Saturday, April 26, 2014

WAHYU TUHAN, TERNYATA TIDAK MAMPU



 
WAHYU TUHAN, TERNYATA  TIDAK MAMPU BERHADAPAN DENGAN
 UJIAN PERUBAHAN ZAMAN?
Drs.M.Rakib, S.H.,M.Ag. Pekanbaru Riau Indonesia



WAHYU TUHAN, ternyata tidak mampu berhadapan dengan ujian perubahan zaman, sehingga wahyu menjadi tidak dapat “difungsikan” dan “dirasakan” sebagai mana mestinya”. Demikian, agar wahyu ini dapat “difungsikan” dan “dirasakan” sebagai mana mestinya, manusia harus mengerti dan memahami substansi nilai yang terkandung di dalamnya. Manusia harus melakukan apresiasi intelektual atas “doktrin ideal” tersebut yang ditopang dengan kerangka metodologi yang tepat. Prasarat yang harus ditepati adalah harus ada “kesepakatan” untuk melakukan pemahaman intelektual bahwa agama adalah sistem simbolik yang tidak cukup difahami sebagai formula-formula abstrak tentang kepercayaan dan nilai saja.

         Wahyu dan akal merupakan perangkat yang diberikan Tuhan kepada manusia. Inilah yang membedakannya dengan makhluk lain. Meskipun Malaikat diberi akal oleh Tuhan, namun derajatnya masih di bawah manusia, jika manusia dapat menggunakan akalnya sesuai dengan ketentuan Tuhan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika manusia menduduki derajat tertinggi di sisi Tuhan. Menurut al-Jurjani (w. 793 H), akal merupakan perangkat yang berdiri sendiri dari susunan organ tubuh, namun menjadi kreator penggerak dan operator organ lain.Ada yang mengatakan akal merupakan cahaya dalam hati yang berfungsi untuk memilah antara baik dan buruk. Dari dua pengertian ini, dapat diambil konglusi bahwa terlepas dari bentuk wujudnya, peran akal memang sangatlah penting bagi perjalanan kehidupan manusia.
         Sedangkan wahyu adalah informasi yang diberikan Tuhan kepada para Nabi dan Rasul –‘alaihim al-salam, tentang yang dikehendaki-Nya, baik berupa perintah dan larangan syara’ ataupun berita sepanjang masa. Ada tiga cara Tuhan dalam penyampaian wahyu ini; melalui ilham, belakang hijab, dan perantara Malaikat. Wahyu ini terkhusus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul –‘alaihim al-salam. Hal inilah yang membedakannya dengan ilham. Satu segi wahyu lebih spesifik daripada ilham, karena hanya disampaikan kepada para utusan-Nya. Namun dari segi lain sebaliknya, karena ilham hanya disampaikan dalam keadaan samar dan spontan.
Dalam ranah teologi yang memang berkisar seputar ketuhanan dan segala hal yang berkaitan dengan-Nya, pasti akan menyinggung diskursus mengenai akal dan wahyu. Keduanya dianggap mempunyai andil dalam pengetahuan tentang ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Akal sebagai daya nalar yang terdapat dalam diri manusia berusaha keras untuk dapat “mencapai” Tuhan. Sedangkan wahyu diberikan sebagai informasi Tuhan melalui media yang dinamakan Rasul untuk diketahui dan dilakukan menurut kandungan informasi tersebut.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah seberapa besar potensi akal dan fungsi wahyu untuk dapat mengetahui dan menentukan sikap atas Tuhan. Dapat mengetahui Tuhan berarti manusia mengetahui bahwa Tuhan itu ada sebagai sang Pencipta yang kemudian muncul konsekwensi bahwa manusia wajib mengetahui Tuhan itu ada. Sedangkan menentukan sikap atas Tuhan berarti manusia harus mengetahui perihal baik dan buruk yang merupakan pilihan untuk dilaksanakan dan ditinggalkan sebagai wujud rasa terima kasih dan pengabdian kepada-Nya.
Perbedaaan porsi antara peran akal dan wahyu  inilah yang menjadi tarik ulur di kalangan teolog Islam. Satu kalangan menyatakan bahwa peran akal yang paling dominan menanggapi hal-hal di atas. Sedangkan kalangan lain menyatakan sebaliknya. Namun demikian semua kalangan satu suara dalam memahami adanya Tuhan dapat dijangkau akal manusia tanpa bantuan wahyu. Hal ini terbukti pada kisah nabi Ibrahim A.S yang berusaha dengan akalnya untuk mencari tahu siapa Tuhan yang sebenarnya. Sebelum berpikir seperti ini, pasti Nabi Ibrahim A.S mengetahui dan yakin dengan adanya Tuhan yang menciptakannya hanya dengan akalnya. Mungkin juga awal proses pemikiran tersebut berasal dari kondisi religius pada saat itu, dimana mayoritas masyarakatnya menyembah berhala, sehingga menimbulkan gejolak keraguan dalam pikiran dan jiwanya. Akhirnya dimulailah pengembaraan dalam akalnya untuk mengetahui Tuhan yang sebenarnya. Dan jelaslah proses ini sama sekali tidak memerlukan bantuan wahyu.
Selanjutnya, apakah perbuatan baik dan buruk cukup dijangkau akal saja sehingga sesuatu yang menurut akal baik atau buruk, manusia harus mengambil sikap dengan melaksanakan dan meninggalkannya, meskipun belum terdapat ketentuan syara’ yang menjustifikasi sesuatu itu? Dan jika manusia dituntut demikian, akankah mendapatkan imbalan atau siksaan sebagai balasan terhadap perbuatannya sebelum turun wahyu atasnya? Ataukah tidak ada jalan lain selain menunggu pertolongan wahyu, dan dengan demikian sesuatu yang diperintahkan syara’ adalah baik dan yang dilarangnya adalah buruk, serta tidak ada balasan apapun sebelum adanya utusan? Serta yang terpenting, kewajiban mengetahui Tuhan cukup dengan nalar logika ataukah juga dengan bantuan wahyu? Sederet jawaban atas beberapa pertanyaan di atas yang diperbincangkan kalangan teolog Islam sebagai dampak tarik ulur dua hal yang mendasar yang menjadi sumbernya, yaitu akal manusia  dan wahyu Tuhan.
Mengenai kewajiban mengetahui Tuhan, menurut Mu’tazilah dapat diperoleh dengan penalaran yang mendalam. Jika demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum adanya utusan adalah wajib. Dan jika manusia tidak berterima kasih kepada-Nya, maka akan mendapat hukuman. Konsep dasar pendapat ini sebagaimana dipaparkan Abdul Jabbar, bahwa kewajiban pertama manusia berpikir untuk mencapai pengetahuan tentang adanya Tuhan, karena keberadaan Tuhan itu tidak dapat diketahui dengan penglihatan nyata, melainkan dengan jalan berpikir dan bernalar. Bahkan al-Murdar (w. 226 H) salah satu pakar Mu’tazilah menyatakan bahwa termasuk yang dapat dinalar akal adalah
kewajiban mengetahui sifat-sifat syari’at dan hukum-hukum Tuhan, meskipun belum ada wahyu mengenai hal itu.
Paham yang sama juga dianut sebagian kalangan Maturidiyyah, yaitu mereka yang menetap di Samarkand. Mereka memaparkan akal dapat menjangkau kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Agaknya, al-Maturidi juga berkeyakinan seperti itu. Menurutnya, akal seorang anak yang telah mencapai kematangan wajib mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan tanpa menunggu adanya wahyu. Oleh karena itu, jika dia mati sebelum mengetahui Tuhan, maka akan mendapatkan siksaan Namun di luar itu, kalangan Maturidiyyah Bukhara berpendapat sebaliknya. Kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya hanya dapat diketahui melalui wahyu. Bagi mereka, akal hanya alat untuk mengetahui hukum. Dan yang menentukan hukum segala sesuatu adalah Tuhan, termasuk hukum wajib mengetahui-Nya, karena Dia bertindak sebagai al-Hakim bagi makhluk-Nya. Sedangkan proses penentuan suatu hukum dari Tuhan hanya dapat diraba melalui wahyu.
Agaknya paham Maturidiyyah Bukhara ini sesuai dengan satu segi dari tindakan Nabi Muhammad SAW. Dalam memutuskan perkara yang belum ada kejelasan hukum sebelumnya, beliau memilih diam tanpa memberi komentar atas perkara itu. Diam yang dilakukan Nabi SAW ini semata hanya menunggu datangnya Jibril A.S yang membawa wahyu terkait dengan perkara yang sedang dihadapi. Jika saja akal dapat menentukan kejelasan hukum itu, niscaya akal Nabi SAW lebih berhak dan lebih mampu untuk melakukannya. Namun, tidak demikian yang dilakukan beliau. Artinya, ada satu titik temu antara tindakan Nabi SAW dan paham Maturidiyyah Bukhara di atas, yaitu hanya wahyu yang dapat menentukan kejelasan hukum suatu masalah, bukanlah akal yang hanya berfungsi sebagai pencerna hukum yang diusung wahyu. Jika akal dipaksa untuk menelurkan suatu hukum, maka tidak akan mampu karena bukan kapasitasnya untuk itu. Satu-satunya pembuat hukum adalah Tuhan, dan disampaikan manusia melalui wahyu.
Asya’irah juga mengatakan demikian. Mereka tidak sepaham dengan Mu’tazilah ataupu Maturidiyyah Smarkand. Al-Asy’ari sendiri berpendapat bahwa kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Oleh karena itu, sebelum turunnya wahyu tidak ada kewajiban ataupun larangan bagi manusia, karena status mereka bukanlah mukallaf. Dan jika ada seseorang yang dapat mengetahuinya sebelum wahyu ada, maka orang tersebut berstatus mukmin, namun tidak berhak mendapatkan imbalan Tuhan. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang tidak beriman sebelum adanya wahyu, maka orang tersebut belum tentu mendapatkan siksaan. Hal ini semata-mata Tuhan berkuasa mutlak atas selain-Nya, sehingga tidak ada yang dapat mengatur dan mengekang-Nya.
Perihal baik dan buruk juga mendapat sorotan tajam dari ketiga kalangan teolog ini. Dalam satu segi mereka memaparkan kesepakatan. Namun dalam segi lainnya, mereka mempertentangkannya. Mereka sepaham bahwa akal dapat memilah antara baik dan buruk dalam dua hal. Pertama, sesuatu dianggap baik jika sesuai dengan watak manusiawi, seperti: rasa manis, suara yang merdu, rupawan, sehat, dan hal-hal lain yang dapat membuat perasaan menjadi bahagia. Sebaliknya, dikatakan buruk jika tidak sesuai dengan watak, seperti: rasa pahit, muka jelek, sakit, suara gaduh, dan hal-hal lain yang dapat mengganggu ketenangan dan kesenangan jiwa. Kedua, baik adalah segala hal yang dikaitkan dan dilekatkan kepada sifat kamaliyyah, seperti pandai dan jujur. Sedangkan buruk adalah hal yang bersandar pada sifat cacat dan kurang, seperti bodoh dan pendusta[1].
Adapun pangkal perbedaan berawal dari pengertian baik adalah segala sesuatu yang menuai pujian bagi pelakunya di dunia dan mendapatkan imbalan di akhirat. Dan buruk adalah segala sesuatu yang menyebabkan pelakunya dicela di dunia dan disiksa di akhirat kelak[2]. Dari sini timbul silang pendapat. Apakah akal mampu menalar baik dan buruk sesuai dengan pengertian ini? Ataukah wahyu yang berperan penting dan dominan dalam hal ini?
Menurut Asya’irah, perihal baik dan buruk hanya dapat ditentukan oleh syara’ sehingga segala sesuatu yang diperintahkannya pasti baik. Begitu juga segala hal yang dilarang syara’ dinyatakan buruk. Lebih lanjut, meskipun kemudian syara’ memerintahkan keburukan, maka keburukan itu tetap dinilai baik. Hal ini sebagaimana dilegalkannya qishash dan ‘uqubah. Artinya, meskipun mengandung unsur mafsadah, keduanya dinilai baik karena pada dasarnya mafsadah yang ditimbulkan hanya berskala kecil, dan tujuan utamanya untuk mencegah terjadinya mafsadah yang berskala lebih besar, yakni tidak ada sanksi tegas bagi pembunuh yang akhirnya memberi peluang untuk mengulangi perbuatannya.
Ataupun jika syara’ melarang kebaikan, maka kebaikan itu tetap dinyatakan keburukan. Satu contoh kecil adalah larangan mengawini musyrik atau musyrikah. Bukankah perkawinan itu baik? Dengan perkawinan dapat memberikan keturunan. Dengan perkawinan pula dapat mempererat tali persaudaraan antar sesama. Kedua hal itu termasuk sisi positif adanya perkawinan. Namun ternyata hal itu dilarang syara’ jika salah satu dari kedua mempelai berstatus syirik. Akhirnya perkawinan semacam inipun harus dianggap buruk, karena perkawinan ini ditengarai akan membawa madlarat bagi pelakunya. Oleh sebab itu syara’ menetapkan keburukannya.
Memang, mayoritas informasi syara’ hanya mencantumkan perintah dan larangan. Namun jika ditelaah lebih dalam, akan ditemukan dengan sendirinya bahwa segala hal yang diperintahkan itu berlabelkan baik. Begitu juga segala hal yang dilarang mempunyai label buruk. Karena tidaklah mungkin syara’ akan menyesatkan manusia.
Dan adanya informasi ini tidak lain bermula dari wahyu yang disampaikan kepada para Nabi –‘alaihim al-salam. Atas dasar inilah, Asya’irah berpendapat bahwa pemilahan baik ataupun buruk dan kewajiban melakukan kebaikan ataupun keburukan hanya didapatkan dari wahyu tanpa mengandalkan proses penalaran akal. Dan karena ini, jika wahyu belum turun atas manusia, maka dia tidak dituntut melakukan dan meninggalkan sesuatu, meskipun akalnya dapat memilah baik dan buruk. Karena sebagaimana di atas, bukan kapasitas akal untuk menentukan hukum-hukum Tuhan atas perbuatan manusia.
Menanggapi persoalan baik dan buruk, secara umum Maturidiyyah sepaham dengan Mu’tazilah yang menganggap keduanya dapat dijangkau akal. Artinya, tanpa menunggu turunnya wahyu, akal dapat mengidentifikasi dan mengklasifikasi suatu perbuatan sehingga dapat diketahui label perbuatan itu. Namun, apa yang disebut baik dan buruk menurut Maturidiyyah ini lebih luas daripada yang dipahami oleh Mu’tazilah. Menurut Maturidiyyah, terkadang baik dan buruk dapat dilihat dari hakikat dan inti perbuatan itu, terkadang dapat dilihat pula dari sifat dasarnya, ataupun dari faktor-faktor eksternal.
Hal itu menurut mereka sangatlah sederhana. Jika perbuatan itu baik, maka untuk dikerjakan. Dan jika perbuatan itu buruk, maka untuk ditinggalkan. Al-Maturidi memaparkan bahwa akal mengetahui sifat baik dalam yang baik dan mengetahui sifat buruk dalam yang buruk. Dengan demikian akal juga memahami berbuat baik itu baik dan berbuat buruk itu buruk. Dan akal selanjutnya memerintahkan manusia untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan[1]. Hal ini juga dipahami oleh Hanafiyyah[2].
Argumen yang ditampilkan Maturidiyyah  untuk menguatkan pendapatnya adalah apabila baik dan buruk tidak dapat diketahui kecuali dengan syara’, maka pada hakikatnya antara shalat dan zina adalah sama. Oleh karena itu, jika dijustifikasi salah satunya sebagai kewajiban dan lainnya sebagai keharaman, maka hal tersebut tidak mendasar. Di samping itu, jika keduanya hanya bergantung pada wahyu, maka adanya utusan agama merupakan bencana bagi alam. Dengan kata lain, sesungguhnya sebelum adanya agama dan diutusnya para Nabi –‘alaihim al-salam, manusia dalam keadaan mutlak merdeka, karena tidak ada aturan yang mengikat. Mereka bisa berbuat sekehendak hati dan melarang perbuatan yang mereka benci. Merekapun tidak memikirkan imbalan <!--[if !mso]> <! st1\:*{behavior:url(#ieooui) } -->
dan hukuman sebagai dampak perbuatan mereka. Kemudian utusan datang dengan membawa syari’at yang membatasi itu semua sehingga terbelah menjadi dua; halal dan haram, iman dan kufur, serta surga dan neraka. Maka sekali lagi, adanya tasyri’ ini dapat memberikan madlarat bagi mereka. Padahal ini tidak benar, karena adanya utusan merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Setelah ditelaah lebih jauh, ternyata paham yang dipegang Maturidiyyah ini terbelah menjadi dua sebagaimana dalam memahami masalah ketuhanan di atas. Namun, redaksi yang digunakan Wahbah al-Zuhayli bukan Maturidiyyah Samarkand dan Bukhara, melainkan mutaqaddimu al-Maturidiyyah dan muta’akhiruhum[1]. Perbedaan yang ada adalah seputar belum atau sudah datangnya syara’ atas manusia dan konsekwensinya.
Mutaqaddimun menyatakan akal terkadang dapat meraba dan menentukan hukum-hukum Tuhan, seperti wajibnya iman dan haramnya kufur. Hal ini terlepas dari belum atau sudah sampainya wahyu. Bahkan, anak kecil yang telah berakal juga dapat melakukannya. Oleh karenanya, tanggung jawab seorang hamba tergantung kemampuan akalnya. Siapa saja yang tidak beriman, maka akan dihukum jika Tuhan tidak mengampuninya. Abu Hanifah berkata: “Tidak ada alasan bagi seseorang dalam ketidaktahuannya mengenai sang Pencipta, karena pada dasarnya akal dapat meraba bukti-bukti yang telah ada.” Maksudnya adalah setelah adanya perenungan yang mendalam. Karena akal sebagai pengganti dakwah Rasul dalam memperingatkan hati manusia. Dan lamanya perenungan ini berbeda-beda antara satu dengan lainnya karena kemampuan akal yang berbeda-beda pula. Kalangan ini sejalan dengan Mu’tazilah mengenai penilaian terhadap segala hal yang tampak baik ataupun buruk. Akan tetapi, mereka tidak menyatakan manusia wajib diberi balasan sesuai perbuatannya sebelum adanya wahyu sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Karena bagaimanapun juga Tuhan tidak dapat dituntut mengenai hal itu. Kewenangan dan kekuasaan Tuhan sangat mutlak.
Sedangkan muta’akhirun mengatakan baik dan buruk dapat dijangkau akal, sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Akan tetapi yang membedakannya dengan Mu’tazilah adalah baik dan buruk tidak sampai menyebabkan tuntutan hukum terhadap manusia. Karena sumber hukum hanyalah Tuhan. Segala sesuatu yang tidak dihukumi tidak ada hukum atasnya. Oleh karenanya, mereka mensyaratkan adanya dakwah dalam penentuan tuntutan terhadap manusia. Hal ini yang tidak dianut oleh Mu’tazilah ataupun mutaqaddimun[2].
Kalangan lainnya yang berpedoman terhadap potensi akal Mu’tazilah. Tidak terkecuali dalam membahas masalah baik dan buruk. Menurut mereka, tidak perlu bantuan wahyu dalam mengetahui baik dan buruk. Wahyu dengan muatan syara’ berfungsi sebagai penguat hukum yang telah diidentifikasi akal. Di samping itu, wahyu berfungsi untuk mengetahui tata cara beribadah kepada Tuhan, kadar imbalan dan hukuman Tuhan, juga untuk mengingatkan manusia jika mereka lalai.
Menurut pandangan Mu’tazilah, kemampuan akal untuk mengidentifikasi baik dan buruk terbagi menjadi tiga. Pertama, kemampuan tersebut bersifat pasti dan spontan, seperti baiknya jujur yang bermanfaat dan buruknya dusta yang membawa madlarat. Kedua, akal dapat memilah baik dan buruk setelah adanya proses penalaran panjang. Hal ini seperti adanya kerugian dalam kejujuran bagi sebagian orang, ataupun adanya manfaat dalam kedustaan bagi sebagian lainnya. Proses penalaran panjang dalam kedua masalah ini menunjukkan kepada manusia bahwa terkadang sesuatu yang pada dasarnya baik dapat berubah menjadi buruk sesuai dengan madlarat yang menimpa pelakunya. Ataupun sebaliknya, suatu yang dianggap buruk pada dasarnya dapat menjadi baik sesuai dengan mashlahah yang diterima pelakunya.
Ketiga, akal dapat mengidentifikasi baik dan buruk dengan optimal setelah adanya wahyu[1]. Jika saja wahyu tidak ada, maka akal tidak dapat mengidentifikasinya dengan jelas. Hal ini menurut mereka, wahyu hanya sebagai penguat dan penjelas terhadap sesuatu yang diterima akal dengan samar. Satu contoh, akal menyatakan shalat itu baik. Namun, akal tidak dapat menentukan tata cara, waktu, dan bilangan rakaat shalat yang disebut baik itu. Sehingga datangnya wahyu hanya membantu apa yang telah dinyatakan akal sebelumnya, yaitu shalat itu baik. Adapun tata cara, waktu, dan bilangan rakaat shalat akal tidak dapat menjangkaunya.
Mengenai esensi baik dan buruk, dalam tubuh Mu’tazilah terdapat perselisihan. Mutaqaddimu al-mu’tazilah beranggapan baik dan buruk dalam suatu perbuatan merupakan hakikat perbuatan itu sendiri. Timbulnya label baik dan buruk tidak disebabkan faktor eksternal sebagai akibatnya. Sehingga dengan pendapat ini, terjadi peluang kemungkinan bahwa meskipun akibat perbuatan itu buruk, tetap diyakini baik. Sedangkan menurut al-Jubba’iyyah[2], baik dan buruk itu ditentukan oleh sifat yang tidak berlawanan yang terdapat di dalamnya. Bahkan, sebagian kalangan Mu’tazilah lainnya beranggapan baik dan buruk bukanlah sifat ataupun hakikat perbuatan itu, melainkan dari faktor eksternal yang berbeda-beda menurut mashlahah yang diterima pelakunya[3]. Pendapat yang terakhir ini memungkinkan mengakomodir perbuatan yang pada dasarnya buruk dapat masuk ke dalamnya. Misalnya pencurian yang berdalih hasilnya diserahkan kepada fakir miskin. Perbuatan ini pada dasarnya buruk, namun jika dilihat akibatnya dapat dikategorikan baik.

SAKLEK (sakelijk). Bagaimana jika fiqih itu SAKLEK? Saklek memiliki arti tidak bisa ditawar-tawar lagi atau harus dilakukan. Dalam komunikasi, pengertian dan kelapangan dada untuk mengerti kondisi lawan bicara sangatlah dibutuhkan. Sikap saklek seolah membuat lawan bicara dituntut untuk melakukan keinginan yang memuaskan Anda. Komunikasi yang baik seharusnya bisa menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan dan keinginan pribadi. Komunikasi yang saklek akan membuat lawan bicara tak nyaman saat berkomunikasi dengan Anda.LETTERLIJK ZAKELIJK, jadi "saklek" alias ndak bisa/mau fleksibel. Padahal arti aslinya berarti "business" verdieping, jadi lantai atas yang dibuat dari beton.

Sakileknya fiqih, ada pengelompokan pemikiran Islam, terbagi  kedalam Islam pluralis, Islam liberal, dan Islam substantif telah masuk ke dalam relung-relung masyarakat dan budaya Islam melalui banyak tulisan. Hal ini terjadi sebagai proses interaksi pemikiran, meskipun pemasungan dan hujatan dari kelompok-kelompok yang tidak sepaham, telah dapat dihindari, model pemikiran Islam kategoritatif tidak pernah akan surut.

Islam Sebagai Syari’ah

Lapangan syari’ah lebih luas daripada lapangan fiqih, karena lapangan syari’ah adalah apa saja yang tercakup dalam ilmu tauhid, ilmu fiqih dan ilmu tasawuf / akhlaq. Atau dengan kata lain, fiqih adalah sebagian dari isi syari’ah, karena pengertian syari’ah ialah keseluruhan agama bukan fiqih ansich. Segi pemisahan yang lain ialah bahwa fiqih tidak mendapat kedudukan dan penghormatan yang tinggi seperti syari’ah, karena fiqih sebagai ilmu adalah hasil pikiran manusia, sedang syari’ah datang dari Tuhan.

Fiqih Sebagai Hasil Interpretasi Syari’ah

Dalam epistomologi keilmuan Islam klasik, Fiqih sebagai salah satu cabang keilmuan dalam Islam seakan topik bahasan yang tidak ada habisnya, topik-topik keilmuan fiqih pada zaman klasik dianggap sebagai (mahadewa) yang tiada tandingannya. Konsepsi tentang fiqih yang dianggap sebagai (Undang-Undang Ketiga) dan yang berkuasa mengatur kehidupan umat Islam seakan menyamai popularitas dari (Teologi Kalam) yang pernah ada dan mensejarah dalam kazanah keilmuan Islam.

          Fiqih klasik yang diplot menjadi produk ilmu hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibada-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku Muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat (muamalat), sampai saat ini dirasa oleh sebagian kalangan sebagai ilmu yang sempurna, dan seakan tidak akan pernah tergoyahkan dan bahkan tidak sedikit dari berbagai kalangan tersebut melestarikan tadisi fiqih yang menjadi produk keilmuan pada masa lalu.

Sebuah pertanyaan besar yang ada di masa sekarang adalah, apakah fiqih klasik masih dapat dan bisa digunakan sebagai solusi untuk menjawab persoalan-persoalan ke-ummatan, sedangkan fiqih klasik adalah produk lama yang dimiliki ummat Islam, dan dengan melihat motif, illat (sebab), dan kondisi sosial yang jauh berbeda dengan masa sekarang, apakah pola fikir klasik juga tidak perlu direkontruksi? Jawaban dari pertanyaan itulah yang mendasari pemikiran imajiner tehadap kemunculan istilah fiqih kontemporer dengan berlandaskan dari sebuah Ijtihad kontemporer.

Dalam masa sekarang ini, kelompok Islam modernis (kontemporer) yang dimotori oleh para pembaharu Islam seperti Yusuf Al-Qordhawi dan yang lain, memandang bahwa kajian fiqih seharusnya tidak saklek dan menjustifikasi sebuah hukum pada masa lampau sebagai sebuah kebenaran mutlaq, dan harusnya fiqih menjadi bahasan aktulal yang mendorong terhadap adanya kemungkinan untuk melakukan sebuah Ijtihad baru yang benar dan dipertanggungjawabkan . Pendapat ini didasarkan atas pemikiran bahwa dalam sejarah fiqih Islam, fungsi Ijtihad ini pernah mengalami kemandekan, karena munculnya institusi ijtihad yang telah dibatasi oleh kelembagaan para mujtahid mutlaq, seperti istitusi empat Imam Mazhab yang sangat populer.

          Senada dengan pertimbangan di atas, banyak dari beberapa tokoh kontemporer yang menyatakan bahwa akibat dari timbulnya empat mazhab, ummat Islam banyak mengalami kemunduran dan era taqlid yang begitu panjang, dan terlepas dari kualitas dasar-dasar fiqih (Ushul Fiqih dan Qawaidul Fiqih) yang telah ditatarkan oleh para imam tersebut , disisi lain mereka menganggap bahwa persoalan keilmuan fiqih tidak hanya berhenti di situ saja, persoalan sosial yang masuk dalam kajian ilmu fiqih selalu berkembang sesuai dengan konteks dan perkembangan zaman.

Nalar-kritis Metode-metode Klasik

Perkembangan pemikiran keislaman dalam sepanjang sejarahnya telah menunjukkan adanya varian-varian yang khas sesuai dengan semangat zamannya. Varian-varian itu berupa semacam metode, visi, dan kerangka berpikir yang berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya.

Ajaran dan semangat Islam akan bersifat universal (melintasi batas-batas zaman, ras, dan agama), rasional (akal dan hati nurani manusia sebagai partner dialog), dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri), tetapi respon historis manusia dimana tantangan zaman yang mereka hadapi sangat berbeda dan bervariasi, maka secara otomatis akan menimbulkan corak dan pemahaman yang berbeda pula. Dalam konteks ini, ijtihad merupakan sesuatu yang tak pernah ditutup tetapi harus selalu digelorakan.

Dalam kontek mengelorakan ijtihad, Ilmu ushul Fiqih merupakan perangkat metodologi baku yang telah dibuktikan perannya oleh para pemikir Islam semisal Imam mazhab dalam menggali hukum Islam, dan dalam bidang yang lain, dari sumber aslinya (al-Qur’an dan as-Sunnah). Namun dewasa ini fiqih Islam dianggap mandul karena peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqih dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer. Hal ini memunculkan kesulitan-kesulitan dalam menjawab problem kontemporer.

Kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemikiran Islam kontemporer menjadi lebih akut oleh kenyataan bahwa penggunaan metode muslim klasik tidak dapat dengan mudah menggantikan tugas menanggulangi ketidakcukupan ilmu-ilmu Barat. Ini karena ilmu-ilmu klasik dengan sendirinya tidak memadai untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas ilmiah modern. Ketidak cukupan ini telah menjadi sorotan sejumlah pakar muslim. Al-Faruqi misalnya menyatakan bahwa ketidakcukupan metode-metode  tersebut terungkap dalam dua kecenderungan yang saling berlawanan secara diametral. Kecenderungan pertama adalah pembatasan lapangan ijtihad ke dalam penalaran legalistik yakni memasukkan problem-problem modern di bawah kategori-kategori legal, sehingga dengan cara demikian mereduksi mujtahid kepada faqih (jurist) dan mereduksi ilmu ke dalam fiqih. Kecenderungan kedua adalah menghilangkan seluruh criteria dan standar rasional dengan menggunakan "metodologi yang murni intuitif dan esoteris".

Keprihatinan serupa juga disampaikan oleh Abdul Hamid Sulayman yang mengaitkan krisi intelektualisme muslim modern dengan ketidakcukupan metodologis yang menimpa pemikiran muslim kontemporer, yang memanifestasikan dengan sendirinya dalam penggunaan pola pikir yang semata-mata linguistik dan legalistik. Konsekuensinya meskipun seorang faqih dididik untuk menangani problem-problem legal spesifik, kenyataannya dia terus dipahami sebagai orang yang serba bisa, intelektual universal yang mampu memecahkan seluruh problem masyarakat modern. Akibatnya untuk menjawab problem-problem kontemporer masih selalu mengandalkan informasi dari kitab-kitab klasik secara tektual tanpa diimbangi kemauan menangkap makna substansinya apalagi metode berpikirnya.

Aspek lain dari ketidakcukupan metode-metode klasik diungkapkan oleh Muna Abu Fadl. Alasan metode klasik tidak memadai, menurutnya, adalah bahwa bila studi fenomena sosial mengharuskan suatu pendekatan holistic yang dengan cara itu relasi-relasi sosial disistematisasikan menurut aturan-aturan universal, metode klasik bersifat atomistik yang pada dasarnya disandarkan pada penalaran analogis. Oleh karenanya, kiranya cukup alasan jika muncul banyak tawaran metodologi baru dari para pakar Islam kontemporer dalam usaha menggali hukum Islam dari sumber aslinya untuk disesuaikan dengan dinamika kemajuan zaman.

Kenyataan ini tidak bisa ditolak karena fenomena keangkuhan modernitas dan industrialisasi global telah menghegemoni seluruh lini kehidupan anak manusia sehingga memicu dinamika pemikiran Islam kontemporer dengan segala perangkat-perangkatnya termasuk metodologi ushul al-fiqh dan qawaid al-Fiqhiyyah. Dinamika yang dimaksud adalah bahwa perlu dilakukan upaya inkorporasi wahyu ke dalam penelitian ilmiah guna membebaskan sarjana- sarjana muslim dari paksaan epistemologi Barat. Hal ini merupakan pekerjaan besar yang harus dilakukan dalam rangka membangun cita diri Islam di tengah kehidupan modern yang senantiasa berubah dan berkembang. Di Indonesia pada dasawarsa terakhir telah muncul perkembangan pemikiran hukum Islam yang disesuaikan dengan kondisi riil kehidupan di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa fiqih klasik sudah tidak mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer.

Fikih Kontemporer Sebagai Korporasi Wahyu dan Metode Ilmiah (Pendekatan Burhani)

Menjadi kebiasaan para mujtahid, mereka tidak pernah memaksakan hasil ijtihadnya kepada orang lain untuk mengikutinya, bahkan mempersilahkan meninggalkannya ketika didapatkan hasil ijtihad yang lebih valid.

Pada zaman modern, Islam berada dalam ujian yang sangat berat, khususnya ujian epistemologis. Ilmu ushul fiqih yang mestinya dapat berperan sebagai metodologi baku bagi seluruh pemikiran intelektual Islam, dipersempit wilayah kerjanya hanya terbatas dalam bidang hukum Islam. Oleh karenanya sangat beralasan jika dikatakan bahwa kemunduran fiqih Islam dikarenakan kurang relevannya perangkat teoritik ilmu ushul fiqih untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer. Hal inilah yang kemudian menjadikan pekerjaan besar bagi para pemikir Islam untuk merumuskan dan memberikan solusi intelektual terhadap permasalahan tersebut. Al-Jabiri misalnya melihat ada tiga tipologi dalam wacana pemikiran Islam, yaitu modernis (‘asraniyyun, hadathiyyun), tradisionalis (salafiyyun), dan eklektis (taufiqiyyun). Menurut al-Jabiri, bahwa tipologi itu terjadi karena terdapat relasi signifikan pada titik tertentu antara satu konstruksi pemikiran dengan realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran terhadap fenomena yang sedang terjadi dan berkembang di masyarakat.

Doktrin ideal yang bersumber dari wahyu Tuhan, ternyata tidak mampu berhadapan dengan ujian yang satu ini, sehingga wahyu menjadi tidak dapat “difungsikan” dan “dirasakan” sebagai mana mestinya”. Demikian, agar wahyu ini dapat “difungsikan” dan “dirasakan” sebagai mana mestinya, manusia harus mengerti dan memahami substansi nilai yang terkandung di dalamnya. Manusia harus melakukan apresiasi intelektuil atas “doktrin ideal” tersebut yang ditopang dengan kerangka metodologi yang tepat. Prasarat yang harus ditepati adalah harus ada “kesepakatan” untuk melakukan pemahaman intelektual bahwa agama adalah sistem simbolik yang tidak cukup difahami sebagai formula-formula abstrak tentang kepercayaan dan nilai saja.

Apresiasi atas agama harus dilakukan pengungkapan makna dibalik teks kemudian dilakukan penafsiran. Dari sana akan tergambarkan bahwa Islam adalah ajaran yang dinamis. Dinamisme itu berada di antara Islam Ideal dan Islam Sejarah. Kedinamisan itu terletak dalam ajarannya yang menganjurkan agar akal dapat memahami ayat atau tanda yang terdapat dalam ayat. Di situlah Islam mengenal konsep ijtihad yang digunakan sebagai metode untuk merekonstruksi pemikiran Islam. Melalui cara seperti ini seorang mujtahid dapat memastikan posisi akal pikirannya dalam mencampuri hukum Allah. Ini berarti, antara akal dan wahyu harus ditempatkan pada posisi yang proporsional dalam artian bahwa wahyu tidak akan mengebiri akal tetapi akal dalam perannya tidak boleh melampaui wahyu karena, kebenaran wahyu bersifat mutlak dan kebenaran akal manusia bersifat relatif (nisbi). Keduanya tidak boleh saling menegasikan tetapi harus berkelindan untuk memberikan solusi terhadap problematika kehidupan. Karena wahyu sebagai teks suci dan problematika sebagai realita pada hekekatnya berasal dari sumber yang sama. Oleh karenanya dalam memahami teks harus tidak boleh terlepas dari konteks.

Hal itu penting, karena kalau kita mencoba mengkontekkan antara nash (teks suci) dan al-Waqi’ (kenyataan) maka prasarat yang harus dipahami adalah bahwa keduanya merupakan dua wilayah yang jika dapat dikawinkan maka akan memunculkan pemahaman yang komprehensip. Corak dalam membaca teks menurut asy-Syatibi ada tiga yaitu qira’ah salafiyyah, qira’ah ta’wiliyyah, dan  qira’ah maqashidiyyah. Sementara dalam wilayah al-Waqi’ ada beberapa disiplin ilmu yang digunakan dalam memahami fenomena-fenomena sosial, politik dan sebagainya misalnya sosiologi, antropologi, dan seterusnya. Pada wilayah inilah metode ilmiah cukup baik untuk menjadi komandan kajian. Dengan demikian idealnya adalah ketika melakukan pembacaan teks kemudian dikontekkan pada fenomena sosial seharusnya tidak boleh meninggalkan disiplin ilmu dengan segala perangkat metode ilmiah yang ada pada wilayah al-Waqi’. Jika tidak maka pemahaman atas teks tersebut akan out of date, sehingga tidak applicable.

Pemikiran Islam Kontemporer; Contoh Kasus Sosial-Kemanusiaan

Kemunculan kasus-kasus aktual yang mengiringi zaman modern dan arus globalisasi seperti sekarang yang terjadi dalam konteks kekinian. Seperti pertama, kesehatan seperti kasus aborsi dan penjual belian organ tubuh mayat, seakan memperjelas bahwasnya fiqih masa klasik harus dicermati ulang dan direkonstruksi kembali, karena sudah jelas bahwa produk fiqih dibuat permasalahan-permasalahan tersebut belum ada, dan secara dialektika maka fiqih klasik tidak akan mampu menjawab persoalan-persoalan tersebut.

          Kasus lain kedua yang menjadi agenda dari format fiqih dan Ijtihad kontemporer adalah kasus ibadah haji. Seperti kita tahu semua, ibadah haji adalah ibadah yang bukan hanya melibatkan sang Kholiq (Allah SWT) dengan makhluq-Nya, karena dalam prosesi ibadah hajji terdapat interaksi sosial antar manusia. Banyaknya kasus menyedihkan sekaligus mencengangkan seperti meninggalnya jama’ah haji pada saat pelemparan jumrah aqabah karena terinjak-injak oleh sesama jama’ah haji yang lain dan berbagai kasus yang lain dan mengakibatkan meninggalnya jama’ah haji.

Dari beberapa kasus di atas seakan menjali cambuk betapa besar agenda tentang rekonsrtuksi terhadap metodologi hokum Islam klasik yang menjadi cakupan fiqih harus segera dilaksanaksan.

Penulis tertarik pada apa yang ditulis oleh: Khusnul Azhar, bahwa dalam pandangan fiqih baru, syariah diharapkan tidak lagi bercorak vertikalistik, yang hanya mengupas hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan proses ijtihad ini di arahkan pada masalah-masalah kemanusiaan. Fiqih kontemporer harus didesak kearah problema-probelama aktual. Dengan mendinamiskan format fiqih yang seperti ini, diharapkan menjadi langkah awal untuk merekonstruksi syariah dari wajahnya yang statis, eksklusif dan diskriminatif menjadi wajah syariah yang dinamis, eksklusif, egaliter, rasional, empirik dengan tetap bermuara pada ranah transedental.

Penutup

          Dengan kehadiran dari konsep dan format tentang fiqih kontemporer yang dihasilkan lewat sebuah proses yang kontemporer, seakan membawa angin segar dalam khazanah keilmuan Islam dalam mengartikan dan mengamalkan syariah Islam dengan penuh nitatan ikhlas dan selalu di bangun atas dasar mencari ridho Allah SWT. Fiqih kontemporer juga seakan memberikan solusi yang amat sangat signifikan untuk menjawab masalah-masalah ke-ummmat-an yang terjadi pada masa kekinian.

 Diharapkan dalam format fiqih kontemporer kita sebagai manusia yang aktif dengan berbagai perkembangan yang mengikuti lebih dapat dihargai eksistensinya, dengan segala kekekurangan yang ada. Pada akhirnnya kita sebagai manusia yang hanya diberi sedikit rasio dari semua kebenaran hakiki yang di punyai oleh Allah, berusaha semaksimal mungkin menjalankan apa yang telah di perintahkan sesuai dengan kemapuan keterbatasan kita.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook