Tuesday, January 14, 2014

KAEDAH PERLINDUNGAN ANAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM



KAEDAH PERLINDUNGAN ANAK DALAM PERSPEKTIF  ISLAM

Drs,H,M.RAKIB, S.H.,M.Ag


Perlindungan anak dalam Islam


1. Perlindungan dari hukuman fisik.
            Di masa hidupnya Rasulullah, di masa Amirul Mukminin, dan di masa jayanya dinasti Umayyah dan Abbasiyah, hukuman fisik oleh orang tua dan guru, yang digunakan  untuk menghukum anak-anak adalah cambuk kecil,[1] untuk menakut-nakuti anak-anak  yang tidak disiplin belajar  dan tidak shalat. Menanamkan sikap kesatria dan bertanggungjawab,bersedia dihukum, mau mengakui kesalahan, merupakan salah satu bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk melestarikan, menanamkan (internalisasi) dan mentransformasikan nilai-nilai Islam tersebut kepada pribadi generasi penerusnya sehingga nilai-nilai cultural-religious yang dicita-citakan tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu-kewaktu. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk lembaga dan sistem pendidikan Islam pada masa khalifah Harun ar-Rasyid dan al-Makmun?
                Hukuman fisik tidak banyak ditulis para ilmuwan. Lembaga pendidikan Islam yang berkembang pada masa khalifah Harun ar-Rasyid berbentuk: kuttab, pendidikan rendah di istana, halaqah, masjid, majelis, rumah sakit dan rumah-rumah ulama’, toko buku dan perpustakaan. Sedangkan lembaga pendidikan Islam pada masa al-Makmun yaitu: kuttab, pendidikan rendah di istana, halaqah, masjid, majlis, rumah sakit, observatorium, khan, ribat, toko buku dan perpustakaan. Sistem pendidikan Islam pada masa kedua khalifah ini meliputi: tujuan, kurikulum, metode, kehidupan guru dan murid serta hubungan guru dan murid. Tujuan Pendidikan Islam pada masa Pola hubungan guru dan murid  tidak ditemui informasi tentang kekerasan apapun. Karena didasarkan pada prinsip demokratis dan kesucian batin serta akhlaqul karimah.
              Dari data historis tersebut, menurut   analisis penulis  angtara konsep Hukum Islam dan UU RI No 23, secara  tekstual seakan-akan terjadi pertentangan secara tekstual. Sedangkan secara  kontekstual, “ tidak”, karena hukuman fisik terhadap anak-anak dalam Islam, tidak mengandung kekerasan, dan digunakan sebagai alternatif terakhir, sekaligus sebagai antisipasi kerusakan (dar’ul mafasid).[2]Dar’ul mafasid, artinya mencegah  kerusakan yang lebih besar. Maksudnya memberikan hukuman fisik kepada anak-anak adalah untuk mencegah kejahatan yang mungkin akan dilakukannya, akan tetapi jangan sampai menghasilkan manusia yang suka dengan tindak kekerasan dikemudian hari. Kalau itu terjadi, maka pendidikan saat ini hanya menghasilkan kesalahan besar.
2.Melindungi anak-anak dari kekerasan guru.
Dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang UU Perlindungan Anak pasal 54 menyebutkan: “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”.
Apakah bertentangan dengan Hukum Islam yang membolehkan hukuman fisik sekedarnya, untuk melindungi dan  menjunjung tinggi kesucian kehidupan anak-anak. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah ayat-ayat dalam al-Qur’an dan  hadits. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, Islam memberikan landasan hukum yang jelas bahwa kehidupan manusia itu suci sehingga haruslah dipelihara dan tidak boleh dihancurkan (diakhiri) kecuali dilakukan untuk suatu sebab atau alasan yang benar, misalnya pembelaaan diri yang dibenarkan. Berikutnya akan dianalisis pandangan-pandangan  ulama fikh tentang kekerasan, argumentasi methodologis (usul fikh), solusi fikh, dan  argumentasi fikh. Berikut ini disajikan tabel :





Tabel  5
Perbedaan antara UU Perlindungan Anak dan Hukum Islam, tentang hukuman fisik, bagi anak-anak.

No
     UU Nomor 23 Tahun 2002
                    Hukum Islam
1
Berdasarkan HAM dan konvensi PBB tentang hak-hak anak.
Berdasarkan Al-Quran dan Hadits
2
Keterangannya bersifat  global
Keterangannya  bersifat  detil
3
Untuk semua agama
Untuk umat Islam dan dunia
4
Melarang hukuman fisik, tanpa batas
Membolehkan hukuman fisik, dengan batas-batas tertentu.
5
Bersifat sekular rasionalis
Bersifat sakral relegius
6
Memuat sanksi hukuman penjara dan denda bagi yang melanggarnya.
Memuat sanksi hukuman qishas dan ta’zir  bagi yang melanggarnya.
Keterangan  tabel  5
             Pada  baris nomor 5 dalam tabel ini, dibandingkan tentang dasar atau landasan atau fondasi dari UU Nomor 23 Tahun 2002 adalah  Hak Asasi Manusia (HAM) dan Konvensi PBB tentang hak-hak anak yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Sedangkan Hukum Islam, dasarnya adalah  Al-Quran dan  Hadits. Walaupun dasarnya dan landasannya berbeda, tapi tujuannya sama, yaitu memberikan perlindungan kepada anak-anak. Dalam Islam, anak-anak sampai umur tujuh tahun, dibimbing dan diberi contoh, bagaimana melakukan shalat. Mereka biasanya lebih terpengaruh oleh kebiasaan dan didikan orang tuanya. Namun setelah mulai masuk sekolah ia akan terbina oleh gurunya dan terpengaruh oleh teman-temannya di sekolah. Kalau pembinaan guru-gurunya baik dan pengaruh teman-temannya pun baik maka insya Allah jiwa anak terbina dgn baik. Sebaliknya kalau pembinaan dari guru-gurunya hanya sekadarnya dan pengaruh teman-temannya buruk maka si anak terbentuk dalam pola yang kurang baik.
           Di saat seperti itu pembinaan ataupun kebiasaan kedua orang tuanya yang ditanamkan kepada si anak selama 7 tahun itu lambat laun terkikis lama-lama bisa habis. Sedang pembinaan dari orang tua belum tentu berlanjut atau setidak-tidaknya tak ada peningkatan. Karena orang tua merasa anaknya sudah disekolahkan pasti telah dibina oleh guru-gurunya di sekolah. Wal hal guru-guru belum tentu membina si anak dgn baik/ intensip. Apalagi kebanyakan pendidikan selama ini kurikulumnya hanya sekadar menyampaikan pelajaran yg sasarannya hanya membekali otak dengan ilmu teori dan itupun sifatnya lbh menjurus kepada materi keduniaan. Sedikit sekali yang menyangkut pembinaan rohani akhlaq jiwa hati keimanan keikhlasan atau akhlaq secara keseluruhan. Sehingga aspek ukhrawi justru terabaikan.           Kemaslahatan manusia  dapat terwujud apabila terjamin kebutuhan pokok (dharuriyah), kebutuhan sekunder (hajiyah) maupun kebutuhan pelengkapnya (tahsiniyah).[3] Yang diinginkan ialah:
1.      Mencari solusi dengan fikih alternatif

            Dalam konteks hukuman fisik , mirip dengan aborsi tak aman yang menimbulkan tingginya kecelakaan, bukan merupakan persoalan sederhana, tetapi memiliki dimensi sosial yang  kompleks baik secara fisik, psikis bagi yang bersangkutan maupun psiko-sosial bagi lingkungannya. Fikih dalam hal ini harus berorientasi pada etika sosial yang produk hukumnya tidak sekedar halal atau haram, boleh dan tidak boleh, tetapi harus memberikan jawaban berupa solusi hukum terhadap persoalan-persoalan sosial yang dihadapi perempuan. Dengan kata lain, diakui pula oleh K.H. Sahal Mahfudz (2003):“Fikih sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam”.[4]

            Dalam konteks menetapkan kepastian hukum mengenai tingginya angka
kematian ibu akibat aborsi tak aman yang merupakan dua kondisi yang sama-sama membahayakan, dapat dianalisa dengan menggunakan beberapa kaidah fikih, antara lain: Pertama, “Bahaya itu menurut agama harus dihilangkan (al-dlarar yuzaalusyar’an)”; Kedua, “Bahaya yang lebih berat dapat dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih ringan (al-dharar al-asyadd yuzaalu bi al-dharar al-akhaff)” atau “Jika dihadapkan pada dua kondisi yang sama-sama membahayakan, maka pilihlah bahaya yang lebih kecil risikonya (Idza ta’aaradlat al-mafsadataani ruu’iyaa’dhamuhuma dlararan)”; Ketiga, “Keterpaksaan dapat memperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang (al-dlaruraatu tubiihul mahdzuraat)”; [5]Keempat, perubahan hukum Islam dapat dilakukan dengan adanya perubahan zaman, perubahan tempat, perubahan kondisi, perubahan niat dan kultur atau adat (taghayyir al-ahkam bitaghayyur al-azminah wal-amkinah wal-ahwal wan-niyaat wal-‘awaaid)”[6].
2.      Mengutamakan pencegahan
              Ada argumentasi klasik di kalangan ulama bahwa pencegahan atau men- dahulukan prevensi (syaddu al-dzari’ah) lebih baik. Dalam hal    hukum   aborsi,
melarang aborsi dianggap lebih aman, karena ada kehawatiran kalau aborsi     di- bolehkan akan dijadikan sebagai peluang bagi pelaku seks di luar nikah mencari
jalan keluar. Bila aborsi dibolehkan sama dengan memberikan kesempatan untuk
melakukan perzinahan atau seks bebas. Pertanyaannya adalah bagaimana fikih
menjawab realitas yang sudah terjadi berupa tingginya angka aborsi tak aman yang jelas-jelas mengancam kematian, apakah masih relevan menjawab dengan
argumentasi preventif. Pandangan tersebut nampak sangat tekstual karena hanya
berorientasi pada teks tanpa melihat realitas sosial bahwa ada satu   kondisi yang
mengancam kematian perempuan yang perlu dijembatani supaya aborsi tak aman
tidak terjadi. Di sinilah letak kesenjangannya antara teks fikih dan kenyataan di
lapangan.Argumentasi klasik tersebut terpatahkan dengan ditemukannya fakta bahwa dari jumlah rata-rata 2 juta kasus aborsi pertahun, 76.6% dilakukan oleh perempuan berstatus menikah.[7] Penelitian terakhir oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (2003),87% klien aborsi berstatus menikah.[8]
B. Status Anak sebagai subjek dan objek hukum Islam
1.Anak-anak bukan subjek hukum.
            Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa anak-anak statusnya belum bisa menjadi subjek hukum. Bukan mahkum alaihi. Yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah seorang perbuatannya dikenai khitab Allah SWT, yang disebut dengan mukallaf. Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqih, istilah mukallaf disebut juga dengan mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah allah maupun dengan larangan-nya. Seluruh tindakan mukallaf harus dipertanggung jawabkan. Apabila mengerjakan perintah allah swt, ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah SWT., ia mendapat risiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.
       2.        Dasar penetapan subjek hukum
             Anak-anak belum dikenai taklif (pembenanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama ushul fiqih, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman. Maksudnya, seorang baru dapat dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena tidak atau belum berakal, mereka dianggap tidak dapat memahami taklif fari syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan mabuk tidak dikenai taklif karena berada dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Hal ini, sejalan dengan sabda Rasulullah SAW. : “diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang), orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan gila sampai sembuh.”[9]  Dalam hadits lain dikatakan : “ummatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan terpaksa.”
       3.        Syarat-syarat taklif
Ada dua syarat sahnya memberi beban kepada mukallaf, yaitu berikut ini :
       a.         Mukallaf dapat memahami dalil taklif, yaitu mampu memahami nash yang dibebankan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah secara langsung atau melalui perantaraan. Orang yang tidak mampu memahami dalil taklif tidak dapat tumpuan yang dibebankan kepadanya dan tujuannya tidak dapat mengarah kesana. Kemampuan memahami dalil itu hanya dapat nyata dengan akal sehingga dengan akal tersebut adanya nash-nash yang dibebankan dapat diterima pemahamannya karena akal merupakan alat memahami dan menjangkau. Dengan akal tertujulah keinginan untuk mengikuti. Ketika akal itu adalah hal yang sembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh indera lahir, maka syar’i telah menghubungkan beban taklif dengan hal nyata yang dapat dijangkau oleh indera, yang menjadi tempat dugaan akal, yaitu sifat kedewasaan. Dengan demikian barang siapa telah sampai pada keadaan dewasa dan tak tampak padanya sifat-sifat yang merusak kekuatan akalnya, ia telah sempurna untuk diberi beban. Atas dasar ini orang gila dan anak-anak tidak dapat deberi beban karena tidak adanya akal yang menjadi alat memahami yang dibebankan. Juga orang yang lupa, tidur, dan mabuk tidak dapat diberi beban.
             Rasulullah SAW bersabda : “ Diangkatlah pena itu (tidak digunakan untuk mencatat amal perbuatan manusia) dari tiga orang, pertama dari orang yang tidur sampai ia bangun, kedua dari kanak-kanak sampai dia dewasa dan ketiga dari orang gila sampai dia berakal.” Beliaupun bersabda : “ Barangsiapa tidur sampai ia tertinggal melakukan shalat atau lupa mengerjakannya, hendaklah dia mengerjakan shalat itu ketika ingat, sesungguhnya ketika ingat itulah waktu shalat.” Adapun kewajiban zakat, nafkah, jaminan (dhamman) atas anak-anak dan orang gila, bukan berarti memberi beban kepadanya. Akan tetaping memberikan beban kepada walinya agar melaksanakan kewajiban harta yang menjadi milik anak-anak dan orang gila itu, seperti membayar pajak tanah dan irigasi dari harta miliknya. Adapun firman Allah SWT. :


             [1] Hukuman fisik dapat dihindari dengan kekuatan bai’at kepada guru. Masalah bai’at cukup ramai dalam dunia dakwah, simpang siur pendapat dalam masalah ini cukup membuat bingung para penganut jama’ah dakwah bahkan para aktivisnya. Namun sangat disayangkan kebanyakan mereka tatkala membahas masalah yang satu ini tidak merujuk kepada penjelasan para ulama Ahlussunnah.
Bahkan mereka mengambil hadits-hadits Nabi S
AW., dalam masalah ini, lalu mereka memahaminya dengan akal pikiran mereka sendiri. Lebih parah jika kemudian disesuaikan dengan kepentingan pribadinya, kelompoknya atau pahamnya, sehingga bai’at menjadi jaring atau tali pengikat para pengikut jama’ah dakwah untuk tidak lepas darinya. Kalau tetap saja lepas maka… Tak sedikit orang dianggap kafir dan diberlakukan padanya hukum-hukum orang kafir di dunia dan akhirat karena tidak berbai’at.  Lihat Irpan Ubaidillah, bahwa Harun ar-Rasyid dan al-Makmun berorientasi pada aspek kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah., pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun status sosial guru ditentukan berdasarkan kompetensi, profesionalitas dan akhlaqul karimah. Sedangkan kehidupan murid pada masa ini yaitu belajar langsung di depan syaikh, diskusi dan Rihlah Ilmiah. Irpan Ubaidillah, Disertasi, Studi Tentang Pendidikan Islam Pada masa Daulah Abbasiyah,(Surakarta, Univerversitas Muhammadiyah : 2001),256 .

            


           [2] Benturan antara maslahat dan mafsadat, dalam artian kalau ingin mengerjakan kemaslahatan tersebut maka mesti melakukan mafsadatnya. Jika hal ini yang terjadi maka secara umum dapat diurai kan sebagai berikut: 1. Apabila mafsadatnya lebih besar dibanding maslahatnya, maka meng-hindari mafsadat itu dikedepankan daripada meraih kemaslahatan tersebut. 2. Apabila maslahatnya jauh lebih besar dibandingkan dengan mafsadat yang akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih diutamakan daripada menghindari mafsadatnya. Oleh karena itu, jihad berperang melawan orang kafir disyari’at kan, karena meskipun ada mafsadatnya yaitu hilangnya harta, jiwa dan lainnya, namun maslahat me negakkan kalimat Alloh di muka bumi jauh lebih utama dan lebih besar. 3. Apabila maslahat dan mafsadat seimbang, maka secara umum saat itu menolak mafsadat lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan yang ada. Berdasarkan kaidah umum: (Menghilangkan mafsadat itu lebih dida-hulukan daripada mengambil sebuah maslahat).Untuk mengetahui perincian permasalahan ini lihat kembali kaidah (Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan).Lihat Asmawi, Perbandingan Usul Fqih, (Jakarta , Penerbit Amzah : 2011),57

             [3]  Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairy Al-Naisabury. 261 H. Shahih Muslim. Beirut: Daar Al-Fikr, 1992, jilid 2, hal. 123, hadits nomor 15.
            [4] Sahal Mahfudh, M.A. 2003. Fikih Sosial: Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan
Madzhab Manhaji. Pidato Promovendus pada Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Fikih Sosial di UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta, 18 juni. Jakarta: Universitas Islam Negeri, 18.
                [5] Totik Jumanto dan Samsul Munir Amin, Op.Cit.,169
              [6] Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakr (terkenal dengan panggilan Ibnu
Qayyim Al-Juuziyyah). 1980. ‘Alaam al-Muwaqqi’iin ’an Rabbi al-‘Alamiin. Cairo: Mathabi’ Al-
Islam, jilid 3,  3.

            [7] WHO dalam Gulardi Wignyosastro. Masalah Kesehatan Perempuan Akbat Reproduksi,
Makalah Seminar Penguatan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, PP Fatayat NU dan Ford Foundation, Jakarta, 1 September 2001
           [8] Ninuk Widyantoro. 2003. Pengakhiran Kehamilan Tak Diinginkan yang Aman Berbasis
Konseling. Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan.Lihat juga Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit. ,189

                 [9] HR. Ibnu Majah dan At-Thabrani. Lihat juga HR. Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ad-Daruquthni dari ‘Aisyah dan ‘Ali bin Abi Thalib.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook