Saturday, May 31, 2014

DUNIA TANPA PENJARA (Hukum Islam)



DUNIA TANPA PENJARA (Hukum Islam)
M.Rakib Ciptakarya. LPMP Riau Indonesia
      Prof.Dr.Hazairin SH, sejak lama sudah menulis tentang negara tanpa penjara. Sebaliknya banyak negara maju di dunia punya penjara selebar-lebarnya, dan ditambah terus setiap tahun. Apa yang salah?. Yang tidak mengenal penjara itu, hukum Islam, yang sifatnya praktis ekonomis dan alami.

Penulis tertarik pada yang diungkapkan oleh Muhammad Yusri Arsyad, bahwa setiap hukum dan nilai yang terkandung dalam Islam selain merupakan hak dan kewajiban atau HAM (hak asasi manusia) juga demi kemaslahatan manusia dan sebagai penyembahan atau at-ta'abbudiah. Memang benar bahwa sebagian hukum hudud, seperti qishash dan potong tangan bagi pencuri, yang ada dalam Islam merupakan warisan dari Arab jahiliyah, bahkan hukum tersebut juga berlaku dalam agama Yahudi (Q.S.Al-maidah: 32 & 45). Islam datang menyepakati dan meneruskan hukum-hukum tersebut untuk diterapkan di lingkungan ummat Islam dengan penerapan yang lebih mudah (Q.S.Al-Baqarah: 178).

Sebelum Islam itu datang, di lingkungan Arab ada yang disebut kelompok masyarakat al-hanafiyyiin (orang-orang yang lurus) di antaranya adalah Abdul Muthalib (kakek Nabi Muhammad SAW), Waraqah bin Naufal dan Zaid bin Amr bin Nafil. Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada nilai-nilai dan ajaran Ibrahim a.s. seperti haramnya memakan bangkai, makanan hasil sesembahan, riba, minum khamar serta hukuman bagi peminumnya, berzina serta rajam bagi pelakunya, mencuri serta potong tangan bagi pencuri, dan diperintahkannya puasa, khitan, mandi junub, iman kepada hari akhirat, dan yang terpenting lagi mengesakan Allah (lihat: Sayyid Mahmud al-Qamniy, Daur al-hizbi al-hasymiy wa al-aqidati al-hanifiyyah, hl.66, I, 1990).

Tetapi yang perlu menjadi perhatian adalah apabila Islam datang membenarkan dan meneruskan budaya dan kultur Arab, Yahudi dan Nasrani dan menjadikannya sebagai hukum asli dalam Islam maka ini berarti "pemahaman dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sungguh berbeda, maka hukum-hukum itu tidak boleh lagi dipandang sebagai warisan adat istiadat Arab atau Yahudi akan tetapi harus dipandang sebagai hukum yang sifatnya atta’abbudiy (penyembahan) dan sekaligus sebagai akidah yang muqaddas (suci) dan muta’âliy (tinggi), maka saat itu derajatnya sama dengan akidah tauhid, yaitu ketika kita berkeyakinan: "Tidak ada tuhan selain Allah".

Dalam hal ini ada beberapa hikmah yang bisa diambil dari perpaduan beberapa hukum itu di antaranya: Pertama, Allah SWT. sedang menguji hamba-hamba-Nya untuk menilai siapa yang mengikuti dan mengingkari-Nya. Kedua, hukum-hukum Islam dalam penerapannya tidak mengenal waktu dan tempat, karena ia bagian dari sunnatullah dan merupakan hasil olah fitrah manusia yang tidak bertentangan dengan akalnya, bahkan dalam penerapannya juga tersirat nilai-nilai kemanusian yang sejati (Q.S. Al-Baqarah: 179). Ketiga, Allah SWT. ingin mengajarkan kepada manusia bahwa agama Yahudi, Nasrani (sebelum terjadi perubahan) dan Islam adalah satu kesatuan karena semua agama itu berasal dari Allah. Keempat, kita sebagai orang Islam tidak boleh ragu-ragu mewujudkan hukum-hukum ini sebagaimana mereka menerapkannya ke alam nyata, apalagi mengingkarinya.



MEMUKUL ANAK, SEBAGAI SARANA
PENDIDIKAN.   OLEH M.Rakib,SH.M.Ag.
Syekh Fauzan berkata,


"Pukulan merupakan salah satu sarana pendidikan. Sorang guru boleh memukul, seorang pendidik boleh memukul, orang tua juga boleh memukul sebagai bentuk pengajaran dan peringatan. Seorang suami juga boleh memukul isterinya apabila dia membangkang. Akan tetapi hendaknya memiliki batasan. Misalnya tidak boleh memukul yang melukai yang dapat membuat kulit lecet atau mematahkan tulang. Cukup pukulan seperlunya." Selesai dengan diringkas.


(Ighatsatul Mustafid Bi Syarh Kitab Tauhid, 282-284)

Penting juga diperhatikan bahwa pembinaan terhadap anak, bukan hanya karena dia meninggalkan shalat saja, tapi juga jika sikapnya meremehkan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya dan wajibnya. Kadang sang anak shalat, tapi shalatnya dia jamak, atau dia shalat tanpa wudhu, atau tidak benar shalatnya. Maka ketika itu hendaknya diajarkan semua perkara shalat dan memastikan bahwa dia menunaikan kewajiban, syarat dan rukunnya. Jika mereka lalai dalam sebagiannya, maka kita kuatkan lagi nasehatnya, diajarkan terus menerus. Jika masih juga lalai, boleh diperingatkan dengan pukulan hingga shalatnya benar.



Abu Daud (no. 495) dan Ahmad (6650) telah meriwayatkan dari Amr bin Syu'aib, dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ (وصححه الألباني في "الإرواء"، رقم
247)

"Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka." (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Irwa'u Ghalil, no. 247)

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitab Al-Mughni (1/357)


"Perintah dan pengajaran ini berlaku bagi anak-anak agar mereka terbiasa melakukan shalat dan tidak meninggalkannya ketika sudah baligh."


As-Subki berkata, "Wali bagi anak diwajibkan memerintahkan anaknya untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan memukulnya (apabila masih belum melaksanakan shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun.Kami tidak mengingkari wajibnya perintah terhadap perkara yang tidak wajib, atau memukul terhadap perkara yang tidak wajib. Jika kita boleh memukul binatang untuk mendidik mereka, apalagi terhadap anak? Hal itu semata-mata untuk kebaikannya dan agar dia terbiasa sebelum masuk usia balig."


(Fatawa As-Subki, 1/379)


Maka anak kecil dan budak anak kecil diperintahkan untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan dipukul saat mereka berusia sepuluh tahun. Sebagaimana mereka juga diperintahkan untuk berpuasa Ramadan dan dimotivasi untuk melakukan segala kebaikan, seperti membaca Al-Quran, shalat sunah, haji dan umrah, memperbanyak membaca tasbih, tahlil, takbir dan tahmid serta melarang mereka dari semua bentuk kemaksiatan.


Disyaratkan dalam masalah memukul anak yang tidak shalah yaitu pukulan yang tidak melukai, tidak membuat kulit luka, atau tidak membuat tulang atau gigi menjadi patah. Pukulan di bagian punggung atau pundak dan semacamnya. Hindari memukul wajah karena diharamkan memukul wajah berdasarkan larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Pukulan hendaknya tidak lebih dari sepulu kali, tujuannya semata untuk pendidikan dan jangan perlihatkan pemberian hukuman kecuali jika dibutuhkan menjelaskan hal tersebut karena banyaknya penentangan anak-anak atau banyak yang melalaikan shalat, atau semacamnya.


Dari Abu Burdah Al-Anshar, dia mendenar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Seseorang tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud (hukuman tetap) dari Allah Ta'ala." (HR. Bukhari, no. 6456, Muslim, no. 3222)

Ibnu Qayim rahimahullah berkata,

"Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, 'Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud' maksudnya dalam hal jinayat (pidana kriminal seperti mencuri, dll) yang merupakan hak Allah.

Jika ada yang bertanya, "Kapan harus memukul di bawah sepuluh kali jika yang dimaksud hudud dalam hadits tersebut adalah jinayah?"

Jawabannya adalah saat seorang suami memukul isterinya atau budaknya atau anaknya atau pegawainya dengan tujuan mendidik atau semacamnya. Maka ketika itu tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali. Ini merupakan kesimpulan terbaik dari hadits ini." (I'lamul Muwaqqi'in, 2/23)

Selayaknya hal tersebut dilakukan tidak di depan orang lain untuk melindungi kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain dari teman-temannya atau selainnya.

Juga hendaknya diketahui bahwa dalam perjalanan hubungan bapak dengan anak-anaknya dan pengajarannya bahwa sang bapak memukul sang anak semata-mata bertujuan agar dia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya semata-mata untuk kebaikannya secara sempurna dan perhatiannya dalam mendidiknya sesuai ketentuan syari agar jangan sampai timbul perasaan benci sang anak terhadap perkara syar'i yang berat dia lakukan dan karena meninggalkannya dia dipukul.


Syekh Ibn Baz rahimahullah berkata,

"Perhatikanlah keluarga dan jangan lalai dari mereka wahai hamba Allah. Hendaknya kalian bersungguh-sungguh untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera puteri kalian untuk melakukan shalat saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka saat berusia sepuluh tahun dengan pukulan yang ringan yang dapat mendorong mereka untuk taat kepada Allah dan membiasakan mereka menunaikan shalat pada waktunya agar mereka istiqomah di jalan Allah dan mengenal yang haq sebagaimana hal itu dijelaskan dari riwayat shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam."


(Majmu Fatawa Bin Baz, 6/46)


Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,

"Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan agar kita memerintahkan anak-anak kita melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, atau kita memukul mereka saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu mereka belum berusia balig. Tujuannya adalah akar mereka terbiasa melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka mencintainya. Begitupula dengan perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum balig, agar mereka tidak terbiasa dan akrab ketika sudah besar."

(Fatawa Nurun ala Darb, 11/386)

Beliau juga berkata,

"Perintah ini bermakna wajib. Akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi tidak bermanfaat pukulan tersebut. Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat. Kemudian, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan perbaikan bukan mencelakakan."


(Liqo Al-Bab Al-Maftuh, 95/18)

Beliau juga berkata,
"Tidak boleh dipukul dengan pukulan melukai, juga tidak boleh memukul wajah atau di bagian yang dapat mematikan. Hendaknya dipukul di bagian punggung atau pundak atau semacamnya yang tidak membahayakannya. Memukul wajah mengandung bahaya, karena wajah merupakan bagian teratas dari tubuh manusia dan paling mulia. Jika dipukul bagian wajah, maka sang anak merasa terhinakan melebihi jika dipukul di bagian punggung. Karena itu, memukul wajah dilarang."

Fatawa Nurun ala Darb (13/2)



No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook