Wednesday, March 12, 2014

Hai pemilik kelingking berkait. Di dalam pesawat itu, lembar Demi Lembar, kucatat penipuanmu



KELINGKING BERKAIT BERULAH LAGI

Hai pemilik kelingking berkait.
Di dalam pesawat itu, lembar Demi Lembar, kucatat penipuanmu
Setelah landing, kukayuh sepda kepedihan sakit hati padamu
mengayuh asin setiap goresan yang tercetak
beribu kata rapi tersusun
menghimpunkan sunyi Metafora Birahi Laut
tentang perjalanan seorang anak bahari berpagarkan rindu dan ombak-ombak

lembar demi lembar
meresap kata-kata yang tak mampu kutenggak
menjadikannya tulang sumsum dan tombak

angan dan imajiku setia berlayar di halaman-halamanmu
setiap rekahan kata-katamu adalah penegak
memburu nasib dan rasi di langit utara

tubuh kita adalah puisi
bertautan dalam kepul asap secangkir kopi

kita sering melukis pelangi
dengan ampas kopi sisa senggama

mataku beradu matamu
seperti mug atau cangkir yang selalu rindu panas kopi

derai malam menjadi saksi terlalu bisu
untuk kemenangan kita mendaki birahi


riwayat yang hilang dan setumpuk catatan usang menggenangi mata
berserakan!

kertas-kertas dan abu bekas pemujaan semalam
tentang dunia ilusi yang melenakan
batu-batu bersimbah tinta
mengarsir sendiri pada nganga luka
semua ada catatan meski tiada berguna lagi
namun, mungkin nanti ada saatnya membuka kembali sejarah dan riwayat-riwayat itu
setelah sekian tahun terpendam dalam tanah liat dan gersang gurun berpasir darah
kembali pada jalan masing-masing guna menghisap dosa dan kesalahan
persembahan tak akan sia-sia meski telah dicampakkan

karena kita manusia
kita manusia

membekukan dan mencairkan
setiap kenangan adalah makna
saling bercerita satu sama lain
apakah yang kau punyai selain cinta yang semu belaka
dan apa pula yang aku bisa selain kesetiaan tiada tara
meski pula terkalahkan
mungkin hanya bualan saja
tak perlu ada usap derai air mata atau malah menertawakan kebodohan diri
seumpama rumput itu berhenti bergoyang
buat apalagi tumpahan cerita
kubuang saja dalam tong sampah biar membusuk lekas
duka yang luas, luka yang panas

lekas
lekas bias
lekas ampas

kembali membekukan kenangan dan air mata
matahari tiada lelahnya menertawakan kesendirian
boleh aku pinjam bahumu sejenak saja
ada racun di mataku, silau dan bercak bergantian

ah, robek saja mukaku
aku (tak) pernah mati
menyertaimu dengan segumpal kesetiaan


PENIPUAN ITI BERULANG LAGI

Jas namanya mister jas, menipu lagi pada sisa-sisa hening ini aku merayu sunyi
Asap masih juga berbekas jejak, pesawt  yang engkau tumpangi
mencaduk pesan-pesan yang engkau kirim
dalam kerlap malam jua aku bersungut memaknai semua yang kau perankan
atas segenap kisah manusia
engkau hidup terus mengalir
menguliti jalan sunyi
bahwa puisi bukan pula hal modular
yang membuat kita hanya puas terkapar begitu saja
berhenti pada titik langkah
tidak juga engkau menjadi pandik
itu yang kutangkap dari senyum senjamu

di halaman, kosong oleh rerintik air hujan
debu-debu beterbangan beradu langkah dengan cengkiak
betapa muram tanah-tanah ini
aku semakin tak mengerti

kukira maukuf saat ini
betapa pula aku ceroboh mengartikan sampaian
pesan-pesan yang engkau tawarkan
yang engkau pentaskan

namun masih ada waktu buat berkelana
akan kutautkan rindu di penghujung malam
menyegel pintu-pintu asing
berukup tepat di tengah sunyi hitam
tingkar pikiran dan kepala dengan berjuta huruf yang berderet-deret di sekeliling

engkau hidup di kedalaman makna
hingga hilang sudah sunyi menjadi embun
maserasi fajar menggertak aorta
dan mata-mata yang malas enggan beranjak
memuncak tinggi di nirwana


PESAWAT  TURUN DALAM ASAP

Dalam tebalnya asap Pekanbaru, pesawat itu turun
Di dalamnya ada manusia yang kelingkingnya berkait.
Seua pegawai temannya, sakit hati..kemudian mengguling-guling memesan sunyi
suara parau dari lubang hidup yang tertera di dahi
mengejang pekat rerumputan bergidik
merdu lirih kau sampaikan salam pada angin
dan suara-suara masih serak

kau titipkan juga segepok rindu dalam kepul asap yang tertiup
tak ada alasan untuk menggelengkan kepala

oh, marilah kita memesan sunyi lagi
aku rindu memegang akar yang menjuntai dari kepalamu
aku tanam dalam kerut dada yang kasat

oh, marilah kita menenggak aroma keheningan lagi
aku resah menggapai tangan yang terkulai ingin  memelukmu
di ujung sesuatu, yang aku ragu menyebutkan nama apakah yang tepat

dan suara-suara masih serak
aku pun demikian menitipkan jua segepok rindu dalam kepul asap yang tertiup
tak ada alasan untuk menggelengkan kepala

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook