Saturday, June 28, 2014

AYAH YANG MEMBUNUH ANAKNYA TIDAK DIHUKUM QISHAS



AYAH YANG MEMBUNUH ANAKNYA TIDAK DIHUKUM QISHAS

M.RAKIB CIPTAKARYA LPMP PEKANBARU RIAU INDONESIA.

1.Apakah benar, orang tua yang menzalimi anaknya, tidak dihukum?. Penulis masih mencari jawabannya dalam berbagai kitab fiqih. Namun ada tulisan dari para santri kontemporer ditemukan begini:

Jumhur sahabat dan lainnya seperti Al Hadawiyyah, Hanafi, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa bapak yang membunuh anaknya tidak diqishash, berdasarkan hadits: “dari Umar bin Khathab r.a berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda seorang ayah tidak ditutuntut karena membunuh anaknya”( HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah). Seorang kakek dan ibu sama kedudukannya dengan bapak menurut jumhur ulama’ dalam gugurnya hukuman qishash. ‘”

Para imam madzhab berbeda pendapat, apabila seseorang dipaksa untuk membunuh orang lain. Hanafi berpendapat: yang dikenai hukum bunuh adalah orang yang memeaksa, bukan pelaku pembunuhan itu. Maliki dan Hambali berpendapat: yang dikenai hukum bunuh adalah pelakunya. Syafi’i berpendapat: yang dibunuh adalah orang yang memaksanya, sedangkan orang yang dipaksa, Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan pendapatnya yang paling kuat adalah keduanya diqishash (orang yang memaksa dan orang yang dipaksa).

Para imam madzhab berbeda pendapat apabila ada seseorang yang memegang orang lain, lalu orang itu dibunuh oleh orang lain. Hanafi dan Syafi’i mengatakan: qishash dikenakan kepada pembunuhnya saja, sedangkan yang memeganginya terkena ta’zir. Maliki berkata: hal demikian berarti telah bersekutu antara orang yang memegang dan yang membunuh, yaitu berserikat untuk memebunuhnya, oleh karena itu, keduanya dikenakan qishash, yaitu apabila pembunuh tidak memungkinkan untuk membunuhnya jika tidak memegang, dan yang terbunuh tidak mampu melarikan diri setelah dipegang. Hambali: pembunuhnya dihukum bunuh, sedangkan orang yang memegangi dipenjara hingga mati.

Pensyariatan qishash tidak lain adalah sebagai bukti kecintaan Allah kepada hambanya, bahkan dalam Al Quran di jelaskan bahwa penghilangan nyawa satu orang itu sama saja dengan penghilangan nyawa semua orang hal ini dikarenakan, apabila seseorang sudah berani untuk menghilangkan nyawa satu orang, maka tidak menutup kemungkinan bahwa ia akan melakukannya untuk kesempatan berikutnya.
Namun, apabila wali dari korban ataupun ahli waris dari korban memaafkan pelaku tindak pidana pembunuhan tersebut, maka ia dikenakan kewajiban diyat sebagai rasa syukur atas keringanan yang diberikan wali atau ahli waris korban kepadanya.

2.      Rumusan Masalah
1.      Pengertian jinayat
2.      Pembagian jinayat
3.      Pengertian diyat
4.      Pembagian diayat

3.      Tujuan Penulisan Makalah
1.      Untuk mengetahui pengertian jinayat
2.      Untuk mengetahui pembagian jinayat
3.      Untuk mengetahui pengertian diyat


 PEMBAHASAN
1.   Jinayat
Kata “jinayat”, menurut bahasa Arab, adalah bentuk jamak dari kata “jinayah”, yang berasal dari “ (جَنَى الذَنْبَ – يَجْنِيْهِ جِنَايَةً), yang berarti melakukan dosa.
Sekalipun merupakan isim mashdar (kata dasar), tetapi kata “jinayat” dipakai dalam bentuk jamak, karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa, karena ia kadang mengenai jiwa dan anggota badan, secara disengaja ataupun tidak. Kata ini juga berarti menganiaya badan, harta, atau kehormatan.
Adapun menurut istilah syariat, jinayat (tindak pidana) artinya menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash, membayar diyat atau kafarah.[1]
An nafsi menurut bahasa adalah jiwa. Jadi janayat an nafsi adalah suatu tindak pidana yang berkaitan dengan nyawa orang.

2.    Klasifikasi Jinayat (Tindak Pidana)
Jinayat (tindak pidana) terhadap badan terbagi dalam dua jenis:
Jenis pertama, jinayat terhadap jiwa (jinayat an-nafsi). Yaitu, jinayat yang mengakibatkan hilangnya nyawa (pembunuhan). Pembunuhan jenis ini terbagi tiga:
1.   Pembunuhan sengaja, yaitu perbuatan menghilangkan nyawa orang lain dengan indikasi kesengajaan dengan cara dan alat yang biasanya dapat membunuh. Para imam madzhab sepakat bahwa seseorang yang membunuh orang islam yang sama-sama merdeka, dan yang dibunuh itu bukan anaknya, maka ia wajib menerima balasan qishas. Kecuali apabila dimaafkan oleh ahli waris yang terbunuh dengan membayar diyat (denda) atau dimaafkan sama sekali.[2]
Al Hadawiyyah, Syafi’I, Maliki, dan Ahmad berpendapat bahwa orang merdeka tidak diqishash apabila membunuh budak, berdasakan firman Allah, “Orang merdeka dengan orang merdeka”. (QS Al Baqarah: 178), dan di awal ayat, “diwajibkan atas kamu qishash.”. menegaskan harus berdasarkan persamaan status.
2.    Tidak sengaja, Misalnya seseorang melontarkan suatu barang yang tidak disangka akan kena orang lain sehingga menyebabkan orang itu mati, atau seseorang terjatuh menimpa orang lain sehingga orang yang ditimpanya itu mati.[3]
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang seseorang yang membunuh orang lain dengan tidak sengaja, memukul dengan sesuatu yang menurut kebiasaannya tidak mematikan, meninjunya dengan kepala tangan, atau menamparnya dengan keras. Menurut  pendapat Hanafi  dan Syafi’I: orang tersebut dikenai diyat saja. Namun menurut pendapat Syafi’I: jika pukulan itu berulang-ulang kali yang mengakibatkan kematian maka ia dikenai hukum bunuh pula. Sedang menurut pendapat Maliki: wajib dikenai hukum bunuh pula. 
Firman Allah Surat An Nisa’: 92, “dan barang siapa membunuh orang mukmin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga siterbunuh itu.”  
3.    Pembunuhan semi sengaja, yaitu sengaja memukul orang, tetapi dengan alat yang enteng (biasanya tidak untuk membunuh orang) misalnya dengan cemeti, kemudian orang itu mati dengan cemeti itu. Dalam hal ini tidak wajib qishash, hanya diwajibkan membayar diyat yang berat atas keluarga yang membunuh, diangsur dalam tiga tahun.

Ketiga jenis ini didasarkan kepada penjelasan al-Quran dan as-sunnah. Dalam al-Quran dijelaskan dua jenis pembunuhan, yaitu pembunuhan sengaja dan tidak sengaja (keliru), seperti dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلاَّ خَطَئاً وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ أَن يَصَّدَّقُواْ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مْؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةً فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللّهِ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً. وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
“Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin untuk membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh seorang mumin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah Jahannam. Ia kekal di dalamnya. Allah pun  murka kepadanya, mengutuknya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. An-Nisa`: 92–93)
Sedangkan satunya lagi, yaitu pembunuhan yang mirip dengan sengaja (syibhu al-’amdi),  dalil tentangnya diambil dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

أَلاَ إِنَّ دِيّةَ الْخَطَأِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَانَ بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا مِائَةٌ مِنَ الإِبِلِ مِنْهَا أَرْبَعُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهَا أَوْلاَدُهَا

“Ketahuilah, bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja yaitu yang dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor unta. Di antaranya adalah empat puluh ekor yang sedang hamil. “

Jumhur sahabat dan lainnya seperti Al Hadawiyyah, Hanafi, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa bapak yang membunuh anaknya tidak diqishash, berdasarkan hadits: “dari Umar bin Khathab r.a berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda seorang ayah tidak ditutuntut karena membunuh anaknya”( HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah). Seorang kakek dan ibu sama kedudukannya dengan bapak menurut jumhur ulama’ dalam gugurnya hukuman qishash.


3.    Diyat
Diyat secara bahasa adalah denda, balasan.
Sedangkan menurut taqiyyudin Abu Bakar Muhammad Al Hushna adalah harta yang wajib dibayarkan karena melakukan tindak pidana atas orang muslim baik terkait jiwa (nyawa) anggota tubuh.
Diyat merupakan ganti rugi yang diserahkan seorang pelaku pidana terhadap korban atau ahli warisnya dalam tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota badan orang lain.
Pensyariatan hukum diyat didasarkan firman Allah swt dalam surat An Nisa’ 92;
“.... dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karen bersalah (hendaknya) memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang ddiserahkan kapada keluarganya si terbunuh itu.”
Diyat dalam hal ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Diyat mughaladhah, yaitu diyat yang disebabkan penbunuhan orang muslim merdeka secara sengaja, diyatnya sebanyak 100 unta, dengan rincian seagai berikut:
a.       30 unta hiqah (unta betina berumur tiga tahun memasuki empat tahun)
b.      30 unta jadz’ah (unta betina berumur empat tahun memasuki lima tahun)
c.       40 unta hilafah (unta betina yang sudah bunting)
2.      Diyat mukhofafah
Diyat ini diperuntukkan bagi pembunuhan orang islam merdeka tidak sengaja atau tersalah. Adapun perinciyannya sebagai berikut:
a.       20 unta hiqah
b.      20 unta jadz’ah
c.       20 unta khilafah
d.      20 unta ibni labun
e.       20 unta binti makhad[6]
Para imam mazhab sepakat bahwa diyat seorang muslim lagi merdeka adalah 100 unta yang diambilkan dari harta pembunuh dengan sengaja apabila ia dilepaskan dari qisas pada pembayaran diyat.
Para imam madzhab berbeda pendapat, apakah diyat tersebut boleh ditunda diyatnya? Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat: harus segera dibayar. Hanafi berpendapat: boleh ditunda hingga tiga tahun.
Para imam mazhab berbeda penndapat tentang diyat pembunuhan yang disengaja. Menurut pendapat Hanafi dan Hambali dalam salah satu riwayatnya: unta-unta diyat tersebut dibagi empat bagian , masing-masing 25 ekor. Keempat bagian itu sebagai berikut: 1.) 25 ekor bintu kamal 2.) 25 ekor bintu labun 3.) 25 ekor hiqqah 4.) 25 ekor jadz’ah.
Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai dinar dan dirham, apakah keduanya boleh dijadikan diyat? Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: boleh dijadikan sebagai diyat, walaupun ada unta. Sedamgkan menurut Syafi’i: unta tidak boleh diganti dengan yang lain jika ada unta, kecuali ada kesepakatan yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Adapun, jika unta tidak diperoleh maka Syafi’i mempunyai dua pendapat. 1.) qoul jadid yang paling kuat adalah boleh diganti dengan harganya sesuai dengan harga ketika menerima diyat. 2.) qoul qadim yang menyatakan boleh diganti dengan 1000 dinar 12000 dirham, dan hal ini dapat dilakukan jika memang terpaksa.



C.    KESIMPULAN
a.    Jinayat an nafsi adalah suatu tindak pidana yang berkaitan dengan nyawa orang
b.    jinayat terhadap jiwa terbagi menjadi tiga: 1.) pembunuhan sengaja. 2.) pembunuhan semi sengaja. 3.) bembunuhan tidak sengaja.
c.    Al Hadawiyyah, Syafi’I, Maliki, dan Ahmad berpendapat bahwa orang merdeka tidak diqishash apabila membunuh budak,
d.   Jumhur sahabat dan lainnya seperti Al Hadawiyyah, Hanafi, Syafi’i, Ahmad, dan ishaq berpendapat bahwa bapak yang membunuh anaknya tidak diqishash
e.    Diyat mughaladhah, yaitu diyat yang disebabkan penbunuhan orang muslim merdeka secara sengaja, diyatnya sebanyak 100 unta.
f.     Diyat mukhofafah, diyat ini diperuntukkan bagi pembunuhan orang islam merdeka tidak sengaja atau tersalah

D.    DAFTAR PUSTAKA
Ø  Rasjid, Sulaiman. 2007. Fiqih Islam. Bandung: CV SINAR BARU
Ø  Al Husaini Al Husna, Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad. 2004. Kifayatul Ahyar. Jakarta: Al Haramain
Ø  Ismail, Muhammad. 2010. Subulus Salam. Jakarta: Darus Sunnah
Ø  Syaikh Muhammad, Al Allamah. 2010. Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi
Ø  http// www.jinayat.com


Menurut Sri Wiyanti Eddyono (Iyik) -komisioner di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), ada beberapa tanda yang dapat dikatakan sebagai kekerasan terhadap wanita:

1. Lihat bentuknya. KDRT psikis bisa berupa ungkapan atau tindakan. Misalnya,
umpatan, amarah, pelabelan, atau gaya tubuh.

2. Tindakan tersebut punya tujuan: untuk menekan, mencemooh, merendahkan, mengontrol,
membatasi, atau untuk membuat istri atau wanita memenuhi tuntutan pihak pria.

3. Bentuk dan tujuan tindakan tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu terkait
karena posisi si wanita. Apakah karena ia seorang istri, wanita, atau anak perempuan. 

4. Tindakan itu berdampak pada si wanita. Misalnya, menimbulkan rasa tidak percaya diri,
tidak berdaya, dan merasa takut.

Jika seorang wanita telah mengalami tindakan yang memenuhi poin-poin tersebut,
bisa dikata ia mengalami KDRT. Menurut Iyik, banyak faktor yang mendorong terjadinya
KDRT -termasuk KDRT psikis. Tapi penyebab utama adalah relasi kuasa yang tidak setara.
Banyak orang masih memandang suami sebagai pihak yang  utama dan kepala keluarga. Suami
atau pria dianggap memiliki kekuasaan lebih besar ketimbang wanita, sehingga posisinya
lebih tinggi. Karena posisi sosial yang lebih tinggi, pria seolah-olah mendapat legitimasi
untuk melakukan kekerasan dengan alasan 'mendidik' atau 'membina' wanita.

Terry E. Lawson (dalam Huraerah, 2007),psikiater internasional yang merumuskan
definisi tentang child abuse, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse,verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse).

a.Kekerasan secara Fisik (physical abuse)

Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak(ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak.

b.Kekerasan Emosional (emotional abuse)

Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah
mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin  diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan  mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung  konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus-menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.

c. Kekerasan secara Verbal (verbal abuse)

Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan  mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambinghitamkan.

d.Kekerasan Seksual (sexual abuse)

Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang  menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah  tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa  sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa godaan, tipuan dan pancingan.

Kekerasan terhadap anak

Pengertian kekerasan terhadap anak adalah segala sesuatu yang membuat anak tersiksa, baik secara fisik, psikologis maupu mental. Oleh para ahli, pengertian kekerasan terhadap anak ini banyak definisi yang berbeda-beda. Di bawah ini akan diberikan beberapa definisi pengertian kekerasan terhadap anak oleh beberapa ahli.
Kempe, dkk (1962) dalam Soetjiningsih (2005) memberikan pengertian kekerasan terhadap anak adalah timbulnya perlakuan yang salah secara fisik yang ekstrem kepada anak-anak.Sementara Delsboro (dalam Soetjiningsih, 1995) menyebutkan bahwa seorang anak yang mendapat perlakuan badani yang keras, yang dikerjakan sedemikian rupa sehingga menarik perhatian suatu badan dan menghasilkan pelayanan yang melindungi anak tersebut.
Fontana (1971) dalam Soetjiningsih (2005) memberikan pengertian kekerasan terhadap anak dengan definisi yang lebih luas yaitu memasukkan malnutrisi dan menelantarkan anak sebagai stadium awal dari sindrom perlakuan salah, dan penganiayaan fisik berada pada stadium akhir yang paling berat dari spektrum perlakuan salah oleh orang tuanya atau pengasuhnya.
David Gill (dalam Sudaryono, 2007) mengartikan perlakuan salah terhadap anak adalah termasuk penganiayaan, penelantaran dan ekspoitasi terhadap anak, dimana hal ini adalah hasil dari perilaku manusia yang keliru terhadap anak. Bentuk kekerasan terhadap anak tentunya tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, seperti penganiayaan, pembunuhan, maupun perkosaan, melainkan juga kekerasan non fisik, seperti kekerasan ekonomi, psikis, maupun kekerasan religi.
Kekerasan terhadap anak menurut Andez (2006) adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/ jual-beli anak. Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
Sedangkan Nadia (2004) memberikan pengeritian kekerasan terhadap anak sebagai bentuk penganiayaan baik fisik maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan anak, dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak. Alva menambahkan bahwa penganiayaan pada anak-anak banyak dilakukan oleh orangtua atau pengasuh yang seharusnya menjadi seorang pembimbing bagi anaknya untuk tumbuh dan berkembang.
Menurut WHO (2004 dalam Lidya, 2009) kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya, tindakan kekerasan diperoleh dari orang yang bertanggung jawab, dipercaya atau berkuasa dalam perlindungan anak tersebut.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan pengertian kekerasan terhadap anak adalah perilaku salah baik dari orangtua, pengasuh dan lingkungan dalam bentuk perlakuan kekerasan fisik, psikis maupun mental yang termasuk didalamnya adalah penganiayaan, penelantaran dan ekspoitasi, mengancam dan lain-lain terhadap terhadap anak.
A. Masalah Utama:
Perilaku kekerasan/amuk.

B. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995)

C. Proses Terjadinya Masalah

1. Pengertian
Perilaku kekerasan/amuk dapat disebabkan karena frustasi, takut, manipulasi atau intimidasi. Perilaku kekerasan merupakan hasil konflik emosional yang belum dapat diselesaikan. Perilaku kekerasan juga menggambarkan rasa tidak aman, kebutuhan akan perhatian dan ketergantungan pada orang lain.

Gejala klinis
Gejala klinis yang ditemukan pada klien dengan perilaku kekerasan didapatkan melalui pengkajian meliputi :
a. Wawancara : diarahkan penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah yang diserasakan oleh klien.
b. Observasi : muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak: merampas makanan, memukul jika tidak senang.

Faktor predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang mungkin menjadi faktor predisposisi yang mungkin/ tidak mungkin terjadi jika faktor berikut dialami oleh individu :
a. Psikologis; kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk.
b. Perilaku, reinforcement yang diteima ketika melakukan kekerasan, sering mengobservasi kekerasan, merupakan aspek yang menstimuli mengadopsi perilaku kekerasan
c. Sosial budaya; budaya tertutup, control sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima
d. Bioneurologis; kerusakan sistem limbic, lobus frontal/temporal dan ketidakseimbangan neurotransmiser

Faktor presipitasi
Bersumber dari klien (kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan, percaya diri kurang), lingkungan (ribut, padat, kritikan mengarah penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan) dan interaksi dengan orang lain( provokatif dan konflik). ( Budiana Keliat, 2004)

2. Penyebab
Untuk menegaskan keterangan diatas, pada klien gangguan jiwa, perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.

Gejala Klinis
  • Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit (rambut botak karena terapi).
  • Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri).
  • Gangguan hubungan sosial (menarik diri).
  • Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan).
  • Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
( Budiana Keliat, 1999)

3. Akibat
Klien dengan perilaku kekerasan dapat melakukan tindakan-tindakan berbahaya bagi dirinya, orang lain maupun lingkungannya, seperti menyerang orang lain, memecahkan perabot, membakar rumah dll.

D. 1.  Pohon Masalah

http://www.smallcrab.com/images/gb%20askep%20perilaku%20kekerasan.png

2. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji

a. Masalah keperawatan:
1). Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
2). Perilaku kekerasan / amuk
3). Gangguan harga diri : harga diri rendah

b. Data yang perlu dikaji:

1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
1). Data Subyektif :
  • Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
  • Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika    sedang kesal atau marah.
  • Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.

2). Data Objektif :
  • Mata merah, wajah agak merah.
  • Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit, memukul diri sendiri/orang lain.
  • Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
  • Merusak dan melempar barang barang.

2. Perilaku kekerasan / amuk
1). Data Subyektif :
  • Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
  • Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika    sedang kesal atau marah.
  • Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.

2). Data Obyektif:
  • Mata merah, wajah agak merah.
  • Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
  • Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
  • Merusak dan melempar barang barang.

3. Gangguan harga diri : harga diri rendah

1). Data subyektif:
  • Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.

2). Data obyektif:
  • Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai diri / ingin mengakhiri hidup.

D. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan/amuk.
b. Perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan harga diri: harga diri rendah.

E. Rencana Tindakan
a. Tujuan Umum: Klien tidak mencederai dengan melakukan manajemen kekerasan
b. Tujuan Khusus:

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
1.1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
1.2. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
1.3. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.

2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
2.1. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
2.2. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel/kesal.
2.3. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan sikap tenang.

3. Klien dapat mengidentifikasi tanda tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
3.1. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat jengkel/kesal.
3.2. Observasi tanda perilaku kekerasan.
3.3. Simpulkan bersama klien tanda tanda jengkel/kesal yang dialami klien.

4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Tindakan:
4.1. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
4.2. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
4.3. Tanyakan "Apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai ?"

5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
5.1. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
5.2. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
5.3. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.

6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon thd kemarahan.
Tindakan :
6.1. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
6.2. Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolah raga, memukul bantal / kasur.
6.3. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal/tersinggung.
6.4. Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk diberi kesabaran.

7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.
Tindakan:
7.1. Bantu memilih cara yang paling tepat.
7.2. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
7.3. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
7.4. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.
7.5. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel/marah.

8. Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
8.1. Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melaluit pertemuan keluarga.
8.2. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.

9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
9.1. Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan efek samping).
9.2. Bantu klien mengpnakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien, obat, dosis, cara dan waktu).
9.3. Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.



2 comments:

  1. lah masa begitu tidak ada keadilan bagi anak saya sebasgai anak menentang keras blog ini

    ReplyDelete
  2. bagai mana bisa hukum membunuh itu kan dosa
    .......
    tegakkan keadilan bagi anak

    ReplyDelete

Komentar Facebook