Friday, April 11, 2014

“HUKUM BISA TERBATAS, KASUS TIDAK TERBATAS.”



“HUKUM BISA TERBATAS,
KASUS  TIDAK TERBATAS.”



Mr.H.M.Rakib Ciptakarya Widyaiswara LPMP. Pekanbaru Riau Indonesia. 2014

Babaimana munculnya kekakuan dan kevakuman hukum. Manusia dengan segala persoalan kehidupannya senantiasa berkemdang dan perkembangan ini sering kali tidak diiringi dengan hukum yang mengaturnya. Dalam persoalan ini ulama fiqh menyatakan, “Hukum bisa terbatas, sedangkan kasus yang terjadi tidak terbatas.” Nikah ‘misyar’ atau kerap disebut nikah sirri marak di wilayah bagian timur Arab Saudi. Para ulama membolehkan selama memenuhi syarat syahnya. Anehnya di Indonesia dianggap ‘liar’ Senin, 29 Agustus 2005, Hidayatullah.com—Berita maraknya nikah sirri (misya) pertama kali dilansir  situs Al-Watan, Jum`at (26/8) kemarin. Nikah sirri meningkat karena sejumlah fatwa ulama membolehkan jenis pernikahan itu selama memenuhi syarat sah.

     Syarat sah pernikahan, menurut sebagai ulama, adalah ijabdan qabul (persetujuan kedua mempelai) dan saksi. Sebagian lainnya adalah mewajibkan wali sebagai syarat sah apalagi yang menikah adalah gadis. Sementara bagi para janda tidak disyaratkan wali.
Kalau lewat pernikahan biasa, seorang pemuda selain harus membayar mas kawin mahal, juga menyediakan rumah dan menanggung biaya pesta yang tergolong besar untuk ukuran kebanyakan.
Karena itu, banyak pria lebih memilih menikah dengan caradiam-diam yang penting halal alias ada saksi tanpa harus melakukan pesta dengan tamu undangan seperti lumrahnya pernikahan biasa.
“Salah satu sebab utamanya adalah faktor ekonomi, sebab sebagian pemuda tidak mampu menanggung biaya pesta, menyiapkan rumah milik dan harta gono gini, maka mereka memilih menikah dengan cara misyar yang penting halal,“ ujar Ummu Adil, salah seorang Khatibah (semacam mak comblang).
Sebagain pemuda secara terus terang mengaku lebih memilih cara perkawinan demikian karena alasan ekonomi. “Nikah misyar adalah cara terbaik bagi saya untuk menikahagar tidak terperosok dalam perbuatan haram (zina red.),“ ujar Khalid Ghanem, seorang pemuda yang sedang mencari jodoh lewat misyar.
- See more at: http://www.inilah-salafi-takfiri.com/general/nikah-sirri-meningkat-di-saudi#sthash.KcEjViPP.dpuf

Di sisi lain, fiqh Islam tidak dimaksudkan untuk berlaku sepanjang masa, tetapi hanya untuk menjawab persoalan yang timbul pada suatu kondisi, masa dan tempat tertentu. Oleh karena itu, hukum senantiasa perlu disesuaikan dengan kondisi, tempat dan zaman yang lain. Tidak jarang diteukan bahwa peristiwa yang menghendaki hukum lebih cepat berkembang dibandingkan dengan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, kodifikasi hukum bisa memperlambat perkembangan hukum itu sendiri.

Al-Khudhari Bek dalam Tarekh Tasyri’ al-Islami membagi periodesasi pembentukan hukum Islam dalam enam fase tasyri’.[1][1] Pertama adalah fase kerasulan Nabi Muhammad, dimana segala sesuatu tentang hukum dikembalikan kepada belia. Kedua adalah fase para sahabat Nabi yang senior (kibar al-shahabah) mulai dari saat kematian Nabi sampai akhir masa khulafa’ al-Rasyidin. Ketiga adalah fase sahabat Nabi yang yunior (shighar al-shahabah) mulai dari permulaan masa Umawi sampai kurang lebih satu abad setelah hijrah. Keempat adalah fae fiqh menjadi ilmu tersendiri mulai dari awal abad kedua hijrah sampai abad ketiga. Kelima adalah fase perdebatan mengenai berbagai masalah hukum di kalangan fuqaha’, mulai daari awal abad keempat hijrah samapai akhir masa Abbasiyah dan penaklukan Tartar atas dunia Islam pada abad ketujuh hijrah (1258 M). keenam adalah fase taqlid mulai dari kejatuhan dinasti Abbasiyah sampai sekarang.
Dewasa ini menurut Rifa’i Ka’bah, kita memasuki fae ketujuh, yaitu fase kodifikasi atau kompilasi dan ijtihad untuk masalah-maslaah kontemporer. Kodifikasi atau kompilasi ini dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi Negara atau semi resmi, atau lembaga internasional, atau murni swasta. Tujuannya adalah untuk memperkaya hukum nasional.[2][2] Hukum Islam baik yang dikodifikasi maupun yang dikompilasi untuk sebagian menjadi bahan pembentukan hukum nasional dan sebagian Negara tertentu dijadikan sepenuhnya sebagai peraturan perundang-undangan. Menjadikan hukum Islam yang termuat dalam kitab-kitab fiqh atau yang telah dikodifikasi atau dikompilasi sebagai undang-undang  ini dalam bahasa Arab dikenal dengan al-Taqnin, yang dalam sejarah hukum Islam ide dan upaya taqnin pertama kali dikemukakan oleh Ibn al-Muqaffa’.
Siapa sebenarnya Ibn Muqaffa’ ini, dan sejauhmana peranannya dalam taqnin hukum Islam? Bagaimana tanggapan ulama ketika itu terhadap ide baru ini, Serta bagaimana perkembangan ide taqnin ini selanjutnya? Untuk menjawab pertanyaan ini maka penulis mencoba meramu berbagai literatur yang dimuat dalam maklah sederhana ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat menambah wawasan kita tentang perkembangan tasyri’ hukum Islam.
  PEMBAHASAN
A.    Pengertian Taqnin
Secara etimologi, kata taqnin (تقنين) merupakan bentuk masdar dari qannana (قَنَّنَ), yang berarti membentuk undang-undang. Ada yang berpendapat kata ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi, canon. Namun ada juga yang berpendapat, kata ini berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin adalah kata qanun (قَانُوْن) yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara (thariqah).[3][3]
Menurut Sobhi Mahmasani kata Qanun berasal dari bahasa Yunani, masuk menjadi bahasa Arab melalui bahasa Suryani yang berati alat pengukur atau kaidah. Di Eropa, istilah kanun atau canon dipakai untuk menujuk hukum gereja yang disebut pula canonik,[4][4] seperti corpus iuris cononici yang disahkan oleh Paus Gregorus XIII tahun 1580, kemudian codex iuris coninci oleh Paus Benediktus XV tahun 1919. Hukum kanonik ini terdiri atas injil, fatwa-fatwa dari pemimpin gereja, keputusan dari sidang-sidang gereja dan keputusan dan perintah dari paus.[5][5] Oleh intelektual muslim di masa lalu, istilah kanun digunakan untuk menyebut himpunan pengetahuan yang bersifat sains seperti buku yag ditulis oleh Ibn Sina dalam bidang kedokteran yang berjudul Qanun fi al-Tibb,  Qanun al-Mas’udi yakni himpunan pengetahuan tentang astronomi yang dihimpun untuk Sultan al-Mas’ud (sultan Ghaznawiyah) yang ditulis oleh al-Biruni.
Dalam konteks sekarang, menurut Mahmasani istilah qanun memiliki tiga arti yaitu: pertama, pengertian yang sifatnya umum yaitu kumpulan aturan hukum (codex) seperti qanun pidana Utsmani. Kedua, berarti syariat atau hukum, dan ketiga, dipakai secara khusus untuk kaidah-kaidah atau aturan yang tergolong dalam hukum muamalat umum yang mempunyai kekuatan hukum, yakni undang-undang, seperti dewan legislatif membuat qanun larangan menimbun barang.[6][6]
Adapun secara terminology, taqnin adalah suatu usaha mengumpulkan kaidah-kaidah khusus yang berhubungan dengan salah satu cabang undang-undang-setelah disusun secara sistematis dan membuang bagian yang dirasa kurang cocok atau terdapat kerancuan- dalam sebuah daftar, kemudian menjadikannya sebagai sumber dalam hukum yang diwajibkan oleh penguasa untuk mentaatinya, dengan cara …….[7][7]
Taqnin al-Ahkam berarti mengumpulkan hukum dan kaidah penetapan hukum (tasyri`) yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.[8][8]


Shalib ibn Fauzan al-Fauzan sendiri mendefinisikan taqnin dengan:

وضعُ موادٍّ تشريعيةٍ يحكمُ بها القاضي ولا يتجاوزُها، أو بمعنى صياغةُ الأحكامِ الشرعية فى عباراتٍ إلزاميةٍ، لأجل إلزامِ القضاة بالحكم بها.[9][9]

Sebagai perbandingan, dalam ilmu hukum dikenal istilah hukum dan undang-undang. Dalam ilmu hukum, hukum yaitu himpunan petunjuk-petunjuk hidup (perintah maupun larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, dan pelanggaran atas peraturan tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.[10][10] Adapun yang disebut pengertian undang-undang secara umum diartikan peraturan yang dibuat oleh negara. Undang-undang memiliki ciri yaitu keputusan tertulis, dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi tentang aturan tingkah laku, dan mengikat secara umum.[11][11]

Dalam literatur hukum Islam pada saat sekarang, istilah dan bentuk dari hukum Islam mengalami perkembangan, ada yang disebut fikih yakni ijtihad ulama yang tertera dalam kitab-kitab fikih, fatwa yakni pendapat atau ketetapan ulama atau dewan ulama tentang suatu hukum, keputusan-keputusan hakim (qadha), dan qanun.[12][12]

Qanun dalam kontes sekarang dipandang sebagai formalisasi hukum Islam, yakni aturan syara’ yang dikodifikasi oleh pemerintah yang bersifat mengikat dan berlaku secara umum. Lahirnya Qanun dalam era moderen ini sebagai konsekwensi dari sistem hukum yang berkembang terutama oleh karena pengaruh sistem hukum Eropa. Atas hal ini, sebagian ulama menganggap formalisasi hukum Islam adalah sesuatu yang penting sebagai panduan putusan hukum para hakim dalam suatu masalah yang sama pada lembaga peradilan yang berbeda-beda. Sementara sebagian yang lain tidak sependapat dengan taqnin al-ahkam dengan argumentasi tersendiri dari mereka. Perbedaan pandangan ini kadang menghasilkan pertentangan yang sengit antara kedua kubu. Sebagai akademisi, patut untuk melakukan analisa atas argumentasi dua kutub pemikiran yang berbeda ini. Maka, dalam makalah ini akan dipaparkan tentang sekilas sejarah taqnin al-ahkam, pandangan para ulama tentang taqnin al-ahkam dan analisa pendapat-pendapat tersebut.


        Sekilas Perkembangan Taqnin

Apabila taqnin dimaknai secara luas dan salah satu maknanya diartikan sebagai tasyri’ (pembentukan hukum), maka taqnin dapat dilacak keberadaannya sejak masa Nabi saw. Akan tetapi apabila taqnin diartikan sebagaimana konsep hukum sekarang, yakni hukum tertulis yang bersifap mengikat, temporer dan memiliki sanksi, maka maka taqnin dalam konsep tersebut tidaklah dapat diterapkan kepada masa Nabi saw. Memang benar bahwa di masa Nabi pernah ada Piagam Madinah atau Shahifah Madinah yang berisi tentang hak dan kewajiban warga Madinah, baik muslim maupun non muslim untuk menjaga kedaulatan Madinah. Oleh ahli hukum, dikatakan bahwa piagam Madinah merupakan konstitusi negara yang tertulis.[13][13]
Begitu juga di masa sahabat, ide tentang taqnin belum ditempuh. Ide yang baru muncul adalah pemushafan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu Bakar atas usulan Umar ibn Khattab, dan kemudian dituntaskan pada masa Utsman ibn Affan. Begitu pula pada masa Umayah, ide yang muncul adalah pentadwinan Hadis baru dimulai pada masa Umar ibn Abdul Aziz (w. 720 M/102 H), khalifah kedelapan Bani Umayah.
Di masa Abbasiyah barulah ide tentang taqnin lahir. Salah seorang sekretaris negara, Ibn Muqaffa  (w. 756 H/ 140 H), keturunan Persia, mengusulkan gagasan kepada khalifah al-Mansyur (khalifah kedua Abbasiyah) untuk meninjau kembali doktrin yang beraneka ragam, kemudian mengkodifikasikan dan mengundang-undangkan keputusannya sendiri dengan tujuan menciptakan keseragaman yang mengikat para qadhi. Undang-undang ini juga harus direvisi oleh para khalifah pengganti. Ibnu muqaffa  mengungkapkan bahwa khalifah memiliki hak untuk memutuskan kebijakannya. Khalifah dapat membuat aturan atau tatanan yang mengikat kekuasaan militer dan sipil, dan secara umum pada semua masalah yang tidak ada contoh sebelumnya, tetap berdasarkan kepada pada Al-Quran dan Sunnah.[14][14]

Perkembangan taqnin berikutnya mulai lebih konkrit pada masa Utsmani, yakni pada masa Sultan Sulaiman (1520-1560 M) dimana ia secara serius  memberlakukan qanun atau Qanun Name sebagai hukum resmi. Atas usaha itulah Sultan Sulaiman diberi digelar Sulaiman al-Qanuni (Sulaiman the Legislator). Dalam Qanun Name dikupas secara lengkap tentang gaji tentara, polisi rakyat yang bukan muslim, urusan kepolisian dan hukum pidana, hukum pertanahan dan hukum perang. [15][15] Namun menurut Bernart Lewis seperti yang dikutip oleh Wahiduddin Adams, produk hukum Sulaiman ini belum dapat disebut undang-undang dalam arti yang sebenarnya, bahkan lebih pantas disebut lembaran-lembaran untuk memudahkan dalam pengaturan administrasi.[16][16]

Kodifikasi/ kompilasi dan taqnin paling terkenal di dunia Islam dimulai pada masa Turki Utsmani. Usha ini dirintis melalui sebuah tim yang diketuai Menteri Kehakiman yang bekerja mulai tahun 1285 H/1869 M sampai 1293 H/1876 M. pada tahun 1877 M berhasil disusun kitab undang-undang Hukum Perdata yang diberi nama ­majallaat al-Ahkam al-Adliyah. Kitab undang-undang yang berisi 16 bab dan 1851 pasal ini diberlakukan di negeri-negeri yang tunduk pada kekuasaan Turki Usmani seperti Mesir, Irak, Suria, Libia, dan Tunisia.[17][17] Kitab hukum tersebut  secara umum diambil dari kitab-kitab madzhab Hanafi. Jika dalam kitab tersebut ditemukan khilafah antara Abu Hanifah dan pengikutnya, maka pendapat yang diambil adalah yang dianggap cocok dengan kondisi dan kemaslahatan umum.
Pada masa kekuasan Dinasti Moghul di India juga dihimpun satu aturan hukum yang disebut Fatawa Alamghirriyah. Alamghirriyah adalah nama yang dinisbatkan kepada sultan Aurangzeb (1658-1707 M) dari dinasti Moghul. Ketika Inggris menguasai India (tahun 1772 M), terjadi fusi antara hukum Islam yang telah berjalan di India dengan sistem hukum Inggris sehingga melahirkan istilah Anglo Muhammadan Law (Hukum Inggris Islam). Dalam praktek, para hakim-hakim Inggris didampingi oleh para mufti untuk menyatakan hukum Islam yang benar untuk membantu para hakim Inggris tersebut.[18][18]


2. Mandeknya upaya ijtihad. Kodifikasi hukum Islam dapat mengakibatkan kemandekan upaya ijtihad dikalangan ulama fiqh. Seorang ulama atau hakim bisa saja terpaku pada fiqh yang telah dikodifikasi tersebut sehingga perkembangan berpikirnya pun mandek.

3. Munculnya persoalan taklid baru. Kodifikasi. Kodifikasi hukum Islam bisa memunculkan persoalan taklid baru karena warga negara yang terikat pada kodifiksi hukum tersebut hanya terikat pada satu pendapat. Padahal fiqh Islam masih dapat berkembang, berbeda antara satu pendapa dan pendapat lainnya, sehingga setiap orang dapat mengikuti pendapat mana saja selama belum mampu berijtihad sendiri. Hal ini juga memberikan kesan mengenai sempit dan sulitnya fiqh, serta berlawanan dengan ungkapan iktilaf ala al-aimmah rahmah li al-ummah (perbedaan pendapat dikalangan ulama merupakan rahmat bagi umat). Apabila suatu hukkum telah dikodifikasi, maka hukum itu harus dipatuhi olehh seluruh warga negara dan bersifat mengikat bagi para pelaku hukum. Apabila hakim menentukan hukum secara berbeda daengan hukum yang telah dikodifikasi, maka hakim tersebut melanggar perundang-undangan yang sah.

Disamping sisi negatif di atas, ulama fiqh juga mengemukakan sisi positif adanya kodifikasi hukum Islam tersebut, antara lain :

1. memudahkan para praktisi hhukum untuk merujuk hukum sesuai dengan keinginannya. Kitab-kitab fiqh yag tersebar di dunia Islam penuh dengan perbedaan pendapat yang kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya kodifikasi hukum, para praktisi hukum tidak perlu lagi mentarjih berbagai pendapat dalam literatur fiqh.

2. Mengukuhkan fiqh Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fiqh Islam penuh dengan perbedaan pendapat, bukan hanya antar mazhab, tetapi juga perbedaan antarulama dalam mazhab yang sama, sehingga sulit untuk menentukan pendapat terkuat dari sekian banyak pendapat dalam satu mazhab. Keadaan seperti ini sangat menyulitkan praktisi hukum (apalagi orang awam) untuk memilih hukum yang akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang itu bermazhab Hambali atau Syafi’I, sehingga hasil ijtihad Mazhab Hanafi atau Maliki tidak diterapkan kepadanya. Dalam kaitan ini, kodifikasi hukum Islam yang sesuai dengan pendapat yang kuat akan lebih prakti dan mudah dirujuk oleh para praktisi hukum, apabila di zaman modern ini para hakim pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.

3. menghindari sikap taklid mazhab di kalangan praktis hukum, yang selama ini menjadi kendala dalam lembaga-lembaga hukum.

4. Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga – lembaga peradilan. Apabila hukum dalam suatu negara tidah hanya satu, maka akan muncul perbedaan keputusan antara satu peradilan dan peradilan lainnya. Hal ini bukan hanya membingungkan umat, tetapi juga mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan antara satu peradian dan peradilann lainnya. Dalam kaitan ini, Wahbah Zuhaili, ahli fiqh dan usul fiqh kontemporer Suriah berkomentar bahwa kodifikasi hukum di zaman sekarang merupakan tuntutan zaman dan tidak dapat dihindari karena tidak semua orang mampu merujuk kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab, khususnya orang yang tidak menguasai bahasa Arab. Namun demikian, menurutnya, kodifikasi hukum Islam tidak bersifat kaku. Artinya, kalau dikemudian hari ternyata tuntutan zaman dan perubahan masyarakat menghendaki hukum lain dan penerapan sebagian materi hhukum yang telah dikodifikasi tidak sesuai lagi dengan kemaslahatan masyarakat, maka pihak pemerintah harus melakukan perubahan materi hukum tersebut.[8] Dalam kaitan dengan ini, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah berlaku kaidah, “Perubahan hukum sesuai perubahan situasi dan kondisi masyarakat dan lingkungannya.

Sekalipun ada kecemasan terhadap sisi – sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut, seperti mandeknya ijtihad dan tidak berkembangnya hukum, akhirnya ulama Islam di zaman modern lebih banyak mendukung ide kodifikasi hukum di negeri masing-masing karena terdesak oleh situasi dan kondisi sosio – kultural dan politik. Bahkan di berbagai negara Islam, kodifikasi hukum disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan bidangnya masing-masing, seperti kodifikasi bidang hukum perdata, pidana perseorangan serta keluarga, peradilan, tata usaha negara, administrasi negara dan keuangan negara.


[19][1] Muhammad al-Khudari Bek, Tarikh Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hal. 5-6
[20][2] Rifa’i Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Ubiversitas Yarsi, 1999), hal. 52
[21][3] Ibrahim Anis, Al-Mu`jam al-Wasith, juz 2, h. 763.
[22][4] Sobhi Mahmasani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: al-Maarif, 1976), h. 27
[23][5] . van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, (Pustaka Sarjana, t.t.), h. 143-144.

[24][6] Sobhi Mahmasani, op.cit., h. 28.
[25][7]
[26][8] Mushtafa aL-Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqh al-`Am, juz 1 (Beirut: Dar al-Qalam, 1418 H), h. 313.
[27][9] Abdurrahman ibn Sa’d ibn ‘Ali al-Syatsri, Hukm Taqnin al-Syari’ah al-Islamiyah, (Riyadh: Dar al-hami’i li al-Nasyri wa al-Tausi’i, 1428 H), hal. 15
[28][10] E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar,1957), h. 9.
[29][11] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (bandung: Mandar Maju,1998), h. 10.
[30][12] Jaih Mubarok, Hukum Islam, (Bandung: Benang Merah Press, 2006), h. 1.

[31][13] Salah satu uraian tentang piagam madinah dapat dilihat dalam Deddy ismatullah, Gagasan Peerintahan Modern dalam Konstitusi Madinah, (Bandung: Sahifa, 2006).

[32][14] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Bandung: Nuansa, 2010), hal. 95.
[33][15] Joseph Schacht, op.cit., hl. 18-143.
[34][16] Wahiduddin Adams, hal. 85
[35][17] Lihat Hanafi, Pengantar dan ejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), hal. 219, lihat juga Umar Sulaiman, Tarikh al-Fiqh al-Islamiy, (Kuwait: Maktabah al-Kalali, 1982), hal 193-194
[36][18] Ibid., h. 145-148.
[37][19] Wahiduddin Adams, hal. 86-107
[38][20] Hartono Mardjono, Menegakkan Syari`at Islam dalam Konteks Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1997), h. 125.

[39][21] Muhammad Baltaji, Manhaj al-Tasyri’ al-Islami, (Riyadh: t.tp, 1977), hal. 79
[40][22] Taqnin Fiqh al-Islami al-Mabda’u wa al-Manhaju wa al-Tathbiqu, hal. 50
[41][23] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Bandung: Nuansa, 2010),, h. 616.
[42][24] Taqnin Fiqh al-Islami al-Mabda’u wa al-Manhaju wa al-Tathbiqu, hal. 51-52
[43][25] Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru vanH Hoeve, 1996), vol. 4, h. 1094.
[44][26] Wahiduddin Adams, hal. 84
[45][27] Taqnin al-Fiqh al-Islami al-Mabda’u wa al-Manhaju wa al-Tathbiq, hal. 36-37
[46][28] Majmu al-Fatawa, juz 35, hal. 357, 360, 372, dan 373.
[47][29] Taqnin al-Fiqh al-Islami al-Mabda’u wa al-Manhaju wa al-Tathbiq, hal. 37



















































No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook