Saturday, February 1, 2014

AKSIOLOGI YANG DIINGINKAN H.M.Rakib, S.H.,M.Ag.,Drs.



AKSIOLOGI YANG DIINGINKAN
H.M.Rakib, S.H.,M.Ag.,Drs.

Aksiologi merupakan teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Hukum Islam atau dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Hukum Islam dan Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila.

Manfaat Belajar Filsafat Hukum 

Adapun  masalah Manfaat Belajar Filsafat Hukum , berkaitan  dengan Urgensi dan relevansi filsafat hukum… Berfilsafat adalah berfikir. Hal ini tidak berarti setiap berfikir adalah berfilsafat, karena berfilsafat itu berfikir dengan ciri-ciri tertentu. Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan, yaitu :

1. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara radikal. Radikal berasal dari kata Yunani, radix yang berarti “akar”. Berfikir secara radikal adalah berfikir sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai ke hakikat, essensi, atau samapai ke substansi yang dipikirkan. manusia yang berfilsafat tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indera yang selalu berubah dan tidak tetap. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan inderawi.

2. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum). Berfikir secara universal adalah berfikir tentang hal-hal serta proses-proses yang bersifat umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dari ummat manusia (common experience of mankind). Dengan jalan penjajakan yang radikal, filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang universal. Bagaimana cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai sasaran pemikirannya dapat berbeda-beda. Akan tetapi yang dituju adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal khusus yang ada dalam kenyataan.
3. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual. Yang dimaksud dengan konsep di sini adala hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal sertya proses-proses individual. Berfilsafat tidak berfikir tentang manusia tertentu atau manusia khusus, tetap[i berfikir tentang manusia secara umum. Dengan ciri yang konseptual ini, berfikir secara kefilsafatan melampoi batas pengalaman hidup sehari-hari.
4. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara koheren dan konsisten. Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir (logis). Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi. Baik koheren maupun konsisten, keduanya dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu runtut. Adapun yang dimaksud runtut adalah bagan konseptual yang disusun tidak terdiri atas pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi di dalamnya.
5. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik. Sistematik berasal dari kata sistem yang artinya kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu. Dalam mengemukakan jawaban terhadap sesuatu masalah, digunakan pendapat atau argumen yang merupakan uraian kefilsafatan yang saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.

6. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif. Komprehensif adalah mencakup secara menyeluruh. Berfikir secara kefilsafatan berusaha untuk menjelaskan fenomena yang ada di alam semesta secara keseluruhan sebagai suatu sistem.
7. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas. Sampai batas-batas yang luas, setiap filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil dari pemikiran yang bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, atau religius. Sikap-sikap bebas demikian ini banyak dilukiskan oleh filsuf-filsuf dari segala zaman. Socrates memilih minum racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan kebebasannya untuk berpikir menurut keyakinannya. Spinoza karena khawatir kehilangan kebebasannya untuk berfikir, menolak pengangkatannya sebagai guru besar filsafat pada Universitas Heidelberg.
8. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan dengan pemikiran yang bertanggungjawab. Pertangungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya. Di sini tampak hubungan antara kebebasan berfikir dalam filsafat dengan etika yang melandasinya.
Sebagaimana berfikir secara kefilsafatan, maka pemikiran filsafat hukum juga memiliki beberapa sifat atau karakteritik khusus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Itulah sebabnya dalam filsafat hukumpun dikenal pula berbagai aliran pemikiran tentang hukum, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian diharapkan para cendekiawan hukum, tidak bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dengan disiplin ilmu yang lainnya.

            Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan reflektifnya, tidak sekedar hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam filsafat hukum, pertimbangan-pertimbangan di luar obyek adalah salah satu ciri khasnya. Filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran.

Ciri yang kedua, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar atau memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or fundamental questions). Artinya dalam menganalisis suatu masalah, seseorang diajak untuk berpikir kritis dan radikal. Dengan mempelajari dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif belaka, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Apabila orang itu menjadi hakim misalnya, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim yang bertindak selaku “corong undang-undang” semata.
Ciri berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai sifat gambling. Sebagai dinyatakan oleh Suriasumantri , bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal yang baru. Tentu saja tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah tindakan yang terarah, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif dalam arti positif itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang dicita-citakan bersama. Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu menimbulkan rasa sangsi dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang dikandung dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh maka jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan radikal.

Kemudian ciri yang lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu. Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah kongkret. Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.
Filsafat itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya upaya introspektif. Artinya, filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut. Filsafat mempertanyakan tentang struktur yang ada dalam dirinya dan permasalahan yang dihadapinya. Sifat introspektif dari filsafat sesuai dengan sifat manusia yang memiliki hakekat dapat mengambil jarak (distansi) tidak hanya pada hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri.
Sebagai bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The History of Philosophy, mengemukakan pula tentang arti penting mempelajari filsafat, termasuk dalam hal ini mempelajari filsafat hukum, bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap berbagai krisis permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia dalam proses reformasi ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.
Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para para pejabat, tokoh masyarakat, pemuka agama dan kalangan cendekiawan atau siapapun juga dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang lingkup pandangan yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Karena penyelesaian krisis yang terjadi di negara kita itu tidak mungkin dapat dilakukan sepotong-potong atau hanya melalui satu bidang tertentu saja, tapi harus meninjau melalui beberapa pendekatan lain sekaligus (interdisipliner.atau multidisipliner).
Tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirinya paling benar atau paling jago dengan pendapatnya sendiri dan menafikan pendapat yang lain. Atau dengan kata lain hanya ingin menangnya sendiri tanpa mau menghargai pendapat orang lain. Karena masing-masing bidang atau cara pandang tertentu, mempunyai kelebihan dan keterbatasannya masing-masing. Justru pandangan-pandangan yang berbeda kalau dapat dikelola dengan baik, dapat dijadikan alternatif penyelesaian masalah yang saling menopang satu sama lain.

Apalagi krisis permasalahan yang melanda bangsa Indonesia sesungguhnya amat kompleks dan multidimensional sifatnya, mulai krisis ekonomi, politik, hukum, pemerintahan serta krisis moral dan budaya, yang satu sama lain berkaitan sehingga diperlukan cara penyelesaian yang terpadu dan menyeluruh yang melibatkan berbagai komponen bangsa yang ada. Dalam konteks ini diperlukan adanya kerjasama dan sinergi yang erat dari berbagai komponen tersebut. Maka pejabat pemerintah harus mendengar aspirasi dari rakyat, para pakar mau mendengar pendapat pakar lainnya, tokoh masyarakat harus saling menghormati terhadap dengan tokoh masyarakat yang lain. Semua bekerja bahu membahu dan menghindarkan diri dari rasa curiga, kebencian dan permusuhan…

Dalam filsafat Hukum Islam  Pancasila, terdapat tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
·         Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
·         Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
·         Nilai praktis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.
Nilai-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbansa, dan bernegara.
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial.
Aksiologi menyelidiki pengertian, jenis, tingkatan, sumber dan hakikat nilai secara kesemestaan. Aksiologi Pancasila pada hakikatnya sejiwa dengan ontologi dan epistemologinya. Pokok-pokok aksiologi itu dapat disarikan sebagai berikut:
  • Tuhan yang Maha Esa sebagai mahasumber nilai, pencipta alam semesta dan segala isi beserta antarhubungannya, termasuk hukum alam. Nilai dan hukum moral mengikat manusia secara psikologis-spiritual: akal dan budi nurani, obyektif mutlak menurut ruang dan waktu secara universal. Hukum alam dan hukum moral merupakan pengendalian semesta dan kemanusiaan yang menjamin multieksistensi demi keharmonisan dan kelestarian hidup.
  • Subyek manusia dapat membedakan hakikat mahasumber dan sumber nilai dalam perwujudan Tuhan yang mahaesa, pencipta alam semesta, asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi, secara individual maupun sosial).
  • Nilai-nilai dalam kesadaran manusia dan dalam realitas alam semesta yang meliputi: Tuhan yang mahaesa dengan perwujudan nilai agama yang diwahyukan-Nya, alam semesta dengan berbagai unsur yang menjamin kehidupan setiap makhluk dalam antarhubungan yang harmonis, subyek manusia yang bernilai bagi dirinya sendiri (kesehatan, kebahagiaan, etc.) beserta aneka kewajibannya. Cinta kepada keluarga dan sesama adalah kebahagiaan sosial dan psikologis yang tak ternilai. Demikian pula dengan ilmu, pengetahuan, sosio-budaya umat manusia yang membentuk sistem nilai dalam peradaban manusia menurut tempat dan zamannya.
  • Manusia dengan potensi martabatnya menduduki fungsi ganda dalam hubungan dengan berbagai nilai: manusia sebagai pengamal nilai atau ‘konsumen’ nilai yang bertanggung jawab atas norma-norma penggunaannya dalam kehidupan bersama sesamanya, manusia sebagai pencipta nilai dengan karya dan prestasi individual maupun sosial (ia adalah subyek budaya). “Man created everything from something to be something else, God created everything from nothing to be everything.” Dalam keterbatasannya, manusia adalah prokreator bersama Allah.
  • Martabat kepribadian manusia secara potensial-integritas bertumbuhkembang dari hakikat manusia sebagai makhluk individu-sosial-moral: berhikmat kebijaksanaan, tulus dan rendah hati, cinta keadilan dan kebenaran, karya dan darma bakti, amal kebajikan bagi sesama.
  • Manusia dengan potensi martabatnya yang luhur dianugerahi akal budi dan nurani sehingga memiliki kemampuan untuk beriman kepada Tuhan yang mahaesa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Tuhan dan nilai agama secara filosofis bersifat metafisik, supernatural dan supranatural. Maka potensi martabat manusia yang luhur itu bersifat apriori: diciptakan Tuhan dengan identitas martabat yang unik: secara sadar mencintai keadilan dan kebenaran, kebaikan dan kebajikan. Cinta kasih adalah produk manusia – identitas utama akal budi dan nuraninya – melalui sikap dan karyanya.
  • Manusia sebagai subyek nilai memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap pendayagunaan nilai, mewariskan dan melestarikan nilai dalam kehidupan. Hakikat kebenaran ialah cinta kasih, dan hakikat ketidakbenaran adalah kebencian (dalam aneka wujudnya: dendam, permusuhan, perang, etc.).
  • Eksistensi fungsional manusia ialah subyek dan kesadarannya. Kesadaran berwujud dalam dunia indra, ilmu, filsafat (kebudayaan/ peradaban, etika dan nilai-nilai ideologis) maupun nilai-nilai supranatural.
Skema pola antarhubungan sosial manusia meliputi:
1.    hubungan sosial-horisontal, yakni antarhubungan pribadi manusia (P) dalam antarhubungan dan antaraksinya hingga yang terluas yaitu hubungan antarbangsa (A2-P-B2);
2.    hubungan sosial-vertikal antara pribadi manusia dengan Tuhan yang mahaesa (C: Causa Prima) menurut keyakinan dan agama masing-masing (garis PC).
  • kualitas hubungan sosial-vertikal (garis PC) menentukan kualitas hubungan sosial horisontal (garis APB);
  • kebaikan sesama manusia bersumber dan didasarkan pada motivasi keyakinan terhadap Ketuhanan yang mahaesa;
  • kadar/ kualitas antarhubungan itu ialah: garis APB ditentukan panjangnya oleh garis PC. Tegasnya, garis PC1 akan menghasilkan garis A1PB1 dan PC2 menghasilkan garis A2PB2. Jadi, kualitas kesadaran akan Ketuhanan yang mahaesa menentukan kualitas kesadaran kemanusiaan.
Seluruh kesadaran manusia tentang nilai tercermin dalam kepribadian dan tindakannya. Sumber nilai dan kebajikan bukan saja kesadaran akan Ketuhanan yang mahaesa, tetapi juga adanya potensi intrinsik dalam kepribadian, yakni: potensi cinta kasih sebagai perwujudan akal budi dan nurani manusia (berupa kebajikan). Azas dan usaha manusia guna semakin mendekati sifat-sifat kepribadiannya adalah cinta sesama. Nilai cinta inilah yang menjadi sumber energi bagi darma bakti dan pengabdiannya untuk selalu berusaha melakukan kebajikan-kebajikan. Azas normatif ini bersifat ontologis pula, karena sifat dan potensi pribadi manusia berkembang dari potensialitas menuju aktualitas, dari real-self menuju ideal-self, bahkan dari kehidupan dunia menuju kehidupan kekal. Garis menuju perkembangan teleologis ini pada hakikatnya ialah usaha dan dinamika kepribadian yang disadari (tidak didasarkan atas motivasi cinta, terutama cinta diri).
Cinta diri cenderung mengarahkan manusia ke egosentrisme, mengakibatkan ketidakbahagiaan. Kebaikan dan watak pribadi manusia bersumber pula pada nilai keseimbangan proporsi cinta pribadi dengan sesama dan dengan Tuhan yang mahaesa. Dengan perkataan lain, kesejahteraan rohani dan kebahagiaan pribadi manusia yang hakiki ialah kesadarannya dalam menghayati cinta Tuhan dan hasrat luhurnya mencintai Tuhan dan sesamanya.
Nilai instrinsik ajaran filsafat Pancasila sedemikian mendasar, komprehensif, bahkan luhur dan ideal, meliputi: multi-eksistensial dalam realitas horisontal; dalam hubungan teleologis; normatif dengan mahasumber kesemestaan (Tuhan dengan ‘ikatan’ hukum alam dan hukum moral yang psikologis-religius); kesadaran pribadi yang natural, sosial, spiritual, supranatural dan suprarasional. Penghayatannya pun multi-eksistensial, bahkan praeksistensi, eksistensi (real-self dan ideal-self), bahkan demi tujuan akhir pada periode post-existence (demi kehidupan abadi), menunjukkan wawasan eksistensial yang normatif-ideal.
Secara instrinsik dan potensial, nilai-nilai Pancasila memenuhi tuntutan hidup manusia karena nilai filsafat sejatinya adalah untuk menjamin keutuhan kepribadian dan tidak mengakibatkan konflik kejiwaan maupun dilematika moral. Bersyukurlah kita punya Pancasila!

PENUTUP

 Kesimpulan
Setelah kami berusaha untuk menguraikan pembahasan mengenai filsafat, kami dapat menyimpulkan bahwa unsur – unsur  Hukum Islam Pancasila memang telah dimiliki dan di jalankan oleh bangsa Indonesia sejak dahulu. Oleh karena bukti – bukti sejarah sangat beraneka ragam wujudnya maka perlu diadakan analisa yang seksama. Karena bukti – bukti sejarah sebagian ada yang berupa symbol maka diperlukan analisa yang teliti dan tekun berbagai bahan – bahan bukti itu dapat diabstaksikan sedemikian rupa sehingga diperoleh hasil – hasil yang memadai. Melalui cara – cara tersebut hasilnya dapat bersifat kritik dan tentu saja ada kemungkinan yang bersifat spekulatif. Demikian pula adaunsur – unsur yang di suatu daerah lebih menonjol dari daerah lain misalnya tampak pada perjuangan bangsa Indonesia dengan peralatan yang sederhana serta tampak pada bangunan dan tulisan dan perbuatan yang ada
Demikian makalah yang kami buat dengan materi pancasila sebagai filsafat, kajian ontologis,epistemologis,dan aksiologi pancasila dan pancasila sebagai sistemetika politik dan pancasila sebagai paradigma pembangunan semoga dapat melengkapi tugas kewarganegaraan dan dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Tentu kita sadari bahwa tidak semua materi yang ada dituangkan dihalaman makalah ini dan sebaliknya tidak semua yang tertuang dalam makalah ini akan sesuai dengan pemikiran ahli yang lain . Hal ini karena semata mata keterbatasan pembuat makalah.
Oleh karena itu apabila dalam penyusunan makalah ini dirasa ada yang kurang mohon ditanyakan kepada sumbernya .terimakasih,semoga bermanfaat .
Amin......
Saran
Saran kepada pembaca dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan – kekurangan baik dari bentuk maupun isinya.
kami menyarankan kepada pembaca agar ikut peduli dalam mengetahui sejauh mana pembaca mempelajari tentang filsafat Pancasila
Semoga dengan makalah ini para pembaca dapat menambah cakrawala ilmu pengetahuan
Pengembangan ilmu pengetahuan yang berlandaskan Pancasila merupakan bagian penting bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara di masa mendatang (Pranarka, 1985:391).
Sejak dulu, ilmu pengetahuan mempunyai posisi penting dalam aktivitas berpikir manusia. Istilah ilmu pengetahuan terdiri dari dua gabungan kata berbeda makna, ilmu dan pengetahuan. Segala sesuatu yang kita ketahui merupakan definisi pengetahuan, sedangkan ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode tertentu.
Sikap kritis dan cerdas manusia dalam menanggapi berbagai peristiwa di sekitarnya, berbanding lurus dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan. Namun dalam perkembangannya, timbul gejala dehumanisasi atau penurunan derajat manusia. Hal tersebut disebabkan karena produk yang dihasilkan oleh manusia, baik itu suatu teori mau pun materi menjadi lebih bernilai ketimbang penggagasnya. Itulah sebabnya, peran Pancasila harus diperkuat agar bangsa Indonesia tidak terjerumus pada pengembangan ilmu pengetahuan yang saat ini semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.


DAFTAR PUSTAKA

Achmad Notosoetarjo 1962, Kepribadian Revolusi Bangsa Indonesia
A.T. Soegito, 1983, Pancasila Tinjauan dari Aspek Historis, FPIPS – IKIP, Semarang.
                         A.T. Soegito, 1999, Sejarah Pergerakan Bangsa Sebagai Titik Tolak Memahami Asal Mula Pancasila, Makalah Internship Dosen-Dosen Pancasila se Indonesia, Yogyakarta.
Alhaj dan Patria, 1998.BMP.Pendidikan Pancasila.Penerbit Karunika,Jakarta 4 – 5.
Bakry Noor M, 1998, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta.  Dardji Darmodihardjo, 1978, Santiaji Pancasila, Lapasila, Malang.  Harun Nasution, 1983.    
Filsafat Agama, NV Bulan Bintang. Jakarta.
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2105602-makna-pancasila-sebagai-dasar-negara/
http:// www. Pancasila.org/situs/sebagai_ etika _.politik.Via google.view15-I-2010
Kaelan, 1993, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta.
K.Wantjik Saleh 1978,Kitab Kumpulan Peraturan Perundang RI,Jakarta PT.Gramedia
Notonagoro, Pnacasila Dasar Filsafat Negara RI I.II.III
                     Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9. Jakarta: Pantjoran Tujuh
           Soediman Kartohadiprojo 1970, Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, Bandung Alumni
Salam, H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Rineka Cipta

            Di     mana pengetahuan itu ditemukan, akal budi ataukah pengalaman inderawi, serta apakah pengetahuan kita tentang hukum dapat dipertanggungawabkan?
            Epistemologi hukum adalah filsafat pengetahuan hukum (yang tentunya berbeda dengan ilmu hukum), yaitu refleksi kritis tentang pengetahuan hukum dan apa yang kita ketahui di bidang filsafat hukum. Epistemologi hukum itu tentu saja berdasarkan pada epistemologi atau filsafat pengetahuan. Karena itu, sebelum lebih jauh mengetahui epistemologi hukum, pemahaman dasar tentang epistemologi sendiri menjadi mutlak diperlukan. Dengan belajar tentang epistemologi kita akan terbantu untuk dapat mengetahui, apakah pengetahuan kita sendiri tentang hukum adalah pengetahuan yang sungguh-sungguh kita ketahui. Yang mau dikemukakan disini adalah epistemologi ketika masih hidup.
B.  Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah diatas penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian epistemologi?
2.      Apakah jenis-jenis epistemologi?
3.      Apakah aliran-aliran epistemologi?

PEMBAHASAN
A.  Pengertian epistemologi
            Episteme berasal dari epistamai yang artinya mendudukkan, menempatkan atau meletakkan. Maka kata episteme dapat diartikan “pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya (J. Sudarminta, 2002: 18). Berdasarkan etimologi kata epistemologi tersebut, dapat dikatakan bahwa epistemologi adalah ilmu tentang pengetahuan manusia atau sering disebut juga sebagai teori pengetahuan. J. Sudarminta mengatakan bahwa sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mangkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Pertanyaannya adalah bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarannya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui?
            Dapat juga dikatakan menurut P. Hardono Hadi (1994: 6), bahwa epistemologi membahas masalah-masalah dasar dalam pengetahuan, misalnya apa itu pengetahuan, di manakah pengetahuan umumnya ditemukan, dan sejauh manakah apa yang biasanya kita anggap sebagai pengetahuan benar-benar merupakan pengetahuan? Apakah indera dan budi dapat memberi pengetahuan, serta apakah hubungan antara pengetahuan dan keyakinan yang benar? Pertanyaan-pertanyaan epistemologis ini dapat kita ajukan juga terhadap pengetahuan kita tentang hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu hendaknya tidak dianggap sebagai aneh.
            Tujuan yang mau dicapai oleh epistemologis adalah bukan hanya apakah saya atau kita dapat mengetahui, melainkan juga untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan kita dapat tahu dan jangkauan batas-batas pengetahuan kita. P. Hardono Hadi misalnya, mengatakan bahwa pentingnya mempelajari epistemologi sebagai filsafat ini adalah agar orang, terutama juga di bidang hukum menjadi “bijaksana”. Menurutnya, dengan memahami permasalahan epistemologis, orang diharapkan mampu bersikap tepat di dalam menanggapi berbagai pembicaraan (disini tentang hukum) tanpa terjerumus di dalam prasangka sempit dan semangat primordialisme yang kaku. Epistemologi hukum cukup membantu kita untuk bersikap terbuka dan bertanggung jawab terhadap apa yang diketahui tentang hukum.

B.  Jenis-jenis Epistemologi
            Berdasarkan cara kerja dan pendekatannya, epistemologi dibagi menjadi epistemologi metafisis dan epistemologi skepsis.
1.      Epistemologi metafisis
     Epistemologi ini melakukan pendekatan terhadap gejala pengetahuan bertitik tolak dari pengandaian metafisis tertentu, berangkat dari kenyataan dan membahas bagaimana manusia mengetahui kenyataan itu. Contohnya adalah epistemologi Plato. Menurut Plato, kenyataan adalah ide-ide. Idealisme Plato ini membuat semua yang dinamakan kenyataan sebetulnya hanya bersifat semu, karena kenyataan sesungguhnya hanya ada dalam dunia ide. Di samping itu, dala epistemologi ada pengandaian bahwa semua orang tahu tentang kenyataan, dialami dan dipikirkan, sibuk dengan pengetahuan seperti itu dan cara perolehannya. Hal ini dikritik sebagai kurang memadai dan kontroversial. Pertanyaan kita sekarang adalah bagaimanakah dengan hukum: kenyataan yang diketahui sebagai ide-ide? Di sini penulis mengusulkan agar kita coba kembali melihat sejarah pemikiran mengenai hukum. Bagaimana orang bisa sampai tahu adanya hukum? Dia diciptakan oleh pikiran karena kenyataan ataukah karena “memang ada hukum yang diketahui?” dan diberi komentar atau penafsiran?  Dari buku klasik Dennis Lloyd The Idea of Law (1977) dapat dikatakan bahwa ide hukum itu muncul karena pembacaan terhadap kenyataan sebagai suatu keharusan “normatif”.
2.      Epistemologi Skepsis
     Boleh disebut peletak dasar epistemologi ini adalah Rene Descartes (1596-1650). Sebagaimana diketahui, filsuf besar ini adalah orang yang ragu-ragu, atau memiliki kesangsian metodis. Segala sesuatu itu diragukan. Yang ia tidak ragukan ialah dirinya sendiri yang sedang ragu-ragu. Dengan kata lain, yang tidak diragukannya ialah keragu-raguan itu sendiri. Berdasarkan filsafatnya dapat dikatakan bahwa kita harus membuktikan apa yang kita ketahui sebagai sungguh-sungguh nyata atau benar-benar tidak dapat diragukan lagi dengan menganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang kebenarannya masih dapat diragukan. Dengan kata lain, kita pun harus dapat membuktikan, apakah kita sungguh-sungguh dapat mengetahui sesuatu?
     Repotnya, kalau ini dikaitkan secara sewenang-wenang alias ngawur terhadap hukum, maka kita dapat saja meragukan, pertama, apakah hukum itu sungguh-sungguh nyata dan tidak diragukan lagi adanya? Kita harus mampu membuktikannya. Atau kita boleh saja meragukan hukum itu. Jangan-jangan hukum itu sesuatu yang keliru karena masih dapat diragukan kebenarannya. Yang gampang ialah, saya dan anda dapat meragukan apakah positivisme itu benar dalam memandang hukum sebagai kenyataan inderawi model ilmu alam? Kedua, ada keraguan bahwa manusia dapat mengetahui segala sesuatu. Dengan kata lain jangan-jangan manusia itu sebetulnya tidak tahu apapun. Ini tentu seja melawan “akal sehat umum”, bahwa manusia mengetahui segala sesuatu. Keragu-raguan ekstrim atau ketika orang terlalu skeptis terhadap segala sesuatu dan konsisten dengan itu, maka ia akan terus hidup dalam keragu-raguan dan karenanya sulit mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu.
     Keraguan ilmiah dan juga moril itu benar, sejauh dipakai untuk menguji ilmu pengetahuan atau tingkah laku, apakah benar ataukah salah. Dengan kata lain, keraguan tersebut demi kepastian kebenaran dan kebaikan atau keutamaan perilaku. Seorang jaksa yang profesional misalnya boleh saja meragukan, apakah pasal-pasal kitab hukum pidana yang dipakainya untuk menjerat si terdakwa itu sudah benar, sesuai dengan peristiwa hukum (tindak pidana) itu ataukah tidak. Yang dipelukan disini sebetulnya adalah epistemologi kritis, yaitu berangkat dari asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat atau asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran ilmiah lalu ditanggapi secara kritis atau menguji kebenarannya. Epistemologi kritis ini dapat dipakai di dunia hukum.
            Kemudian berdasarkan objek yang dikaji, epistemologi dapat dibagi menjadi epistemologi individual dan epistemologi sosial.
1.      Epistemologi individual
     Epistemologi ini berurusan dengan subjek yang mengetahui dan yang diketahui, lepas dari konteks sosial. J. Sudarminta mengemukakan bahwa epistemologi individual adalah epistemologi sejak pra-sokrates sampai sekarang. Kajian tentang pengetahuan, baik tentang status kognitifnya maupun proses perolehannya, dianggap sebagai dapat didasarkan atas kegiatan mausia individual sebagai subjek yang mengetahui lepas dari konteks sosialnya. Struktur pikiran manusia sebagai individu bekerja dalam proses mengetahui dianggap cukup mewakili untuk menjelaskan bagaimana semua pengetahuan manusia pada umumnya diperoleh. Secara lain dapat dikatakan bahwa bagi epistemologi ini tidak penting bagaimana konteks sosial budaya dan juga “nilai-nilai” yang ada dalam masyarakat itu bekerja. Yang penting adalah bahwa manusia dapat mengetahui hanya dengan modal struktur pikiran dan cara mengetahuinya sendiri yang terdapat dalam otaknya saja. Pengetahuan manusia tentang hukum itu diperoleh karena kegiatan berpikir saja (a priori) dan dianggap sudah mewakili apa yang memang diketahui manusia tentang hukum melalui pikiran. Apa dan bagaimana konteks sosialnya tidak begitu penting untuk dipertimbangkan.
2.      Epistemologi Sosial
     Epistemologi ini berurusan dengan kajian filosofis terhadap pengetahuan sebagai data sosiologis, yaitu terkait dengan hubungan sosial, kepentingan sosial dan lembaga-lembaga sosial. Semuanya ini adalah faktor yang menentukan dalam proses dan cara memperoleh pengetahuan. Epistemologi ini barangkali cocok untuk ilmu, termasuk ilmu hukum. Orang dapat tahu tentang hukum juga karena ada bersama dalam keserbaterhubungan etis dengan segala sesuatu yang lain, termasuk sesama manusia dalam suatu komunitas masyarakat. Kenyataan sosial memproyeksikan dirinya sendiri kepada subjek-subjek yang sadar, yang kemudian menangkap itu dalam akal sehatnta dan kemudian ia menjadi tahu tentang maksud kenyataan yang “berbicara” kepadanya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ia tahu tentang “hukum” yang hidup dan berkembang dalam hubungan antarmanusia, kepentingan-kepentingan dan lembaga-lembaga.

C.  Aliran-aliran Epistemologi
    
1.      Skeptisime
     Skeptisisme telah dimulai sejak zaman Yunani Kuno (315 SM), misalnya pada pandangan Zeno dari Elea. Dia meragukan adanya gerak. Menurut dia, gerak itu sebenarnya tidak ada, karena sesuatu tetap berada dalam substansinya. Hanya kelihatan saja bahwa sesuatu itu bergerak, namun sesungguhnya tetap “diam” dalam substansinya. Ini dianggap sebagai suatu sikap skeptis terhadap ada atau tidak gerak itu.
     Skeptisisme berasal dari kata dalam bahasa Yunani “skeptomai” yang berarti “saya pikirkan dengan seksama” atau “saya lihat dengan teliti”. Kemudian kata ini populer diartikan sebagai “saya meragukan”. Intinya, dalam skeptisisme ini orang selalu mempertanyakan, meragukan, termasuk meragukan, apakah manusia sungguh-sungguh mengetahui dan apakah pengetahuan itu benar. Keraguan yang berlebih-lebihan dapat saja membuat orang menjadi kehilangan pegangan, sebab segala-galanya diragukan, hidupnya penuh dengan keragu-raguan….


EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM
Rahasia Hukum Islam (Asrarul Ahkam)
·        Menempa ketakwaan
·        Memupuk disiplin
·        Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat

Epistemologi Potensi bawaan lahir manusia
1.  daya (nafsu) ofensif (quwwatul syhwat) yang mendorong untuk berbuat jahat (amarah)
2.  daya defensif (quwwatul ghadhab) yang mendorong untuk melakukan kebaikan (lawwamah)
3.  daya akal (quwwatul aql) yang menimbang antara kedua di atas (muthmainnah)

akal perlu dibimbing untuk bisa membuat keputusan terbaik yang mampu mengendalikan nafsu.


manusia dan hukum
upaya pencarian manusia untuk mengarungi hidup perlu dituntun agar terarah. Karenanya aturan hukum perlu mendampingi manusia agar betul selamat dunia akhirat.

Sumber dan metode hukum Islam
Sumber ada 2, yaitu asli (ilahiy, naqli, non ijtihadi, qat’iy) yang  meliputi Alquran dan Assunnah dan tabi’iy (insaniy, aqli, ijtihadi, zanniy) yang meliputi ijma’ qiyas dst.

Pengetahuan manusia  dibagi 2, yaitu tentang Tuhan (agama) dan hukum-hukum tuhan (segala yang ada). Pengetahuan itu merupakan ilmu yang bermula dari agama yang  kemudian dibuktikan oleh empirik. Berbicara soal pengetahuan berarti bicara epistemologi dengan berbagai pendekatan

Di barat epistemologi memiliki lima pendekatan yaitu empirisme, rasionalisme, fenomenologisme, intuisi dan empiris cum rasio.
Di Islam, epistmeologi ada 4, empirisme (alhissiyyah), rasional (aqliyah), intuisi (kasyfiyyah) dan otoritatif (sami’iyyah).

Pengetahuan tentang agama memiliki dua model, yaitu khabariyyah i’tiqadiyyah (info yang diyakini kebenarannya) ini dianggap otoritatif seperti tauhid dan Thalabiyyah i’tiqadiyah (info yang diteliti baru yakin) yang diangap non otoritatif seperti fiqh.

Alat memperoleh pengetahuan
Alat untuk memperoleh pengetahuan ada 3, qalbu, mata dan telinga. (lihat 16:78; 32:9; 17:36; 67:23; 46:26; 2:7; 7:179; 22:46; 25:49; 50:37; 10:42; 6:25;

Alat-alat yang mampu memperoleh pengetahuan harus diatur dalam sebuah tata azaz, jika tidak akan terjadi anomali. Untuk itu dikenal metode istinbath hukum. Dalam islam Metode istinbath hukum adalah naqliyah-aqliyah; yang terdiri dari; tajribah al-hissiyyah (empirik), al-mutawatirat (transmisi premis) dan istiqra’ (penelitian induktif). Istinbaht sah dilakukan dengan tetap mengacu pada prinsip hukum dalam Islam yaitu;

Prinsip hukum Islam
1.  Tauhid
2.  Keadilan
3.  Amar makruf nahi mungkar
4.  al-Hurriyyah (kebebasan)
5.  al-Musawah (egaliter)
6.  Ta’awun (tolong menolong)
7.  Tasammuh (toleransi)

Seluruh produk hukum yang digali dari teks oleh akal harus mengacu kepada hikmah hukum dalam Islam kerangka berikut ini;
Rahasia Hukum Islam (Asrarul Ahkam)
·        Menempa ketakwaan
·        Memupuk disiplin
·        Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat

Karakteristik Hukum Islam (Thawabiul Ahkam)
·        Sempurna (perfect/kaffah); Sumber Quran dan Hadis dianggap mampu mengcover seluruh problem yang bakal muncul (Shaalih likulli zamaan) dengan bekal ijtihad (terhadap 96% ayat)
·        Elastisitas; Bisa lentur (beradaptasi) menghadapi rupa-rupa persoalan baru sepanjang tidak aneh-aneh. Contoh: Berbelanja di Mall.
·        Universal dan Dinamis; Bisa dipakai pada zaman dan tempat apapun. Contoh: Piagam Madinah
·        Sistematis; Hukum Islam secara keseluruhan saling berkaitan secara organis, tidak sepenggal-sepenggal atau partial yang kesemuanya mengarah kepada titik tata kosmos.
·        Taaqquli dan Taabbudi; integralitas antara rasio, spiritual dan empiri.

Ciri Khas Hukum Islam (Khashaaishul Ahkam)
·        Berdasarkan kepada wahyu yang dibangun diatas pondasi aqidah dan rasio
·        Memiliki sangsi dunia dan akhirat
·        Mengatur manusia untuk mencapai kesejahteraan hidup secara kolektif.

Prinsip Dasar Hukum Islam (Mabaadiul Ahkam)
·        Menghindari hal-hal yang akan menyempitkan dan memberatkan (Adamul Haraj) = Laa Dharara walaa Dhirar, Addiinu Yusrun, Yassiruu walaa Tuassiruu, Laa yukallfullaahu Nafsan illa wusaha, Yuridullahu bikumul yusra, Addharuuratu tubiihul Mahzhuraat.
·        Memperkecil beban/realistis (taqliilu takliif) = Sholat jika tidak bisa berdiri, duduk saja, tidur saja atau disholatkan = Yuridullahu anyukhaffifa angkum
·        Bertahap dalam pemberian beban (tadarruj) contoh proses pengharaman khamar.
·        Berorientasi kepada kemaslahatan manusia secara universal; Setiap hukum lahir karena memang dibutuhkan untuk hadir untuk menata kehidupan guna mencapai ketertiban dan keteraturan hidup masyarakat sendiri.= Al hukmu yaduuru maal illati
·        Bercita rasa keadilan bagi semua (tidak berpihak dalam memberi taklif).= Walaa yajrimannakum syana aanu qaumin ala alla tadiluu.
Dasar-dasar Hukum Islam (Da aimul Ahkaam)
·        Musyawarah
·        Kebebasan
·        Toleransi
·        Solidaritas

Tujuan Hukum dan Islam
Tidak ada tujuan lain kecuali mewujudkan kebaikan, ketentraman, kenyamanan dan keamanan buat manusia (kemaslahatan), baik secara individu maupun social (Maqaashidus Syariiah) Kemasalahatan yang terpokok meliputi agama, jiwa, akal, nasab dan ekonomi. Dalam hal ini ada skala prioritas. (1) Tujuan yang pokok/primer (Dharuriyyat) (2) Tujuan yang dibetul-betul dibutuhkan/sekunder (Hajjiyat) (3) Tujuan yang sekedar tertier/Tahsiniyyat.
1.  Memelihara Agama; D= Sholat; H=Sholat berjamaah; T=Sholat pakai sorban
2.  Memelihara Jiwa; D=Makan; H=Makan di Texas; T=Makan pakai sumpit
3.  Memelihara Akal; D=Menghindari Narkoba; H=Menghindari merokok; T=Tidak banyak angan-angan.
4.  Memelihara Keturunan; D=nikah; H=Mahar; T=Resepsi di gedung
5.  Memelihara Harta; D=Memperoleh harta secara legal; H= Memperoleh harta lewat konsinyasi ; T= Memperoleh harta tanpa ada unsur gharar sama sekali.

Problem muncul dalam menentukan kemasalahatan (apa parameternya). Ada 4 jalan dalam menemukan kemaslahatan; a. diterangkan secara zahir oleh teks. B. ditemukan secara batin oleh orang yang memiliki otoritas c. melalui penerawangan rasio. d. tekstual cum rasio. Dari sinilah polemic hokum berkecamuk. (telusuri polemic hokum dalam 5 bidang, yaitu social-budaya, politik pemerintahan, HAM, lingkungan dan Kesehatan).


Keutamaan Hukum Islam (Mazaaya atau Mahaasin Al-Ahkam)
·        Terletak pada adanya interelasi yang harmonis antara hukum (peraturan) dengan dimensi moral atau etika. Sehingga dalam Islam: Hukum berdampingan dengan moral. Bukan hukum lebih dipentingkan dari pada moral atau sebaliknya. Jika hukum menepikan moral akan melahirkan kezaliman, sedangkan moral tanpa hukum melahirkan ketidak pastian hukum (anarkis)…




Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi dalam Hukum Islam
Oleh H.M.Rakib, SH.,M.Ag. Pekanbaru- Riau
Apa hukum itu, secara esensi, kata ontologi
Dari mana asalnya, kata Epistemologi
Baimana menerapkannya, kata aksiologi
Memburu makrifah, sangat berarti,

P
          Menarik kajian tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab ”apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda-benda. Ontologi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan lebih berkonsentrasi untuk mengkaji tentang hakikat sesuatu. Kaitannya dengan hukum Islam, ontologi berusaha memaparkan asal-muasal (hakikat) dari hukum Islam itu sendiri. Dengan mengetehui ontologi dari hukum Islam maka akan berpengaruh terhadap proses selanjutnya, yaitu epistemologi untuk kemudian bermuara pada “aksi” (aksiologi).
Jangan seperti penafasiran Wahabi, yang terlalu kaku mengikat diri pada tels, atau nash Hukum Islam sebagai sebuah ilmu, memang  berangkat dari nash-nash (teks-teks) agama yang nilai kebenarannya memang absolut (mutlak). Hukum Islam hadir sebagai jawaban dari realitas kehidupan manusia yang menghendaki keteraturan dalam hidupnya. Dalam Islam, sandaran paling populer berkaitan dengan disiplin ilmu ini adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Wahyu tersebut yang sampai saat ini terus eksis yang familiar disebut dengan Al-Quran. Berangkat dari nash utama tersebut kemudian muncul hadits Rasul, selain sebagai bayān (penjelas) juga sebagai penafsiran lebih jauh dalam konteks praktis.
Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengendalian-pengendalian, dan dasar-dasarnya serta pengertian mengenai pengetahuan yang dimiliki. Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuatan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya.[4] Dalam bahasa yang lebih lugas, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa epistemologi adalah the way atau cara untuk memperoleh pengetahuan. Epistemologi bergerak dalam kebebasan ruang (the free space) yang menjelaskan motode yang benar untuk menggapai ilmu yang dimaksud. Dengan hadirnya epistemologi yang jelas maka sebuah ilmu dapat difahami dengan benar, namun masih dalam tataran teori.
Epistemologi hukum Islam mengacu kepada usaha untuk memahami Islam secara benar melalui proses pembelajaran yang benar pula. Dalam bahasa lain, epistemologi (mungkin) masih berkaitan dengan “ijtihad” dalam konstelasi hukum Islam itu sendiri. Ijtihad merupakan sebuah metode untuk menentukan hukum yang terikat dengan nilai. Dalam konteks ini, epistemologi memang harus “berurusan” dengan nilai agar tidak keluar dari kaidah yang benar. Hal ini karena dalam beragama, umat manusia harus terus melaju dalam medan yang lurus (ash-shirāth al-mustaqīm). Keterikatan dengan nilai ini memang harus dijaga karena pada purnanya, hukum Islam akan memasuki wilayah praktis, bukan sekadar teoritis.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah.[5] Inilah yang dikenal dengan istilah aksiologi, yaitu bagaimana ilmu pengetahuan mampu menyelesaikan permasalahan yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Substansi dari kegunaan ilmu akan benar-benar kentara ketika (mampu) memasuki wilayah aksiologis. Sehingga wajar jika kemudian ilmu-ilmu yang tidak banyak memberikan kontribusi terhadap kehidupan harus rela hati untuk dimasukkan ke “keranjang sampah”. Hal ini karena memang segala sesuatu, termasuk ilmu akan mengalami proses seleksi yang memang sangat bergantung kepada keadaan.
Secara aksiologis, hukum Islam tentu sangat berperan untuk memberikan jalan hidup yang benar bagi umat manusia. Dengan adanya hukum, umat Islam dapat menjalankan kehidupannya dengan baik dan terarah. Arah dan tujuan hidup tersebut pada akhirnya akan menuju kepada Tuhan Yang Maha Segalanya, Allah SWT. Belakangan, betapa banyak masalah kontemporer yang dihadapi umat Islam. Realitas ini harus dijawab dengan segenap kesiapan yang selaiknya tetap memberikan kesempatan umat untuk menerima jawaban tersebut. Sehingga pada akhirnya, hukum Islam akan terlihat akomodatif, tidak kaku alias rigid.
Hukum Islam, tidak kaku,
Asal pemahaman, tidak keliru
Dapat aturan yang bermutu
Tenang dan damai selalu.

[1] [Sebuah Pengantar]. Ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu dan Logika di Pondok Pesantren Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (PPM UII).
[2] Santriwan Ponpes UII dan Mahasiswa Jurusan Hukum Islam (Syarī’ah) Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Nomor Induk Mahasiswa (NIM): 09 421 021.
[3] Fakultas Syariah IAIN-SU, “Dasar-dasar Ilmu (ONTOLOGI-EPISTEMOLOGI-AKSIOLOGI)”, http://my.opera.com/mid-as/blog/2011/01/26/dasar-dasar-ilmu-ontologi-epistemologi-aksiologi, diakses Senin (23/01), pukul 14.08 Wib.
[4] Ibid.,
[5] Ibid., “Dasar-dasar…”

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook