Friday, June 13, 2014

Dalam kitab al-Ahkam as-Sultaniyyah, Al-Mawardi



DIMENSI HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG
 KEJAHATAN ANAK-ANAK
By M.Rakib, SH.M.Ag.  LPMP Riau Indonesia.17-Juni 2014


A.Esensi Hukum Pidana Islam
1. Jarimah          
            Dalam kitab al-Ahkam as-Sultaniyyah, Al-Mawardi mengungkapkan, esensi hukum Islam adalah menegakkan keadilan berdasarkan kemauan pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman masyarakat.Namun apabila hukum Islam dilihat dari ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah dan Nabi Muhammad, baik yang  termuat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits dalam hukum Islam, tindak pidana (delik, jarimah), [1]diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syarak atau agama yang diancam oleh Allah dengan hukuman hudud (hukum atau ketetapan Allah SWT) atau takzir (putusan hukum yang ditetapkan oleh hakim). Larangan-larangan syarak tersebut, menurut Al-Mawardi, bisa berupa mengerjakan perbuatan yang memang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.

           Abdul Qadir Audah dalam At-Tasyri al-Jinai al-Islamy Muqaran bil bil Qanunil Wad'iy menegaskan, pengertian tindak pidana menurut hukum Islam sangat sejalan dengan pengertian tindak pidana (delik) menurut hukum konvensional kontemporer. Pengertian tindak pidana dalam hukum konvensional adalah segala bentuk perbuatan yang dilarang oleh hukum, baik dengan cara melakukan perbuatan yang dilarang maupun meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Jinayah didefinisikan sebagai perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal, atau harta benda.Dalam Islam dikenal dengan istilah al-Ahkam al-Jina'iyah atau hukum pidana.  Al-ahkam al-jina'iyah bertujuan untuk melindungi kepentingan dan keselamatan umat manusia dari ancaman tindak kejahatan dan pelanggaran sehingga tercipta situasi kehidupan yang aman dan tertib.

              Dasar larangan dan hukuman, menurut Audah, perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana adalah suatu perintah dan larangan yang apabila dilanggar akan mengakibatkan dampak yang buruk, baik bagi sistem ataupun aturan masyarakat, akidah, kehidupan individu, keamanan harta, kehormatan diri (nama baik), perasaannya, maupun berbagai pertimbangan lain yang harus dipelihara. Pensyari’atan hukuman terhadap setiap tindak pidana dalam hukum Islam bertujuan untuk mencegah manusia melakukan tindakan tersebut. Seandainya tidak ada hukuman, perintah dan larangan tersebut tidak memiliki arti apa pun dan tidak memberikan pengaruh. "Karena itu, kenyataan bahwa hukuman dapat melahirkan rasa aman dan pengendalian (atas manusia) merupakan suatu perkara yang telah dipahami dan hasilnya sesuai yang diharapkan," papar Audah. Menurut Audah, hukuman juga dapat mencegah manusia untuk berbuat tindak pidana, menolak kerusakan di muka bumi, dan mendorong manusia untuk menjauhi perkara yang membahayakan.

              Dalam hal ini, walaupun hukuman ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan umum, hakikat pidana itu sendiri bukanlah suatu kebaikan, melainkan suatu perusakan bagi pelaku itu sendiri (seperti hukuman mati, potong tangan, dan lainnya). "Meskipun begitu, hukum Islam tetap mewajibkan adanya hukuman. Sebab, hukuman dapat membawa kemaslahatan yang hakiki bagi masyarakat sekaligus memelihara kemaslahatan tersebut," tuturnya.Penetapan suatu hukuman cenderung mengarah kepada hal-hal yang tidak disukai manusia, yakni selama hukuman itu memberikan kemaslahatan masyarakat dan mencegah hal-hal yang disukai mereka, selama hal itu dapat merusak mereka. Ada data penelitian yang  dihimpun melalui kajian atas isi putusan Pengadilan Negeri Surabaya tentang pencabulan yang dilakukan anak di bawah umur dan dokumenter (literature) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis serta kesimpulan diperoleh melalui pola berfikir deduktif. 

             Hasil penelitian menyimpulkan bahwa putusan hakim dalam menjatuhkan perkara Nomor : 33/Pid.B/2008/PN.Sby, bagi pelaku pencabulan yang dilakukan anak di bawah umur dengan memvonis 6 (enam) bulan, membebankan biaya perkara Rp. 1000 (Seribu Rupiah) dan denda Rp. 1.000 (Seribu Rupiah), selain memenuhi Pasal 290 KUHP hakim juga berdasarkan pada pertimbangan hal-hal yang mem beratkan dan pada hal-hal yang meringankan. Menurut UU perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 pasal 81 dan 82 pelakunya dijatuhi dengan hukuman penjara paling singkat 3 tahun dan hukuman penjara paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000 (Enam Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000 (Tiga Ratus Juta Rupiah).

              Sedangkan Hukum Pidana Islam tidak membolehkan untuk menjatuhkan hukuman pidana bagi anak di bawah umur, tetapi dalam rangka mendidik dan mengarahkan kepada kemaslahatan, maka anak di bawah umur dapat dijatuhi hukuman taâzir.[2]   Berdasarkan analisis di atas, penulis menyarankan bagi penegak hukum agar dapat melindungi hak-hak anak sebagaimana dalam undang-undang tersebut, bagi orang tua agar masa depannya lebih baik.

B.Karakteristik Hukum Pidana Islam
              Para ahli hukum Islam (fuqaha) menempatkan jinayah (Hukum Pidana Islam) memiliki sifat dan karakter yang berbeda dengan hukum pidana positif suatu negara. Perbedaan ini terletak pada otoritas pembentukan hukumnya, yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, karena itu dari sudut pandang ini pelaksanaan hukum pidana Islam sebagai bagian dari ibadah atau sebagai wujud ketaqwaan hamba kepada Tuhannya, untuk mengawal tingkah laku manusia agar sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.[3]
          Ketentuan hukum pidana Islam sering dipahami sebagai doktrin, sehingga melahirkan pandangan bahwa hukum pidana Islam tidak mungkin untuk diubah atau diganti dalam pelaksanaannya seperti halnya melaksanakan doktrin agama mengenai aqidah dan ibadah. Sehingga timbul kesan kurang memberi kesempatan atau peluang untuk mengkaji dari sudut pandang ilmu pengetahuan yang berusaha membuktikan kebenaran hukum. Hukum pidana Islam ditempatkan sebagai bagian hukum dari ajaran Islam, tetapi ketentuan hukum itu masih memberi ruang gerak akal manusia untuk melakukan ijtihad guna merespon perkembangan masyarakat yang terjadi saat ini. Hukum pidana Islam selain sebagai hukum normatif dalam mengatur dan melaksanakan hukum, sedang ijtihad yang dipergunakan untuk mengisi hukum ta’zir dan hukum acaranya. [4]
            Hukum pidana Islam dapat ditemukan dalam berbagai ayat yang tersebar diberbagai surat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dari kedua sumber tersebut diperoleh suatu kaidah (asas) yang mengatur beberapa perbuatan yang dilarang dan yang diancamkan kepada orang yang melakukan pelanggaran hukum. Selanjutnya para fuqaha mensistematisir dalam bentuk kitab hukum, pada umumnya fuqaha menggolongkan jarimah ke dalam: jarimah hudud, jarimah qishash-diyat, dan jarimah ta’zir. Dalam hal ini, ketentuan Allah dalam jinayat itu berhubungan dengan perbuatan yang dilarang, karena itu ia berfungsi sebagai social control dan social engeeniring of law dalam mengawal tingkah laku atau perbuatan manusia agar sesuai dengan eksistensi dan martabat manusia sebagai makhluk terbaik.
1.Ketentuan Allah Sebagai Penjaga Eksistensi Manusia
          Ketentuan-ketentuan Allah yang menjaga eksistensi manusia secara permanen itu disebut “had”, jamaknya “hudud”, artinya ketentuan (hukum) yang telah ditentukan Allah, dan menjadi hak Allah. karena itu cara penerapannya sangat teliti dan hati-hati, dalam hal ini Nabi bersabda yang artinya: Hindarilah hukuman hudud karena ada syubhat”[5]. Jarimah had dibagi menjadi dua yaitu hudud dan qisas-diyat. Macam-macam jarimah hudud telah ditentukan yaitu zina, qadzaf, sirqah, syurbah, hirabah, riddah, dan bughah.[6] Dan jarimah qisas-diyat yaitu qatl al-‘amd, qatl syibh al-‘amd, qatl al-khata’, jarh al-‘amd, dan jarh al-khata’.
          Secara umum tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia, artinya semua kewajiban, baik perintah, larangan, dan anjuran pada hakekatnya kembali untuk memelihara tujuan hukum[7](dhoruriyah, hajiyah, dan tahsiniyah). Karena itu, hal-hal yang bersifat dharuriyah (primer) dari tujuan hukum itu dapat diklasifikasi sebagai berikut:
          Pertama, semua pokok ibadah pada dasarnya untuk memelihara agama dan eksistensinya, seperti iman, mengucapkan dua kalimat syahadat. Sedangkan semua masalah kebiasaan pada dasarnya untuk memelihara eksistensi jiwa dan akal, seperti makan, minum, berpakaian, dan mendiami rumah.
         Kedua, semua masalah muamalah pada dasarnya untuk memelihara eksistensi harta dan keturunan, termasuk juga memelihara eksistensi jiwa dan akal.
         Ketiga, sedangkan jinayat sebagai manifestasi dari amar ma’ruf nahi munkar pada dasarnya untuk memelihara dan menjaga semua eksistensi tersebut di atas dari kerusakan.
         Masalah jinayat yang tercakup dalam jarimah hudud dan qaisas-diyat yang disyariatkan pada dasarnya untuk memelihara eksistensi manusia dan kemuliaan manusia, sebagai pembeda antara manusia dengan makhluk lain, seperti hukuman had qisas-diyat untuk memelihara eksistensi jiwa dari pembunuhan dan penganiayaan, hukuman had minuman keras untuk memelihara eksistensi akal, hukuman zina untuk memelihara eksistensi asal-usul (keturunan) manusia, hukuman had pencurian untuk memelihara eksistensi harta, hukuman had hirabah untuk memelihara eksistensi jiwa dan harta. Maka upaya untuk memelihara eksistensi itu pada dasarnya untuk penguatan martabat manusia, dan fuqaha’ telah merumuskan menjadi lima kategori, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta[8].Dan hal-hal yang bersifat hajiyah (skunder) dari tujuan hukum itu dapat dikategorikan sebagai berikut:
Pertama, hal yang primer dalam ibadah disebut “azimah” (yang seharusnya), maka dalam keadaan tertentu boleh dilakukan rukhsah (keringanan) dengan tujuan untuk menghindarkan kesulitan, seperti karena sakit atau safar. [9]
Kedua, dalam masalah kebiasaan, seperti makan, boleh memakan makanan yang lezat asalkan halal, boleh memakai pakaian yang baik, boleh mendiami rumah yang baik, juga boleh memakai kendaraan yang baik, dan lain sebagainya.
Ketiga, dalam masalah muamalah, seseorang boleh jual-beli secara salam, dibolehkan juga dengan istina’muzara’ah, murabahah, ijarah, musaqqah, dan lain-lain. Dalam perkawinan, dibolehkan thalak untuk menghindari kemudlaratan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Masuk hajiyat juga, seperti memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama.
Keempat, dalam bidang uqubah (jinayah), seperti diharuskan tukang jahit mengganti kerugian atas kain yang dirusakkan, tidak melaksanakan hudud karena syubhat (kesamaran) pada perkara pidana, larangan menjual minuman keras dan sejenisnya, larangan penimbunan barang, dan lain sebagainya.[10]
Adapun hal-hal yang bersifat tahsiniyah [11](tersier) adalah semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik, yang semuanya tercakup dalam bagian akhlak karimah, antara lain:
Pertama, dalam  hal ibadah, seperti kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai yang indah, mengerjakan amalan sunnah. Kedua,  dalam hal kebiasaan, seperti memelihara adab makan, minum, sopan santun terhadap orang yang lebih tua, adab berkendaraan, adab dalam hubungan sesama manusia, dan lain sebagainya.
Ketiga, dalam hal muamalah, seperti menghormati tamu, larangan menjual benda najis, larangan melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
Keempat, dalam hal uqubah, seperti melarang para wanita dengan memakai pakaian seksi dan merangsang seks di jalan-jalan. Larangan membunuh orang yang sudah menyerah dalam peperangan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dipahami  bahwa:
1.      Integritas moral suatu bangsa akan menemukan jati dirinya dan akan menjadi karakter bangsa apabila landasan spiritual masyarakat benar-benar melahirkan keyakinan yang kokoh dalam jiwa setiap individu, sehingga melahirkan ketaatan dan kepatuhan terhadap ketentuan hukum.[12]
2.      Dalam mengawal ketaatan dan kepatuhan itu, Allah menetapkan perintah dan anjuran (sunnah) untuk dilaksanakan dan larangan untuk ditinggalkan, dengan janji dan ancaman. Janji bagi orang yang melaksanakan perintah dan anjuran akan dibalas kebahagian di dunia dan di akherat kelak. Ancaman  bagi orang yang melanggar larangan akan dibalas dengan kesengsaraan, ketidaktentraman dan neraka di akherat kelak.[13]
3.                  Sedangkan dalam menjaga eksistensi manusia yang paling asasi, Allah menetapkan hukuman (uqubah) yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan sunnah berupa hukuman had yaitu hudud dan qisas-diyat, sebagai bentuk penjagaan yang konsisten, permanen sampai akhir zaman, dan sebagai wujud dibedakannya manusia dengan makhluk yang lain. Sedangkan selain hudud dan qisas-diyat, yaitu ta’zir, yang cakupannya sangat luas, karena itu, eksistensinya diserahkan sepenuhnya kepada manusia, pada zaman modern  ini mekanismenya sesuai dengan sistem ketata-negaraan dalan suatu negara.[14]
C. Subjek dan Objek  Hukum Pidana Islam
             Hukum apapun di dunia,tentu ada sasarannya, begitu pula  dalam Islam ada subyek dan obyek Hukum Pidana Islam. Adakah batas minimal umur anak menurut konsep syar’i untuk kelayakan mempertanggung jawabkan tindak pidana atas kerugian orang lain?  Batas minimal umur untuk cakap berbuat dalam hal ibadah berbeda dengan kecakapan mempertanggungjawabkan tindak pidana; batas minimal umur anak untuk mempertanggungjawabkan tindak pidana disamakan antar pelaku pria dan wanita; batas minimal umur dimaksud memakai standar tamyiz yaitu tujuh tahun. Kemudian dikenal pula hukuman khusus untuk mendidik, yang disebut dengan istilah  Jarimah ta’zir.[15]
           Ciri khas jarimah ta'zir adalah sebagai berikut: 1.Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas,artinya artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara' dan ada batas minimal dan ada batas maksimal.2.Penetapan hukuman tersebut adalah hak penguasa.Hukuman jarimah banyak jumlahnya yang dimulai dari hukuman yang paling ringan sampai hukuman paling terberat. Hakim diberi kewenangan untuk memilih di antara hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadan jarimah serta diri pembuatnya.hukuman-hukuman jarimah ta'zir antara lain :
            Pada dasarnya menurut syari'at Islam, hukuman ta'zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta'dib) dan tidak sampai membinasakan, karena itu dalam hukum ta'zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha'memberikan pengecualian dari hukuman umum tersebut ,yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghedaki demikian atau pemberatasan tidak terlaksanakankecuali dengan jalan membunuhnya,seperti mata-mata, untuk pembuat fitnah, namun foqoha' yang lain mengatakan dalam jarimah ta'zir tidak ada hukuman mati.
Di kalangan fuqoha' terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir.menurut pendapat yang terkenal dikalangan ulama maliki,batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta'zir didasari hukuman kemashalatan masyarakat dan atas berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, pendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir adalah 39 kali,dan menurut Abu Yusuf 75 kali. Ada dua hukuman jilid dalam hukum Islam yaitu :
1.      Hukuman jilid pertama adalah hukuman yang terbatas
2.      Hukuman jilid kedua adalah hukuman yang tidak terbatas
Adapun  dasar pengambilan hukumnya dari:
Al- Tasyri’ al Jana-i al Islamy I hal 601
فإذا ارتكب الصغير اية جريمة قبل بلوغه السابعة فلايعاقب عليها جنائيا ولا تأديبيا
Pada usia berapa tahun seorang anak dapat digugat perdata atas perbuatan hukumnya menurut hukum Islam?
Seorang anak dapat digugat perdata pada usia lima belas tahun dengan syarat nyata baligh atau nyata rusyd (pandai),berakal sehat.
Dasar Pengambilan Hukum
Al- Ashbah wa al- Nadza’ir 240
الاول ما لايلحق فيه بالبالغ بلا خلاف وذلك في التكاليف الشرعية من الواجبات والمحرمات والتصرفات من العقود والفسوخ والولايات
Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu VII hal 739
تنتهي الولاية على النفس في رأي الحنفية في حق الغلام ببلوغه خمسة عشر سنة
Al Tasyri’ al Jana-i al Islamy I halaman 602
مرحلة الادراك التام ويسمى الإنسان فيها بالبالغ والراشد
Kapan anak dapat menjadi terdakwa pidana atau tergugat perdata tanpa diwakili oleh orang tua kandungnya di hadapan hakim peradilan?
Anak dapat menjadi terdakwa pidana atau tergugat perdata tanpa diwakili oleh orang tuanya dihadapan hakim pada usia 15 tahun (mukallaf)
Sharh Jamal ala al Minhaj V hal 409
وَقَوْلُهُ: تَكْلِيفُ كُلٍّ أَيْ شَرْطُ صِحَّةِ الدَّعْوَى أَنْ يَكُونَ كُلٌّ مِنْ الْمُدَّعِي, وَالْمُدَّعَى عَلَيْهِ مُكَلَّفًا فَلا تَصِحُّ مِنْ صَبِيٍّ وَلا مَجْنُونٍ وَلا عَلَيْهِمَا وَكَوْنُهَا لا تَصِحُّ عَلَى الصَّبِيِّ إنَّمَا هُوَ بِالنِّسْبَةِ لِطَلَبِ الْجَوَابِ مِنْهُ وَطَلَبِ تَحْلِيفِهِ وَإِلا فَهِيَ تُسْمَعُ عَلَيْهِ لأَجْلِ إقَامَةِ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهِ كَمَا ذَكَرَهُ الرَّشِيدِيُّ
Mughni ala al Muhtaj IV hal 513
تنبيه: قد علم من ذلك أنه لا تنافي بين ما ذكر هنا وما ذكر في كتاب دعوى الدم والقسامة من أن شرط المدعَى عليه أن يكون مكلفاً ملتزماً للأحكام، فلا تصح الدعوى على صبي ومجنون؛ لأن محل ذلك عند حضور وليهما فتكون الدعوى على الولي،
Sekira seorang anak terbukti secara bersama-sama (isytirak) melakukan tindak pidana dengan orang yang sudah dewasa, bagaimana pertanggung jawaban hukumnya?
Anak yang melakukan tindak pidana secara bersama-sama (isytirak) dengan orang yang sudah dewasa, pertanggungjawabannya dipisahkan, maksudnya anak diadili dengan pengadilan anak.[16]
Dasar Pengambilan Hukum
Al Mughni Li Ibn Qudamah IX hal 337
ولنا أنه شارك من لا مأثم عليه في فعله فلم يلزمه قصاص كشريك الخاطىء ولأن الصبي والمجنون لا قصد لهما صحيح ولهذا لا يصح إقرارهما فكان حكم فعلهما حكم الخطأ
Dapatkah orang tua angkat, orang tua asuh bertindak selaku waliyyuddam atas nama anak angkat atau anak asuhnya atau mereka dibebani denda pidana?
Orang tua angkat dan orang tua asuh dapat bertindak selaku waliyyuddam atas nama anak angkat atau anak asuhnya sepanjang menyangkut kepentingan mereka, bukan untuk menanggung beban karena perbuatan mereka.
Dasar Pengambilan Hukum
Al Sharqawi II hal 363
الثالث يسقط فيه القود عن بعضهم فقط دون البعض الآخر إما لإستحالة إيجاب القود عليه ككونه اصلا او صبيا او مجنونا شاركه غيره
Hamisy I’anah al Thalibin IV hal 128
و يثبت القود للورثة العصبة وذي الفروض بحسب إرثهم المال ولو مع بعد القرابة كذي رحم إن ورثناه أو مع عدمها كأحد الزوحين والمعتق وعصبته
Kifayat al Akhyar II hal 148
الوجه الثاني كونها على العاقلة فإذا جنى الحر على نفس حر آخر خطأ أو عمد خطأ وجبت الدية على عاقلة الجاني.
Hamisy al Bajuri II hal 203
والمراد بالعاقلة عصبة الجانى لا اصله و فرعه
Adakah batas normatif bahwa sanksi pidana atas anak yang belum dewasa maksimal separo sanksi yang sama atas pelaku pidana yang dewasa?
Tidak ada batas normatif bahwa sanksi pidana anak yang belum dewasa maksimal separuh sanksi pelaku yang dewasa. Karena sanksi pidana pada anak ta’dib/ta’zir, maka diserahkan pengaturan dari waliyyul amri.
Dasar Pengambilan Hukum
Al Tasyri’ al Jana-i al Islamy I hal 602
لايسأل الصبى المميز عن جرائمه مسؤلية جنائية وإنما سئل مسؤلية تأديبية
Nihayat al Muhtaj VII hal 436
ويعزر القاذف المميز صبيا او مجنونا زجرا وتأديبا له
Bagaimana konsep syariah/fiqh Islam tentang anak sipil dan dimana landasan hukumnya?
Dalam syariah/fiqh Islam tidak mengenal terminology anak sipil
Sejak usia berapa tahunkah anak boleh dilepas dari ikatan huququl hadlonah dan sejak itu bukan lagi menjadi tanggungan orang tua atau kerabatnya?
Anak boleh dilepas dari ikatan haqqul hadlanah sejak tamyiz (7 tahun) sedang kesiapan anak untuk mandiri dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri sejak baligh (15 tahun)[17]
Dasar Pengambilan Hukum
I’anat al Thalibin IV hal 101
قال في الروض وشرحه: المحضون كل صغير ومجنون ومختلّ وقليل التمييز. وقوله إلى التمييز: أي وتستمر التربية إلى التمييز: قال في التحفة: واختلف في انتهائها في الصغير فقيل بالبلوغ، وقال الماوردي بالتمييز وما بعده إلى البلوغ كفالة والظاهر أنه خلاف لفظي
Penahanan dalam jangka waktu tertentu bisa diberlakukan terkait kepentingan
a. Penyidikan : 10-20 hari dan terlama 30 hari
b. Penuntutan: 10-15 hari dan terlama 25 hari
c. Pemeriksaan: 15 hari dan terlama 30 hari.
Tepatkah bila penahanan dengan tentang waktu seperti tersebut diatas diberlakukan pada anak yang belum dewasa?
Penahanan utnuk penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan terhadap anak menjadi kewenagan waliyul amri dengan tujuan yang terkait dengan kemaslahatan anak.
Dasar Pengambilan Hukum
Nihayat al Muhtaj VII hal 436
ويعزر القاذف المميز صبيا او مجنونا زجرا وتأديبا له
1.            Subyek Hukum
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah

2.            diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
Adapun syarat-syarat taklif atas subjek hukum, adalah sebagai berikut:
1. Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah.
2. Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum.
3. Ahliyah al-Ada Kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia dan badan hukum.
             a.  Manusia.     
Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain.
          b.      Badan Hukum
Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dann kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.
2.    Obyek Hukum
Dilihat dari segi hukum  wadh’i :
a. Pengertian sabab
Sabab secara etimologi adalah sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan. Secara terminologi sabab adalah sesuatu yang keberadaannya dijadikan syar’i sebagai pertanda keberadaan suatu hukum, dan ketiadaan sabab sebagai pertanda tidak adanya hukum. Misalnya, Allah menjadikan zina sebagai sabab ditetapkannya hukuman, karena zina itu sendiri bukanlah penyebab ditetapkannya hukuman, tetapi penetapan hukuman itu adalah dari syar’i.
a.      Pembagian sabab
  1. Dari segi objeknya:
a.    Sebab al-waqti, seperti tergelincirnya matahari sebagai pertanda wajibnya shalat zhuhur, [18]Dirikanlah shalat karena telah tergelincirnya matahari…”.
b.   Sebab al-ma’nawi, seperti mabuk sebagai penyebab diharamkannya khamr.
  1. Dari segi kaitannya dengan kemampuan mukallaf:
a.    Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan mampu dilakuka. Misalnya, jual beli yang menjadi penyebab pemilikan harta, pembunuhan sengaja menyebabkan dikenakan hukuman  dan akad nikah disebabkannya dihalalkan hubungan suami-istri. Sebab seperti ini terbagi lagi menjadi 3, yaitu:
·         Sebab yang diperintahkan syara’. Contohnya, nikah menjadi penyebab terjadinya hak waris mewarisi dan nikah itu diperintahkan.
·         Sebab yang dilarang syara’. Seperti pencurian sebagai penyebab dikenakan hukuman potong tangan dan pencurian itu sendiri dilarang.
·         Sebab yang diizinkan(ma’zun bihi). Misalnya, sembelihan segai penyebab dihalakannya hewan sembelihan, dan penyembelihan itu sendiri adalah sesuatu yang mubah.
b.      Sebab yang bukan perbuatan mukallaf dan tidak mampu untuk dilakukan. Contohnya, tergelincirnya matahari sebagai penyebab wajibnya shalat zuhur.
  1. Dari segi hukumnya:
a.       Sebab al-masyru’, yaitu semua yang membawa pada kemaslahatan dalam pandangan syar’i sekalipun dibarengi kemafsadatan secara zhahir, seperti jihad.
b.      Sebab ghairu al-masyru’, yaitu sebab yang membawa kepada mafsadat dalam pandangan syar’i sekalipun didalamnya terkandung pula kemaslahatan secara zhahir, seperti adopsi.
  1. Dari segi pengaruhnya terhadap hukum:
a.       Asbabul mu’sir filhukmi (‘illat)
Contoh: mabuk sebagai sebab yang berpengaruh pada hukum, yang merupakan ‘illat keharaman khamr.
b.      Assababu ghairul mu’sir fil hukmi (sebab yang tidak berpengaruh pada hukum)
Contohnya: waktu sebagai penyebab wajibnya shalat.
  1. Dari segi jenis musabbab:
a.       Sebab bagi hukum taklifi, seperti munculnya hilal sebagai pertanda kewajiban puasa.
b.      Sebab untuk menetapkan hak milik, melepaskan/menghalalkannya. Misalnya, jual beli sebagai penyebab kepemilikan barang yang dibeli.
  1. Dari segi hubungan sabab dengan musabab:
a.       Sebab al-syar’i, seperti tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat zuhur.
b.      Sebab al-‘aqli (sebab yang hubungannya dengan musabbab didasarkan pada hukum adat kebiasaan atau ‘urf), seperti tubuh merasa tidak sehat karena ada penyakit.

  1. Syarth
a. Pengertian Syarth

Secara etimologi syarth ialah syarat/’alamah/pertanda. Secara terminologi ialah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya hukum pun tidak ada.
b.Macam-macam syarth
            Dari segi kaitannya dengan sabab dan musabbab, dibagi menjadi dua:
a.       Al-syarth al-mikammil li al-sabab (syarat penyempurnaan sebab) seperti haul dalam kewajiban zakat pada harta yang gtelah mencapai satu nisab.
b.        Al-syarth al-mikammil il al-musabbab (syarat yang menjadi penyempurnaan bagi musabbab), seperti kemampuan menyerahkan barang sebagai penyempurnaan sebagai akad jual-beli.
Dari segi pensyaratannya:
a.       Al-syarth al- syar’i (syarat yang ditentukan syar’i terhadap berbagai hukum), seperti persyaratan yang ada dalam muamalah atau ibadah.
b.      Al-syarth al-ja’li (syarat yang dibuat para mukallaf), seperti membawa barang yang telah dibeli kerumah pembeli sebagai syarat yang disepakati penjual & pembeli saat akad jual beli berlangsung.
Dari segi hubungan syarth dengan masyyruth
a.       Al-syarth al-syar’i (syarat yang hubungannya dengan yang disyaratkan didasarkan atas hukum syara’), seperti wudhu uuntuk shalat.
b.      Al-syarth al’aqli (syarat yang disyaratkan didasarkan atas nalar manusia).
c.       Al-syarth al-‘adi (syarat yang hubungannya dengan yang disyaratkan didasarkan kepada adat kebiasaan/’urf).

3. Mani’
a. Pengertian Mani’
 Secara etimologi mani’ berarti halangan, sedangkan secara terminologi adalah sifat zhahir yang dapat diukur yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau ketiadaan sebab.[19]
b. Macam-macam Mani’
1. Dari segi pengaruhnya kepada hukum dan sebab
·         Mani’ yang berpengaruh terhadap sabab, karena mani’ merusak hikmah yang ada pada sabab. Contoh: hutang menyebabkan batalnya kewajiban zakat, karena harta tersebut tidak mencapai satu nishab lagi (sabab).
  • Mani’ yang berpengaruh terhadap hukum, yang artinya menolak adanya hukum meskipun ada sabab yang mengakibatkan adanya hukum.
a.       Mani’ yang tidak berkumpul dengan hukum taklifi, yaitu sesuatu yang menyebabkan hilangnya akal sehingga menyebabkan terhalangnya taklif.
b.      Mani’ yang bersamaan dengan ahliyyah taklif, tetapi mani’ itu menghilangkan taklif.
c.       Mani’ yang menghilangkan kemestian taklif, dan membawa seseorang untuk bersikap memilih.
Ulama Hanafiyah membagi mani’ kepada lima macam, yaitu:
1.      Mani’ yang menyebabkan tidak berlakunya akad, seperti objek jual beli tidak ada.[20]
  1. Mani’ yang menyebabkan akad tidak sempurna bagi orang ketiga di luar akad, seperti Bai’ Al Fudhuli.
  2. Mani’ memulai hukum, seperti khiyar Syarth dalam jual beli.
  3. Mani’ untuk menyempurnakan hukum, seperti keberadaan khiyar Ru’yah dalam jual beli.
  4. Mani’ yang menghalangi sifat mengikat suatu hukum, seperti adanya cacat dalam barang yang dibeli.
      4. Sah, Fasad, dan Batal
a. Pengertian Sah, Fasad, dan Batal
     Secara etimologi sah atau Shihhah atau shahih artinya sakit. Secara terminologi, sah yaitu tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’, apabila sebabnya ada, syaratnya terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu.
Secara etimologi fasad berarti perubahan sesuatu dari keadaan yang semestinya. Secara terminologi menurut jumhur ulama sama dengan batal. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah adalah kerusakan yang tertuju kepada salah satu sifat, sedangkan hukum asal perbuatan itu disyari’atkan.
c. Status Sah, fasad, dan batal
Wahbah Al Zuhaili menyatakan bahwa yang terkuat dalam pendapat mayoritas ulama ushul fiqh yang mengatakan bahwa sah, fasad, dan batal termasuk dalam hukum wadh’i.[21]

d.    Hak – Hak Yang Berkaitan Dengan Hukum Pidana Islam
1.      Hak Allah dan Hak Manusia, (Ar.: al-haqq Allah; dan al-haqq al-‘ibad). Secara etimologi mengandung pengertian yang banyak dan bermacam-macam, namun semuanya mengacu kepada arti ketetapan dan kepastian, seperti milik, bagian, keadilan, kewenangan, kebenaran, dan lain-lain.
           Ulama fikih menyatakan bahwa al-haqq (hak) merupakan hubungan spesifik antara pemegang atau pemilik hak dan kemaslahatan yang diperoleh dari hak itu. Hubungan tersebut dalam syariat Islam tidak bersifat alamiah, yang bersumber dari alam atau ketetapan akal manusia.[22]

1.      Pembagian Hak,ditinjau dari segi kepemilikannya, hak dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1) hak Allah SWT murni; 2) hak manusia murni; 3) hak yng didalamnya tergabung hak Allah SWT dan hak manusia, namun hak Allah SWT lebih dominan; dan 4) hak yang di dalamnya tergabung dua hak tersebut, namun hak manusia lebih doninan.

2.      Hak Allah Murni, ialah sesuatu yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, mengagungkan-Nya, dan menegakkan syiar agama-Nya; atau sesuatu yang dimaksudkan untuk mewujudkan kepentingan, manfaat, dan kemaslahatan orang banyak tanpa kekhususan pada orang tertentu. Hak tersebut dinisbahkan kepada Allah SWT, karena besarnya kepentingan hak itu dan keumuman manfaatnya. Dengan kata lain, hak tersebut merupakan hak masyarakat dan pensyariatan hukumnya dimaksudkan untuk kemaslahatan umum, hukan untuk kemaslahatan inidividu secara khusus. Hak tersebut bertalian dengan ketertiban umum.
Menurut Mazhab Hanafi, hak Allah, dapat dikelompokkan pada delapan macam sebagi berikut:
a.       Ibadah murni, seperti iman, mengucapkan dua kalimat syahadat, salat lima waktu sehari semalam, puasa bulan Ramadan, Zakat harta, dan haji di Baitullah. Ibadah tersebut dimaksudkan untuk menegakkan syiar agama dan sekaligus untuk menjaga ketertiban dan keteraturan masyarakat.
b.      Ibadah yang mengandung makna ma’unah, yakni pertolongan ynag diberikan untuk memelihara jiwa dan harta. Misalnya, zakat fitrah disebut ibadah, karena dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan bentuk memberi pertolongan kepada fakir miskin. Oleh karena itu, untuk menunaikan ibadah semacam ini disyaratkan niat. Makna ma’unah tersebut merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil tanah yang tetap produktif di tangan pemiliknya.
c.       Ma’unah (pertolongan) yang mengandung makna ibadah, seperti mengeluarkan sepersepuluh atau seperduapuluh dari hasil bumi. Pengeluraran ma’unah tersebut merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil tanah yang tetap produktif di tangan pemiliknya.
d.      Ma’unah yang mengandung makna hukuman (uqubah) seperti pengenaan pajak atas nonmuslim. Pengenaan pajak tersebut dimaksudkan sebagai imbalan terhadap tanah produktif yang tetap mereka garap dan terpelihara dari berbagai bentuk kezaliman. Ma’unah sebagai hukuman merupakan ganti rugi atas kewajiban jihad yang tidak dibebankan kepada mereka.

e.       Uqubah (hukuman) murni, seperti hukuman terhadap pelaku perzinaan, pencurian, meminum minuman keras, dan lainnya. Hukuman tersebut merupakan hak Allah SWT murni, karena persyaratannya dimaksudkan untuk memaslahatan umum dan menjaga ketertiban masyarkat. Oleh karena itu, hukuman tersebut tidak dapat digugurkan atau dimaafkan oleh siapapun dan dilaksanakan oleh lembaga pengadilan sebagai kepanjangan tangan pemerintah.

f.       Hukuman terbatas, seperti terhalangnya seorang pembunuh dari hak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. Terhalangnya hak mewarisi itu merupakan bentuk hukuman sebagi pembalasan terhadap pembunuhan yang dilakukannya. Hanya saja balasan itu tidak terkait dengan fisik pembunuh atau pengurangan harta bendanya. Hukuman ini merupakan hak Allah SWT , karena dimaksudkan untuk kepentingan umum dan memelihara ketertiban, yaitu mencegah ketamakan untuk memeperoleh harta warisan dan pewarisnya sebelum saatnya tiba.[23]

g.      Hukuman yang mengandung makna ibadah, yaitu semua hak yang berkisar antara ibadah dan hukuman, seperti kafarat sumpah, kafarat zihar (menyamakan istri dengan ibu kandung), kafarat membunuh karena tersalah dan lainnya.
4.      Hak Allah SWT. yang berdiri sendiri, tidak bertalian dengan tanggung jawab manusia sebagai hamba-Nya yang wajib dilaksanakan sebagai kepatuhan kepada-Nya . Hak tersebut di antaranya seperlima hasil rampasan perang (ghanimah), harta karun yang terpendam yang ditemukan, dan hasil penambangan. Pengeluaran hak Allah SWT tersebut tidak disyaratkan niat, karena tidak termasuk ibadah. Harta yang seperlima tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan dan kepentingan umum.
 
            Berdasarkan kesepakatan ulama fikih, hukum yamg terkait dengan hak-hak Allah SWT tersebut adalah sebagai berikut Pertama, tidak boleh digugurkan, baik dengan pemaafan, perdamaian, atau pelepasan hak itu. Hak tersebut juga tidak boleh diubah, baik dengan pengurangan atau penambahan atau penggantian dalam bentuk lain. Oleh karena itulah hukuman pencurian tidak dapat gugur disebabkan adanya maaf dari orang hartanya dicuri
.[24].

           Kedua, hak tersebut tidak dapat diwarisi. Ahli waris tidak berkewajiban melaksanakan hak-hak Allah SWT yang tidak dikerjakan oleh pewarisnya sebelum meninggal dunia, kecuali apabila pewaris telah mewasiatkan untuk mengeluarkannya, seperti wasiat untuk mengeluarkan zakat yang belum dibayarnya. Ahli waris juga tidak bertanggung jawab atas tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan oleh pewarisnya .
           Ketiga, berlaku keterpaduan antara hukuman yang menjadi hak Allah SWT. Seseorang yang berzina,[25] beberapa kali atau mencuri berkali-kali, namun belum dikenakan hukuman, maka cukup dihukum sekali saja atas dosa-dosanya yang berkali-kali itu, karena maksud hukuman itu adalah membuatnya jera dan tidak kembali mengerjakan kejahatannya. Tujuan itu dapat terwujud dengan hukuman sekali saja. Pelaksanaan hukuman tersebut adalah kewenangan pemerintah .
          
              Hak yang di dalamnya tergabung Hak Allah SWT dan Hak Manusia, namun Hak Allah SWT lebih dominan. Misalnya, iddah perempuan yang di ceraikan. Di dalamnya terdapat hak Allah SWT yang berbentuk kepentingan dan kemaslahatan umum, yaitu memelihara nasab (keturunan) secara umum dari percampuran. Adapun hak manusia yang ada di dalamnya ialah pemeliharaan kemurnian anak,[26] mantan suami secara khusus dari percampuran dengan nasab orang lain jika mantan istri kawin dengan laki-laki lain sebelum habis masa iddahnya. Hak Allah SWT dalam hal ini lebih dominan, karena pemeliharaan nasab secara umum berkaitan langsung dengan persoalan sosial, tatanan, dan ketertiban. Kemaslahatan yang terkait adalah pemeliharan masyarakat dari berbagai kekacauan dan dekadensi. Contoh lain ialah poemeliharaan manusia terhadap kehidupanya, akalnya, kesehatannya, dan harta bendanya. Didalamnya juga terdapat dua hak namun hak Allah SWT lebih dominan, karena keumuman manfaat pemeliharaan itu kembali pada masyarakat secara keseluruhan. Adapun hukum yang terkait dengan hak-hak ini sama dengan hak Allah SWT lebih dominan.

               Hak yang di dalamnya tergabung Hak Allah SWT dan Hak Manusia, namun Hak manusia lebih dominan. Misalnya, adalah kisas (pembunuhan) terhadap pembunuh dalam pembunuhan sengaja.[27] Sebagai hak manusia, kisas mewujudkan kemaslahatan wali orang yang terbunuh, menyembuhkan sakit hatinya, serta memadamkan api kemarahan dan dendamnya terhadap pembunuh. Syariat islam memandang aspek ini lebih berat, sehingga hak manusia dianggap lebih dominan dan hak Allah SWT. Oleh karena itu, wali korban sebagai pemilik hak, disamping berhak menuntut kisas, diperkenankan untuk memaafkan pembunuh sehingga hukuman kisas tidak dilaksanakan. Selajutnya mereka dapat berdamai dengan pembayaran diat (tebusan/denda), bahkan hal ini dianjurkan oleh Allah SWT dalam al-Quran:
2:178
“…Maka barang siapa yang mendapatkan pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula…”[28]

            Ulama berbeda pendapat dalam menentukan mana di antara dua hak itu yang lebih dominan, ketika nas tidak menejelaskannya. Misalnya hukuman terhadap tindak pidana qazf (menuduh orang lain berbuat zina) merupakan hak Allah SWT jika dilihat dari segi kemanfaatan dan kemaslahatan umum yang ada di dalamnya, yaitu memelihara kehormatan manusia pada umumnya dan memberantas kerusakan dan kejahatan dalam masyarakat. Kemudian ditinjau dari segi menolak aib orang yang dituduh berbuat zina dan mengembalikan kehormatannya, maka hukuman itu merupakan hak manusia perseorangan
Menurut ulama Mazhab Hanafi, dalam kasus seperti ini, hak Allah SWT lebih nyata dan dominan. Oleh karena itu, hukumannya tidak dapat digugurkan disebabkan kemaafan yang diberikan oleh yang dituduh, sementara pelaksanaanya berada di tangan pemerintah, yaitu lembaga peradilan. Namun, menurut Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanbali, dan satu riwayat dari Imam Malik, dalam kasus qazf ini hak manusia lebih dominan. Oleh karena itu, hukumannya dapat digugurkan oleh pemaafan orang yang dituduh berzina.[29]

                Hak Asasi Manusia. Dalam bahasa Indonesia hak “asasi” dijelaskan sebagai hak yang dasar atau pokok, seperti hak hidup dan hak mendapat perlindungan. Ide hak-hak asasi manusia timbul pada abad ke-17 dan ke-18, sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja dan kaum feodal di zaman itu tehadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan sebagai lapisan bawah. Lapisan bawah tidak mempunyai hak-hak. Mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang, sebagai budak yang dimiliki. Sebagai reaksi terhadap keadaan yang pincang ini, timbullah gagasan supaya lapisan bawah itu-karena mereka adalah manusia juga diangkat derajatnya dari kedudukan budak menjadi sama dengan lapisan atas. Muncullah ide untuk menegakkan hak-hak asaasi manusia (HAM). Semua manusia sama, tidak ada budak yang dimiliki; semua merdeka dan bersaudara.[30]

           Namun, jauh sebelum abad ke –17 dan ke –18, telah dikenal berbagi aturan yang mengatur tentang hak-hak asasi manusia. Dalam Kode Hukum Hammurabi, Raja Babylonia (abad ke-18 SM), misalnya, ada indikasi yang membenarkan bahwa dalam masyarakat manusia di dunia Barat telah mulai tumbuh kesadaran akan martabat dan harkat dirinya, sehingga Kode Hukum Hammurabi sengaja diundangkan untuk memberantas kecongkakan sebagian manusia atas sesamanya untuk membawa keadilan bagi seluruh masyarakat.

            Dalam hukum ini dijelaskan bahwa hukuman pembalasan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Kedudukan dan kebebasan kaum wanita diakui sama dengan kaum lelaki. Pihak suami dan istri tidak boleh menggagalkan perkawinan yang sudah dijalaninya atau yang sedang berlangsung. Adapun bagi pelaku zina dikenakan hukuman mati. Seseorang akan dikenakan sanksi pidana apabila ia membangun rumah sedemikian gegabahnya, sehingga runtuh dan menyebabkan orang lain cedera.
               Dalam akar budaya masyarakat Indonesia pun, pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan martabat manusia sudah mulai berkembang. Misalnya, dalam masyarakat Jawa kuna telah dikenal istilah “Hak Pepe”, yaitu hak warga desa yang diakui dan dihormati oleh penguasa setempat, seperti hak mengemukakan pendapat, walaupun hak tersebut bertentangan dengan kemauan penguasa. Piagam Madinah juga mengatur tentang hak-hak asasi manusia (HAM). Dalam Piagam ini dijelaskan bahwa umat Islam diikat dengan tali ikatan agama, bukan berdasarkan suku, asal-ususl, ras dan kedudukan sosial (pasal 1). Kaum Yahudi adalah salah satu umat yang peralel, berdampingan dengan kaum mukmin,[31] dan bebas menjalankan agama mereka, seperti halnya kaum muslim (pasal 25). Orang Yahudi juga berhak mendapat pertolongan dan santunan, sepanjang hak-hak kaum muslim tidak terganggu (pasal 16). Sesama muslim tidak boleh saling membunuh (pasal 14). Tidak ada perbedaan di antara suku-suku yang ada mereka sederajat (pasal 26-35).
          Bagi bangsa Indonesia, menurut Nurcholish Madjid, perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia (HAM) adalah kewajiban bersama. Hal ini sesuai dengan tuntutan nilai-nilai falsafah Pancasila. Semua sila dalam falsafah itu melahirkan kewajiban untuk menegakkan hak-hak asasi, khususnya sila “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Namun, dalam kenyataannya, kesadaran tentang HAM dikalangan masyarakat luas masih merupakan masalah .
Dalam UUD 1945 juga dijelaskan beberapa prinsip dasar tentang HAM .[32] Pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 misalnya, dinyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan karenanya segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
           Hak-hak tiap warga negara sama didepan hukum, hak atas pekerjaan dan penghitungan yang layak (pasal 27), hak kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran, baik lisan maupun tulisan (pasal 28), kebebasan dalam beragama (pasal 29), hak mendapatkan pendidikan (pasal 31, dan hak untuk mendapatkan layanan dan perlindungan kesejahteraan sosial (pasal 34) .
Ide hak-hak asasi manusia juga terdapat dalam Islam. hal ini dapat dilihat dalam ajaran tauhid. Tauhid dalam Islam, menurut Harun Nasution, mengandung arti bahwa yang ada hanya satu pencipta bagi alam semesta. Ajaran dasar pertama dalam Islam adalah la ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah SWT, tiada Pencipta selain Allah SWT). Seluruh alam dan semua yang ada diatas, dipermukaan, dan di dalam bumi adalah ciptaan Yang Maha Esa. Semuanya; manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda tak bernyawa berasal dari Yang Maha Esa .
            Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan kemauan pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman masyarakat.Namun bila tujuan hukum Islam dilihat dari ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah dan Nabi Muhammad, baik yang  termuat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, yaitu untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah  serta menolak segala yang tidak berguna kepada kehidupan manusia. Dengan kata lain tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani individu dan masyarakat. Kemaslahatan dimaksud, dirumuskan oleh Abu Ishak Asy-Syathibi dan disepakati oleh ahli hukum Islam lainnya seperti yang telah dikutip oleh H.Hakam Haq,[33] yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sedangkan Asas-asas dalam Hukum Pidana Islam.
1.      Azas Legalitas
Asas Lealitas adalah tidakada larangan atau hukuman sebelum adanya undang-undang yang mengaturnya.
Sejak lima belas abad yang lalu Islam sudah menerpkan asas legalitas yaitu sejak zaman nabi Muhammad saw , hal ini disebut dalam :
26:208
“ Kami tidak membinasakan suatu negeripun melainkan sudah ada baginnya yang memberi peringatan” [34]
28:59
              “ Tidak adalah tuhanmu membinasakan, kota-kota sebelum dia mengutus diibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka, dan tidak pernah pula kami membinasakan kota-kota kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedzaliman”. .[35]
              Dua ayat tersebut menjadi azas legalitas yang mana suatu negara atau    kota yang tidak ada yang memperingati atau membacakan ayat-ayat dan tidak ada yang melakukan kedzaliman maka Negara atau kota itu tidak boleh menerapkan hukuman pidana, baik itu hudud,qishas, diyat atau ta’zir.
2.      Asas praduga tak bersalah
Asas yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan kejahatan harus dianggap tidak bersalah,[36] sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu.
49:6
Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebab kakamu menyesal atas perbuatanmu itu.[37]
3.      Asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain
Asas ini menyatakan bahwa setiap perbuatan m[38]anusia baik itu perbuatan yang baik atau buruk akan mendapatkan balasan yang setimpal.
             Macam-macam jarimah, dalam hukum pidana Islam ada empat macam jenis jarimah:   Jarimah Hudud, adalah jarimah yang hukumannya telah ditentukan dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul serta menjadi hak Allah smata .Yang termasuk jarimah ini ialah zina adalah melakukan hubungan persetubuhan diluar ikatan pernikahan yang syah secara syara'. Zina merupakan salah satu dosa besar.
           1)      Penetapan Perbuatan zina
Hukum bagi pelaku zina dapat diterapkan jika yang bersangkutan benar-benar melakukannya. Dalam masalah ini Rasulullah SAW benar-benar berhati-hati dalam mentetapkan hukuman ini. Hukuman tida dijatuhkan sebelum yakin bahwa bahwa orang yang dituduh atau mengaku zina benar-benar melakukanya.
          2)      Beberapa dasar untuk menetapkan suatu perbuatan zina:
                   a. Empat orang saksi yang adil. (QS.An Nisa':15)[39]
                   b.Pengakuan Pelaku.
            Dari Jabir bin abdullah Al-Anshari ra. bahwa seorang laki-laki dari aslam datang kepada Rasulullah SAW., dia menceritakan bahwa dia telah berzina. Pengakuannya ini diucapkan empat kali. Kemudian Rasulullah menyuruh supaya orang itu dirajam, maka ia pun dirajam dan orang itu telah mukhson. Jumhur ulama berpendapat bahwa kehamilan saja belum dapat dijadikan dasar penetapan perbuatan zina.

         3)      had zina dapat dijatuhkan jika pelakunya memenuhi syarat:
         a. Pelakunya sudah baligh dan berakal
         b.Perbautan zina dilakukan atas kemauan sendiri
         c.Pelakunya mengetahu bahwa zina adalah haram
·         Terbukti secara syar'i bahwa ia benar-beanr melakukan zina
          4)      Bentuk had zina
Had untuk zina :
a)         Rajam , yaitu hukuman mati dengan dilempari batu hingga meninggal.
   Artinya: " Apabila laki-laki dan perempuan tua (sudah enikah) berzina maka rajamlah keduanya sampai mati sebagai peringatan dari Allah dan Allah maha perkasa lagi Bijaksana."[40] Yang dimasud Mukhsan adalah orang yang memenuhi syarat syarat sebagai berikut: 1.Merdeka.  2.Baligh  3.Berakal. 4.Pernah bercampur dengan suami/istri dalam perkawinan yang sah.

                 b)      Dera 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Had ini diberlaku-kan bagi pelaku zina yang belum pernah bercampur dalam perkawinan yang sah. Berdasarkan Q.S. Al-Nur  :  2. dan juga hadist:" Dari zaid bin khalid al Juhaini dia berata: " Saya mendengar Nabi SAW., menyuruh agar orang yang berzina dan dia bukan mukhsan, didera seratus kali dan diasingkan selama satu tahun."[41]
c)      Dera 50 kali dan diasingkan selama 1/2 tahun, yaitu jika pelaku adalah hamba sahaya. Berdasarkan Q.S. An-Nisa' : 25.
4:25
                       Barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuannya, dan berilah maskawinnya menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[42]


b.      Menuduh zina (al-Qadaf)
Qadzaf secara bahasa artinya adalah melempar. Dalam istilah fiqh yang dimaksud qadzaf adalah melemparkan tuduhan berzina dengan terang-terangan. Allah SWT berfirman[43]: 
24:23
Artinya:" Sesungghnya orang-orang yang menuduh (berzina) wanita yang baik-baik, yang lengah (dari perbuatan keji) lagi beriman, mereka mendapat laknat di dunia dan akhirat dan bagi mereka azab yang besar."
               Had qadzaf, bagi pelaku yang menuduh seseorang yang beriman berzina, maka diancam dengan hukuman dera 80 kali jika ia merdeka dam 40 kali jika ia hamba sahaya, jika kesaksiannya tidak diterima. Sesuai dengan Q.S. Al- Nur : 4 yang artinya: " Orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik (Muhsonaati) berbuat zina dan mereka tidakmendatangkan empat orang saksi,maka deralah mereka dengan delpn puluh kali dera."dan juga Q.S Al- Nur : 25 ;" Dan apabila mereka(budak) telah kawin dan melakukan zina maka bagi mereka separoh hukuman dari yang diberikan pada wanita-wanita yang merdeka yang sudah bersuami."
          Gugurnya had qadzaf, apabila:
a)      Penuduh dapat membuktikan dengan empat orang saksi bahwa tertuduh      telah benar-benar berzina.
b)      Dengan cara li'an jika tertuduh adalah istri penuduh
c)      Pengakuan dari si tertuduh bahwa tuduhan adalah benar.
d.       Minum (khamr): QS.Al- Maidah: 90
5:90
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah... adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. [44]
d.      Pencurian (al-Sariqah)[45]:
5:38
             Pencurian adalah suatu perbuatan mukalaf mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya dan mencapai satu nishab dan orang yang mencuri tiak emmpunyai andil kepemilikan terhadap barang tersebut. Dari definisi  itu , dapat dirumuskan bahwa pencurian yang dikenakan pada  sesorang, harus memenuhi unsur-unsur:
1)      Mengambil harta orang lain
2)      Pengambilannya secara sembunyi-sembunyi
3)      Harta itu disimpan di tempat pnyimpanannya.
4)      Pelaku adalah mukallaf
5)      Barang yang dicuri mencapai satu nishab
6)      Pelaku tidak mempunyai andil kepemilikan atas harta yang dicuri
e.       Perampokan (Hirabah)[46]  .       Murtad (al-Riddah): QS.Ali Imran(3): 85 dan QS.Al Baqarah (2) : 217
g.      Albaghyu :  Dalam  QS. Al- Hujurat : 9 dan Hadist

            Jarimah Qisas, adalah jarimah yang hukumannya sama dengan jarimah yang dilakukan. Yang termasuk jarimah ini ialah pembunuhan dengan sengaja dan penganiayaan dengan sengaja yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya anggota badan. Jarimah Diyat, adalah jarimah yang hukumannya ganti rugi atas penderitaan yang dialami si korban atau keluarganya, yang termasuk jarimah ini ialah pembunuhan tak disengaja yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya anggota badan.[47]

a.       Pembunuhan sengaja: QS al- Baqarah : 178 dan hadist
2:178
 Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu, qishaash, berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.[48]

b.      Pembunuhan semi-sengaja : Hadist
” sesungguhnya diyat kekeliruan dan menyerupai segaja ( pembunuhan dengan cambuk dan tongkat ) adalah seratus ekor onta, diantara empat puluh ekor yang didalam perutnya ada anaknya”.
c.       Pembunuhan tidak sengaja: QS.An Nissa'  : 92 dan Hadist
Q.S.an-Nisa’[4]:92

4:92

Artinya: dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Mahabijaksana.[49] 

1.      Jarimah Ta’zir, adalah jarimah yang tidak dipastikan ketentuannya dalam nash al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Jarimah ta’zir ada yang disebutkan dalam nash, tetapi macam hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa untuk menentukan hukuman tersebut.

Jarimah ta’zir ini dibagi menjadi 3, yaitu :
a.       Jarimah hudud atau qishash/diyat yang syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat. Contohnya, percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, pencurian di kalangan keluarga.
b.      Jarimah yang ditentukan oleh Al-qur’an dan Hadits namun tidak ditentukan sanksinya. Misalnya, penghinaan, saksi palsu, tidak amanah.
c.       Jarimah yang ditentukan oleh ulil amri demi kemaslahatan umum.


             [1] Ali Bek Badawi dalam al-Ahkam al-'Ammah fil Qanun al-Jina'i menyebutkan, dalam hukum konvensional, suatu perbuatan atau tidak berbuat dikatakan sebagai tindakan pidana apabila diancamkan hukuman terhadapnya oleh hukum pidana konvensional.Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan, Jinayah (al-jinayah) berasal dari kata jana-yajni yang berarti akhaza (mengambil) atau sering pula diartikan kejahatan, pidana, atau kriminal.
            [2] Penelitian kepustakaan tentang "Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No.33/Pid. B/2008/PN.Sby Tentang Pencabulan Dalam Perspektif UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Pidana Islam" Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang apa Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby dan.Bagaimana  Perspektif UU No. 23 Tahun 2002 Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid. B/2008/PN.Sby serta Bagaimana Perspektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby.
            [3] Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-wadh’i, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992 M/1412 H).189
            [4] Aunur Rahim Faqih (ed), Ibadah dan Akhlak dalam Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1998).130
[5]Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1991), hlm. 62. Lihat juga: A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 52. Bandingkan: Abdul Qadir Audah.  
               [6] Op Cit,  214-216. Ulasan tentang  Idra’ul hudud  bissubhat .
[7] TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),  186.
[8]Ibid,  188.
                [9] TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),162.
                [10] Haliman, Hukum Pidana Sjari’at Islam menurut Adjaran Ahlus Sunnah, (Djakarta: Bulan Bintang, 1970).129
                 [11] Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1991). 325

               [12] Ketaatan dan kepatuhan tersebut akan melahirkan prilaku atau moral yang sesuai dengan ketentuan hukum tersebut, seperti iman seorang muslim yang kokoh akan melahirkan ketaatan dan kepatuhan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah, dan implikasi dari ketaatan dan kepatuhan itu adalah akhlak karimah.
                [13] Harun Nasution, Theologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986. )  
                [14] Marsum, Jarimah Ta’zir (Perbuatan Dosa dalam Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1989).
               [15]Jarimah ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir,pengertian ta'zir menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran.dan menurut istilah,sebagaimana yang dikemukakan oleh Iman Al Mawardi,pengertiannya sebagai berikut: Ta'zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara'.Secara ringkas ta'zir dapat di katakan bahwa hukuman ta'zir itu adalh hukuman yang belum ditetapkan oleh syara'.melainkan diserahkan kepada ulil amri.baik penentuan maupun pelaksanaannya.dalam menentukan hukuman tersebut,penguasa hanya menetapkan secara global saja.artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta'zir,melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman,dari yang seringan-ringannya sampai seberat-seberatnya.(A.Wardi Muslich 2004 : 19).
Hukuman ancaman (tagdid),teguran (tanbih)dan peringatan. Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta'zir dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong.minsalnya dengan ancaman akan dijilid,dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakanya lagi. Sementara hukuman teguran pernah dilakukan Rosulullah terhadap sahabat abu dzar yang memaki-maki orang lain dengan menghinakan ibunya.maka Rosulullah saw berkata;wahai abu dzar engkau menghina dia dengan menjelek-jelekan ibunya,engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat-sifat jahiliyah.Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari'at islam dengan jalan memberi nasehat kalau hukuman ini cukup membawa hasil.hukuman ini dicantumkan dalam al-Qur'an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
Hukuman pengucilan (al-hajru). Hukuman pengucilan merupakan salah satu hukuman ta'zir yang disyari'atkan oleh Islam.dalam sejarah,Rosullah pernah melakukan hukuman pengecualin terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang tabuk,yaitu ka'ab bin malik,miroroh bin rubi'ah,dan hilal bin umaiyah.mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpak diajak bicara. Hukuman denda ditetapkan juga oleh syariat islam sebagai hukuman,antra lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya,hukuman didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut.  Addul Qodir audah membagi tiga hukuman terhadap jarimah ta'zir yaitu:
1.     Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengadung unsur shubhat atau tidak  memenuhi syarat namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat seperti pencurian harta syirkah,pembunuhan ayah terhadap anaknya dan pencurian yang bukan harta benda.
2.     Jarimah ta'zir dimana jenis jarimah di tentukan oleh nash,tetapi saksinya oleh syariat diserahkan kepada penguasa seperti sumpah palsu,sakit palsu,mengurangi, timbangan,menipu,mengikari janji,menghianati amanah,dan menghina agama.
3.     Jarimah ta'zir dimana jarimah dan saksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat.dalam hal ini akhak menjadi pertimbangan yang paling utama minsalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup ,lalu lintas,dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.

            [16] Tingkat kemampuan seorang mumayyiz. Kemampuan ‘aql atau nalar,adalah hal yang di perhitungkan pertama kali pada seorang anak untuk di sebut mumayyizBulugh (tanda-tanda pubertas fisik) dan ciri khasnya. Saat anak beranjak dewasa, menjadi lebih mudah bagi kita untuk mengetahui dengan tepat tingkat perkembangannya. Pada tingkat tertentu dalam kehidupan seorang anak, berbagai macam aspek perkembangannya dapat diamati. Masa pubertas dapat dengan mudah terlihat jika seorang anak berada dalam pengamatan yang terus menerus dan seksama. Istilah bulugh yang juga dikenal dengan istilah pubertas merupakan masa transisi fisik dari fase kanak-kanak menjadi fisik orang dewasa dengan ditandai oleh gejala-gejala fisik—penomena mimpi bagi laki-laki dan haid bagi kalangan perempuan. Adapun klasifikasi umur yang menginjak era pubertas/transisi fisik menurut para ahli hukum, sebagaiman di rangkum oleh Dadan Muttaqien, bahwa sejauh ini masa pubertas tidak pernah dicapai sebelum usia Sembilan tahun. Mereka juga menekankan bahwa masa puber tidak selalu terjadi di usia ini pada setiap anak, karena banyaknya factor-faktor yang munkin dapat menunda proses kedewasaan fisik. Oleh karena itu sebagian besar ahli hukum seperti: al-Awza’I, Imam Ahmad, al-Syafi’I, Abu Yusuf, dan Muhammad, semua berkesimpulan bahwa lima belas tahun adalah usia paling lambat bagi seseorang untuk mencapai kematangan fisik, terlepas dari tidak tampaknya tanda-tanda fisik. Rusyd (kedewasaan mental) . Hukum juga menekankan pentingnya pencapaian rusyd atau kedewasaan mental, yaitu baik kesempurnaan bulugh maupun kematangan mental, dalam arti mampu untuk berfikir (‘aql).

             [17]  Allah Swt berfirman (yang artinya): ”Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh (al hulum=mimpi), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin“  (QS. An-Nur[24]:59)Syariah Islam mengarahkan anak sesuai masa baligh. Proses pendidikan anak dalam Islam, pada dasarnya mengarahkan anak agar dewasa secara pemikiran (aqil) seiring dengan kedewasaannya secara biologis (baligh). Ajaran Islam yang memerintahkan untuk mengajari anak  shalat pada usia tujuh tahun (HR Ahmad, at Tirmidzi, Thabrani dan Hakim), dan diperbolehkannya memukul tanpa menyakitkan anak  yang berusia sepuluh tahun bila ia tak mau sholat (HR Ahmad, Tirmidzi, Thabrani dan Hakim) hingga  ditetapkannya usia baligh sudah terbebani hukum syariah (mukallaf).Selanjutnya adalah pembahasan pertanyaan saya sendiri tentang hukuman bagi seorang anak yang melakukan tindak kejahatan. Di dalam Islam, seorang anak yang berbuat kejahatan, tidak dikenai hukuman, kecuali yang berkaitan dengan hukuman-hukuman tertentu yang sudah ditetapkan oleh Allah swt. Misalnya, jika seorang anak masih belum shalat meskipun umurnya telah mencapai 10 tahun, maka dia harus dipukul.
Keluarga, masyarakat dan negara bertanggung jawab terhadap kriminalitas yang dilakukan anak-anak saat ini. Tingkat tanggung jawabnya bertambah dan puncaknya berada di negara. Menyerahkan pendidikan anak kepada keluarga saja belum cukup, apabila masyarakat dan negara tidak menerapkan aturan dan sanksi untuk melindungi anak-anak dari tindak kejahatan dan berbuat jahat. Dalam pandangan Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang dapat melindungi anak dan mengatasi persoalan kejahatan anak ini secara sempurna.  Ini karena Islam telah menjadikan berbagai hukum yang menjauhkan anak dari tindak kriminal dan mewajibkan negara untuk menerapkan hukum tersebut.

                [18]. QS.al-Isra’ (17)  :78

                 [19] Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, Fiqih Kontemporer,(terj.Ibnu Rasyid) Inas Media, (Surakarta: 2008)  17
               [20] Tentang “ Hakim, Mahkum Fih, Mahkum ‘Alaih, dan Logika Hubungan antara Hakim dan Mukallaf serta Ragam-ragam Hukum yang ditentukan kepada Mukallaf”. Dimana makalah ini memaparkan bahwa Hakim adalah Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum. Mahkum Fih adalah perbuatan mukallaf yang dikenakan hukum. Sedangkan Mahkum ‘Alaih adalah subyek hukum yaitu mukallaf. Adapun hubungan antara hakim dan mukallaf sangat berhubungan erat. Adanya hukum, hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih menjadikan terlaksananya hukum syar’i.
Sedangkan ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf meliputi hukum taklifi dan hukum wadh’i . Dimana hukum taklifi dibagi menjadi 5 yaitu :
1. Wajib 2. Haram 3. Sunat 4. Mubah  5. Makruh Dan Hukum wadh’i dibagi menjadi 7 yaitu : 1. Sebab  2. Syarat  3. Mani’ 4. Syah 5. Batal 6. ‘Azimah 7. Rukhshah
               [21] Karena yang dimaksudkan dengan sah adalah tercapainya ketentuan syara’ dalam suatu perbuatan, dan batal atau fasad, tidak terdapatnya pengaruh syara’ dalam perbuatan tersebut.
           [22] Sumber hak adalah Allah SWT, karena Allah SWT adalah pembuat syariat, undang-undang dan hukum atas manusia dan seluruh alam. Oleh karena itu, hak selalu terkait dengan kehendak Allah SWT dan merupakan pemberian-Nya, yang dapat diketahui berdasarkan sumber hukum Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur’an dan sunah Rasulullah Saw.
               [23] Ibid, 20
                [24] Tercapainya perdamaian antara pencuri dengan pemilik harta setelah perkaranya diajukan ke muka hakim
[25] Sebuah survey yang melibatkan rata-rata 100 responden remaja usia 15-24 tahun yang ada di setiap kecamatan di Kota Bandung, pernah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan 25 Messenger Jawa Barat, selama Juni 2008 lalu. Hasilnya, sekitar 56% remaja Kota Bandung sudah pernah berhubungan seks bebas (berzina) di luar nikah, dengan pacar, teman, dan pelacur. Perilaku remaja yang mengadopsi seks bebas seperti itu paling banyak dipengaruhi oleh tontonan film porno, termasuk dari internet dan melalui telepon seluler.  Perilaku seks bebas di kalangan remaja tidak hanya dipraktekkan remaja kota besar seperti Jakarta dan Bandung, tetapi juga di kota-kota lain yang bukan tergolong kota metropolitan. Misalnya, sebagaimana dilakukan oleh seorang siswi salah satu SMK di Praya, Kabupaten Lombok Tengah, NTB. Siswi berusia 17 tahun itu, untuk bisa melakukan seks bebas (berzina) dengan pacarnya yang berusia 21 tahun, harus pergi ke kota yang agak besar (Mataram), di sana mereka menyewa sebuah kamar di salah satu hotel kelas melati. Seks bebas yang dilakukannya itu berlangsung siang-siang sekitar jam 11:00 waktu setempat. Keduanya terjaring razia yang dilakukan aparat Polsek Mataram bersama Satpol PP Kota Mataram dan aparat kecamatan setempat. Siswi SMK yang masih berusia 17 tahun itu, mengaku sedang menjalani liburan pasca ujian tengah semester .(http://kompas.co.id/read/xml /2008/12/16/13390917/siangsiang.ngamar.siswi.smk.digaruk)

               [26] Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, Op.Cit., 176
                  [27] Adanya kemaslahatan umum dalam  kisas, yaitu memelihara darah, menjaga keamanan, dan memperkecil tindak pidana dan kejahatan, maka kisas merupakan hak Allah SWT.
                   [28] Q.S. al-Baqaarah (2) :178
  [29] Menurut hasil survey yang dilakukan sebuah lembaga di tahun 2008, diperoleh data sekitar 63% remaja mengaku sudah melakukan hubungan seks bebas (berzina) sebelum nikah. Responden survey meliputi remaja SMP dan SMA di 33 provinsi di Indonesia. Tiga tahun sebelumnya (2005), sebuah survey yang diselenggarakan sebuah perusahaan kondom, mengungkapkan data sekitar 40-45% remaja berusia antar 14-24 tahun menyatakan bahwa mereka telah berhubungan seks bebas (berzina) di luar pernikahan. Survey tersebut dilaksanakan di hampir semua kota besar di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. (lihat tulisan berjudul Konser Musik, Zina dan Kerusuhan, December …) Bila data survey tersebut reliable dan valid, maka dari dua data di atas menunjukkan adanya kenaikan yang cukup signifikan. Dari 40-45 persen di tahun 2005, menjadi 63% di tahun 2008. Artinya, ada kenaikan sekitar hampir 30 persen dalam jangka waktu ‘hanya’ tiga tahun.
              [30] Abul A’la Al-Maududi, Kejamkah Hukum Islam, (terj.) Gema Insani Press ,(Jakarta :2001) 197
             [31] Ibid, 225
              [32] Munib Muhammad dan Islah Bhrawi,  Islam Dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurkholish Madjid, PT.Gramedia Pustaka Utama, ( Jakarta: 2011) 8
                  [33] Abu A’la Maududi, Op.Cit., 251
                  [34] Q.s. al-Syu’ara 208
                  [35] Q.s. al-Qashash  : 59  
                [36]  Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law. Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum. Asas ini ada dalam Pasal 14 [2] Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil & Hak Politik (1966) yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan kalimat ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.Indonesia-pun mengakui dan memberlakukan Konvensi ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights [Kovenan Internasional Tentang hak-hak Sipil dan Politik]. Konvensi ini tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang ; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah atau (Dinyatakan) bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
                [37] QS. al-Hujurat (49) : 6
                  [38] “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (biji atom), niscaya dia akan menerima (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah (biji atom) pun, niscaya dia akan menerima (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah [99]:7-8)
                  [39] Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. QS. an-Nisa’ (4) : 15
             [40] HR Ahmad
             [41] HR Bukhari
             [42] QS. al-Nisa’ (4) : 25
            [43] QS. Al-Nur (24) : 23

                [44] Q.S. Al- Maidah (5):90
                  [45] QS.  Al -Maidah (5): 38

                  [46] QS Al-Ma’idah (5) : 33
                  [47] Nurkholish Madjid mempunyai konsep bahwa manusiam adalah alam jagat raya kecil, mikro kosmos, yang menjadi cermis dari alam jagat raya besar.Manusia adalah puncak penciptaan, yaitu khalifah di bumi. Lihat Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, Op.Cit.,52
                  [48] Q.S.Al-Baqarah(2): 178, lihat juga QS Al- Isra (17) :33

              [49] Mengenai "ketidak sengajaan" dalam pembunuhan yang tersebut dalam ayat ini, ialah ketidak sengajaan yang disebabkan karena kurang berhati-hati yang sesungguhnya dapat dihindari oleh manusia yang normal. Misalnya apabila seorang akan melepaskan tembakan atau lemparan sesuatu yang dapat menimpa atau membahayakan seseorang, maka ia seharusnya meneliti terlebih dahulu, ada atau tidaknya seseorang yang mungkin dikenai pelurunya tanpa sengaja. Dengan demikian jelaslah, bahwa tidak adanya sikap berhati-hati itulah yang menyebabkan pembunuh itu harus dikenai hukuman seperti tersebut di alas, walaupun ia membunuh tanpa sengaja, agar dia dan orang lain selalu berhati-hati dalam segala pekerjaannya terutama yang berhubungan dengan keamanan jiwa manusia. Adapun diat atau denda yang dikenakan kepada pembunuh, dapat dibayar dengan beberapa macam barang pengganti kerugian, yaitu dengan seratus ekor unta, atau dua ratus ekor sapi, atau dua ribu ekor kambing, atau dua ratus lembar pakaian atau uang seribu dinar atau dua belas ribu dirham. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Jabir, dari Rasulullah saw disebutkan sebagai berikut: Artinya: "Bahwasanya Rasulullah saw telah mewajibkan diat itu sebanyak seratus ekor unta kepada orang yang memiliki unta, dan dua ratus ekor sapi kepada yang memiliki sapi dan dua ribu ekor kambing kepada yang memiliki kambing. dan dua ratus perhiasan kepada yang memiliki perhiasan"H.R. Abu Daud.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook