Wednesday, January 8, 2014

dalam bahasa Arab sering disebut dengan khusyunat, dan dalam bahasa Inggris berarti violence



KEKERASAN KHUSYUNAT

Haji M.Rakib Jamari, SH., M.Ag    Riau      Pekanbaru

Ada sebuah syair:
Wahai orang yang ingin menanduk gunung tinggi untuk menundukannya Sayangilah kepala(mu), dan bukan gunung itu.
Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata: Ingin terbang, tidak memiliki bulu burung, Ingin memanduk kambing hutan, tidak memiliki tanduk.

           Para ulama sunnah masa kini tentang tokoh-tokoh Ikhwan. Anda akan menemukan perbedaan mencolok ulama sunnah tersebut dengan kalangan yang justru mengaku mengikuti mereka. Kesaksian ini kami ambil dari buku Al Ikhwan Al Muslimun Anugerah Allah yang Terzalimi edisi lengkap dan juga buku yang sangat bagus, karya Al Ustadz Abduh Zulfidar Akaha, Lc -hafizhahullah- yang berjudul Siapa Teroris? Siapa Khawarij? Penerbit Pustaka Al Kautsar, cetakan pertama, Juni 2006. Sebuah buku yang berhasil membuka banyak sekali kesalahan, kedustaan terhadap ulama, dan penyimpangan pemikiran (yang justru mudah mengkafirkan orang lain), dari Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh -hafizhahullah- yang tertera dalam buku Mereka Adalah Teroris! Maaf, istilah `kedustaan’ bukanlah dari kami tetapi dari Ustadz Abduh Zulfidar sendiri terhadap Ustadz Luqman, sebagaimana tertera dalam Catatan Ketujuh (hal. 137 – 159).
Kami sangat menganjurkan (tanpa berniat promosi) bagi pembaca setia Tatsqif untuk segera membaca dan menelaah baik buku tersebut. Selain dari dua buku tersebut kami juga memaparkannya dari sumber¬sumber lain.
           Kekerasan yang dalam bahasa Arab sering disebut dengan khusyunat, dan dalam bahasa Inggris berarti violence sering diartikan dengan; “Suatu tindakan yang bersandar pada penggunaan ketegasan ekstra”. Sebagian lagi mendefiniskannya sebagai; “Prilaku yang bertentangan dengan kelembutan dan sesuatu yang natural”. Tentu pendefinisian semacam itu adalah definisi yang bersumber dari konsep abstrak yang sangat memungkinkan adanya perbedaan redaksi dan tolok ukur kriterianya. Konsep kekerasan tidak jauh berbeda bahkan mirip dengan konsep-konsep abstrak lainnya seperti; kebebasan (liberal), toleransi, reformasi dan sebagainya yang dalam pendefinisiannya sangat berbeda dengan konsep-konsep obyektif. Atas dasar itulah, perdebatan dalam pendefinisian konsep kekerasan dalam tulisan ringkas ini lebih baik dihindari. Tidak satupun definisi yang para pemikir lontarkan yang memenuhi parameter ilmiah sebuah definisi, sehingga dari situ akhirnya menyebabkan mereka pun sewaktu menyebutkan kata teror, penyiksaan, pelaksanaan hukum pidana, reaksi kekerasan, penyitaan dan embargo pun dimasukkan sebagai ekstensi dari tindak kekerasan.

           Kesulitan pendefisian ini akhirnya menyebabkan sebagian pihak menyatakan bahwa tindak kekerasan tidak memerlukan sebuah definisi ilmiah, karena ia telah bersifat aksiomatis. Kelompok yang menyatakan hal ini masuk pada jajaran kelompok aksiomatisme. Anehnya, ketidakjelasan dalam pendefinisian ini dipakai alat yang seenaknya dipakai untuk menyerang pihak-pihak lain yang tidak sesuai dengan pemikirannya. Sebagai contoh, mereka menganggap “hukum qishas” (vonis balasan setimpal) dalam ajaran agama Islam dianggap praktik tindak kekerasan yang buruk sehingga harus ada aksi nyata untuk menghapus vonis hukuman tersebut. Tentu dalam meneliti fenomena pelaksanaan hukum qishas tadi tidak mungkin menggunakan tolok ukur sebuah budaya yang dengan jelas tidak mampu untuk menjelaskan hakekat hukum Islam tersebut. Jika inilah yang mereka ingin terapkan ataupun berusaha memaksakan untuk menerapkannya maka akan menjadi bukti, betapa sederhana cara pikir mereka tentang tindak kekerasan.
            Muncul kelompok lain yang juga merasa kesulitan dalam mendefinisikan hal tadi. Kelompok ini tidak serta merta menyebutkan definisi versi mereka, namun mereka hanya konsentrasi dalam membahas sebab dan faktor kemunculan tindak kekerasan saja. Kesenjangan sosial ataupun pengharapan yang berlebih adalah beberapa faktor kemunculan praktik kekerasan, menurut mereka. Tentu kajian tersebut tidak dapat mewakili pembahasan yang mendalam berkaitan dengan tesis tentang tindak kekerasan.
Terdapat kelompok lain yang dikarenakan problem yang sama dalam pendefinisian akhirnya mereka berusaha berdiri di garis tengah, namun ternyata mereka pun tidak selamat, mereka turut terjerumus ke dalam lembah penyamarataan yang bertentang dengan konsep keadilan dalam pembahasan ilmiah. Kemunculan kelompok ini lebih dikarenakan mereka kesulitan dalam meneliti banyak hal yang berkaitan dengan fenomena sosial. Selayaknya penelitian kajian sosiologis, seorang peneliti akan mencari obyek-obyek kajian umum untuk mencari esensi secara umum. Dari situ lantas peneliti tadi akan menganalisanya. Dikarenakan penelitian tentang tindak kekerasan sering dianaktirikan, maka yang muncul adalah penyamarataan yang tidak sehat oleh para peneliti dari kalangan sosiolog tersebut.
Ada beberapa bentuk penyamarataan yang tidak sehat tersebut antara lain;
Pertama, penyamarataan dalam pelontaran masalah. Seringkali, sewaktu diadakan penelitian tentang sumber-sumber yang berkaitan dengan kekerasan, mereka hanya meneliti dan menganalisa pada bagian tertentu dan pada obyek khusus saja. Tentu kelemahan cara tersebut adalah generalisasi atas obyek-obyek lain, dengan kata lain keuniversalan hasil analisanya tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga konklusi penelitiannya masih bersifat ambigu dan tidak lebih hanya sekedar praduga saja. Hal itu meniscayakan bahwa apa yang dihasilkan merupakan kontek doktrinal yang tidak memiliki muatan ilmiah sama sekali.
Kedua, penyamarataan dalam pensifatan. Meskipun tindak kekerasan merupakan fenomena riil yang bersifat obyektif dalam kehidupan manusia, namun tanpa adanya analisa yang jelas tentang hal tersebut maka penerapan dan pensifatan secara obyektif mustahil akan dapat diberikan. Hal tersebut sangat rawan untuk disalahgunakan dan disimpangkan, terlebih oleh kelompok yang dianggap kuat atas kelompok yang lemah, mayoritas atas minoritas, senior atas yunior dan seterusnya.
Ketiga, penyamarataan dalam penganalisaan. Dalam kasus ini sering terjadi vonis hitam-putih dalam menghukumi sebuah fenomena, tanpa ada alternatif ketiga. Ungkapan terkenal presiden Amerika Serikat G.W Bush yang mengatakan: “Barangsiapa yang tidak bersama kami maka ia bersama teroris”, adalah contoh konkrit dari tesis ini. Penyebab dari hal tersebut dikarenakan tidak adanya hubungan yang logis antara konsep dan analisa tentang praktik teror (baca: kekerasan). Penyamarataan semacam inilah yang akhirnya menyeret G.W Bush ke dalam jurang radikalisme, yang konon akan diperanginya.
Pada kasus ketiga -penyamarataan dalam menganalisa-, untuk menanggulangi tindakan radikal dalam menilai fenomena semacam tindakan teror (kekerasan) maka menempuh jalan tengah yang lebih hati-hati akan lebih menjanjikan keselamatan dalam berpikir dan bertindak. Apa yang dilakukan oleh Donald J Hanel dan Richard Clutterbuck dalam menganalisa fenomena peperangan dan tindakan teror merupakan tindakan yang tepat. Ada beberapa poin dan tahapan yang mereka berikan sebagai solusi; harus diadakan pembahasan tentang konsep dasarnya terlebih dahulu, lantas selanjutnya dilakukan proses pemilahan berbagai penyebab dan bentuk tindakan kekerasan tersebut. Dari situ akan muncul solusi berupa ditemukan hukum yang berbeda-beda yang masing-masing memiliki konsekuensi yang berbeda-beda pula.
Cara di atas juga diamini oleh Sudhir Kakar, seorang peneliti dan penulis asal India. Ia menambahkan bahwa cara itupun dapat dijadikan pedoman dan diterapkan oleh setiap negara-negara di dunia. Dengan cara ini maka doktrin hitam-putih yang radikal dengan sendirinya akan musnah. Doktrin hitam-putih semacam itu tidak akan pernah bertahan lama, karena ia bertentang dengan rasio sehat manusia dan kejelasan argumen rasional. Cara yang dilakukan oleh Kakar tadi akan dapat mengharuskan akal manusia untuk membedakan antara kekerasan yang bersifat legal, kekerasan sakral, kekerasan karena dukungan eksternal ataupun inernal negara yang bersangkutan. Dimana semua itu memiliki konsekuensi dan vonis penghukuman yang berbeda-beda. Sebagai contoh apa yang pernah disampaikan oleh Paul Wilkonson berkaitan dengan tindak teror yang mendapat dukungan dari luar negeri. Ia mengatakan: “Teror yang mendapat dukungan luar negeri selama tidak menganggu ketentraman umum dan keamanan sumber kekayaan alam negara yang bersangkutan, hal itu tidak menjadi masalah”. Yonah Alexander menyatakan: “Tindak intimidasi asing di Timur Tengah akan dapat dibenarkan selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum normatif dan dasar-dasar demokratis negara yang bersangkutan”. Ini semua hanya sebagai bukti bahwa, tidak semua tindak kekerasan bersifat illegal.
Atas dasar ini pula dapat dijelaskan bahwa Islam sebagai agama yang ajarannya didasari oleh ideologi dan pandangan dunia ketuhanan terhadap Sang Pencipta alam semesta Yang Maha Esa pun tidak terlepas dari beberapa konsep tindak kekerasan, jihad sebagai contoh konkritnya. Atas dasar itu pula maka tolok ukur legalitas kekerasan dalam kaca mata Islam hanya bertumpu kepada konsep ke-Esa-an Tuhan (tauhid) dengan berbagai konsekuensinya termasuk Tuhan sebagai satu-satunya Dzat yang memiliki otoritas mutlak dalam menentukan hukum, termasuk menentukan hukum jihad. Konsep tauhid inilah yang didukung oleh argumen sejarah, teks, fitrah dan akal sehat manusia, bukan konsep monoteis yang telah terpolusi dengan polyteis seperti pada doktrin Trinitas yang tidak memiliki dasar sejarah, teks ataupun rasio sehat manusia. Dari pembahasan ini akan menghantarkan kita pada pembahasan selanjutnya, apakah setiap tindak kekerasan dilarang?
ADAKAH KEKERASAN LEGAL
          
Memeukul anak, yang tidak shalat,
Dengan ukuran yang akurat.
Jangan sampai, memeberi mudarat,
Ciptakan, suasana yang sehat..

          Memukul anak yang tidak shalat, namanya kekerasan legalManusia diciptakan memiliki perasaan emosional, baik emosional yang berkaitan dengan mencintai dan membenci. Dikarenakan emosional dimiliki oleh setiap manusia, maka emosional ini merupakan bagian dasar manusia. Segala macam usaha untuk menghilangkan dan menghapus bagian dasar manusia tadi, sama halnya dengan menghilangkan esensi kemanusiaaan manusia tersebut. Usaha semacam ini mustahil akan terwujud. Atas dasar itulah cinta dan benci yang terdapat dalam diri manusia adalah potensi untuk menjadikan manusia menjadi makhluk yang sempurna. Perlu ada pengarahan yang baik dan benar terhadap potensi rasa benci dan cinta yang dimiliki oleh setiap manusia agar potensi tersebut terealisasi dengan baik. Pengarahan segenap potensi itu akan dapat diwakili oleh akal dan wahyu. Penggabungan arahan akal dan wahyu dalam menuntun daya emosi manusia akan menjadikan manusia sebagai makhluk sempurna. Jadi dengan terealisasinya semua potensi itu, niscaya manusia akan menjadi manusia yang sempurna, ‘manusia tuhan’.
          Banyak cara orang melampiaskan perasaan benci dan cinta, baik berkaitan dengan dirinya sendiri, maupun pada pihak lain. Tentu, akal menghukumi bahwa segala macam bentuk tindakan ekstrim dalam melampiaskan sesuatu –baik benci maupun cinta- masuk kategori hal buruk. Segala sesuatu harus disesuaikan dengan proporsinya. Hal itu pula yang dihukumi oleh Allah swt dalam ajaran agama-Nya yang diturunkan kepada manusia agung, Muhammad saww dan tongkat estafet kepemimpinan agamanya dilanjutkan oleh para manusia suci dari ahlul bayt-nya. Ajaran akal yang selalu sesuai dengan ajaran Allah swt yang terangkum dalam agama Islam Muhammadi menyatakan; “Seseorang boleh mencintai pihak lain namun dengan batas-batas yang jelas”. Akal manusia sehat akan menyatakan bahwa seseorang mustahil akan mencintai musuhnya yang telah berusaha untuk menghancurkan dirinya. Sebagaimana akal telah memberikan hukum bahwa manusia pasti akan mencintai kekasih sejatinya.
         Sebaliknya, akal manusia juga akan menghukumi bahwa mustahil seseorang akan membenci kekasih sejatinya. Sebagaimana akal juga menghukumi bahwa manusia pasti akan membenci dan memusuhi musuh sejatinya. Benci dan cinta tidak akan pernah bertemu dalam satu wajah dan pada satu obyek. Ini sebagai bukti, bahwa akal menyatakan bahwa ada sesuatu yang bernama cinta dan ada pula yang bernama benci. Setiap manusia merasakan hal itu dengan jelas. Akal pun menyatakan bahwa kebencian dan kecintaan harus sesuai dengan proporsinya. Jika tidak, maka manusia akan terjerumus kedalam kesesatan dan kebinasaan. Mencampuradukkan obyek cinta dan benci merupakan hal yang divonis salah oleh akal dan agama Islam sebagai agama rasional. Oleh karenanya agama Islam tidak melarang orang untuk membenci dan mencintai pihak lain. Namun agama Islam ingin mengarahkan obyek cinta dan benci sesuai dengan realita dan bertindak sesuai dengan proporsinya.
         Dengan sangat jelas dan dapat dirasakan secara langsung bahwa terdapat gradasi dalam kualitas cinta yang disesuaikan dengan obyeknya, begitu juga dengan benci. Kecintaan seorang ibu terhadap anaknya, sangat berbeda dengan kecintaannya terhadap cincin pernikahan yang diberikan oleh suaminya. Kebencian seorang anak muda terhadap orang yang pernah menipunya, tentu berbeda dengan kebenciannya terhadap lelaki yang telah membunuh ibu kandungnya. Perbedaan kualitas benci dan cinta pada obyek-obyek yang ada tadi sangat memberikan dampak dan pengaruh terhadap reaksi yang berbeda pula. Reaksi beragam akibat dari kualitas cinta dan benci yang beragam pula merupakan hal alami yang telah dilegalisir oleh agama dan akal.
Atas dasar kualitas cinta dan benci tersebut, maka agama dan akal menyatakan bahwa terdapat kekerasan yang legal dan ada juga yang bersifat illegal. Kekerasan yang bersifat difensif (difa’i) merupakan contoh konkrit kekerasan yang legal. Fungsi agama adalah menjabarkan secara detail batasan-batasan hukum praktik tindak kekerasan. Tidak ada agama yang menjelaskan hal itu secara terperinci dan detail melainkan Islam yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah saww yang tongkat estafet kepemimpinannya dilanjutkan oleh para manusia suci dari keluarga beliau. Jadi jelas sekali bahwa ada beberapa tindak kekerasan yang dilegalkan oleh akal dan agama. Sebagaimana ada pula yang tidak mendapat legalisir agama dan akal. Hal itu pula yang pernah disampaikan oleh Karl Poper dalam sebuah ungkapannya. Ia menegaskan: “Jangan biarkan ada pihak-pihak yang hendak menyamakan antara aksi penyerangan dengan melakukan pertahanan (reaktif), bahkan harus ditekankan untuk selalu membedakannya”.
Islam dan Tindak Kekerasan
Indonesia sejatinya dikenal sebagai negara yang berpegang pada nilai-nilai ketuhanan, perdamaian, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Namun sayangnya tragedi-tragedi kekerasan yang terus terjadi justru menodai cerminan tersebut. Apa yang salah?
Konflik etnis di Tarakan (26/9/2010), bentrok di Jalan Ampera, Jakarta (29/9/2010), pembantaian terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, Banten (6/2/2011), hingga kerusuhan di Temanggung, Jawa Tengah (8/2/2011), adalah contoh kekerasan yang baru-baru ini terjadi. Tak mudah untuk menjelaskan bagaimana bisa ada kelompok di negeri yang konon beradab ini dengan mudahnya melakukan tindak kekerasan. Korban-korban berjatuhan, namun para pelaku seakan tidak merasa bersalah. Bisa jadi para pelaku merasa tindakannya adalah sebuah “kewajiban” yang harus dilaksanakan…
Dalam pandangan agama Samawi, tujuan manusia hanyalah untuk menuju ridho Allah swt. Tidak semua ridho Allah harus melalui jalan lemah lebut, bahkan terkadang harus melalui jalan kekerasan seperti yang tercantum dalam aturan perintah Ilahi yang terangkum dalam konsep amar makruf nahi munkar.
Dalam psikologi Islam disebutkan bahwa esensi dasar manusia (fitrah) adalah suci yang selalu mengajak kepada kesucian dan kesempurnaan. Namun terkadang dikarenakan beberapa faktor eksternal (seperti; lingkungan) akhirnya bisa menjerumuskannya kepada penyimpangan.
Dengan sangat jelas sekali bahwa manusia dianugerahi oleh Allah swt berupa nafsu. Dan dengan nafsu tersebut manusia dapat merasa benci dan cinta. Dengannya pula manusia bisa melakukan persahabatan dan permusuhan. Dan dengannya pula manusia bisa mencapai kesempurnaan ataupun kesengsaraan. Hanya nafsu yang telah berhasil dijinakkan oleh akal saja yang akan mampu menghantarkan manusia kepada kesempurnaan. Namun sebaliknya, jika nafsu diluar kendali akal niscaya akan menjerumuskan manusia ke dalam jurang kesengsaraan dan kehinaan.
              Permusuhan berasal dari rasa benci yang dimiliki oleh setiap manusia. Sebagaimana cinta, benci pun berasal dari nafsu yang harus bertumpu di atas pondasi akal. Permusuhan di antara manusia terkadang karena kedengkian pada hal-hal duniawi seperti pada kasus Qabil dan Habil ataupun pada kisah nabi Yusuf as dan saudara-saudaranya. Terkadang pula permusuhan dikarenakan dasar ideologi dan keyakinan.
Musuh yang dikarenakan kesadaran penuh membenci dan hendak berbuat makar terhadap Islam harus diperangi. Sedang pribadi-pribadi yang tidak memiliki kesadaran semacam itu maka harus ada cara yang lebih lunak dalam memberitahu letak kesalahannya. Semua itu telah disusun dalam konsep amar makruf nahi munkar dalam hukum dan perundang-undangan Islam. Tentu, Islam sebagai agama yang diturunkan melalui Muhammad bin Abdillah saww sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam) lebih mengutamakan cara dialog ketimbang cara kekerasan. Hal itu sebagaimana yang telah disinyalir dalam ayat al-Quran yang berbunyi: “Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan” (QS at-Taubah: 6). Namun bagi pribadi-pribadi yang tidak lagi dapat menerima cara dialog maka tiada jalan lain melainkan dengan cara kekerasan yang tentunya cara inipun memiliki jenjang-jenjang yang harus dijaga dalam pelaksanaannya.
            Sering dijumpai beberapa pihak yang ingin menghilangkan kesan negatif dari Islam dengan cara menghapus sama sekali legalitas beberapa tindakan kekerasan dalam Islam. Dengan dalih Islam sebagai agama rahmatan lil alamin maka segala bentuk kekerasan ingin mereka tutup-tutupi agar Islam yang dianutnya tidak dijadikan bahan ejekan musuh-musuh Islam, terkhusus dari pihak Barat. Padahal konsep rahmatan lil alamin agama Islam sama sekali tidak bertentangan dengan legalitas beberapa tindak kekerasan dalam pandangan Islam. Hal itu dikarenakan secara esensial kekerasan tidak dapat divonis sebagai sesuatu yang baik ataupun buruk. Jadi tindak kekerasan tidak dapat digeneralisasikan dalam pem-vonis-annya. Semua tergantung pada hal-hal seperti, kekerasan dengan arti yang bagaimana, dari pihak mana, untuk siapa, dengan tujuan apa, dengan kapasitas berapa, dengan cara apa, cakupan radius waktu dan tempatnya seberapa? Jawaban beragam yang dihasilkan dari semua pertanyaan-pertanyaan itu akan mempunyai hukum dan konsekuensi yang berbeda-beda. Semua itu akan menjadi faktor dan tolok ukur penilaian baik-buruk suatu tindak kekerasan. Tanpa melihat delapan tolok ukur penilaian tadi niscaya tindak kekerasan tidak akan pernah dapat teranalisa dengan baik dan benar, bahkan tidak akan pernah terealisasi. Tentu akal dan ilmu pengetahuan moderen pun dapat menghukumi bahwa kekerasan seorang ibu terhadap anaknya (mencubit, misalnya) dengan tetap memperhatikan batas-batas yang wajar guna mendidik anaknya tersebut akan dapat dihukumi baik. Dari sini jelas sekali bahwa tidak semua tindak kekerasan bersifat negatif dan bertentangan dengan konsep ke-rahmatan lil alamin-an Islam…

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook