apa pun itu disiplin ilmu yang ditekuni, baik sains dan teknologi,ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu humaniora. Tetapi, bila mengibaratkannyadengan pabrik, maka lembaga pendidikan harus menjadi the pabric of a newmeaning (pabrik yang selalu memproduksi nilai-nilai baru). (Giroux, 2000;Price, 2001)

Lembaga pendidikan hendaklah mencari 'nilai tambah' kepada produk SDMyang dikelolanya, baik dalam sikap, wawasan, kecerdasan, ketrampilan, maupunkeahlian. Namun, dalam praktiknya, tujuan ini akan mengalami kesulitan.Buktinya, keberadaan para penganggur 'terdidik'. Rasanya tidak ada jaminankepada mereka hingga menjadi lebih produktif dan bernilai tambah. Yang terjadimalah sebaliknya, tidak jarang perkembangan mereka menjadi paralel denganpertumbuhan penganggur. Artinya, pendidikan mereka yang tinggi itu tidak dengansendirinya membuka akses ke dunia kerja. Sehingga, seringkali tingginyapendidikan mereka itu, lalu hanya berarti besarnya inefisiensi, pemborosan danketidak-produktivitasan dirinya.

Untuk mengatasi permasalahan di atas, tentu harus ada konsistensi dalamperencanaan pembangunan lintas sektor antara lembaga pendidikan dan duniakerja. Di samping, fenomena mis-match juga harus segera diakhiri. Kalau tidak,maka titik temu antara output lembaga pendidikan dan input yang dituntut duniakerja, akan sulit terwujud.

Namun, apabila lembaga pendidikan hanya menunggu dibuatkan, disahkan danditurunkannya kebijakan-kebijakan makro seperti itu, mungkin terlalu lama.Maka, lembaga pendidikan dituntut lebih bersikap luwes dan pragmatis. OlehLembaga pendidikan hendaknya bertindak cepat sekaligus orientatif terhadapsiswa-siswi atau mahasiswa-mahasiswi didikannya. Lembaga pendidikan harus mampumemantau perkembangan dunia kerja atau bisa bekerja sama dengannya. Ini pentingagar lembaga pendidikan mampu berperan dalam membantu peserta didik.Khuisusnya, dalam mengarahkan dan mendampingi jenis pendidikan tambahan sebagaibekal pascakelulusan anak didik nanti, termasuk manakala harus menghadapituntutan dunia kerja.

Selain solusi adanya kesepahaman antara dunia pendidikan dan dunia kerjatentang permasalahan output dan input yang diinginkan, solusi lainnya sebagaikoreksi dan introspeksi bersama adalah bahwa sudah saatnya pendidikan Indonesiabergeser pada pilihan strategi pembangunan SDM ke arah pengembangan insankreatif.

Dengan manusia-manusia kreatif ini, diharapkan mampu menjadi penopangberkembangnya industri kreatif. Dan, tidak lain yang dibutuhkan adalah filsafatpendidikan progresif-eksistensialis. Karena, dengan basis filsafat ini,pendidikan akan lebih mampu mengakomodasi dan mengelaborasi potensi setiapindividu melalui praksis pendidikan kreatif, baik berupa real experience maupunproduc development.

Penulis  tertarik dengan tulisan SITI MUYASSAROTUL dalam rangka Hari Sarjana, 29 September 2009) yang menyatakan:
1. Tragedi pengangguran kaum terpelajar tersebut, bila dengan seksama, terasa miris. Betapa tidak, setiap tahun tidak sedikit Universitas yang akan meluluskan Sarjana, yang tentu menambah tumpukan kaum terpelajar menganggur. Bila ditelaah secara kritis, pengangguran tersebut disebabkan beberapa hal. Pertama, kompetensi lulusan yang masih rendah. Kecakapan sarjana dalam bidang studinya tidak menjangkau harapan publik sehingga gelar kesarjanaan yang disandang sering justru melahirkan ironi dan anomali yang menyedihkan. Dengan kemampuan yang pas-pasan, mereka akhirnya terlempar dari bursa kerja yang menuntut profesionalitas.

2. Kedua, tidak sesuai kebutuhan dunia kerja. Berbagai gelar kesarjanaan yang disandang tidak mempunyai peluang kerja strategis sehingga tumpukan sarjana tidak dapat tersalurkan secara seimbang. Jurusan-jurusan yang tidak marketable atau memang pasar kerja yang membatasi menjadikan sarjana kehilangan arah gerak langkahnya pasca lulus.

3. Ketiga adanya program studi yang jumlah lulusannya sudah terlalu melimpah. Jurusan itu terkhusus berada dalam jurusan ilmu sosial. Kajian ilmu sosial yang sangat beragam telah menghasilkan jumlah sarjana berjuta – juta. Akhirnya mereka menumpuk dalam “cuci gudang” yang tidak laku dalam bursa lapangan kerja. Terlebih, ilmu sosial berbasis pengalaman sehingga lapangan kerjanyapun lebih mengarah pada eksperimentasi yang penuh resiko.


4. Keempat, paradigma peserta didik dan stakeholder. Belajar di kampus sekadar dimaknai sebagai pencarian kerja sehingga proses belajar yang dijalani tidak begitu serius: asal lulus saja sebagai syarat fomalitas mencari kerja. Itu merupakan persoalan paling mendasar dalam konteks tragedi pengangguran kaum terpelajar Indonesia. Paradigma yang berorientasi job oriented telah menjadikan mahasiswa sebagai “ gelas tak berisi” sehingga dalam menerima materi pembelajaran dari kampus, mereka tidak mampu membaca secara kritis dan tidak melakukan eksperimentasi kritis yang eksperimental dalam kajian keilmuan yang ditekuninya. Hasilnya adalah peserta didik yang “ bergentanyangan” mencari kerja, tak tahu arah dan orientasi keilmuan yang menjadi disiplin belajarnya.

Merancang kerja masa depan yang memproyeksikan sarjana sebagai bagian dari penataan bangsa harus dimulai dari pergeseran paradigma – meminjam istilah Thomas Khun – sehingga kaum terpelajar tidak “terpenjara” dengan basis keilmuan yang ditekuninya. Sarjana harus keluar dari penjara penjurusan sehingga bisa bergerak leluasa dalam mencipta proyeksi kreatifitas masa depan yang lebih mencerahkan. Selain itu perlu dibangun etos kemandirian bagi mahasiswa sehingga ketika lulus kuliah, bukannya mencari lowongandalam bursa kerja , tapi mampu bergerak memproyeksikan lapangan kerja yang bisa mengurangi pengangguran masyarakat awam. Membangun etos kemandirian tentu harus berlatih secara serius ihwal menfasilitas enterpreneuship dan kecakapan hidup (life skill) sehingga berbagai terpaan menuju kemandirian bisa dijalani dengan sungguh dan nikmat. Dan bergurulah Muhammad yunus, seorang sarjana doktoral yang mendirikan Grameen Bank di Bangladesh. Dia keluar dari jebakan kampusnya, kemudian bergabung dengan rakyat kecilmendirikan koperasi warga bernama Garmeen Bank. Dengan Garmeen Bank-nya, M. Yunus sukses memberdayakan rakyat kecil pada 2006 mendapatkan Nobel Perdamaian Dunia. Spirit kemandirian yang dicontohkan M. Yunus pantas menjadi teladan Sarjana Indonesia sehingga kaum sarjana mampu membuktikan diri sebagai pelopor terbentuknya lapangan kerja, bukan beban Negara yang membuat bangsa semakin nestapa

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook