Wednesday, June 11, 2014

TINJAUAN TEORETIS TENTANG HUKUMAN FISIK MENURUT HUKUM ISLAM




 TINJAUAN TEORETIS TENTANG HUKUMAN FISIK
  MENURUT HUKUM ISLAM
A.Sumber Hukum Islam

                Pembahasan tentang sumber hukum Islam, termasuk  pembahasan masalah paling pokok (ushul) karena dari sumber-sumber itulah terpancar seluruh hukum/syariat Islam. Oleh karenanya untuk menetapkan sumber syariat Islam harus berdasarkan ketetapan yang qath’i (pasti) kebenarannya, bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni).[1] Allah SWT berfirman:
17:36
Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya.” [2]
Ayat ini menerangkan bahwa
10:36
Kebanyakan mereka persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.”Masalah ini termasuk masalah pokok (ushul), sebab menjadi dasar bagi seorang Muslim untuk menarik keyakinan terhadap  hukum-hukum amaliahnya. Apabila landasan suatu hukum sudah salah, maka seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya menjadi salah pula. Oleh sebab itu menetapkan sumber syariat Islam tidak dapat dilakukan berdasarkan persangkaan ataupun dengan dugaan belaka. Berdasarkan pengertian di atas maka yang memenuhi syarat untuk digunakan sebagai sumber pengambilan dalil-dalil syar’i adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Shahabat dan Qiyas (yang mempunyai persamaan illat syar’i).
Hal yang paling mendasar pada syari’at Islam adalah:

1.Al-Qur’an sebagai sumber hukum

            Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasulullah saw dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi seluruh ummat manusia, di samping merupakan amal ibadah bagi yang membacanya. Al-Qur’an diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang artinya diriwayatkan oleh orang sangat banyak semenjak dari generasi shahabat ke generasinya selanjutnya secara berjamaah. Apa yang diriwayatkan oleh orang perorang tidak dapat dikatakan sebagai Al-Qur’an. Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam telah berkali-kali mencoba menggugat nilai keasliannya. Akan tetapi realitas sejarah dan pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan. Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan karangan Muhammad saw ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an tetap menjadi mu’jizat sekaligus sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam sepanjang masa dan sebagai sumber segala sumber hukum bagi setiap bentuk kehidupan manusia di dunia.

2.Kehujjahan
Al-Qur’an

             Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia, serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan kalam Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun. Allah SWT berfirman:
17:88
Katakanlah: Sesungguhnya apabila jin dan manusia apabila berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an ini. Pasti mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sekalian yang lain. [3]
2:23
“(Dan) apabila kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang benar. [4]

            Cukup kiranya pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang Quraisy di masa Rasulullah
SAW, seorang ahli syair yang tak tertandingi, yang menjadi musuh Nabi pada awalnya berkata: Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an itu terdapat sesuatu yang lezat, dan pula keindahannya, apabila di bawah menyuburkan dan apabila di atas menghasilkan buah. Dan manusia tidak akan mungkin mampu berucap seperti Al-Qur’an.” Selain dari bahasanya, isi Al-Qur’an sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya. Misalnya perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman (QS. Al-Fath), juga tentang akan menangnya pasukan Romawi atas Parsi (QS. Ar-Ruum) dan sebagainya. Selain isi Al-Qur’an menunjukkan tentang kejadian sejarah terdahulu yang sesuai dengan fakta, atau kisah tentang sebagian Iptek, misalnya penyerbukan oleh lebah, terkawinkannya bunga-bunga oleh bantuan angin dan sebagainya. Yang pada akhirnya terbukti kebenarannya. Semua itu menunjukkan bahwa Al-Qur’an memang bukan datang dari manusia melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan bahkan keharusan untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan kehidupan dan hukum manusia. (Lihat juga pembuktian kesahihan Al-Qur’an pada materi “Proses Keimanan”)

3.Ayat al- muhkamat dan al- mutasyabihat
Dalam Al-Qur’an terdapat  ayat-ayat yang dalam kategori muhkamat dan mutasyabihat sebagaimana firman Allah SWT:

3:7
Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. [5]

           Ayat Muhkamat adalah ayat-ayat yang maksudnya dapat diketahui secara nyata dan tidak dapat ditafsirkan lagi. Sedangkan ayat Mutasyabihat adalah ayat yang mempunyai arti terselubung (tersembunyi) yang dapat ditafsirkan karena mengandung beberapa pengertian. Keberadaan dan sifat Allah, terdapatnya surga dan neraka, kejadian hari kiamat, diutusnya para rasul dan nabi, para malaikat dan tugas-tugasnya, kesemuanya dijelaskan melalui ayat-ayat yang muhkamat. Termasuk dalam ayat-ayat muhkamat adalah haramnya riba dan zina dalam segala bentuknya, wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri (dengan syarat tertentu), wajibnya terikat dengan hukum-hukum Allah dan sebagainya.
 Sedangkan ayat-ayat yang Mutasyabihat banyak terdapat pada ayat yang berbicara tentang mu’amalah seperti QS. Al Baqarah 228 (lafadz quru’ mempunyai dua arti, yaitu arti haid dan suci), dan QS. Al Baqarah 237 (lafadz yang memegang ikatan nikah ada dua pengertian, bisa suami atau wali dari pihak istri).
4.Tafsir Al-Qur’an
            Tafsir adalah menerangkan maksud pada lafadz. Misalnya firman Allah SWT ‘laa raiba fiihi’ (tidak ada keraguan di dalamnya) dijelaskan dengan lafadz lain “laa syakka fiihi” (tidak ada kebimbangan di dalamnya). Tafsir Al-Qur’an merupakan penjelasan makna kata demi kata dalam susunan kalimatnya serta makna susunan kalimat sebagaimana adanya. Terkadang suatu ayat dijelaskan oleh ayat lainnya (tafsir ayat bil ayat) atau oleh hadits Rasulullah saw tentang suatu ayat (tafsir bis Sunnah), atau penjelasan para shahabat dan ahli ilmu terhadap suatu ayat.

            Penjelasan kata-kata dan susunannya itu terbatas hanya dalam bahasa Arab, sama sekali tidak boleh ditafsirkan dalam bahasa lain. Selain menurut kenyataannya Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Arab yang paling baik dan murni, tidak ada jalan lain dalam memahami Al-Qur’an melalui bahasa yang lain.
Dengan demikian Al-Qur’an tidak bisa tidak hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa Al-Qur’an itu sendiri yaitu bahasa Arab.
Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak boleh diatur kecuali menurut aturan Allah SWT, maka tidak ada alternatif lain bagi kita melainkan berusaha semakimal mungkin memahami Al-Qur’an, menghayati dan mengkaji isinya sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an itu sendiri.
13:37
“(Dan) Demikianlah Kami telah menurunkan Al-Qur’an itu sebagai    peraturan yang benar, dalam bahasa Arab...” [6]  Kelemahan umat dalam mengkaji dan menghayati isi kandungan Al-Qur’an menyebabkan ketidakakraban dengan Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa umat sedang berada di luar ketentuan Allah SWT.

          
Penelitian  ini, melakukan kajian terhadap  sebahagian, isi kandungan Al-Qur’an menuntut persyaratan-persyaratan tertentu. Di samping menuntut keikhlasan dan kesucian niat juga membutuhkan penguasaan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemahaman Al-Qur’an. Apabila persyaratan itu tidak terpenuhi,  dapat menimbulkan pemahaman yang keliru dan merugikan. Walaupun begitu, terpenuhinya persyaratan ini pun tidaklah mutlak menjamin kebenaran hasil suatu kajian, namun begitu haruslah berusaha semaksimal mungkin, untuk mendekati kebenaran yang dimaksud Al-Qur’an.

          
Kajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an bukanlah menjadi tujuan akhir. Ia hanya merupakan ‘jembatan’ untuk memahami dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Sedangkan tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian maka apa yang   dilakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qur’an hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan.

5.Mengenal al-Sunnah

            Sunnah adalah suatu perkataan, atau ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan/persetujuan/diamnya) Rasulullah SAW.,terhadap sesuatu perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya. Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang nilai kebenarannya sama dengan Al-Qur’an karena sebenarnya Sunnah juga berasal dari wahyu. Firman Allah SWT:
53:3
53:4
 “Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu hanyalah firman yang diwahyukan (kepadanya).” [7]

            Makna ayat di atas
ialah, apa yang disampaikan Rasulullah saw (Al-Qur’an dan As-Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah SWT:

6:50
“(Katakanlah Muhammad) ...aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku...”[8]
              Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah saw tidak melakukan suatu tindakan kecuali berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan agar manusia mengikuti apa yang disampaikannya. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa selain dari Al-Qur’an, Rasulullah saw juga menerima wahyu yang lain, yaitu Al Hikmah yang pengertiannya sama dengan As-Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau pun ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah yang bermakna As-Sunnah dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 164, QS. Al-Jumu’ah: 3, dan QS. Al-Ahzab: 34.


            Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami dan diyakini bahwa kehujjahan As-Sunnah sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat pasti (qath’i) kebenarannya; sebagaimana Al-Qur’an itu sendiri.

6.Fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’an

Adapun mengenai fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Menguraikan
kemujmalan (keumuman) Al-Qur’an.

            Mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya (dalalah/ penunjukannya) yaitu dalil yang belum jelas maksud dan perinciannya. Misalnya perintah shalat, membayar zakat dan menunaikan haji. Al-Qur’an hanya menjelaskannya secara global, tidak dijelaskan tata cara pelaksanaannya. Kemudian Sunnah secara terperinci menerangkan tata cara pelaksanaan shalat, jumlah raka’at, aturan waktunya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan shalat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain.

             Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama besar dari Andalusia pada masa Abbasiyah menjelaskan: Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat ungkapan yang seandainya tidak ada penjelasan lain, maka kita tidak mungkin melaksanakannya. Dalam hal ini rujukan kita hanya kepada Sunnah Nabi saw. Adapun ijma’ hanya terdapat dalam kasus-kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib kembali kepada Sunnah.”

2. Pengkhususan Keumuman Al-Qur’an.

Umum (‘Aam) ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu makna yang pantas dengan satu ucapan saja. Misalnya ‘Al Muslimun’ (orang-orang Islam), ‘Ar rijaalu’ (orang-orang laki-laki) dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an itu terdapat banyak lafadz yang bermakna umum kemudian Sunnah mengkhususkan
4:11

“...Allah mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak laki-laki adalah dua bagian dari anak perempuan...” [9]

         
  Asbab al-nuzul,[10] ayat ini ialah, pada suatu hari,Umrah binti Hazm, istri Sa’d ibn al-Rabi, menghadap kepada Rasulullah SAW lalu berkata seraya menunjuk kepada dua anak kecil di sisinya, “Wahai Rasulullah, ini adalah dua putri Sa’d ibn Al-Rabi. Ayah mereka gugur di medan perang Uhud sehingga mereka kini yatim. Derita semakin berat karena paman mereka mengambil harta mereka tanpa menyisakan sedikit pun. Tentu saja kedua anak ini tidak akan bisa menikah tanpa  harta.” Rasulullah kemudian terbayang sosok dan kewiraan Sa’d ibn Al-Rabi ketika berperang melindungi beliau. Selain itu Rasul juga iba pada kedua anak itu. Namun beliau belum bisa menetapkan keputusan yang akan berkaitan dengan hak waris dari ayah mereka. Akhirnya Rasul bersabda, “Allah akan menurunkan ketetapan mengenainya.”
             Tidak lama berselang, Allah menurunkan ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah yaitu Surat An Nisa ayat 11 bahwa“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

           Menurut ayat tersebut di atas, setiap anak secara umum berhak mendapatkan warisan dari ayahnya. Jadi setiap anak adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang Sunnah yang mengkhususkannya. Sabda Rasulullah saw: “Kami seluruh Nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.” [11] “Seorang pembunuh tidak mendapat warisan.” [12] Menurut hadits di atas Nabi tidak meninggalkan warisan bagi anak-anaknya serta melarang seorang anak yang membunuh ayahnya mendapat warisan dari ayahnya.


3. Taqyid (Pensyaratan) terhadap ayat Al-Qur’an yang Mutlak
Mutlak ialah lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis, misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya:“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan (keduanya).” [13]
             Ketentuan tambahan (penyempurnaan) yang dilakukan Rasulullah saw. Maka sikap seorang Muslim terhadap hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
24:51
Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya supaya Dia memberikan ketentuan hukum diantara mereka, tidak lain hanya mengatakan: Kami mendengar dan Kami mematuhinya. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia.” [14]

           Penggunaan nash As-Sunnah untuk masalah aqidah haruslah nash yang bersifat qath’i, karena tidak boleh adanya keraguan sedikitpun dalam masalah aqidah/i’tiqadiyah. Sedangkan untuk masalah hukum/Syari’ah masih dapat digunakan nash As-Sunnah yang mencapai derajat dzanni (prasangka kuat atas kebenarannya). Hal ini karena dalam masalah Syari’ah tidak diharuskan suatu keyakinan yang pasti terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah i’tiqadiyah).

      
      Alasan Ijma’ Shahabat dijadikan sumber hukum Islam.[15]Dari segi mungkin tidaknya ‘seluruh orang yang berijma’ berkumpul, saling mengetahui ijma’ dan dapat mengkoreksi bila diketahui kesalahannya, maka hal ini hanya mungkin terjadi pada masa shahabat, tidak pada masa selain mereka. Sebagai contoh, ijma’ ulama. Maka untuk terwujudnya ijma’ ulama, haruslah diperjelas ‘siapa saja ulama’ itu; apakah ulama yang sudah sering digunakan untuk ‘membuat hukum pesanan’ juga termasuk di dalamnya? Akan pasti benarkah ijma’ mereka tersebut?
              Benarkah semua ‘ulama’ tadi mengetahui dan menyetujui ijma’ tersebut? Tidak adakah yang selanjutnya menarik atau membatalkan ijma’nya tadi sampai ia meninggal? Dan mungkinkah para ulama (seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia) mampu berkumpul bersama membahas suatu masalah baru? Masih banyak yang tidak bisa terjawab selain oleh para shahabat, padahal semua hal tadi merupakan syarat sahnya sebuah ijma’ oleh suatu kelompok. Karena ketidakmungkinan itu pula yang pada akhirnya muncul istilah ‘jumhur ulama’; artinya kebanyakan ulama berijtihad dengan hasil serupa ter-hadap suatu masalah. Jumhur berbeda dengan ijma’.Banyaknya pujian kepada para Shahabat secara jama’ah, baik tercantum dalam Al-Qur’an maupun hadits (keduanya dalil yang qath’i kebenarannya). Firman Allah.[16] Bahwa Nabi Muhammad SAW, bersikap tegas terhadap orang kafir dan lemah lembut terhadap sesama kaum muslimin.
QS. At-Taubah: 100
9:100

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.[17]


59:8

bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.[18]
 Begitu pula sabda Rasulullah saw:
“Sesungguhnya aku telah memilih para shahabat-ku atas segenap makhluk, selain para nabi.” [19]  “Para shahabatku itu ibarat bintang pada siapapun (di antara mereka) kalian turuti, maka akan mendapatkan petunjuk.” [20]

            Petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat menunjukkan suatu kepastian tentang kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai suatu jama’ah, bukan secara pribadi-pribadi) sehingga apabila mereka bersepakat atas suatu masalah, maka hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji para Shahabat tersebut bersifat qath’i sehingga kita bisa menentukan bahwa ijma’ shahabat dapat digunakan sebagai dalil syara’.

             Sesungguhnya para shahabat merupakan generasi yang mengumpulkan, menghafalkan dan menyampaikan Al-Qur’an beserta Sunnah pada generasi berikutnya. Di samping itu para shahabat merupakan orang-orang yang hidup semasa Rasulullah saw, hidup bersama, mengalami kesulitan dan kesenangan secara bersama-sama. Merekalah yang mengetahui kapan, dimana, dan berkaitan dengan peristiwa apa suatu ayat Al-Qur’an diturunkan. Merekalah yang mengetahui Sunnah Rasulnya, mengalami dan melihat sendiri kehidupan kaum Muslimin generasi pertama tatkala Rasulullah masih hidup. Lalu adakah generasi yang lebih baik yang pernah dilahirkan manusia di muka bumi ini selain mereka (para shahabat)? Ijma’ siapa lagi selain ijma’ mereka yang lebih baik dan lebih kuat?

           Memang tidak mustahil para shahabat pun melakukan kesalahan, sebab mereka pun tetap manusia yang tidak ma’shum. Akan tetapi secara syar’i mereka mustahil bersepakat atau berijma’ atas suatu kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi kesalahan dalam ijma’ mereka tentang suatu persoalan maka tentu akan terdapat kesalahan dalam Islam, dalam Al-Qur’an dan Hadits sebab merekalah yang menyampaikan Al-Qur’an dan menuturkan Hadits Rasulullah saw pada generasi berikutnya. Bahkan sebenarnya mereka pulalah yang memberitahukan Islam kepada generasi selanjutnya. Karenanya kesalahan dalam ijma’ shahabat adalah mustahil terjadi secara syar’i.

7. Ijma’ Shahabat

Salah satu ijma’ shahabat terpenting adalah pengumpulan Al-Qur’an menjadi mushaf. Al-Qur’an dalam bentuk sekarang ini merupakan hasil kesepakatan (ijma’) para shahabat. Bersamaan dengan ini Allah SWT berfirman:
15:9
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya.” [21]
41:42
Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya.” [22]

          Dari kedua ayat tersebut, Allah memastikan bahwa mushaf Al-Qur’an yang ada kini --yang merupakan ijma’ para shahabat-- dijamin kebenarannya. Dengan kata lain melalui tangan-tangan para shahabatlah, Allah menjaga kebenaran Al-Qur’an. Jika ada kemungkinan salah dalam ijma’ shahabat, berarti ada kemungkinan salah dalam Al-Qur’an sekarang. Padahal hal ini adalah mustahil terjadi. Dengan demikian secara syar’i mustahil terjadi kesalahan dalam ijma’ shahabat. Inilah dalil yang pasti bahwa ijma’ shahabat merupakan dalil syar’i. Contoh lain yang mashur tentang ijma’ shahabat adalah keharusan adanya seorang khalifah yang akan memimpin dan mengurus seluruh kebutuhan kaum muslimin, melindungi, dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana yang dilakukan para shahabat tatkala Rasulullah saw wafat.

8. Qiyas

            Menurut para ulama ushul, qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nashnya dengan suatu kejadian yang sudah ada nash/hukumnya, karena disebabkan adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat (sebab) hukumnya,menurut ushul al-fiqhi. [23] Alasan qiyas dijadikan sumber hukum, ialah  qiyas digunakan sebagai sumber dalil syar’i karena dalam qiyas yang menjadi dasar pengambilan hukum adalah nash-nash syar’i yang memiliki kesamaan illat. Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar keberadaan hukum adalah illatnya, maka apabila ada kesamaan illat antara suatu masalah baru dengan masalah yang sudah ada hukumnya, maka hukum masalah yang baru tersebut menjadi sama.

              Maka bila illat yang sama terkandung dalam Al-Qur’an berarti dalil qiyas dalam hal tersebut adalah Al-Qur’an. Demikian pula apabila illat yang sama terkandung dalam Sunnah dan Ijma’ Shahabat maka yang menjadi dalil qiyas adalah kedua hal tersebut. Disamping itu ada beberapa hadits Rasulullah yang mengisyaratkan penggunaan qiyas sebagai dalil syara’. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Seorang wanita kepada Rasulullah dan berkata: ‘Ya Rasulullah, Ibuku telah meninggal, sedang ia belum menunaikan puasa nadzar, apakah aku harus menggantinya?’ Kemudian Rasulullah bersabda:
‘Bagaimana jika ibumu mempunyai hutang, sedang ia belum membayarnya, apakah kamu akan membayar hutangnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka bersabda Rasulullah saw: ‘Maka puasalah untuk (memenuhi) nadzar ibumu’.”[24] Dan Imam Daruquthny meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:
“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa bapaknya meninggal, sedangkan ia berkewajiban menunaikan ibadah haji. Dia bertanya: ‘Apakah aku harus menghajikan bapakku?’ Maka Rasulullah berkata: ‘Bagaimana jika bapakmu punya hutang, apakah kamu harus membayarnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka Rasulullah berkata ‘Berhajilah untuknya’.” Dalam dua hadits tersebut Rasulullah mengumpamakan atau mensejajarkan persoalan nadzar, haji, dengan hutang, yang sama-sama harus dipenuhi.

8.Ruang lingkup pembahasan qiyas

            Sebagai contoh, mengadakan transaksi jual beli tatkala adzan shalat Jum’at merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dalam nash, yaitu haram, berdasarkan ayat:
62:9
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan tinggalkanlah jual beli.”[25]

             Illat pada ayat di atas adalah karena hal tersebut melalaikan shalat. Oleh karena itu sewa menyewa, transaksi perdagangan maupun perbuatan lainnya yang mempunyai kesamaan illat, yaitu melalaikan shalat, maka perbuatan tersebut hukumnya diqiyaskan dengan perbuatan jual beli di atas, yaitu haram.Berdasarkan kaidah syara: Sesungguhnya hukum-hukum tentang ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq tidak dapat direka-rekayasa, semua ketentuannya wajib sesuai dengan nash/ketentuan syara’ semata”. Jadi ruang lingkup daripada qiyas hanya pada hal-hal (masalah) yang memiliki kesamaaan illat di dalamnya. Sedangkan di dalam masalah pakaian, makanan, minuman, ibadah dan akhlak di dalamnya tidak mempunyai illat, karena masalah ini sudah jelas nash syara’nya sehingga tidak bisa diqiyaskan.
             Setiap qiyas mempunyai empat rukun:

a. Asal (pokok).

              Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Asal disebut “maqish ‘alaih” (yang menjadi tempat mengqiyaskan), atau “mahmul ‘alaih” (tempat membandingkannya), atau “musyabbah bih” (tempat menyerupakannya)

b. Far’u (cabang).
Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, dan peristiwa itulah yang hendak disamakan hukumnya dengan asalnya. Ia juga disebut ‘maqish’ (yang diqiyaskan) dan ‘musyabbah’ (yang diserupakan).
c. Hukum asal.
Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash atau dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
d. ‘Illat.

            Yaitu suatu sifat yang terdapat pada suatu peristiwa yang asal. Yang karena sifat itu, maka peristiwa asal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena sifat itu terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabaang itu dengan hukum peristiwa asal. Rukun qiyas yang keempat adalah yang terpenting untuk dibahas, karena illat qiyas merupakan asasnya. Demikianlah gambaran ringkas tentang qiyas. Karena pembahasan di sini hanya bersifat global maka pembaca masih sangat perlu melanjutkan kajian ini dengan kajian yang dalam dan terperinci bila ingin mendapat pemahaman yang menyeluruh dan mendalam.
B.Karakteristik hukum Islam
1.Moderat.
             Karakteristik Hukum Islam adalah moderat, umatnya juga  umat yang moderat karena Islam yang dianutnya juga moderat. Islam adalah agama moderat karena merupakan agama terakhir dan penutup seluruh agama. Agama-agama sebelumnya boleh berajaran ekstrem; misalnya memerangi materialisme dengan spiritualisme, memerangi realisme dengan idealisme. Karena agama-agama itu sangat terbatas dalam ruang dan waktunya; tidak untuk semua orang dan sepanjang waktu.
               Agar bisa diterima semua orang, agama harus bersikap adil kepada semua. Agar bisa bersikap adil, agama harus bersikap moderat, tengah-tengah, tidak ekstrem, dan tidak cenderung mendekat pada satu kelompok dan menjauh dari kelompok yang lain. Kalau bersikap ekstrem, tentu hanya akan diterima sebagian kecil orang saja. Kebanyakan orang akan menolaknya.[26]Abus Su’ud mengatakan, bersikap adil dan moderat itu bagaikan posisi pusat dalam sebuah lingkaran. Posisi itu mempunyai jarak yang sama dengan masing-masing titik di garis lingkarannya. Kemudian hal itu dipakai untuk semua sikap manusia yang terpuji, karena setiap sikap terpuji pasti merupakan posisi tengah-tengah antara tafrith (sama sekali tidak melakukannya) dan ifrath (berlebih-lebihan dalam melakukannya).
2. Istiqamah
Moderat juga bermakna istiqamah, tidak melenceng dan bengkok. Dalam Al-Qur’an, hal itu diistilahkan dengan ash-Shiratul mustaqim (jalan yang lurus). Para ulama mengatakan bahwa jalan yang lurus adalah jalan yang selalu menjaga jarak dari terlalu minggir ke salah satu sisi. Jalan lurus bisa dikatakan sebagai jalan yang berada di tengah-tengah.
              Tidak mengambil sikap ekstrem, yang direpresentasikan dengan sikap “al-maghdhubu ‘alaihim” orang-orang Yahudi, dan sikap “adh-dhalin” orang-orang Nasrani. Dalam banyak hal, terjadi hubungan ekstrem antara Yahudi dan Nasrani. Misalnya, orang Yahudi membunuh para nabi; sedangkan orang Nasrani menuhankan mereka. Orang Yahudi terlalu banyak menghalalkan; sedangkan orang Nasrani terlalu banyak mengharamkan. Orang Yahudi materialistis; sedangkan orang Nasrani spiritualistis. Adapun umat Islam adalah jalan tengah di antara dua sikap ekstremistis tersebut.
3. Terbaik
Ada pribahasa Arab menyebutkan “Kairul umuri Ausathuha” (hal yang terbaik adalah yang paling tengah-tengah). Aristoteles menyebutkan, “Kebaikan adalah sikap tengah antara dua buah keburukan.” Oleh karena itu, Ibnu Katsir menyimpulkan bahwa “ummatan wasatha” maknanya adalah “khaira ummatin” umat terbaik.
4. Aman
Berada di tengah adalah sikap yang aman. Sangat berbeda dengan berada di pinggir dan ujung. Sikap sedang-sedang dan tidak terlalu merupakan pilihan yang aman. Misalnya dalam berpakaian, sebaiknya memilih pakaian yang tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis. Karena kalau terlalu tebal, dan ternyata hari sangat panas maka akan merasa kepanasan. Sedangkan kalau terlalu tipis, dan ternyata hari sangat dingin maka akan merasa kedinginan. Pilihan yang aman adalah pakaian yang tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis. Hal yang sama dalam memilih agama dan sistem kehidupan.
5. Kuat
Posisi tengah adalah pusat kekuatan. Dalam perjalanan umur, masa yang paling kuat adalah masa pertengahan. Terlalu muda adalah masa yang masih lemah, sedangkan terlalu tua adalah masa yang sudah lemah dan kehilangan kekuatan. Matahari terasa paling panas adalah ketika di tengah hari; bukan di awal hari, dan bukan juga di sore hari.
6. Persatuan
             Moderat adalah pusat persatuan dan titik pertemuan. Pinggir, pojok dan ujung berjumlah sangat banyakdan sangat sulit bertemu dengan yang lain. Sedangkan tengah hanya berjumlah satu, bahkan semua unsur pinggir, pojok dan ujung bisa bertemu di tengah. Hal ini tidak hanya mungkin terjadi pada sebuah lingkaran, tapi bisa juga berlaku untuk pemikiran, sikap, dan sebagainya. Sisi-sisi Kemoderatan Islam,meliputi semua bagian dalam Islam; akidah, ibadah, akhlak, dan hukum. Akidah Islam adalah tengah-tengah; tidak seperti akidah khurafat yang meyakini semua hal walaupun tidak berdalil, tidak pula seperti akidah kaum materialis yang hanya meyakini apa yang mereka lihat dan rasakan. Islam mengajarkan akidah, tapi harus berdasarkan dalil yang kuat dan yakin. Akidah Islam adalah tengah-tengah; tidak seperti kaum atheis yang sama sekali tidak mengakui adanya tuhan, tidak pula seperti  kaum musyrikin yang menjadikan banyak hal sebagai tuhan, bahkan sapi, kera, dan sebagainya. Islam mengajarkan iman kepada Allah .
           Akidah Islam adalah tengah-tengah; tidak seperti qadariah yang mengatakan bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, tidak pula seperti jabariyah yang mengatakan bahwa manusia tak lain bagaikan bulu yang diombang-ambingkan angin kesana-kemari. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk mulia, yang diberi kewajiban dan tanggung jawab. Akidah Islam adalah tengah-tengah; tidak seperti orang Yahudi yang mencela para nabi, tidak pula seperti Nasrani yang menuhankan mereka. Islam mengajarkan bahwa para nabi adalah manusia biasa yang dipilih Allah swt. untuk membawa risalah-Nya.
            Ibadah Islam adalah tengah-tengah; tidak seperti Budha yang hanya mengajarkan akhlak dan tidak mengajarkan ibadah, tidak pula seperti Kristen yang mengajarkan rahbaniyah, ibadah yang hingga menafikan sisi kemanusiaan. Islam mengajarkan ibadah yang diatur sedemikian rupa. Ibadah dianggap tidak diterima jika mengurangi atau melebihi aturan ini. Sebagai sebuah agama penyempurna, Islam datang dengan membawa aturan dan hukum untuk umat manusia. Hukum yang ada di dalam Islam adalah berdasarkan ketetapan Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad sebagaiutusan-Nya. Oleh karena itu, terdapat berbagai perbedaan antara hukum Islam dengan hukum-hukum lain buatan manusia. Hukum Islam memiliki keistimewaan dan karakteristik khusus, antara lain sebagai berikut:
B.Karakter Hukum Islam.
1.Hukum Islam didasarkan pada wahyu Ilahi

          Keistimewaan hukum Islam dibanding undang-undang buatan manusiaadalah bahwa hukum Islam bersumber pada wahyu Allah yang tersurat dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi. Maka setiap mujtahid dalam melakukanistinbath (penggalian) hukum-hukum syara' selalu merujuk pada dua sumber tersebut, baik secara langsung maupun melalui yang tersirat darinya, yaitu dengan memahamiruh syari'at, tujuan-tujuannya secara umum, kaidah-kaidah dan prinsip-prinsipumum. Jadi pada dasarnya, setiap hukum Islam pasti didasarkan pada Al Qur'an dan Al-Sunnah meskipun hanya dengan mengambil yang tersirat dari keduanya.Sebagai contoh, digunakannya urf, mashlahah mursalah, istihsan, dan lain lain dalam pengambilan hukum syara' oleh seorang mujtahid, bukan berarti bahwamujtahid tersebut meninggalkan Al Qur'an dan As Sunnah, namun hal itu dilakukan setelah terlebih dahulu memahami ruh syari'at yang tersirat pada nashAl Qur'an dan As Sunnah, berupa tujuan, kaidah dan prinsip-prinsip umumnya.
          Tujuan Syari' dalam pembentukan hukumnya yaitu merealisir kemaslahatan  manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (dloruriyah) dan memenuhi kebutuhan sekunder  (hajiyah) serta melengkapi kebutuhan pelengkap (tahsiniyah) mereka. Jadi setiap hukum syara' tidak ada tujuan kecuali salah satu dari tiga.Syariat Islam, Pergumulan Teks dan Realitas,, ,, unsur tersebut, dimana dari tiga unsur tersebut dapat terbukti,kemaslahatan manusia.

2.Hukum Islam bersifat komprehensif 

        Hukum Islam bersifat komprehensif, yakni mencakup seluruh tuntutankehidupan manusia. Disini akan sangat tampak kelebihan hukum Islam dibandingdengan undang-undang yang lain, karena hukum Islam mencakup tiga aspek hubungan, yaitu manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan masyarakatnya.Oleh karena itu, hukum Islam yang terkait dengan perbuatan seorangmukallaf selalu mencakup dua aspek, yaitu hukum-hukum ibadah dan hukum-hukum mu'amalah. Hukum ibadah meliputi segala hal yang terkait denganhukum-hukum yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara manusiadengan Tuhannya. Sedangkan hukum-hukum mu'amalah meliputi segala hal yangdimaksudkan untuk mengatur hubungan sesama manusia, baik bersifat pribadimaupun kelompok.

3.Hukum Islam terkait dengan masalah akhlak/moral.

Hukum Islam berbeda dengan undang-undang pada umumnya, karena iaterpengaruh dengan tatanan moral, bahkan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammmad, bahwa Islam datang untuk menyempurnakan akhlak/ moral manusia. Hal ini sangat berbeda dengan hukum positif buatan manu sia yang hanya mengacu pada aspek manfaat, yaitu menjaga sistem dan stabilitasmasyarakat meskipun kadang menghancurkan sebagian prinsip moral.Adapun hukum Islam bertujuan menjaga keutamaan, idealitas dan tegaknya  moralitas.

          Diharamkannya riba misalnya, dimaksudkan untuk menyebar-kan semangat tolong-menolong (ruh ta'awun) kasih sayang di antara manusia danmelindungi orang-orang miskin dari keserakahan para pemilikharta.[27]   Begitu pula diharamkannya minuman keras yang dimaksudkan untuk menjaga akal yang salah satu fungsinya adalah sebagai tolak ukur baik dan buruk.
4.Adanya orientasi kolektivitas dalam hukum Islam
Artinya, dalam hukum Islam itu selalu menjaga kemaslahatan individu dansosial secara bersama-sama, tanpa harus melanggar hak orang lain. Ooleh karenaitu, kemaslahatan yang bersifat umum atau sosial harus didahulukan dibandingdengan kemaslahatan yang bersifat individual terutama ketika terjadi peretentangan antara keduanya.

             Ciri khusus lain yang membedakan hukum Islam dengan hukum-hukum lain buatan manusia adalah bahwa hukum Islam memberikan sanksi hukuman bagi yang melanggar pada dua hal, yaitu hukuman dunia, baik berupa hukuman hudud  yang sudah ditentukan maupun ta'zir  yang yang tidak ditentukan, dan hukuman  akhirat. Sifat-sifat hukum Islam lainnya ialah:
  1. Rabbaniyyah
            Sumber syariat/hukum dari Allah, artinya musyarri (pembuat syariat) adalah Allah bukan manusia. Jika manusia pembuat syariat, maka akan terbawah dengan rasa sabyektif, kelompoisme, dan keinginan-keinginan duniawi. Hukum syariat dalam bentuk wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram adalah milik ketentuan Allah dan rasul-Nya. Fungsi faqih/ahli hukum hanya menemukan hukum dengan cara ijtihad.
1.      Insaniyyah
               Hukum Islam menghargai eksistensi manusia sebagai keturunan Adam pada posisi yang sama, tidak ada perbedaan dalam strata sosial, hukum, politik, ekonomi, sosial-kemasyarakatan. Yang membedakan satu dengan yang lain adalah taqwa. Hasbi Ashshiddiqie menyatakan bahwa, hukum Islam adalah hukum yang memberikan perhatian penuh kepada manusia dan kemanusiaan, memelihara hal-hal yang bertautan dengan manusia, baik mengenai diri, ruh, akal, hati, fitrah, usaha . Solidaritas kemanusiaan dalam hukum Islam adalah dalam bentuk zakat, infak, sadaqah, waqaf, dan taawun ala al-birri wa al-taqwa. Hanya faktanya konstruk sosial dalam masyarakat tertentu yang membuat manusia menjadi berkelas-kelas, berkasta-kasta. Sedangkan kenyataannya  karakater hukum Islam ialah:
2.      Syumuliyah[28]
             Bahwa hukum Islam shalih li kulli zaman wa makan dan Hukum Islam meliputi seluruh aspek hidup manusia, mulai dari manusia tidur sampai  bangun lagi, baik sebagai abdullah/ individu maupun khalifatullah/kolektif. Bahwa hukum Islam mengatur HAM, musawaa/egaliter, al-adalah/keadilan, al-hurriyah/kebesan, al-Ikhwan/persaudaraan (ukhawah islamiyah, wathaniyah, insaniyah)
3.      Wasathiyyah
             Hukum Islam memperhatihan aspek al-tawazun/keseimbangan. Qardawi menyatakan yang dimaksud dengan keseimbangan yaitu, hukum Islam tidak mengabaikan meletakkan aspek ruhiyah (spritual) dan maddiyah (materi), fardiyah dan jamaiyah, waqiiyah (kontekstual) dan mitsaliyah (idealisme), tsabat (tetap) dan taghayyur (perubahan). Hukum Islam bukan ekstrim kanan ataupun kiri. Seperti idiologi liberal-kapitalis yang terlalu memperhatikan individu mana hakku. Hukum Islam bukan pula idiologi maxis-sosialis yang terlalu memberikan peran sosial-kemasyarakatan yang manafikan peran individu. Hukum Islam memberikan jalan tengah pada dua idiologi tersebut, dengan mengakui hak dan kewajiban.
  1. Waqiiyyah
             Bahwa hukum Islam tidak mengabaikan konteks sebagai sebuah sunnatullah sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ruh syariat Allah. Idialnya dalam menikah dapat dipertahankan sampai mati, akan tetapi dalam konteksnya dapat cerai. Pada dasarnya sholat harus pada waktunya, akan tetapi konteksnya musafir bisa di dijamak.
  1. Tatawwur
Hukum Islam selalu dinamis[29] dan berdialog dengan perkembangan zaman dan teknologi, akan tetapi hukum Islam selalau konsisten pada nilai-nilai syariat.
2.      Tsabat
Hukum Islam konsisten dalam menjaga nilai-nilai Ilahiyah dalam kondisi dan suasana yang musykil sekalipun.
3.      Wadhu
            Mashadir (sumber hukumnya jelas) Karena sumber hukumnya jelas, maka falsafah nadzariyah ( kajian teoritis/ushul/qaidah fiqhiyah jelas) dan falsafah tasyri (kerangkah operasuonalnya jelas).Tujuannya jelas yaitu, a) pengabdian hanya kepada Allah semata. b) menciptakan tatanan min al-zdulamat ilaa al-nuur dalam berbagai bidang. b) salaman fi al-dun-ya wa-alakhirat.Manhaj/metodologis. Artinya secara teoritis nilai-nilai hukum ilahiyah sampai dengan tataran implementasi hukumnya selalu jelas dan konsisten.
C. Maqashid  al-Syari’ah dalam Hukum Islam
      1.      Pengertiannya
Secara etimologi, term Maqashid Al-Syariah berasal dua kata yaitu kata maqashid dan al-syariah. Kata maqashid adalah kata yang berasal dari kata kerja dalam bentuk fii'l tsulasi yaitu kata ق ص د، يقصد، قصدا, kalimat ini seringkali dipergunakan dengan makna yang berbeda. Di antara makna tersebut adalah :
           al- I'timad wa al- I'tisham الإعتماد والإعتصام، وطلب الشئى
            Adil dan moderat, atau tidak berpihak pada satu sisi, sebagai mana firman Allah ta’ala  ومنهم مقتصد
       Istiqamu al-Tariq, sebagaimana firman Allah ta’ala وعلى الله قصد السبيل
      al-Qurbu, sebagaimana firmanNya  لو كان عرضا قريبا وسفرا قاصدا
      al-Kasr (mematahkan) sebagaimana kalau dikatakan   قصدت العود قصدا
Dari beberapa makna tersebut pengertian secara etimologi dalam pembahasan ini adalah pengertian pertama yaitu  الإعتماد والإعتصام (kesengajaan atau tujuan).
Sedang term syariah secara bahasa bermakna  على مورد الماء أى مكان ورود الناس للماء tempat keluarnya air, tempat yang dituju oleh manusia untuk mendapatkan air. Dengan kata lain juga bermakna al-mawaadli' allatiy yunhadaru ila al-maa' (tempat-tempat yang darinya dikucurkan air). Sedangkan kata al-syir'ah menurut bahasa Arab artinya adalah masyra'at al-maa' (sumber air), yakni maurid al-syaaribah allatiy yasyra'uhaa al-naas, fa yasyrabuuna minhaa wa yastaquuna (sumber air minum yang dibuka oleh manusia, kemudian mereka minum dari tempat itu, dan menghilangkan dahaga).[30]Al-Raaziy di dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah menyatakan bahwa Lafadz al-Syari'ah bermakna masyra'at al-maa' (maurid al-syaaribah: sumber air) [31]
Mahmud Syaltut mendefinisikan al-Syarii'ah dengan aturan-aturan (system) yang Allah telah syariatkan, atau mensyariatkan pokok dari aturan-aturan tersebut, agar manusia mengadopsi aturan-aturan tersebut untuk mengatur hubungan dirinya dengan Tuhannya, dan hubungan dirinya dengan saudaranya yang Muslim dan saudara kemanusiaannya (non Muslim), dan hubungan dirinya dengan alam semesta dan kehidupan".[32] Pengertian ini tentu lebih ke arah pengertian secara istilah. 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah syari’ah adalah “Hukum agama yang diamalkan menjadi peraturan-peraturan upacara yang bertalian dengan agama Islam, palu-memalu, hakekat balas-membalas perbuatan baik (jahat) dibalas dengan baik (jahat) “ [33]. Dalam literature Inggris digunakan istilah Islamic Law atau Canon law of Islam ; yaitu keseluruhan dari perintah-perintah Tuhan. tiap-tiap perintah Tuhan dinamakan hukum, jama’nya ahkaam. Oleh karena itu, syari’at tidak dapat disamakan dengan hukum dalam dunia modern ini.
Dalam al-Qur’an kata syariah digunakan dalam arti “agama sebagai jalan lurus yang ditetapkan Allah untuk diikuti oleh manusia agar memperoleh keselamatan”. Beberapa ahli tafsir al-Qur’an klasik seperti Mujahid (104 H/722 M) menafsirkan kata-kata “al-syari’ah” dan “al-syir’ah” sebagai “agama” (al-din). Namun di lain pihak terdapat pula pendapat yang membedakan syari’ah dengan “al-din” (agama). Syari’ah merujuk kepada aspek–aspek hukum dari agama, sementara “al-din” merupakan aspek aqidah dari agama. Qatadah (118 H/736 M).
Ahli tafsir lainnya, dilaporkan dalam konteks penafsiran al-Maidah (5): 48 menyatakan bahwa agama (yang dibawa oleh semua Nabi) itu satu, tetapi syari’ah-nya berbeda. Maksudnya adalah inti ajaran agama semua Nabi yaitu ajaran tauhid adalah sama. Yang berbeda adalah ketentuan-ketentuan hukum dalam masing-masing agama Nabi tersebut. Sejalan dengan Qatadah adalah Abu Hanifah (150 H/820 M) yang membedakan antara syari’ah dan din di mana syari’ah merupakan kewajiban agama yang harus dijalankan, sedangkan “al-din” adalah pokok-pokok keimanan seperti kepercayaan kepada Allah kepada hari kiamat dan lainnya. Para majikan merasa berhak untuk menghukum bawahan-bawahan mereka sekehendak hati mereka. Polisi dan aparat pengadilan adalah petugas-petugas yang melakukan hukuman atas mereka.. Secara singkat kita akan mencatat perbedaan pandangan tersebut adalah: Pandangan yang pro terhadap hukuman fisik, sebagian pakar pendidikan menganggap hukuman untuk anak-anak dan remaja masih diperlukan dan masih bisa diandalkan,[34]seperti yang tergambar dalam tabel berikut ini:  
Tabel  4
Tabel Pro kontra Hukuman Fisik Terhadap Anak-Anak
No
Pro
Kontra
Kompergensi
1
Sebahagian psikolog
Marjorie Gannoe
Sebagian  filosuf
Plato dan  Jean Jacke Rousseo
dan Jean Soto
Islam
Berdasarkan
Al-Quran dan
Hadits [35]
2
Tokoh-tokoh
Pendidikan Militer
Nasrani
Tokoh-tokoh
Peneliti
Yahudi dan Berdasarkan
Taurat [36]






             
            Posisi Islam, pada konpergensi, mengabungkan antara pro dan kontra, tapi tidak sekedar  gabungan, bahkan bersikap moderat (wasathan) berkaitan dengan fitrah manusia. Aristoteles  yang pro dengan hukuman fisik, mengatakan, "Rasa takut akan hukuman itu lebih efektif (untuk membina manusia-penerj.) dari ajakan-ajakan untuk berbuat baik. Dan ini diakui oleh orang-orang yang suka menggunakan nalarnya. Orang yang membuat peraturan berkewajiban mengajak manusia pada hal-hal yang utama dan juga memberikan hukuman kepada orang-orang yang suka melanggar." Powelson mengatakan, "Tanpa rasa takut alias rasa hormat atas wacana hukuman maka pendidikan tidak akan berjalan efektif." Karena pendidikan adalah pembiasaan.. dan pemaksaan adalah termasuk salah satu cara didalamnya.

D. Subjek dan Objek Hukum Islam






               [1] Qat’iy dan zanniy antara keduanya, maka Al-Qur’an seluruh nashnya adalah qat’iy al-wurud atau sering juga disebut dengan qat’iy al-subut, sedangkan dalalahnya ada yang qat’iy dan ada pula yang zanniy. Adapun Sunnah ada yang qat’iy al-wurud dan ada pula yang zanniy al-wurud, ada yang qat’iy al-dalalah dan ada pula yang  zanniya ldalalah .Sumber:
               [2] QS. Al Isra(17) : 36
               [3] QS. Al-Isra (17) : 88
               [4] QS. Al-Baqarah (2) : 23
               [5] QS. Ali Imran  (3) : 7
              [6] QS. Ar-Ra’du (13) : 37
             [7] QS. An-Najm (53) : 3-4
             [8] QS. Al-An’am (6) : 50
                 [9] QS. Al-Nisaa’(4) : 11
             [10] Begitulah Al Quran memutuskan bagian untuk dua anak perempuan itu. Kemudian Rasul mengutus seseorang untuk menemui paman mereka dan berkata kepadanya,”Berikanlah dua pertiga harta pusaka Sa’d kepada dua putrinya dan sisanya menjadi milikmu.” Istri Sa’d dan kedua putrinya menjadi perantara bagi turunnya ketetapan Al Quran mengenai hukum waris, suatu ketetapan yang berlaku hingga kini.Referensi :-Al Quran- karya Fathi Fawzi ‘Abd Al Mu’thi, Asbabun Nuzul untuk Zaman Kita.

                [11] HR Imam Bukhari
              [12] HR Tirmidzi dan Ibnu Majah
              [13] QS. Al-Maidah(5) : 38
                [14] QS. An-Nur (24) : 51
                [15] Lafadz Ijma’ menurut bahasa bisa berarti tekad yang konsisten tehadap sesuatu atau kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu perkara. Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh, Ijma’ adalah kesepakatan terhadap suatu hukum bahwa hal itu merupakan hukum syara’.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar’i. Ada yang mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul Halli wal Aqdi, ijma’ Shahabat atau sebagainya. Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara berbagai pendapat tentang ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah saw.



               [16] QS. Al-Fath (49) : 29
                 [17] Read more: http://suryawardana.com/quran/taubah/#ixzz1tD8DvrBO
                [18] QS. Al- Hasyr (59) : 8.
                  [19] HR Thabari, Al Baihaqi
                  [20] HR Ibnu Abdil Barr
               [21] QS. Al Hijr (15) : 9
               [22] QS. Fushilat (41) : 42
           [23] Ushul Fiqih merupakan sebuah ilmu dalam memahami dalil-dalil fikih secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum serta kondisi (prasyarat) seorang mujtahid. Ilmu ini merupakan ilmu metodologi dalam proses pengambilan hukum. Sejatinya, ilmu ini mencakup tiga hal penting, yaitu : sumber  pengambilan hukum, metodenya, dan syarat-syarat mujtahid.Sementara itu, objek kajian Ushul Fiqih adalah dalil-dalil global. Ali Jum’ah, Mufti Mesir, menekankan untuk tetap mengedepankan objek pembahasan dalam proses pembaharuan, baik itu bagi Ushul Fiqih itu sendiri, maupun dalam ilmu-ilmu yang lainnya. Selain objek pembahasan, tujuan dan manfaat ilmu ini juga patut dijadikan patokan, agar tidak melenceng dari pembahasan, lebih-lebih lagi tidak menghasilkan sebuah baru. Hal ini tentunya bisa diterima dan sesuai dengan maksud dari pembaharuan itu sendiri dimana fungsinya untuk merekonstruksi, bukan memproduksi ‘barang’ baru.
 Selain itu, dalam upaya menelisik lebih jauh tentang pembaharuan Ushul Fiqih, perlu dipahami juga karakteristik kajian dari ilmu ini. Hasan Hanafi, seorang pemikir modernis Mesir, dalam bukunya Min An-Nash Ila Al-Wâqi’ menyebutkan beberapa karakteristik umum yang dimiliki Ushul Fiqih, yaitu :1.      Rasional. Dalam proses pengambilan hukum, Ushul Fiqih selalu mengedepankan analisis yang bersumber dari rasio seorang mujtahid. Tanpa ada analisis, sebuah produk hukum tidak mungkin bisa dihasilkan.2.      Eksperimental. Sebuah produk hukum tidak bisa dihasilkan secara instan. dalam prosesnya, harus melalui berbagai tahapan dan pengujian agar bisa diterapkan dengan benar.3.      Metodologis; merupakan karakteristik murni yang dimiliki Ushul Fiqih sebagai ‘alat’ dalam pengambilan hukum.4.      Logis. Artinya, metode pemikiran yang sistematis yang dimiliki Ushul Fiqih, harus bisa diterima oleh akal sehat.5.      Sesuai dengan tabiat manusia. Ilmu Ushul Fiqih pada dasarnya tidak terkhususkan pada agama ataupun golongan tertentu saja, namun lebih dari itu, dia merupakan ilmu yang dikaruniakan oleh Allah dan muncul dari dan berdasar pada tabiat manusia itu sendiri.6Selain karakteristik yang telah disebutkan diatas, kiranya ada karakteristik lainnya yang perlu kita cermati ketika melakukan pembaharuan Ushul Fiqih. Ketika mengkaji Ushul Fiqih beserta komponennya, kita akan banyak menemukan teks-teks. Tentunya hal ini bisa dimaklumi mengingat objek kajian Ushul Fiqih itu sendiri seputar dalil-dalil dari teks Al-Qur’an dan Sunah. Oleh karena itu, metode kajian ini seputar analisis kebahasaan (qawâid al-lughah). Kajian analisis kebahasan dalam Ushul Fiqih setidaknya mencakup empat pokok permasalahan, yaitu : 1.      Analisis makna kata sesuai dengan bentuk kata. Seperti teks khâs yang merujuk pada makna tertentu, ataupun teks ‘âm yang merujuk kepada makna umum.  Ataupun juga merujuk pada makna yang komplek (musytarak) dan ada juga yang merujuk  pada makna tunggal (murâdif). 2.      Analisis makna sesuai dengan maksud penggunaan teks. Ini bisa kita cermati pada teks yang menunjukkan makna sesuai dengan ungkapannya (haqîqî) ataupun pada teks yang menunjukkan makna yang berbeda dengan ungkapannya (majâz) baik itu karena ada ada hubungan dengan teks lain ataupun ada indikasi (qarînah) yang menghalangi dari pemaknaan sebenarnya. Analisis kebahasaan ini kiranya merupakan sesuatu yang urgen dan mengkajinya adalah sebuah keniscayaan karena teks akan menyingkap sisi historis yang menyelimutinya. Hal ini pula yang kemudian coba diterapkan Hasan Hanafi ketika mengkaji Ushul Fiqih.

             [24] Imam Daruquthny meriwayatkan dari Ibnu Abbas.

                [25] QS. Al-Jumuah (62) : 9
               [26] Dengan sikap moderatnya, maka Islam adalah agama tengah-tengah di antara ke-ekstreman agama-agama yang lain. Setiap muslim diwajibkan untuk menjaga hal tersebut, hal itu dapat dipahami dengan perintah untuk berdoa “tunjukilah kami jalan yang lurus” dalam shalat mereka.

              [27] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Maktabah ad-Da'wah al-Islamiyyah, Mesir, 1956, .197

              [28] Islam adalah risalah manusia seutuhnya, iaitu dipandang dan sudut manusia itu keseluruhannya. Iabukanlah risalah bagi akal tanpa ruh, bukan bagi ruhani tanpa jasmani, bukan bagi fikiran tanpa perasaan, danbukan sebaliknya. Ia adalah risalah insan seutuhnya iaitu ruhnya, akalnya, jasmaninya, hail nuraninya,kemahuannya dan perasaannya.Sesungguhnya Islam tidak membahagi manusia kepada dua bahagian sebagaimana yang dilakukan olehagama-agama lain. Pertama bahagian ruhani yang dikendalikan oleh agama dan diarahkannya ke tempat ibadat.Bahagian ini menjadi hak istemewa golongan agama dan tempat permainan bagi para paderi dan pendeta bagimengarahkan manusia dan celah-celahnya. Manakala bahagian kedua terdiri daripada benda, yang tidak adakekuasaan bagi agama dan golongan agama ke atasnya, malah tidak ada lapangan bagi Allah s.w.t. padanya.Bahagian ini menjadi lapangan bagi kehidupan, dunia, politik, masyarakat dan negara. Dan inilah bahagian yang terbesar dan kehidupan manusia.
          [29] Zaman dan tempat tidak menentukan rupa bentuk Islam, tetapi Islam mempengaruhi perubahan manusia, tempat dan zaman. Inilah yang disebut oleh ulama’ usuliyyin: Taghayir al-hukmi bi taghayir al-Amkinah wa al-Azminah yaitu berubahnya fatwa disebabkan berubahnya tempat dan zaman. Umpamanya di dalam hadith-hadith yang sahih termasuk yang diriwayatkan oleh al-Bukhari Rasulullah s.a.w. melarang menyimpan daging korban lebih daripada tiga hari. Pada tahun berikut para sahabat bertanya Nabi s.a.w.apakah mereka seperti tahun lalu? Kata Nabi s.a.w.: Makan dan simpanlah kerana pada tahun lepas orang ramai dalam keadaan susah dan aku mahu kamu menolong mereka”. Dalam riwayat yang lain disebutkan disebabkan daffah yaitu orang yang datang dari luar Madinah. Jelas sekali bahwa adanya larangan Nabi s.a.w. disebabkan oleh keadaan tertentu atau punca tertentu yang sebut dalam usul al-Fiqh sebagai illat al-Hukum. Apabila penyebab dikeluarkan sesuatu hukum maka hukum pun dipadamkan. Dengan itu, al-Imam as-Syaf`ii sebagai tokoh awal menulis dalam Usul al-Fiqh memasuk bab al-`Ilal fi al-Ahadith (`ilat-ilat di dalam hadith-hadith) dalam kitabnya al-Risalah. Banyak lagi contoh-contoh yang lain di dalam hadith , jika disebutkan, yang menunjukkan perubahan zaman mengubah fatwa. Inilah juga keputusan para sahabah yang menghukum beberapa hal tidak sama seperti hukuman pada zaman Nabi s.a.w. disebabkan perubahan yang berlaku, umpamanya Saidina Umar tidak memberi zakat kepada golongan al-muallaf qulubhum (yang cuba didekatkan kepada Islam) pada zamannya sekalipun hak mereka disebut di dalam al-Quran dan mereka diberikan zakat oleh Rasulullah s.a.w.. Ini disebabkan perubahan keadaan dan suasana dengan kata Umar : Allah telah memuliakan Islam dan tidak memerlukan mereka!” Sesiapa yang ingin pendetilan dia boleh menyemak tuisan para ulama termasuk tulisan Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Zakah.

  [30]  Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 8, hal. 175
  [31]  Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, juz 1, hal. 161
                  [32] Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah, hal. 12
                  [33] Kamus Besar bahasa Indonesia, 
             [34] Khoja Nashiruddin Thusi mengatakan, "Ajari ia (anak-anak) dengan keras agar tidak melakukan perbuatan buruk. Jangan sampai dari kecil sudah terbiasa melakukan perbuatan jelek.Mereka itu suka berdusta, memiliki sifat hasud, suka mencuri, suka mengadu domba, dan juga bandel, suka mencampuri urusan orang lain. Setelah memberikan pendidikan yang sangat keras maka didiklah agar mereka memiliki sikap sopan-santun. Jadi didiklah anak-anak sejak kecil dengan disiplin. Jangan lupa pula untuk memuji sikap-sikap yang baik darinya, waspadailah agar anak-anak tidak memiliki kebiasaan buruk karena seperti peribahasa Al-Insânu hârisun 'ala ma' muni'a (manusia itu penasaran dengan larangan). Manusia itu suka terhadap hal-hal yang menyenangkan dan tidak tahan dengan penderitaan. Seorang pendidik harus bisa membuat anak didiknya sadar dengan perbuatannya sehingga tidak berani lagi mengulangi perbuatan buruknya."
                 [35] Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.”(HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)
        [36] Tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati” Kitab Taurat, Amsal 23:13. Tetapi bukan berarti bahwa orang tua atau guru boleh dengan semena-mena menggunakan haknya untuk memukul anak.  Tidak semua penggunaan hukuman atau hukuman fisik itu tidak berfaedah. Alkitab mengajarkan, “Siapa tidak menggunakan tonngkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya menghajar dia pada waktunya”  Taurat (Amsal 13:24)  Para peneliti mengatakan bahwa para dokter seharusnya membantu orang tua untuk mempelajari pendekatan efektif tanpa kekerasan untuk mendisiplinkan anak karena banyak yang tidak mengerti apa yang cocok untuk perilaku anak. Dr. Durrant mengatakan kepada Daily Mail edisi 8 Februari 2012, “Para orang tua lebih cenderung percaya bahwa anak-anak mereka menjadi pemberontak atau berlaku buruk. Tetapi dalam banyak kasus, anak-anak cenderung melakukan apa yang mereka anggap normal untuk perkembangan mereka.”



No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook