Sunday, April 27, 2014

PENDIDIKAN YANG CACAT EPISTIMOLOGIS



PENDIDIKAN YANG
CACAT EPISTIMOLOGIS

M.Rakib, LPMP Riau Indonesia.2014

Pendidikan yang yang hanya mengandalkan kelulusan akademis, tidak bermanfaat secara sosiologis, merupakan pendidikan yang cacat secara epistimologis. Dalam bidang keagamaan juga demikian, adanya kekerasan yang ditanamkan dalam fiqih keagamaan, sampai mirip dengan prinsip teroris, merupakan hal yang cacat secara epistimologis. Misalnya banyak pemikir kontemporer memandang ushul fiqh klasik tanpa cacat epistemologis apapun, karena kajian metodelogi klasik yang dikerangkakan ulama’ masa dahulu memang sudah tuntas dan sempurna, sehingga kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya.

Pemikiran Ushul Fiqh Kontemporer
A. 
Di sinilah cendekiawan muslim modern melontarkan kritikan, mereka menganggap sebuah metodelogi yang sejatinya lahir dari publik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai suatu yang mutlak tak terbantah. Mestinya metodelogi islam klasik diletakkan dalam konfigurasi (bentuk wujud) dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademi kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan klasik tersebut.

B
Titik tolak pemikiran  tentang perlunya metodologi baru dalam memahami teks Al-Qur’an dimulai dengan penelitian historisnya mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), yang diungkapkannya dalam buku Islamic Methodology in History (1965). Pandangan Fazlur Rahman ini dilatarbelakangi oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, yang kemudian mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi; yaitu perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an yang merupakan titik-pusat ijtihadnya
Dalam kajian historisnya ini, Fazlur Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi s.a.w. dan aktifitas ijtihad-ijma’. Bagi Fazlur Rahman, sunnah kaum Muslim awal merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal Nabi s.a.w. yang kemudian menjelma menjadi ijma’ atau sunnah yang hidup. Di sini, secara tegas Fazlur Rahman menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal Nabi s.a.w. di satu sisi, dengan sunnah hidup kaum Muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain.

Dengan demikian, ijma’ pada asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke depan. Namun demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan hadis secara besar-besaran menggantikan proses sunnah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang: mengunci rapat kesepakatankesepakatan masa lampau. Puncak dari proses reifikasi (proses pembendaan, pembakuan) ini adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke empat Hijrah atau sepuluh masehi.
Dari hasil kajian historisnya ini, Fazlur Rahman kemudian menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab. Fazlur Rahman mengkritik doktrin ini, menurutnya “ijtihad bukanlah hak privilege eksklusif golongan tertentu dalam masyarakat Muslim”, dia juga menolak kualifikasi ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; kemudian dia mengajukan perlunya memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan Fazlur Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka dan tidak pernah tertutup.

Sementara itu untuk mengantisipasi pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenang-wenang, serampangan dan tidak bertanggung jawab, Fazlur Rahman mengajukan metodologi tafsirnya, yang disusun belakangan pada periode Chicago. Dalam konteks inilah metodologi tafsir Fazlur Rahman yang dipandangnya sebagai “the correct prosedure for understanding the Qur’an” atau “ the correct method of Interpreteting The Qur’an” memainkan peran sentral dalam seluruh bangunan pemikirannya. Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan jantung ijtihadnya sendiri. Hal ini selain didasarkan pada fakta bahwa Al-Qur’an sebagai sumber pokok ijtihad, juga yang lebih penting lagi adalah didasarkan pada pandangannya bahwa seluruh bangunan syari’ah harus diperiksa di bawah sinaran bukti Al-Qur’an:
Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi sasaran penilikan yang segar dalam sinaran bukti Al-Qur’an. Suatu penafsiran Al-Qur’an yang sistematis dan berani harus dilakukan.”

Akan tetapi, persoalannya terleetak pada kemampuan kaum Muslim untuk mengkonsepsi Al-Qur’an secara benar. Fazlur Rahman menegaskan:
“..bukan hanya kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah sebagai mana yang dilakukan pada masa lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanyalah yang akan memberikan pimpinan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja kembali keliang kubur. Dan ketika kita kembali kepada generasi Muslim awal, pasti kita temui pemahaman yang hidup terhadap Al-Qur’an dan sunnah.”
b.      Muhammad Syahrur
Syahrur mengusung satu model, yaitu kembali ke teks (return to texts). Apa yang dimaksud dengan kembali ke teks menurut Syahrur adalah upaya membaca kitab suci dengan perangkat epistemologi yang diturunkan dari teks suci. Dalam pembacaannya, Syahrur mendasarkan pada asumsi-asumsi dasar yang dapat kita lihat pada Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-qur’an bahwa ”Jika Islam bersifat relevan pada setiap ruang dan waktu, maka harus dipahami bahwa al-Kitab juga diturunkan kepada kita yang hidup dua puluh ini, seolah-olah Nabi Muhammad baru saja wafat dan telah menyampaikan sendiri kepada kita.”. Oleh sebab itu, Syahrur memahami al-Kitab dengan nalar zaman abad dua puluh sehingga al-Kitab dapat merefleksikan problemtika sosial, ekonomi dan politik sesuai zamannya.

Disini, Syahrur lebih bermain pada linguistik dengan bersandar pada tiga pondasi, yaitu metode linguistik Abu Ali al-Farisi, perspektif linguistik Ibnu Jinni dan Abdul Qadir al-Jurjani. Hingga menghasilkan produk akhir ilmu linguistik modern yang menyatakan bahwa bahasa manapun tidak memiliki karakter sinonim.
Syahrur membedakan istilah al-Kitab dan Al-qur’an. Al-Kitab ialah sekumpulan tema yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad yang terdiri dari ayat-ayat dalam mushaf. Sedangkan Al-qur’an ialah ayat-ayat mutasyabihat yang sering dinamakan as-sab’ al-masani. Perbedaan antara al-kitab dan al-qur’an sejajar dengan perbedaan konsep Nubuwwah (kenabian) dan al-Risalah  (kerasulan). Yang pertama menunjukkan perbedaan antara realitas dan khayalan atau ilusi, sedangkan yang kedua berisi hukum dan aturan tingkah laku. Dengan kata lain yang pertama bersifat objektif dan independen sementara yang kedua bersifat subjektif dan tergantung pada pengetahuan manusia.

Metode ijtihadnya antara lain, Syahrur hanyalah merupakan pseudo ijtihad sebagai tandingan dalam mendekonstruksi hukum-hukum Islam, mengesampingkan keterangan muhkamat dan tsawabit menjadi mutasyabihat dan mutaghayyirat.
Syahrur telah keluar dari epistemologi Islam yang mengugat dan mendekonstruksi ushul fiqih dengan epistemologi berlandaskan worldview (pandangan dunia) Barat yang mengedepankan rasionalitas yang tunduk pada realitas dengan pendekatan hermeneutika. Sunnah Nabi saw. yang selama 15 abad diyakini sebagai sumber hukum, sebagai bayan Al-qur’an dinegasikan posisinya oleh akal yang mempertimbangkan kondisi sosial. Sumber hukum Islam lainnya seperti Ijma’ pun didekonstruksi. Selain itu, Ia pun menggugurkan konsep qiyas, yang dikatakannya mengacu dan membawa masalah ke masa lampau serta tidak berarti sama sekali. Karena menurutnya, dia berulang kali katakan, bahwa penerapan hukum pada alam realitas adalah aplikasi relatif-historis. Prinsip yang ia gunakan hanya akal pikiran dengan realitas objektif.

Buah dari pemikirannya tersebut melahirkan sebuah teori yang aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas). Teori batas ini terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/minimal) dan batas atas (al-hadd al-a’la/maksimal). Syahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas ini pada Alqur’an surat an-Nisa’ ayat 13-14. Ia membagi  enam bentuk dalam teori batas yang dapat digambarkan dalam bentuk matematis, yaitu Halah al-had al-a’la (posisi batas maksimal), Halah al-hadd al-adna (posisi batas minimal), Halah al-haddayn al-a’la wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal bersamaan dengan batas minimal), Halah al-mustaqim (posisi lurus tanpa alternatif), Halah al-hadd al-a’la li hadd al-muqarib duna al-mamas bi al-hadd abadan (posisi batas maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan), dan Halah al-hadd al-a’la mujaban wa al-hadd al-adna saliban (posisi batas maksimal positif dan batas minimal negatif).

Wilayah ijitihad manusia, menurut Syahrur berada di antara batas minimum dan maksimum itu tadi. Elastisitas dan fleksibilitas hukum Allah tadi dapat digambarkan seperti posisi pemain bola yang bebas bermain bola, asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi seorang muslim masih berada dalam wilayah hudud-u-lLah (ketentuan Allah antara batas minimum dan maksimum tadi), maka dia tidak dapat dianggap keluar dari hukum Allah.
Contoh aplikasi dalam teori batas mengenai pakaian dan aurat wanita. ketika menafsirkan QS. [24]: 31, “Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita”. Syahrur mengartikan aurat dengan apa yang membuat seseorang malu apabila terlihat dan aurat tidak berkaitan dengan halal haram, baik dari dekat maupun jauh. Ia membuat contoh, “Apabila ada orang yang botak dan tidak suka orang melihat kepalanya yang botak, maka dia akan memakai rambut palsu, sebab ia menganggap botak kepalanya sebagai aurat. Kemudian ia mengutip hadits Nabi, “Barang siapa menutupi aurat mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya.” Dia berkomentar, menutupi aurat mukmin dalam hadits itu, bukan berarti meletakkan baju padanya agar tidak terlihat. Maka ia menyimpulkan bahwa aurat berangkat dari rasa malu, yakni ketidaksukaan seseorang ketika terlihatnya sesuatu, baik dari tubuhnya maupun perilakunya. Sedang malu menurutnya relatif, berubah-ubah sesuai dengan adat istiadat, zaman, dan tempat. Maka ketika ada ayat yang menyuruh memakai jilbab dalam QS. [33]: 59.
c.       Hasan al-Turabi

Hasan al-Turabi mengusulkan perluasan makna qiyās dan istishāb. Menurut al-Turabi, sebenarnya pengertian qiyās luas sekali, mencakup makna lepas (‘afw) dan makna teknis yang harus dipatuhi oleh para ahli fikih dalam menyamakan hukum far` dengan hukum ashl karena memiliki alasan hukum (‘illah) yang serupa, syarat hukum asal, hukum cabang, dan tujuan hukum. Berbagai persoalan khusus (juz’iyat) dalam qiyās harus diperluas dengan menentukan sekumpulan nash dan mengambil konklusi tentang tujuan atau kemaslahatan agama dari berbagai situasi dan peristiwa itu. Kemudian diterapkan untuk situasi dan peristiwa baru. Pola kerja seperti ini, menurut al-Turabi yang dimaksud dengan fikih Umar ibn al-Khattab. Sebuah fikih kemaslahatan umum yang tidak membahas secara terperinci penyesuaian berbagai peristiwa khusus dan kemudian menghukuminya berdasarkan analogi dengan berbagai peristiwa serupa sebelumnya. Akan tetapi, ia berangkat dari orientasi perjalanan syariat awal dan dengannya berusaha mengarahkan kehidupan saat ini. Jadi setiap qiyās mengharuskan adanya abstraksi kondisi tertentu sebelumnya berdasarkan nash.    
Sebagai contoh al-Turabi menukil sebuah riwayat di mana seorang pria datang pada Nabi SAW dan berkata:” Celakalah aku. Aku telah menggauli istri pada siang hari di bulan Ramadhan…”. Menurut al-Turabi, kasus seperti ini tidak akan pernah terulang lagi secara persis sama. Mungkin kasus serupa bisa terjadi pada orang lain dengan istrinya sendiri, tapi kita tidak mengambil pelajaran (i’tibār) dari peristiwa itu dan menjatuhkan hukum di antara keduanya. Karena bisa jadi penyebab batal puasanya adalah persoalan lain semisal makan atau minum. Persoalannya kemudian, apakah kita juga akan mengabstraksikannya dengan menganggap cara itu dan berpegang pada segala bentuk pembatalan puasa dan kemudian memperluas penentuan hukumnya? Selanjutnya al-Turabi menyatakan bahwa keluasan dan kesempitan qiyās yang dipergunakan ditentukan pada taraf abstraksi kondisi pertama untuk memperoleh tujuan hukum utama. Qiyās mujmal yang lebih luas atau qiyās mashlahah mursalah lebih tinggi derajatnya dalam mencari inti tujuan hukum dengan cara mengambil sejumlah hukum agama yang disandarkan pada sejumlah peristiwa dan diambil unsur kemaslahatan umum darinya.
d.      Abdullahi Ahmed an Na’im

Setiap tokoh pasti memiliki ciri dan karakter tersendiri dalam merumuskan pemikiran yang merupakan hasil dari pemahaman masing-masing, Model paradigma barunya An-Na’im, beliau berpendapat bahwa syari’ah tidak cukup hanya dengan reformasi hukum Islam akan tetapi lebih dari itu yaitu dengan rekonstruksi, reaktualisasi atau bahkan mungkin harus dengan dekonstruksi. Karena Islam lahir dalam setting masyarakat yang sama sekali berbeda dengan masyarakat kontemporer yang tengah berlangsung dalam kehidupan modern saat ini.
Pemikiran dekonstruksi Abdullahi Ahmed an-Naim nampaknya layak dan bisa menjadi garansi atas wacana pembaharuan hukum Islam kontemporer. Bagi Abdullahi Ahmed an-Na’im seperti bisa dibaca pada karyanya kesempurnaan syari’ah Islam bukanlah terletak pada kebekuannya (yang dianggap sudah berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW), melainkan justru pada kemampuannya untuk terus berkembang maju sesuai dengan tuntutan kehidupan yang juga semakin berkembang maju. An-Naim membangun metodologi dengan teori yang selama ini baru. Hukum islam harus didekrontuksi secara total, agar bisa koheren dengan modernitas, namun tetap islam. Pemikiran rekronstuktifnya An-Na’im cenderung skeptipis dan apatis terhadap metodelogi yang telah ada sebelumnya yaitu fiqh klasik.
e.       Hassan Hanafi
Hasan Hanafi menengarai perlunya sikap kritis terhadap tradisi kita dan tradisi mereka. Proyeknya yang terkenal adalah al-turats wa al-tajdid yang berupaya meletakkan landasan teoritis pada kerangka lingkaran piramida peradaban. Kerangka teoritis tersebut berisi bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari tiga akar pijakan berfikir; kemarin (al-madhi), yang dipersonifikasikan dengan turats qodim (khazanah klasik). Esok (al-mustaqbal) yang dipersonifikasikan dengan turats gharbi (khazanah barat), dan sekarang (al-hali), yang dipersonifikasikan dengan al waqi’ (realitas kontemporer).
f.       Nashr Hamid Abū Zayd

Sementara Nashr Hamid dengan konsep makna dan signifikansi (maghzā) mencoba melakukan pembacaan ulang konsep ‘illah dalam ushul fikih. Dalam pandangan Abū Zayd, perbedaan antara makna dan signifikansi dapat dilihat dari dua dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lainnya. Dimensi pertama, bahwa makna memiliki ciri historis, maksudnya bahwa ia dapat diraih hanya dengan pengetahuan yang cermat mengenai konteks linguistik (internal) dan konteks kultural-sosiologis (eksternal). Sementara signifikansi (maghzā), meskipun tidak dapat dipisahkan dari makna, bahkan saling bersentuhan dan berangkat dari makna, memiliki corak kontemporer dalam pengertian ia merupakan hasil dari pembacaan masa di luar atau berbeda dengan masa (terbentuknya) teks.
Dimensi kedua dan ini dianggap sebagai konsekuensi dari dimensi pertama, adalah bahwa makna memiliki aksentuasi yang relatif stabil dan mapan, sementara signifikansi memiliki corak yang bergerak (dinamis) seiring dengan perubahan horison-horison pembacaan, meskipun hubungannya dengan makna mengendalikan dan mengarahkan geraknya, karena memang demikianlah yang harus dilakukan (oleh pembacaan). Apabila dicermati, model pembacaan ini, yakni keharusan maghzā (signifikansi) bersentuhan dengan makna dan harus berangkat dari horison-horisonnya tampak tidak berbeda secara mendasar dengan analogi fiqhiyah yang didasarkan pada temuan ‘illah, dan menjadikan temuan tersebut sebagai pengikat bagi pengembangan pengertian ke peristiwa-peristiwa yang serupa yang tidak dieksplisitkan teks.

 Namun demikian, kemiripan ini hanya tampak di permukaan saja, sementara perbedaannya sangat mendasar dan dalam. ‘Illah yang merupakan tempat bergantungnya hukum menurut ulama ahli fikih bisa jadi merupakan bagian dari pengertian dan makna, maksudnya ditegaskan secara eksplisit atau implisit, dan terkadang dicapai hanya dengan sekedar ijtihad ahli fiqh. Dalam kedua konteks ini analogi bersifat partikular (parsial), maksudnya berkaitan dengan hukum partikular dari hukum-hukum syariat, dan tidak melampauinya sampai pada hukum-hukum lainnya, apalagi merambah pada teks-teks non-hukum. Ahli fiqh kuna tidaklah menyingkapkan signifikansi, dan puncak yang diraihnya hanya pembicaraan mengenai tujuan-tujuan umum (al-maqāshid al-kulliyyah) yang sudah dibatasi pada upaya memelihara agama, jiwa, harga diri dan harta. Kata “memelihara” di sini tidak lepas dari konotasi yang menyingkapkan watak dari sikap fikih lama.

 Dengan demikian, signifikansi, bagi Abū-Zayd, bukan merupakan tujuan-tujuan umum (maqāshid kulliyah) sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama fikih. Hal ini karena dua alasan mendasar. Pertama, signifikansi merupakan hasil dari pengukuran gerak yang ditimbulkan oleh teks dalam struktur bahasa, dan karenanya juga dalam kebudayaan dan realitas. Bersamaan dengan pengukuran gerak, orientasi gerak harus dibatasi, sebab beberapa tidak hanya mengulang bahasa yang sudah umum, dan karenanya memapankan gerak realitas dan kebudayaan semata, tetapi juga dalam struktur bahasanya kembali ke masa lalu dengan mengulanginya dan mengembalikan kebudayaan dan realitas ke belakang. Kedua, signifikansi ditentukan secara lebih ketat oleh tujuan-tujuan real wahyu.

Bertolak dari pembedaan makna dan signifikansi tersebut, kemudian Abū-Zayd merumuskan prosedur pembacaan teks yang harus ditaati seorang penganalisis. Menurutnya, sekalipun pembacaan berangkat dari signifikansi kontemporer, namun ia harus tetap berpangkal pada makna historis teks terlebih dahulu. Sebab, makna historis teks selain dapat memberikan “objektivitas” pemahaman, ia juga yang menentukan batas-batas yang mengarahkan pergeseran teks. Sementara itu, signifikansi juga memiliki peran di dalam menentukan segi-segi tertentu dari teks yang hendak diungkapkan. Ini karena, sifat signifikansi yang mengajukan “kriteria kontemporer” bagi upaya penyingkapan makna historis teks itu sendiri. Dalam pengertian ini, makna bukanlah sesuatu yang sudah final, tetapi turut ditentukan oleh horison harapan pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa pembacaan merupakan gerak dialektika antara makna dan signifikansi, antara masa lampau dan masa kini, dan antara teks dan pembacanya. Mengabaikan salah satu unsur tersebut akan menjerumuskan pembacaan kepada ideologisasi (qirā’ah talwiniyah).
2)      Kasus-kasus fiqh kontemporer

·         Lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang belum dikenal pada masa Nabi. Maka pada masa sekarang ini, ketika perbankan (khususnya perbankan konveksional) memperkenalkan sistem bunga, pertanyaan muncul apakah ini termasuk kategori riba? Disinilah awal dari perdebatan itu. Persoalan prinsip ada pada uang apakah ia bisa dijadikan sebagai alat komoditi? Karena pada dasarnya bank adalah lembaga yang bergerak dalam usaha dagang. Karenanya, keuntungan menjadi sasaran penting dalam usahanya, dan barang dagang bank adalah uang dan jasa. Untuk menyelesaikan persoalan bunga bank itu riba atau bukan, maka alat yang digunakan untuk menganalisis masalah ini adalah melalui penalaran bayani yang lebih menitihberatkan pada pemahaman teks. Dan penalaran ta’lili, yang lebih berusaha mencari ‘illat hukum diharamkannya riba. Sehingga tidak terjebak pada pemaknaan riba adalah semata-mata “penambahan atas modal”, tanpa melihat kausa prima diharamkannya riba.

·         Dalam masalah poligami
Ayat Al-Qur’an 4:3 mensyaratkan keadilan di antara para isteri sebagai persyaratan poligami, Artinya:” Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
Dan karena ayat 4:129 menyatakan bahwa keadilan yang dipersyaratkan itu tidak mungkin dicapai dalam praktik, Allah berfirman “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Maka selanjutnya dikatakan bahwa sesungguhnya maksud Al- Qur’an adalah menghapuskan poligami. Jadi seluruh teks itu disebut oleh para intelektual muslim modernis dalam rangka mendukung pembatasan poligami justru membolehkan poligami untuk suatu pengecualian. Inilah hasil konsep nasakh yang ditawarkan Abdullahi Ahmed an Na’im.
·         kasus pelarangan atas rokok menurut syahrur. Selama ini, para ulama menyatakan bahwa hukumnya rokok adalah makruh dengan didasarkan pada riwayat hadis Nabi yang lemah. Bagi Syahrūr, adanya hukum yang melarang merokok adalah didasarkan pada kenyataan objektif atau bukti ilmiah yang dihasilkan oleh ilmu kedokteran bahwa di dalam rokok terdapat zat-zat yang berbahaya bagi tubuh manusia terutama jantung dan paru-paru. Temuan ilmiah kedokteran inilah yang menurutnya menjadi al-syāhid al-awwal dalam konsep qiyās, dan manusia yang hidup di masa ini adalah al-syāhid al-tsānī .

D.    SIMPULAN.

Gagasan teori Ushul Fiqh Kontemporer itu lebih menekankan metodologi menafsirkan atau menemukan hukum yang tidak hanya mengacu pada teks, tapi harus berpacu pada realitas sosial bukan pada undang-undang atau kepastian hukum semata.
          Fazlur Rahman, dengan menggunakan konsep double movmentnya, Rahman mencoba menafsirkan ayat atau undang-undang dengan menghubungkan unsur yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam Al-Qur'an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profan disisi yang lain.          Muhammad Syahrur dengan teori batasnya, yang menghubungkan antara garis lurus teks dengan menguhungungkan dengan realitas masyrakat sekarang

Nasr Hamid Abu Zaid dengan teori ta'wilnya. Yaitu dihubungkan dengan panafsiran yang tidak hanya mengungkap makna teks secara linguistik gramatikal saja tetapi lebih jauh lagi menyentuh pada spirit teks yang nantinya akan terartikulasikan dalam makna signifikansi. 
E.    

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook