Wednesday, January 29, 2014

HUKUM RIMBA DI TENGAH KOTA Catatan Pinggir HM.Rakib Jamari,S.H.,M.Ag



           
HUKUM RIMBA DI  TENGAH KOTA
Catatan Pinggir
HM.Rakib Jamari,S.H.,M.Ag

           Maaf ini penulis kutip di ruang kantor LPMP Riau  dari  KOMPAS.com - Kekerasan yang marak di sejumlah daerah belakangan ini menunjukkan kepercayaan kepada hukum, kepemimpinan, dan pemerintah semakin hilang. Situasi ini mirip hukum rimba yang dianggap membahayakan. Agar tidak semakin memburuk, kondisi ini harus segera diatasi.
Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, Senin (1/4), mengatakan, semua kekerasan itu mencerminkan kepercayaan masyarakat kepada negara kian menipis. Hal itu terjadi akibat lemahnya keteladanan oleh pemimpin nasional. Sebagian elite politik, dari tingkat pusat sampai kepala daerah, justru bermasalah, terlibat kasus kriminal atau tersangkut korupsi.

Aparat penegak hukum juga tidak berwibawa karena justru menciptakan ketidakadilan. Pada saat bersamaan, kesenjangan sosial ekonomi masih tajam. Walaupun pertumbuhan ekonomi disebut mencapai 6 persen, hal itu tanpa pemerataan kepada masyarakat luas.

Akhir-akhir ini, aksi kekerasan atau main hakim sendiri yang menerabas hukum terus bermunculan. Sebut saja penyerbuan dan pembakaran Markas Polres Ogan Komering Ulu oleh sekelompok anggota TNI; sekelompok orang bersenjata menyerbu dan menembak mati empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta; sekelompok warga mengeroyok Kapolsek Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, hingga tewas; perwira polisi dibunuh di Aceh; dan terakhir massa membakar kantor Wali Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Kelompok-kelompok kekerasan dan masyarakat justru melampiaskan dengan caranya sendiri, bukan menghormati hukum.

”Kepercayaan kepada negara ada, tapi semakin menipis. Letupannya di mana-mana. Kalau tak diatasi atau pemerintah tetap begini saja, keadaan bisa semakin memburuk dan demokrasi menjadi kian tidak sehat,” katanya.

Menurut Direktur Reform Institute Yudi Latif, demokrasi semestinya tumbuh bersama nomokrasi atau rule of law (aturan hukum). Ini menghendaki komitmen pada nilai-nilai konsensus bersama. Namun, demokrasi di Indonesia justru kian mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok (partikular).

Hukum yang mestinya menjadi simpul kebajikan dan ketertiban kolektif malah dipolitisasi untuk kepentingan partikular. Penegak hukum yang mestinya berada di garis terdepan dalam memuliakan hukum justru menghinakan hukum dengan menjadikannya sebagai alat pemerasan. Tanpa kepastian hukum, orang kembali mencari sumber perlindungan dari instrumen komunalisme dalam bentuk tribalisme, premanisme, dan fundamentalisme.

”Demokrasi tanpa nomokrasi akan berujung di dua jalan buntu, yaitu merebaknya anarki dan kembalinya tirani. Seluruh leleran keringat perjuangan demokrasi selama ini akan sia-sia. Tanpa wibawa otoritas hukum, warga kembali ke dalam perang semua lawan semua, yang bisa berujung pada the survival of the fittest (hukum rimba),” papar Yudi.

Dalam situasi tersebut, pemimpin nasional semestinya bertindak nyata untuk mengatasi keadaan dengan menegakkan otoritas yang bersumber dari kepastian hukum. Namun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru dikhawatirkan tidak bisa lagi dalam posisi dapat mengubah keadaan. Ketidaktegasan Presiden justru sering menjadi sumber masalah melemahnya wibawa otoritas.

”Ini memang titik genting dalam demokrasi kita. Kita cuma berharap Pemilu 2014 akan bisa menjadi momen kelahiran kembali demokrasi-nomokratis. Partai-partai dipanggil sejarah untuk menghindari jalan buntu ini. Partai harus menyusun caleg yang bermutu, mengusung calon presiden yang dapat memulihkan semangat republikanisme,” tutur Yudi.

Semuanya korsleting

Menurut sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, kekerasan meledak karena tidak berjalannya instalasi demokrasi yang sebenarnya sudah terpasang. ”Hukumnya ada, peraturannya ada. Aparatnya ada TNI, Polri, hakim, dan jaksa. Pemerintahan dan parlemen pun ada. Namun, semuanya korsleting. Instalasi demokrasi sudah terpasang, tetapi tak berjalan efektif,” ujar Arie.

Menurut dia, salah satu persoalan utama adalah pemimpin yang tidak mengoperasikan instalasi tersebut secara konsisten. Misalnya, ada Undang-undang Antikorupsi, tetapi hingga sekarang mafia anggaran tetap berjalan. Aturan pilkada sudah ada, tetapi konsistensi dan etika untuk menjalankannya secara benar tidak ada.

”Masyarakat akhirnya kebingungan melihat situasi ini. Kalau masyarakat menjadi beringas, itu cuma reaksi saja. Reaksi dari kebingungan itu. Mereka tidak punya otoritas, tidak punya kewenangan. Ketika ada momen, apakah itu konflik pilkada atau sengketa agraria, tiba-tiba meledak,” kata Arie.

Menurut dia, kondisi tersebut bisa menjadi sangat berbahaya. Rasa frustrasi tersebut pada akhirnya akan mengorbankan rakyat juga, dan bukan elite. Ia mencontohkan perusakan fasilitas umum, seperti kantor-kantor pemerintah, akan mengakibatkan tersedotnya anggaran pusat dan daerah untuk keperluan yang semula tidak diperlukan.

Kekerasan bakal menyebar, tidak lagi dimonopoli aparat pemegang senjata. ”Fenomena ini hanyalah puncak gunung es dari relasi kekuasaan dan kekerasan di Indonesia. Bahayanya, jika dibiarkan bisa merembet ke peristiwa politik lain,” papar Arie.

”Kita sebaiknya merefleksikan dan mengevaluasi reformasi hukum selama 15 tahun terakhir. Refleksi ini penting untuk menemukan persoalan mendasar hukum,” kata Wakil Direktur Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan Arsil. Arsil mengatakan, hukum di Indonesia memang sudah hancur lebur. (IAM/ANA/AMR/RYO/FER)….


Saya kurang tahu kenapa suatu kondisi yang buruk, dimana tidak ada keadilan atau keadilan susah dicari, orang selalu mengaitkannya dengan hukum rimba. Apakah memang hukum rimba seburuk itu?
Kalau menurut saya, hukum rimba justru menunjukkan adanya sebuah konsistensi dari para penghuni rimba untuk patuh dan taat menjalankan hukum di rimba tempat mereka hidup sesuai dengan yang telah ditetapkan dan digariskan oleh sang pencipta mereka. Artinya, hukum rimba itu sebetulnya tidak jelek, justru di dalam hukum rimba itu kita akan dapat temukan adanya konsep keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan. Kurang percaya? Nah sekarang mari kita coba kupas beberapa aspek yang ada dalam hukum rimba itu secara agak mendetail.
Dalam menggapai posisinya menjadi seekor pemimpin, binatang seperti singa jantan harus bertarung secara jantan untuk memperebutkan posisi tersebut dengan kekuatan sendiri. Lebih dari itu, yang kalah dalam memperebutkan posisi bergengsi tersebut pun mau legowo untuk menerima kekalahan mereka. Begitu pun ketika suksesi harus terjadi, pemimpin generasi tua pun rela bersaing secara fair dengan generasi muda calon penerus mereka. Dan kalaupun si generasi tua kalah untuk mengekalkan kepemimpinannya seumur hidup, dia tak perlu mengandalkan keseniorannya untuk mendikte sang pemimpin muda.
Satu yang dianggap kejam (oleh manusia) dalam hukum rimba adalah kegiatan mangsa-memangsa, dimana yang kuat memangsa yang lemah. Nyatanya, apa yang terjadi di rimba mungkin tidak sekejam yang kita bayangkan. Kegiatan mangsa-memangsa memang terjadi, tetapi dalam “porsi” yang seimbang dan tidak ada keserakahan di dalamnya. Kegiatan mangsa-memangsa terjadi salah satunya justru untuk menjaga populasi para penghuni rimba agar tetap seimbang; tidak ada populasi hewan tertentu yang berlebihan di satu sisi dan hewan yang terancam populasinya di sisi lain. Hewan yang menjadi mangsa pun biasanya diberi kelebihan oleh pencipta mereka untuk bisa beranak-pinak secara cepat, juga kemampuan untuk mempertahankan diri dari kejaran para pemangsa mereka. Artinya, hewan pemangsa pun harus punya kemampuan dan usaha yang keras jika ingin bisa mendapatkan hewan buruannya untuk dimangsa. Selain dari itu, hewan pemangsa pun punya sifat tidak serakah, artinya ketika kebutuhan perut sudah terpenuhi (alias sudah kenyang), mereka tidak akan kemaruk menimbun makanan, walaupun hewan yang biasa dimangsanya itu lewat di depan mata. Mereka tidak akan berusaha untuk mengejar binatang yang biasa dimangsanya karena memang sudah tercukupi kebutuhan perut mereka pada saat itu.
Sekarang coba bandingkan dengan ketidakpastian hukum (di Indonesia misalnya), jelas beda jauh kan? Coba lihat kasus korupsi, penggusuran dan penindasan terhadap rakyat miskin, foya-foyanya para pejabat negara, kasus kerusakan lingkungan, kecurangan dalam pemilihan kepala daerah, dll.
Justru malah ketidakpastian hukum yang banyak terjadi di negara kita lah yang mengancam “keadilan” yang ada dalam hukum rimba. Contohnya banyak seperti perburuan liar, pembalakan liar, pembukaan lahan dengan membakar hutan, dll. Ulah manusia seperti itu, yang sampai sekarang susah untuk dijerat secara hukum, justru yang mengakibatkan banyak hewan menjadi langka dan terancam punah. Hukum rimba justru malah terancam oleh ketidakpastian hukum manusia.
Jadi, jangan analogikan hukum “chaotic” (a la Indonesia misalnya) dengan hukum rimba, karena hukum rimba justru jauh lebih beradab (mohon maaf sebelumnya karena harus mengambil contoh perilaku hukum di Indonesia, karena memang sangat tepat untuk dijadikan contoh). Sepertinya manusia yang suka bermain-main dengan hukum dan senang menciptakan sebuah kondisi dimana hukum menjadi chaotic perlu sekali-kali melakukan studi banding ke para penghuni rimba, atau sering-seringlah menonton acara dunia binatang… biar nyadar kalau ternyata binatang masih jauh lebih baik dari mereka (hahaha…).




No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook