Monday, December 16, 2013

NASEHAT MELALUI PANTUN Karya Haji Muhammad Rakib Jamari,SH.,M.Ag., Drs.



Surat Nikah Rp 600 Ribu Kok Disebut Sukarela


NASEHAT MELALUI PANTUN

Karya Haji Muhammad Rakib Jamari,SH.,M.Ag., Drs.

Jangan memuji, laki-laki lain,
Walaupun maksudnya, bermain-main.
Apakah yang lajang, maupun sudah kawin,
Di hadapan suami, sang pemimpin.

             Suami tidak memuji, wanita cantik,
    Di hadapan istri, yang melirik.
Akan berakibat, tidak baik,
   Keharmonisan, akan terusik.

Jangan membanding-bandingkan suami,
Dalam pendapatan, ekonomi.
Lain orang, lain rezeki,
Sudah takdir, dari Ilahi.

            Membanding-bandingkan itu, suatu aib,
                                                    Suami istri, hendaklah tertib.
    Harga diri suami, jangan diungkit,
         Karena dapat, mengundang penyakit.

Jangan diungkit, kesalahan yang lalu,
Karena menimbulkan, rasa malu.
Seperti diiris, dengan sembilu,
Buanglah saja, dianggap tidak perlu.

           Orang tua sekedar, memberi nasehat,
Yang ringan jangan, diperberat,
               Ikut campur, mendatangkan mudharat,
    Solusinya ialah agama, diperkuat.

Jangan menyebut, nama mertua,
Kecuali jelas, keperluannya.
Bukan bermaksud, melanggar etika,
Karena mertua, orang bertuah.

         Mertua yang baik,seperti keramat,
Kepadanya, wajiblah hormat.
        Sopan santun, membawa rahmat,
      Rezekipun datang, berlipat-lipat.

Apabila murah rezeki,
Bayarlah zakat, berkali-kali.
Berbulan madu, boleh ke Bali,
Ebaiknya umroh, memantapkan hati.


Atas kehadiran tuan dan puan sekalian
Atas nama ahli bait (sebut nama yang mengadakan acara) mengucapkan selamat datang kepada tuan dan puan sekalian

Yang besar tak kami himbau gelar
Yang kecil tak kami sebut pula namanya
Yang ulama kami muliakan alimnya
Yang pejabat kami muliakan jabatannya
Yang cedik pandai kami muliakan bijaknya
Yang tua kami mulia pengalamannya
Yang muda kami sayangi
Yang kecil kami kasihi

Atas nama yang mempunyai helat
Atas nama yang mempunyai hajat
Atas nama kaum kerabat yang jauh dan datang dari dekat
Kedatangan para undangan dari jemputan yang mulia ini
Kami sambut dengan muka yang jernih
Kami terima dengan hati yang suci
Kami nanti pula dengan dada yang lapang
Kami tunggu dengan penuh rasa kasih sayang

Putih kapas dapat dilihat
Putih hati dengan keadaan
Begitu besar rasa kami
Dan ucapakan terima kasih
Atas kehadiran tuan dan puan sekalian



Bayar Rp 600 Ribu Kok Disebut Sukarela
TRIBUNPEKANBARU.COM –Leo dan Ningsih, menikah di rumahku Sabtu 14 Des 2013. Pernikahan lancer. Tapi DI TEMPAT LAIN., orangnya lain pula ada masalah, misalnya seorang yang bernama Mister Imam, kata  Tribun:  Imam itu  begini:  Sebagai calon pengantin, Imam sudah tak sabar menunggu hari pernikahan dengan sang pujaan hati. Namun di sisi lain ia harus berpikir keras menyiapkan biaya, salah satunya pengurusan pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). "Total saya harus bayar Rp 600 ribu untuk KUA," kata pemuda 27 tahun itu kepada Tribun, Kamis pekan lalu.

Imam sebenarnya keberatan, apalagi ia tahu biaya resmi pencatatan pernikahan di KUA hanya Rp 30 ribu, seperti tertuang dalam  Peraturan Pemerintah RI Nomor  47 Tahun 2004, tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak.

"Saya tahu biaya pencatatan pernikahan itu Rp 30 ribu, tapi itu kan cuma teorinya saja. Kenyataan di lapangannya berbeda. Saya hanya seorang guru di sekolah swasta. Uang Rp 600 ribu itu besar, dan bagi saya memberatkan, karena setelah menikah nanti masih perlu banyak biaya untuk keperluan rumah tangga," tuturnya.

Imam menyebut praktik itu telah masuk dalam kategori pungutan liar (Pungli).  "Padahal mereka kan sudah digaji oleh pemerintah, tapi kenapa masih minta biaya tambahan lagi?" ujar Imam.

Sepengetahuan Imam, biaya pencatatan pernikahan dan biaya lainnya yang dikenakan kepada seseorang yang akan menikah berbeda-beda. Ia menilai pihak KUA menentukan biaya itu berdasarkan status sosial seseorang. Jika seseorang secara ekonomi tergolong menengah ke atas, petugas meminta biaya di atas Rp 600 ribu. Sedangkan untuk menengah ke bawah, dikenakan Rp 300 ribu.

"Memang biaya yang diminta itu kesepakatan kita dengan pihak KUA, tetapi itu sifatnya bukan sukarela. Ketika saya menanyakan ke pihak KUA berapa uang yang harus saya setorkan, dia langsung mematok harga Rp 600 ribu," kata Imam.

Kalau kemudian Imam tetap merogoh koceknya Rp 600 ribu, itu karena terpaksa. "Takut nanti proses pernikahan saya dipersulit," kata dia.
Berdasarkan data di Kementerian Agama Provinsi Riau, jumlah pernikahan di Pekanbaru saja pada 2010 tercatat 5.937. Jika setiap pernikahan dipungut biaya pencatatan minimal Rp 100 ribu, jumlah uang yang diterima oleh pihak KUA sebesar 593 juta. Bayangkan jika biaya yang dipungut tersebut nominalnya lebih besar, maka jumlahnya bisa mencapai miliaran rupiah.

Tribun coba mewawancarai beberapa Kepala KUA yang ada di Pekanbaru secara acak, tentang biaya pencatatan pernikahan yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk menikah.

Kepala KUA Pekabaru Kota H. Idrus M. Ag, mengatakan pihaknya tidak pernah menentukan dan mematok biaya tambahan dalam pengurusan pencatatan pernikahan. "Itu semua tergantung dari keikhlasan dari masyarakat jika ingin memberikan biaya tambahan sebagai ucapan terima kasih," kata dia.

Pernyataan serupa dilontarkan oleh Kepala KUA Marpoyan Damai Basri Akmal. Dia mengatakan, biaya pencatatan pernikahan sesuai peraturan pemerintah adalah Rp 30 ribu. Tapi, kata dia, jika calon pengantin dan keluarganya memberi lebih dari itu, sifatnya cuma sukarela.

"Kalau kita diundang ke rumah kan ada uang jalan atau uang saksi. Biasanya tuan rumah memberikan biaya tambahan secara ikhlas, tanpa kita tentukan nominalnya berapa," jelasnya.

Kepala Sub Bagian Hukmas dan KUB Kementerian Agama Riau, Drs. H. Irhas kepada Tribun mengatakan, biaya pencatatan pernikahan sesuai peraturan, nominalnya Rp 30 ribu. Tapi lagi-lagi muncul istilah "sukarela" ketika ia mengatakan, jika ada biaya tambahan yang diberikan kepada para petugas KUA, itu sifatnya sukarela dan tergantung kesepakatan antara pihak pengantin dan keluarga dengan KUA.

"Itu kebijakan masing-masing KUA dan tidak ada undang-undang atau peraturan yang mengaturnya," tutur Irhas.

Sosiolog Universitas Riau  Dr Achmad Hidir berpendapat, apa yang terjadi di KUA mencerminkan bagaimana budaya korupsi masih melekat erat di instansi pemerintahan. Disebut budaya karena  dianggap sudah lumrah, diwariskan, dipelajari, dan sudah menjadi kebiasaan.

"Masyarakat harus berani untuk menolak dan mempertanyakan kepada pejabat pemerintahan terkait dengan hal-hal yang dianggap dapat merugikan mereka," tegas Achmad Hidir.

Selain itu, sebagai solusinya, dia menyarankan masyarakat melapor kepada Ombudsman RI, sebuah badan yang bertugas menyelidiki berbagai  keluhan masyarakat terutama tentang pelayanan publik.

"Minimal, masyarakat menulis surat pembaca ke media massa agar menimbulkan efek jera terhadap para perjabat yang telah menyalahgunakan wewenang," kata dia.

Achmad Hidir berharap agar pihak Kementerian Agama Riau ikut menertibkan pungutan di KUA, salah satunya membuka semacam pusat pengaduan (hotline public service) untuk menampung semua masukan dan keluhan dari masyarakat.  (cr10)

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook