Tuesday, January 14, 2014

pencabulan yang dilakukan anak di bawah umur ..selain memenuhi Pasal 290 KUHP hakim juga berdasarkan pada pertimbangan hal-hal yang mem beratkan



  Drs.M.Rakib,SH.,M.Ag 
HASIL PENELITIAN

 Hasil penelitian menyimpulkan bahwa putusan hakim dalam menjatuhkan perkara Nomor : 33/Pid.B/2008/PN.Sby, bagi pelaku pencabulan yang dilakukan anak di bawah umur dengan memvonis 6 (enam) bulan, membebankan biaya perkara Rp. 1000 (Seribu Rupiah) dan denda Rp. 1.000 (Seribu Rupiah), selain memenuhi Pasal 290 KUHP hakim juga berdasarkan pada pertimbangan hal-hal yang mem beratkan dan pada hal-hal yang meringankan. Menurut UU perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 pasal 81 dan 82 pelakunya dijatuhi dengan hukuman penjara paling singkat 3 tahun dan hukuman penjara paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000 (Enam Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000 (Tiga Ratus Juta Rupiah).

              Sedangkan Hukum Pidana Islam tidak membolehkan untuk menjatuhkan hukuman pidana bagi anak di bawah umur, tetapi dalam rangka mendidik dan mengarahkan kepada kemaslahatan, maka anak di bawah umur dapat dijatuhi hukuman taâzir.[1]   Berdasarkan analisis di atas, penulis menyarankan bagi penegak hukum agar dapat melindungi hak-hak anak sebagaimana dalam undang-undang tersebut, bagi orang tua agar masa depannya lebih baik.

B.Karakteristik Hukum Pidana Islam
              Para ahli hukum Islam (fuqaha) menempatkan jinayah (Hukum Pidana Islam) memiliki sifat dan karakter yang berbeda dengan hukum pidana positif suatu negara. Perbedaan ini terletak pada otoritas pembentukan hukumnya, yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, karena itu dari sudut pandang ini pelaksanaan hukum pidana Islam sebagai bagian dari ibadah atau sebagai wujud ketaqwaan hamba kepada Tuhannya, untuk mengawal tingkah laku manusia agar sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.[2]
          Ketentuan hukum pidana Islam sering dipahami sebagai doktrin, sehingga melahirkan pandangan bahwa hukum pidana Islam tidak mungkin untuk diubah atau diganti dalam pelaksanaannya seperti halnya melaksanakan doktrin agama mengenai aqidah dan ibadah. Sehingga timbul kesan kurang memberi kesempatan atau peluang untuk mengkaji dari sudut pandang ilmu pengetahuan yang berusaha membuktikan kebenaran hukum. Hukum pidana Islam ditempatkan sebagai bagian hukum dari ajaran Islam, tetapi ketentuan hukum itu masih memberi ruang gerak akal manusia untuk melakukan ijtihad guna merespon perkembangan masyarakat yang terjadi saat ini. Hukum pidana Islam selain sebagai hukum normatif dalam mengatur dan melaksanakan hukum, sedang ijtihad yang dipergunakan untuk mengisi hukum ta’zir dan hukum acaranya. [3]
            Hukum pidana Islam dapat ditemukan dalam berbagai ayat yang tersebar diberbagai surat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dari kedua sumber tersebut diperoleh suatu kaidah (asas) yang mengatur beberapa perbuatan yang dilarang dan yang diancamkan kepada orang yang melakukan pelanggaran hukum. Selanjutnya para fuqaha mensistematisir dalam bentuk kitab hukum, pada umumnya fuqaha menggolongkan jarimah ke dalam: jarimah hudud, jarimah qishash-diyat, dan jarimah ta’zir. Dalam hal ini, ketentuan Allah dalam jinayat itu berhubungan dengan perbuatan yang dilarang, karena itu ia berfungsi sebagai social control dan social engeeniring of law dalam mengawal tingkah laku atau perbuatan manusia agar sesuai dengan eksistensi dan martabat manusia sebagai makhluk terbaik.
1.Ketentuan Allah Sebagai Penjaga Eksistensi Manusia
          Ketentuan-ketentuan Allah yang menjaga eksistensi manusia secara permanen itu disebut “had”, jamaknya “hudud”, artinya ketentuan (hukum) yang telah ditentukan Allah, dan menjadi hak Allah. karena itu cara penerapannya sangat teliti dan hati-hati, dalam hal ini Nabi bersabda yang artinya: Hindarilah hukuman hudud karena ada syubhat”[4]. Jarimah had dibagi menjadi dua yaitu hudud dan qisas-diyat. Macam-macam jarimah hudud telah ditentukan yaitu zina, qadzaf, sirqah, syurbah, hirabah, riddah, dan bughah.[5] Dan jarimah qisas-diyat yaitu qatl al-‘amd, qatl syibh al-‘amd, qatl al-khata’, jarh al-‘amd, dan jarh al-khata’.
          Secara umum tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia, artinya semua kewajiban, baik perintah, larangan, dan anjuran pada hakekatnya kembali untuk memelihara tujuan hukum[6](dhoruriyah, hajiyah, dan tahsiniyah). Karena itu, hal-hal yang bersifat dharuriyah (primer) dari tujuan hukum itu dapat diklasifikasi sebagai berikut:
          Pertama, semua pokok ibadah pada dasarnya untuk memelihara agama dan eksistensinya, seperti iman, mengucapkan dua kalimat syahadat. Sedangkan semua masalah kebiasaan pada dasarnya untuk memelihara eksistensi jiwa dan akal, seperti makan, minum, berpakaian, dan mendiami rumah.
         Kedua, semua masalah muamalah pada dasarnya untuk memelihara eksistensi harta dan keturunan, termasuk juga memelihara eksistensi jiwa dan akal.
         Ketiga, sedangkan jinayat sebagai manifestasi dari amar ma’ruf nahi munkar pada dasarnya untuk memelihara dan menjaga semua eksistensi tersebut di atas dari kerusakan.
         Masalah jinayat yang tercakup dalam jarimah hudud dan qaisas-diyat yang disyariatkan pada dasarnya untuk memelihara eksistensi manusia dan kemuliaan manusia, sebagai pembeda antara manusia dengan makhluk lain, seperti hukuman had qisas-diyat untuk memelihara eksistensi jiwa dari pembunuhan dan penganiayaan, hukuman had minuman keras untuk memelihara eksistensi akal, hukuman zina untuk memelihara eksistensi asal-usul (keturunan) manusia, hukuman had pencurian untuk memelihara eksistensi harta, hukuman had hirabah untuk memelihara eksistensi jiwa dan harta. Maka upaya untuk memelihara eksistensi itu pada dasarnya untuk penguatan martabat manusia, dan fuqaha’ telah merumuskan menjadi lima kategori, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta[7].Dan hal-hal yang bersifat hajiyah (skunder) dari tujuan hukum itu dapat dikategorikan sebagai berikut:
Pertama, hal yang primer dalam ibadah disebut “azimah” (yang seharusnya), maka dalam keadaan tertentu boleh dilakukan rukhsah (keringanan) dengan tujuan untuk menghindarkan kesulitan, seperti karena sakit atau safar. [8]
Kedua, dalam masalah kebiasaan, seperti makan, boleh memakan makanan yang lezat asalkan halal, boleh memakai pakaian yang baik, boleh mendiami rumah yang baik, juga boleh memakai kendaraan yang baik, dan lain sebagainya.
Ketiga, dalam masalah muamalah, seseorang boleh jual-beli secara salam, dibolehkan juga dengan istina’muzara’ah, murabahah, ijarah, musaqqah, dan lain-lain. Dalam perkawinan, dibolehkan thalak untuk menghindari kemudlaratan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Masuk hajiyat juga, seperti memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama.
Keempat, dalam bidang uqubah (jinayah), seperti diharuskan tukang jahit mengganti kerugian atas kain yang dirusakkan, tidak melaksanakan hudud karena syubhat (kesamaran) pada perkara pidana, larangan menjual minuman keras dan sejenisnya, larangan penimbunan barang, dan lain sebagainya.[9]
Adapun hal-hal yang bersifat tahsiniyah [10](tersier) adalah semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik, yang semuanya tercakup dalam bagian akhlak karimah, antara lain:
Pertama, dalam  hal ibadah, seperti kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai yang indah, mengerjakan amalan sunnah. Kedua,  dalam hal kebiasaan, seperti memelihara adab makan, minum, sopan santun terhadap orang yang lebih tua, adab berkendaraan, adab dalam hubungan sesama manusia, dan lain sebagainya.
Ketiga, dalam hal muamalah, seperti menghormati tamu, larangan menjual benda najis, larangan melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
Keempat, dalam hal uqubah, seperti melarang para wanita dengan memakai pakaian seksi dan merangsang seks di jalan-jalan. Larangan membunuh orang yang sudah menyerah dalam peperangan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dipahami  bahwa:
1.      Integritas moral suatu bangsa akan menemukan jati dirinya dan akan menjadi karakter bangsa apabila landasan spiritual masyarakat benar-benar melahirkan keyakinan yang kokoh dalam jiwa setiap individu, sehingga melahirkan ketaatan dan kepatuhan terhadap ketentuan hukum.[11]
2.      Dalam mengawal ketaatan dan kepatuhan itu, Allah menetapkan perintah dan anjuran (sunnah) untuk dilaksanakan dan larangan untuk ditinggalkan, dengan janji dan ancaman. Janji bagi orang yang melaksanakan perintah dan anjuran akan dibalas kebahagian di dunia dan di akherat kelak. Ancaman  bagi orang yang melanggar larangan akan dibalas dengan kesengsaraan, ketidaktentraman dan neraka di akherat kelak.[12]
3.                  Sedangkan dalam menjaga eksistensi manusia yang paling asasi, Allah menetapkan hukuman (uqubah) yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan sunnah berupa hukuman had yaitu hudud dan qisas-diyat, sebagai bentuk penjagaan yang konsisten, permanen sampai akhir zaman, dan sebagai wujud dibedakannya manusia dengan makhluk yang lain. Sedangkan selain hudud dan qisas-diyat, yaitu ta’zir, yang cakupannya sangat luas, karena itu, eksistensinya diserahkan sepenuhnya kepada manusia, pada zaman modern  ini mekanismenya sesuai dengan sistem ketata-negaraan dalan suatu negara.[13]


            [1] Penelitian kepustakaan tentang "Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No.33/Pid. B/2008/PN.Sby Tentang Pencabulan Dalam Perspektif UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Pidana Islam" Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang apa Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby dan.Bagaimana  Perspektif UU No. 23 Tahun 2002 Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid. B/2008/PN.Sby serta Bagaimana Perspektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby.
            [2] Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-wadh’i, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992 M/1412 H).189
            [3] Aunur Rahim Faqih (ed), Ibadah dan Akhlak dalam Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1998).130
[4]Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1991), hlm. 62. Lihat juga: A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 52. Bandingkan: Abdul Qadir Audah.  
               [5] Op Cit,  214-216. Ulasan tentang  Idra’ul hudud  bissubhat .
[6] TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),  186.
[7]Ibid,  188.
                [8] TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),162.
                [9] Haliman, Hukum Pidana Sjari’at Islam menurut Adjaran Ahlus Sunnah, (Djakarta: Bulan Bintang, 1970).129
                 [10] Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1991). 325

               [11] Ketaatan dan kepatuhan tersebut akan melahirkan prilaku atau moral yang sesuai dengan ketentuan hukum tersebut, seperti iman seorang muslim yang kokoh akan melahirkan ketaatan dan kepatuhan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah, dan implikasi dari ketaatan dan kepatuhan itu adalah akhlak karimah.
                [12] Harun Nasution, Theologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986. )  
                [13] Marsum, Jarimah Ta’zir (Perbuatan Dosa dalam Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1989).

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook