Tuesday, January 14, 2014

kitab al-Ahkam as-Sultaniyyah, Al-Mawardi mengungkapkan, esensi hukum Islam adalah menegakkan keadilan





Kitab al-Ahkam as-Sultaniyyah, Al-Mawardi mengungkapkan, esensi hukum Islam adalah menegakkan keadilan
By Drs.Mhd.Rakib,S.H.,M.Ag. Pekanbaru-Riau. 2014 


      Masalah jinayat yang tercakup dalam jarimah hudud dan qaisas-diyat yang disyariatkan pada dasarnya untuk memelihara eksistensi manusia dan kemuliaan manusia, sebagai pembeda antara manusia dengan makhluk lain, seperti hukuman had qisas-diyat untuk memelihara eksistensi jiwa dari pembunuhan dan penganiayaan, hukuman had minuman keras untuk memelihara eksistensi akal, hukuman zina untuk memelihara eksistensi asal-usul (keturunan) manusia, hukuman had pencurian untuk memelihara eksistensi harta, hukuman had hirabah untuk memelihara eksistensi jiwa dan harta. Maka upaya untuk memelihara eksistensi itu pada dasarnya untuk penguatan martabat manusia, dan fuqaha’ telah merumuskan menjadi lima kategori, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta[1].Dan hal-hal yang bersifat hajiyah (skunder) dari tujuan hukum itu dapat dikategorikan sebagai berikut:
Pertama, hal yang primer dalam ibadah disebut “azimah” (yang seharusnya), maka dalam keadaan tertentu boleh dilakukan rukhsah (keringanan) dengan tujuan untuk menghindarkan kesulitan, seperti karena sakit atau safar. [2]
Kedua, dalam masalah kebiasaan, seperti makan, boleh memakan makanan yang lezat asalkan halal, boleh memakai pakaian yang baik, boleh mendiami rumah yang baik, juga boleh memakai kendaraan yang baik, dan lain sebagainya.
Ketiga, dalam masalah muamalah, seseorang boleh jual-beli secara salam, dibolehkan juga dengan istina’muzara’ah, murabahah, ijarah, musaqqah, dan lain-lain. Dalam perkawinan, dibolehkan thalak untuk menghindari kemudlaratan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Masuk hajiyat juga, seperti memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama.
Keempat, dalam bidang uqubah (jinayah), seperti diharuskan tukang jahit mengganti kerugian atas kain yang dirusakkan, tidak melaksanakan hudud karena syubhat (kesamaran) pada perkara pidana, larangan menjual minuman keras dan sejenisnya, larangan penimbunan barang, dan lain sebagainya.[3]
Adapun hal-hal yang bersifat tahsiniyah [4](tersier) adalah semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik, yang semuanya tercakup dalam bagian akhlak karimah, antara lain:
Pertama, dalam  hal ibadah, seperti kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai yang indah, mengerjakan amalan sunnah. Kedua,  dalam hal kebiasaan, seperti memelihara adab makan, minum, sopan santun terhadap orang yang lebih tua, adab berkendaraan, adab dalam hubungan sesama manusia, dan lain sebagainya.
Ketiga, dalam hal muamalah, seperti menghormati tamu, larangan menjual benda najis, larangan melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
Keempat, dalam hal uqubah, seperti melarang para wanita dengan memakai pakaian seksi dan merangsang seks di jalan-jalan. Larangan membunuh orang yang sudah menyerah dalam peperangan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dipahami  bahwa:
1.      Integritas moral suatu bangsa akan menemukan jati dirinya dan akan menjadi karakter bangsa apabila landasan spiritual masyarakat benar-benar melahirkan keyakinan yang kokoh dalam jiwa setiap individu, sehingga melahirkan ketaatan dan kepatuhan terhadap ketentuan hukum.[5]
2.      Dalam mengawal ketaatan dan kepatuhan itu, Allah menetapkan perintah dan anjuran (sunnah) untuk dilaksanakan dan larangan untuk ditinggalkan, dengan janji dan ancaman. Janji bagi orang yang melaksanakan perintah dan anjuran akan dibalas kebahagian di dunia dan di akherat kelak. Ancaman  bagi orang yang melanggar larangan akan dibalas dengan kesengsaraan, ketidaktentraman dan neraka di akherat kelak.[6]
3.                  Sedangkan dalam menjaga eksistensi manusia yang paling asasi, Allah menetapkan hukuman (uqubah) yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan sunnah berupa hukuman had yaitu hudud dan qisas-diyat, sebagai bentuk penjagaan yang konsisten, permanen sampai akhir zaman, dan sebagai wujud dibedakannya manusia dengan makhluk yang lain. Sedangkan selain hudud dan qisas-diyat, yaitu ta’zir, yang cakupannya sangat luas, karena itu, eksistensinya diserahkan sepenuhnya kepada manusia, pada zaman modern  ini mekanismenya sesuai dengan sistem ketata-negaraan dalan suatu negara.[7]
C. Subjek dan Objek  Hukum Pidana Islam
             Hukum apapun di dunia,tentu ada sasarannya, begitu pula  dalam Islam ada subyek dan obyek Hukum Pidana Islam. Adakah batas minimal umur anak menurut konsep syar’i untuk kelayakan mempertanggung jawabkan tindak pidana atas kerugian orang lain?  Batas minimal umur untuk cakap berbuat dalam hal ibadah berbeda dengan kecakapan mempertanggungjawabkan tindak pidana; batas minimal umur anak untuk mempertanggungjawabkan tindak pidana disamakan antar pelaku pria dan wanita; batas minimal umur dimaksud memakai standar tamyiz yaitu tujuh tahun. Kemudian dikenal pula hukuman khusus untuk mendidik, yang disebut dengan istilah  Jarimah ta’zir.[8]
           Ciri khas jarimah ta'zir adalah sebagai berikut: 1.Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas,artinya artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara' dan ada batas minimal dan ada batas maksimal.2.Penetapan hukuman tersebut adalah hak penguasa.Hukuman jarimah banyak jumlahnya yang dimulai dari hukuman yang paling ringan sampai hukuman paling terberat. Hakim diberi kewenangan untuk memilih di antara hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadan jarimah serta diri pembuatnya.hukuman-hukuman jarimah ta'zir antara lain :
            Pada dasarnya menurut syari'at Islam, hukuman ta'zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta'dib) dan tidak sampai membinasakan, karena itu dalam hukum ta'zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha'memberikan pengecualian dari hukuman umum tersebut ,yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghedaki demikian atau pemberatasan tidak terlaksanakankecuali dengan jalan membunuhnya,seperti mata-mata, untuk pembuat fitnah, namun foqoha' yang lain mengatakan dalam jarimah ta'zir tidak ada hukuman mati.
Di kalangan fuqoha' terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir.menurut pendapat yang terkenal dikalangan ulama maliki,batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta'zir didasari hukuman kemashalatan masyarakat dan atas berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, pendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir adalah 39 kali,dan menurut Abu Yusuf 75 kali. Ada dua hukuman jilid dalam hukum Islam yaitu :
1.      Hukuman jilid pertama adalah hukuman yang terbatas
2.      Hukuman jilid kedua adalah hukuman yang tidak terbatas
Adapun  dasar pengambilan hukumnya dari:
Al- Tasyri’ al Jana-i al Islamy I hal 601
فإذا ارتكب الصغير اية جريمة قبل بلوغه السابعة فلايعاقب عليها جنائيا ولا تأديبيا
Pada usia berapa tahun seorang anak dapat digugat perdata atas perbuatan hukumnya menurut hukum Islam?
Seorang anak dapat digugat perdata pada usia lima belas tahun dengan syarat nyata baligh atau nyata rusyd (pandai),berakal sehat.
Dasar Pengambilan Hukum
Al- Ashbah wa al- Nadza’ir 240
الاول ما لايلحق فيه بالبالغ بلا خلاف وذلك في التكاليف الشرعية من الواجبات والمحرمات والتصرفات من العقود والفسوخ والولايات
Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu VII hal 739
تنتهي الولاية على النفس في رأي الحنفية في حق الغلام ببلوغه خمسة عشر سنة
Al Tasyri’ al Jana-i al Islamy I halaman 602
مرحلة الادراك التام ويسمى الإنسان فيها بالبالغ والراشد
Kapan anak dapat menjadi terdakwa pidana atau tergugat perdata tanpa diwakili oleh orang tua kandungnya di hadapan hakim peradilan?
Anak dapat menjadi terdakwa pidana atau tergugat perdata tanpa diwakili oleh orang tuanya dihadapan hakim pada usia 15 tahun (mukallaf)
Sharh Jamal ala al Minhaj V hal 409
وَقَوْلُهُ: تَكْلِيفُ كُلٍّ أَيْ شَرْطُ صِحَّةِ الدَّعْوَى أَنْ يَكُونَ كُلٌّ مِنْ الْمُدَّعِي, وَالْمُدَّعَى عَلَيْهِ مُكَلَّفًا فَلا تَصِحُّ مِنْ صَبِيٍّ وَلا مَجْنُونٍ وَلا عَلَيْهِمَا وَكَوْنُهَا لا تَصِحُّ عَلَى الصَّبِيِّ إنَّمَا هُوَ بِالنِّسْبَةِ لِطَلَبِ الْجَوَابِ مِنْهُ وَطَلَبِ تَحْلِيفِهِ وَإِلا فَهِيَ تُسْمَعُ عَلَيْهِ لأَجْلِ إقَامَةِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ كَمَا ذَكَرَهُ الرَّشِيدِيُّ
Mughni ala al Muhtaj IV hal 513
تنبيه: قد علم من ذلك أنه لا تنافي بين ما ذكر هنا وما ذكر في كتاب دعوى الدم والقسامة من أن شرط المدعَى عليه أن يكون مكلفاً ملتزماً للأحكام، فلا تصح الدعوى على صبي ومجنون؛ لأن محل ذلك عند حضور وليهما فتكون الدعوى على الولي،
Sekira seorang anak terbukti secara bersama-sama (isytirak) melakukan tindak pidana dengan orang yang sudah dewasa, bagaimana pertanggung jawaban hukumnya?
Anak yang melakukan tindak pidana secara bersama-sama (isytirak) dengan orang yang sudah dewasa, pertanggungjawabannya dipisahkan, maksudnya anak diadili dengan pengadilan anak.[9]
Dasar Pengambilan Hukum
Al Mughni Li Ibn Qudamah IX hal 337
ولنا أنه شارك من لا مأثم عليه في فعله فلم يلزمه قصاص كشريك الخاطىء ولأن الصبي والمجنون لا قصد لهما صحيح ولهذا لا يصح إقرارهما فكان حكم فعلهما حكم الخطأ
Dapatkah orang tua angkat, orang tua asuh bertindak selaku waliyyuddam atas nama anak angkat atau anak asuhnya atau mereka dibebani denda pidana?
Orang tua angkat dan orang tua asuh dapat bertindak selaku waliyyuddam atas nama anak angkat atau anak asuhnya sepanjang menyangkut kepentingan mereka, bukan untuk menanggung beban karena perbuatan mereka.
Dasar Pengambilan Hukum
Al Sharqawi II hal 363
الثالث يسقط فيه القود عن بعضهم فقط دون البعض الآخر إما لإستحالة إيجاب القود عليه ككونه اصلا او صبيا او مجنونا شاركه غيره
Hamisy I’anah al Thalibin IV hal 128
و يثبت القود للورثة العصبة وذي الفروض بحسب إرثهم المال ولو مع بعد القرابة كذي رحم إن ورثناه أو مع عدمها كأحد الزوحين والمعتق وعصبته
Kifayat al Akhyar II hal 148
الوجه الثاني كونها على العاقلة فإذا جنى الحر على نفس حر آخر خطأ أو عمد خطأ وجبت الدية على عاقلة الجاني.
Hamisy al Bajuri II hal 203
والمراد بالعاقلة عصبة الجانى لا اصله و فرعه
Adakah batas normatif bahwa sanksi pidana atas anak yang belum dewasa maksimal separo sanksi yang sama atas pelaku pidana yang dewasa?
Tidak ada batas normatif bahwa sanksi pidana anak yang belum dewasa maksimal separuh sanksi pelaku yang dewasa. Karena sanksi pidana pada anak ta’dib/ta’zir, maka diserahkan pengaturan dari waliyyul amri.


[1]Ibid,  188.
                [2] TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),162.
                [3] Haliman, Hukum Pidana Sjari’at Islam menurut Adjaran Ahlus Sunnah, (Djakarta: Bulan Bintang, 1970).129
                 [4] Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1991). 325

               [5] Ketaatan dan kepatuhan tersebut akan melahirkan prilaku atau moral yang sesuai dengan ketentuan hukum tersebut, seperti iman seorang muslim yang kokoh akan melahirkan ketaatan dan kepatuhan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah, dan implikasi dari ketaatan dan kepatuhan itu adalah akhlak karimah.
                [6] Harun Nasution, Theologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986. )  
                [7] Marsum, Jarimah Ta’zir (Perbuatan Dosa dalam Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1989).
               [8]Jarimah ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir,pengertian ta'zir menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran.dan menurut istilah,sebagaimana yang dikemukakan oleh Iman Al Mawardi,pengertiannya sebagai berikut: Ta'zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara'.Secara ringkas ta'zir dapat di katakan bahwa hukuman ta'zir itu adalh hukuman yang belum ditetapkan oleh syara'.melainkan diserahkan kepada ulil amri.baik penentuan maupun pelaksanaannya.dalam menentukan hukuman tersebut,penguasa hanya menetapkan secara global saja.artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta'zir,melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman,dari yang seringan-ringannya sampai seberat-seberatnya.(A.Wardi Muslich 2004 : 19).
Hukuman ancaman (tagdid),teguran (tanbih)dan peringatan. Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta'zir dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong.minsalnya dengan ancaman akan dijilid,dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakanya lagi. Sementara hukuman teguran pernah dilakukan Rosulullah terhadap sahabat abu dzar yang memaki-maki orang lain dengan menghinakan ibunya.maka Rosulullah saw berkata;wahai abu dzar engkau menghina dia dengan menjelek-jelekan ibunya,engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat-sifat jahiliyah.Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari'at islam dengan jalan memberi nasehat kalau hukuman ini cukup membawa hasil.hukuman ini dicantumkan dalam al-Qur'an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
Hukuman pengucilan (al-hajru). Hukuman pengucilan merupakan salah satu hukuman ta'zir yang disyari'atkan oleh Islam.dalam sejarah,Rosullah pernah melakukan hukuman pengecualin terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang tabuk,yaitu ka'ab bin malik,miroroh bin rubi'ah,dan hilal bin umaiyah.mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpak diajak bicara. Hukuman denda ditetapkan juga oleh syariat islam sebagai hukuman,antra lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya,hukuman didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut.  Addul Qodir audah membagi tiga hukuman terhadap jarimah ta'zir yaitu:
1.     Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengadung unsur shubhat atau tidak  memenuhi syarat namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat seperti pencurian harta syirkah,pembunuhan ayah terhadap anaknya dan pencurian yang bukan harta benda.
2.     Jarimah ta'zir dimana jenis jarimah di tentukan oleh nash,tetapi saksinya oleh syariat diserahkan kepada penguasa seperti sumpah palsu,sakit palsu,mengurangi, timbangan,menipu,mengikari janji,menghianati amanah,dan menghina agama.
3.     Jarimah ta'zir dimana jarimah dan saksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat.dalam hal ini akhak menjadi pertimbangan yang paling utama minsalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup ,lalu lintas,dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.

            [9] Tingkat kemampuan seorang mumayyiz. Kemampuan ‘aql atau nalar,adalah hal yang di perhitungkan pertama kali pada seorang anak untuk di sebut mumayyizBulugh (tanda-tanda pubertas fisik) dan ciri khasnya. Saat anak beranjak dewasa, menjadi lebih mudah bagi kita untuk mengetahui dengan tepat tingkat perkembangannya. Pada tingkat tertentu dalam kehidupan seorang anak, berbagai macam aspek perkembangannya dapat diamati. Masa pubertas dapat dengan mudah terlihat jika seorang anak berada dalam pengamatan yang terus menerus dan seksama. Istilah bulugh yang juga dikenal dengan istilah pubertas merupakan masa transisi fisik dari fase kanak-kanak menjadi fisik orang dewasa dengan ditandai oleh gejala-gejala fisik—penomena mimpi bagi laki-laki dan haid bagi kalangan perempuan. Adapun klasifikasi umur yang menginjak era pubertas/transisi fisik menurut para ahli hukum, sebagaiman di rangkum oleh Dadan Muttaqien, bahwa sejauh ini masa pubertas tidak pernah dicapai sebelum usia Sembilan tahun. Mereka juga menekankan bahwa masa puber tidak selalu terjadi di usia ini pada setiap anak, karena banyaknya factor-faktor yang munkin dapat menunda proses kedewasaan fisik. Oleh karena itu sebagian besar ahli hukum seperti: al-Awza’I, Imam Ahmad, al-Syafi’I, Abu Yusuf, dan Muhammad, semua berkesimpulan bahwa lima belas tahun adalah usia paling lambat bagi seseorang untuk mencapai kematangan fisik, terlepas dari tidak tampaknya tanda-tanda fisik. Rusyd (kedewasaan mental) . Hukum juga menekankan pentingnya pencapaian rusyd atau kedewasaan mental, yaitu baik kesempurnaan bulugh maupun kematangan mental, dalam arti mampu untuk berfikir (‘aql).

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook