Sunday, August 3, 2014

aku membacanya saja, malu Aku memmbacanya saja, malu Pemikiran Musdah, bisa begitu Umat Nabi Luth, di masa lalu Dihujani oleh, api dan batu.




 

aku membacanya saja, malu



Aku memmbacanya saja, malu
Pemikiran Musdah, bisa begitu
Umat Nabi Luth, di masa lalu
Dihujani oleh, api dan  batu.
Rakib Jamari LPMP Riau Indonesia.





Benarkah Tanpa Malu-Malu Prof Musdah Tentang Perkawinan Sesama Jenis

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgL0Q9ogQziTmgSjD0HP6VqfUFJqa6wkatmMAQW8FgkOsv2qq_hNyH8tt45iih4Ox5liMU47cjW8SNpuQZYIIMOVbUwoh_NPNPHcB0J4YoIWpfRbpMmPrnY5b-ZSfUKIw6bxfhnqekG10A/s1600/siti-musdah-mulia.JPG
“Allah Hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia” Prof Musdah
Minggu sebelumnya saya telah menulis biografi dari Prof Dr. Siti Musdah Mulia dan pemikiran menyimpangnya mengenai perkawinan sesama jenis. Kali ini, saya ingin menggali lagi lebih dalam mengenai pemikiran-pemikiran yang sempat dilontarkan dalam berbagai sesi wawancara Prof Musdah yang tercantum di berbagai Jurnal.
Sebenarnya, sudah sejak lama Prof Musdah memiliki pandangan tersendiri tentang homoseks dan lesbi. Pandangannya bisa disimak di Jurnal Perempuan edisi Maret 2008 yang menurunkan tentang edisi khusus tentang seksualitas lesbian. Di sini, Prof Musdah mendapatkan julukan sebagai “tokoh feminis muslimah yang progresif”. Dalam wawancaranya, ia secara jelas dan gamblang menyetujui perkawinan sesama jenis. Judul wawancaranya pun sangat provokatif: “Allah Hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia”.
Menurut Prof Musdah, definisi perkawinan adalah “Akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh dua orang yang membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak”. Definisi semacam ini biasa kita dengar. Tetapi, bedanya dengan Prof Musdah, pasangan dalam perkawinan tidak harus berlainan jenis kelaminnya. Boleh saja sesama jenis.
Simaklah kata-kata dia berikutnya, setelah mendefinisikan makna perkawinan menurut Al-Quran:
Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat Al Quran soal hidup berpasangan (Ar-Rum, 21; Az-Zariyat 49 dan Yasin 36) disana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan orientasi seksual yang beragam.
Selanjutnya, dia katakan:
Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apapun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial, dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apapun agamanya.
Prof Dr.Siti Musdah Mulia pun merasa geram dengan masyarakat yang hanya mengakui perkawinan berlainan jenis kelamin (heteroseksual). Menurutnya, agama yang hidup dimasyarakat sama sekali tidak memberikan pilihan kepada manusia.
Dalam hal orientasi seksual misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual, homoseksual, lesbian, biseksual,  dan orientasi seksual lainnya dinilai menyimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sesama jenis. Perkawinan lawan jenis meski dipenuhi kekerasan, eksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang, dan kebahagiaan. Gerutu sang Profesor yang (menurut Jurnal Perempuan) pernah dinobatkan oleh UIN Jakarta sebagai Doktor Terbaik IAIN Syarif Hidayatullah 1996/1997.
Kita tidak tahu, apakah yang dimaksud dengan “orientasi seksual lainnya” termasuk juga “orientasi seksual dengan binatang atau benda mati”. Yang jelas, bagi kaum lesbian, dukungan dan legalisasi perkawinan sesama jenis dari seorang Profesor dan dosen di sebuah perguruan tinggi Islam terkenal tentu sebuah dukungan yang sangat berarti.
Sepanjang bacaan saya terhadap kisah Nabi Luth yang dikisahkan dalam Al-Quran (Al-A’raf 80-84 dan Hud 77-82) ini, tidak ada larangan secara eksplisit baik untuk homo maupun lesbian. Yang dilarang adalah perilaku seksual dalam bentuk sodomi atau liwath.
Para pakar syariah tentu akan geli membaca hasil ijtihad Prof Musdah ini. Ust. Hartono Ahmad Jaiz pernah menjawab,  bahwa dalam Al Quran juga tidak ada larangan secara eksplisit manusia kawin dengan anjing, tidak ada larangan kencing dalam mesjid, dan sebagainya. Apakah seperti ini cara menetapkan hukum dalam Islam? Tentu saja tidak. Para kaum liberal dalam pengambilan hukum memang sangat sesuka hatinya, alias amburadul.
Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya berpotensi menjadi orang yang salah atau taqwa selama ia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yakni tidak menduakan Tuhan, meyakini kerasulan Muhammad s.a.w serta menjalankan ibadah yang diperintahkan. Dia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk dan peduli pada lingkungannya. Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini.
Camkanlah pendirian ibu Profesor ini, “saya yakin ini!” katanya, itulah pendiriannya. Demi kebebasan,  orang bisa berbuat apa saja, dan berpendapat apa saja. Ketika seseorang sudah merasa pintar dan berhak mengatur dirinya sendiri, akhirnya dia juga bisa berpikir: “Tuhan pun bisa di atur”. Kita pun tidak perlu merasa aneh dengan pendirian bahwa praktik perkawinan homo dan lesbi adalah halalan thayyiban baginya.
Jika sudah begitu, apa yang bisa kita perbuat? Kita hanya bisa mengelus dada, sembari mengingatkan, agar Ibu Profesor memperbaiki cara berpikirnya. Gelar Profesor tidak menjadi jaminan benar, banyak loh Profesor yang keblinger. Jika tidak paham syariat, baiknya mengakui kadar keilmuannya, dan tidak perlu memposisikan dirinya sebagai “mujtahid agung”. Pujian dan penghargaan dari Amerika tidak akan berarti sama sekali di hadapan Allah SWT. Kasihan dirinya, kasihan suaminya, kasihan manusia yang diajarnya, dan kasihan juga institusi yang menaunginya. Tapi, terutama kasihan guru-guru yang mendidiknya sejak kecil, yang berharap akan mewariskan ilmu yang bermanfaat, ilmu jariyah.
Mudah-mudahan, Ibu Profesor ini tidak ketularan watak kaum Nabi Luth, yang ketika diingatkan, justru membangkang dan malah balik mengancam. “Mengapa kalian mendatangi kaum laki-laki di antara manusia, dan kalian tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu; bahkan kalian adalah orang-orang yang melampaui batas. Mereka menjawab: “Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, maka pasti kamu akan termasuk orang-orang yang diusir.” (Qs. Asy-Syu’ara: 165-167).
            Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya kalian senantiasa dalam keadaan baik selagi kalian menuntut ilmu agama dari orang-orang besar (yakni para Ulama Ahlus Sunnah). Namun, jika kalian belajar ilmu agama pada orang-orang kecil (maksudnya: Ahli Bid’ah), maka (yang akan terjadi) Wong Cilik kapasitas otaknya, membodoh-bodohkan orang besar (Ulama Sunnah).”. (Lihat Jami’ Bayan Al-‘Ilmi, I/159).
           Abdullah bin Al-Mubarok rahimahullah pernah ditanya: “Siapakah orang-orang kecil (Wong Cilik) itu?” Beliau menjawab: “Yaitu Orang-orang yang berbicara (tentang perkara agama) dengan akal pikiran mereka. Adapun Ash-Shoghir (Wong Cilik dlm hal usia dan badan, pent) yang meriwayatkan (ilmu dan hadits) dari Al-Kabir (orang besar, yakni Ahlus Sunnah), maka dia bukanlah termasuk Ash-Shoghir (Ahli Bid’ah).”. (Lihat Jami’ Bayanil ‘ilmi, karya Ibnu Abdil Barr, hlm. 246).
» Di dalam riwayat lain, Imam Abdullah bin Al-Mubarok juga mengatakan: “(Yang dimaksud) Wong Cilik ialah golongan Ahli Bid’ah”. (Riwayat Al-Lalaka’i, I/85).
» Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah –seorang ulama Saudi, anggota Komisi Fatwa Saudi Arabia- berkata: “Waspadalah terhadap Abu Jahal (bapak dan dedengkot kebodohan), yaitu ahli bid’ah, yang tertimpa penyimpangan aqidah, diselimuti oleh awan khurafat; dia menjadikan hawa nafsu sebagai hakim (penentu keputusan) dengan menyebutnya dengan kata “akal”; dia menyimpang dari dalil syar’i (wahyu Allah berupa Al-Qur’an dan Hadits Shohih, pent), padahal bukankah akal itu hanya ada dalam nash? Dia memegangi dalil yang Dho’if (lemah) dan menjauhi yang Shohih. Mereka juga dinamakan ahli syubuhat (orang-orang yang memiliki dan menebar kerancauan pemikiran) dan ahlul ahwa’ (orang-orang yang mengikuti kemauan hawa nafsu). Oleh karena itulah Ibnul Mubarok menamakan ahli bid’ah dengan Ash-Shoghir (Wong Cilik).” (Lihat Hilyatu Tholibil ‘Ilmi, hal. 39, karya Syaikh Bakr Abu Zaid).
Demikianlah penjelasan para ulama as-salafus sholih tentang betapa besar bahaya “Wong Cilik” dijadikan sebagai pemimpin agama dan guru ngaji bagi Islam dan kaum muslimin. semoga bermanfaat bagi kita semua. (Klaten, 30 Juni 2014).


Berdasarkan hadits Abu Daud, bahwa mendidik anak dengan metode hukuman “pukul” boleh dilakukan. Tetapi tentu hal ini tidak serta merta membenarkan setiap hukuman boleh diberikan kepada anak yang tidak mau shalat tanpa memperhatikan batasan-batasan tertentu. Hukuman dalam pendidikan memiliki pengertian yang luas, mulai dari hukuman yang ringan samapi pada hukuman berat. Sekalipun hukuman banyak macamnya, Ahmad Tafsir menjelaskan, bahwa pengertian pokok dalam setiap hukuman tetap satu, yaitu adanya unsur menyakitkan, baik jiwa maupun badan. Oleh karenanya, hadits di atas yang menjelaksn tentang hukuman dalam mendidik shalat anak, perlu dilakukan kajian yang mendalam atasnya. Agar dapat difahami keshahihan baik sanad maupun matannya, juga pemahaman dari berbagai prespektif untuk memperluas kandungannya.

عن أبي أمية الجمحي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ” إِنَّ مِنْ أَشْرِاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ الْأَصَاغِرِ “.
 Dari Abu Umayyah Al-Jumahi radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah ilmu agama diambil dan dipelajari dari orang-orang kecil (yakni ahli bid’ah, pent).”. (Dikeluarkan oleh Abdullah bin Al-Mubarok di dalam kitab Az-Zuhd hal.61, al-Lalaka’i, dan al-Khothib al-Baghdadi. Dan dinyatakan SHOHIH oleh Syaikh al-Albani di dalam Shohih al-Jami’ ash-Shoghir, no. 2203, dan Silsilatu Al-Ahadits Ash-Shohihah II/316, dan Syaikh Salim al-Hilali dalam kitab Hilyatul ‘Alim, hal. 81).
» Umar bin Khoththob radhiyallahu ‘anhu berkata: “Agama Islam ini akan rusak jika ilmu agama diambil dan dipelajari dari “Wong Cilik”. Dan baiknya (urusan dan keadaan) umat Islam bilamana ilmu agama dipelajari dari orang besar (maksudnya para ulama sunnah yang paham ttg agama Islam dengan baik dan benar, pent.


         Sanad dan Matan Hadits

Berikut di bawah ini adalah hadits-hadits yang menjelaskan tentang hukuman dalam mendidik shalat bagi anak. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud, dalam Kitab al-Shalah hadits ke 418, dan diriwayatkan oleh Ahmad Bin Hanbal, dalam Musnad al-Muktatsirin min al-Shahabah, hadits nomor 6402.
حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ هِشَامٍ يَعْنِي الْيَشْكُرِيَّ حَدَّثَنَ إِسْمَعِيلُ عَنْ سَوَّارٍ أَبِي حَمْزَةَ قَألَ أَيُو دَاوُد وَهُوَ سَوَّارُ بْنُ دَاوُدَ أَبُو حَمْزَةَ الْمُزَنِيُّ الصَّيْرَفِيُّ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُغَيْبِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرَوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَأءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنُهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muammal Bin Hisyam yakni al-Yasykuri, telah menceritakan kepada kami Ismail dari Sawwar. Abu Dawud mengatakan dialah Sawwar bin Dawud Abu Hamzah al-Muzanni ash-Shairafi, dari Amir bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun jika meninggalkan shalat (tidak mau shalat) dan pisahkanlah di antara mereka di tempat tidurnya.” (Hadits riwayat Abu Dawud).
حدثنا وكيع حدّثناسوّاربن داودٍ عن عمرِ وبْنِ شُعيْبٍ عن ابَيْهِ عن جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُالله صلعم مروا صِبْيَانَكُمْ بِاالصَلاَةِ اِذا بَلَغُوا سَبعًا وضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا اذا بَلَغُوا عَسْراً وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى المَضَاخِعِ (قال ابى وقال الظّفا ويُّ مُحَمَّدُ بْنُ عبد الرّحْمن فى هدا الحديث سوَّرٌ ابن حمزهْ وَاَخْطَأ فِيهِ)
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Wake, telah menceritakan kepada kami Sawwar bin Dawud dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika mereka sampai berusi tujuh tahun dan “pukullah” mereka ketika berusia sepuluh tahun (jika meninggalkan shalat/tidak mau shalat) dan pisahkanlah di antara mereka di tempat tidurnya.” (Hadits riwayat Ahmad bin Hanbal).
Dari dua sampel hadis sebagaimana yang tertuang di atas dapat dibuat skema sanad sebagai berikut :






Setelah dibuat rangkaian sanad pada dua jalur sebagaimana yang terlihat dalam bagan di atas, dapat diketahui sejumlah 7 (tujuh) periwayat hadis. Urutan nama periwayat dan urutan sanad hadis tersebut adalah :
1.    Jalur Abû Dâwud
a.    Abdullah Bin Amr Bin Luas Bin Wil periwayat ke-1 (sanad ke-7)
b.    Syu’aib bin Muhammad periwayat ke-2 (sanad ke-6)
c.    Amru bin Syu’aib, sebagai periwayat ke-3 (sanad ke-5)
d.   Sawwar bin Dawud, sebagai periwayat ke-4 (sanad ke-4)
e.    Ismail bin Ibrahim periwayat ke-5 (sanad ke-3)
f.     Muamal bin Hisyam sebagai periwayat ke 6 (sanad ke-2)
g.    Abû Dâwud sebagai periwayat ke-7 (mukharrij)
2.    Jalur Ahmad bin Hanbal
a.    Abdullah Bin Amr Bin Luas Bin Wil periwayat ke-1 (sanad ke-7)
b.    Syu’aib bin Muhammad periwayat ke-2 (sanad ke-6)
c.    Amru bin Syu’aib, sebagai periwayat ke-3 (sanad ke-5)
d.   Sawwar bin Dawud, sebagai periwayat ke-4 (sanad ke-4)
e.    Wake bin Jarah, sebagai periwayat ke-5 (sanad ke-3)
f.     Ahamd bin Hanbal, sebagai periwayat ke-7 (mukharrij).

C.      Penelitian dan Persambungan Sanad
1.    Jalur Abu Dawud
a.    Abdullah bin Amru (Wafat tahun 63 H)
Nama lengjkapnya Abdullah bin Amru bin Luas bin Wail. Ia termasuk sahabat nabi. Nama Kunyah-nya Abu Muhammad. Ia menetap di Thaif dan meningal di sana pada tahun 63 Hijriyah. Abdullah bin Amru menerima hadits dari Abi Ka’ab bin Quais, Sarqoh bin Malik bin Ja’sim bin Malik, Abdulah bin Saib bin Abi Saib, Abdullah bin Utsman bin Amr bin Kaab bin Saad, Ali Bin Abi Tholib bin Abdul Mutholib, Amru bin Luas bin Wail bin Hasyim, Muadz bin Jabbal bin Amru bin Aus, Maemun bin Abas bin Ayub, dan Abu Maehabah.
Abdullah bin Amru menyampaikan hadits kepada Ibrahim bin Muhammad bin Tolhah, Abu Jar’ah bin Amru bin Jarir bin Abdullah, Abu Tho’mah an Abdullah bin Amru, Abu Qabus Maula Abdullah bin Amru, Abu Kabsyah, Hadzir, As’ad bin Sahal bin Hanif, Ismail dan lain-lain.
Kualitas periwayatan ‘Abdullah bin Amru dapat dilihat dari pendapat yang menyatakan…

b.    Syu’aib bin Muhammad (Wafat…?)
Nama lengkapnya Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amru bin Luas. Ia termasuk dari Tabi’in. ia menetap di Hijaz. Tahun wafatnya tidak ada keterangan yang menjelaskan.
Syu’aib bin Muhammad menerima hadits dari Abdullah bin Amru bin Luas bin Wail, Amru bin Luas bin Wail bin Hasyim, Muhammad bin Abdullah bin Amru bin Luas, dan dari Muawiyah bin Abi Supyan Shohor bin Harb bin Umayah.
Syu’aib menyempaikan hadits kepada Tsabit bin Aslam dan Amru bin Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amru.
Kualitas periwayatan ‘Syu’aib nin Muhammad dapat diketahui dari perkataan Iin Haban yang menyatakan s\iqah, dan Dzahbi yang menyatakan Shoduq.
     Amru bin Syu’aib (Wafat tahun 118 H)
Nama lengkapnya Amru bin Syu’aib bin Muhammad bin Abdulah bin Umar. Ia termasuk dari Tabi’in. Nama Kunyah-nya adalah Abu Ibrahim. Ia wafat pada tahun 118 Hijriyah.
Amru bin Syu’aib menerima hadits dari Anas bin Malik bin Nadhor bin Madhmum bin Zaid, Zaid bin Aslam, Zaenab bin Abi Sa’id, Sa’id bin Musbab bin Hajn bin Abi Wahab bin Amru, Sulaiman bin Yasar, Thusi bin Kaesin, ‘Asom bin Supyan bin Abdullah, Abdullah bin Abi Najeh Yasar, Abdullah bin Amru bin Luas bin Wail, dan lain-lain.
Amru bin Syu’aib menyampaikan hadits kepada Hajn bin Artoh bin Tsuwar, Hasan bin ‘Atiyah, Husain bin Dzukun, Hamid bin Abi Hamid, Hamid bin Quaes, Kholifah bin Khoet bin Kholifah bin Khoet, Dawud bin Abi Hindun.
Kualitas periwayatan Amru bin Syu’aib dapat diketahui dari perkataan Yahya bin Sa’id Luqthon yang menyatakan Tsiqoh, Yahya bin Mu’in yang menyatakan Tsiqoh, Ali bin Mudini yang menyatakan Tsiqoh, Ishaq bin Ruhwaeyah yang menyatakan Tsiqoh, Bukhori dan Abu Zar’ah Liraji yang menyatakan Tsiqoh.
d.   Sawwar bin Dawud (Wafat… ?)
Nama lengkapnya Sawwar bin Dawud. Ia termasuk kibâr al-atbâ’. Nama Kunyah-nya adalah Abu Hamzah, ia menetap di Basrah. Tahun wafatnya tidak diketahui.
Sawwar bin Dawud menerima hadits dari Amru bin Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amru. Ia menyampaikan hadits kepada Islmail bin Ibrahim bin Maqsum, Abdullah bin Bakr bin Habib, Muhammad bin Bakr bin Utsman, Muhammad bin Abdul Rahman, Nadhor bin Syamil, dan Wake bin Jarah bin Malih.
 Kualitas periwayatan Amru bin Syu’aib dapat diketahui dari perkataan Ahmad bin Hanbal yang menyatkan la ba’sa, Yahya bin Mu’in yang menyatakan Tsiqoh, Bin Haban yang menyatakan Tsiqoh, dan Dzaruqutni yang menyatakan la yatba’ ‘ala ahaditsihi faya’tabiru bihi.
e.    Ismail bin Ibrahim (Wafat tahun 193 H)
Nama lengkapnya Ismail bin Ibrahim bin Maqsum. Nama Kunyah-nya Abu Basyar. Ia menetap di Basyrah, dan wafat di Baghdad pada tahun 193 Hijriyah.
Ismail bin Ibrahim menerima hadits dari Ibrahim bin ‘Ala’I, Ishaq bin Suwaed bin Hubareoh, Ismail bin Kholid, Ayub bin Abi Tumaemah Ques, dan Bard bin Sunan.
Ismail bin Ibrahim menyampaikan hadits kepada Ibrahim bin Dinr, Ibrahim bin Suaid, dan Ibrahim bin Abdullah bin Hatm.
Kualitas periwayatan Amru bin Syu’aib dapat diketahui dari perkataan Syu’aib bin Hajaz yang menyatakan Sayid limuhaditsin, Ahmad bin Hanbal yang menyatakan ilaihi limuntaha fi lititsabati, ‘Ali bin Mudini yang menyatakan ma aqulu an ahad atsbata fi lihaditsi inhu, Yahyabin Mu’in yang menyatakan Tsiqoh, Nasa’I yang menyatakan Tsiqoh, dan Muhammad bin Sa’d yang menyatakan Tsiqoh.


f.     Muawwal bin Hisyam (Wafat tahun 253 H)
Nama lengkapnya Muawwal bin Hisyam. Nama Kunyah-nya Abu Hisyam. Ia menetap di Negara Basyrah dan meninggal di sana pada tahun 253 Hijriyah.
Muawwal bin Hisyam menerima hadits dari Ismail bin Ibrahim bin Maksum. Ia menyampaikan hadits kepada Bukhori, Nasai, dan Abu Dawud.
Kualitas periwayatan Amru bin Syu’aib dapat diketahui dari perkataan Abu Hatm Razi yang menyatakan Shoduq, Abu Dawud Sujaestani yang menyatakan Tsiqoh, Nasai yang menyatakan Tsiqoh,Muslim bin Qosim yang menyatakan Tsiqoh, dan Bin Haban yang menyatakan Tsiqoh.

g.    Abu Dawud (Wafat tahun 275 H)

Nama lengkapnya adalah Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy’as\ bin Syaddâd al-Azdî al-Sijistânî. Ia lahir pada tahun 202 H. Ia malang melintang ke berbagai negeri dan berulang kali keluar masuk Baghdad. Ia tinggal di Basrah dan meninggal di sana pada 16 Syawwal 275 H.
Abû Dâwud menerima hadis dari Abu al-Walîd al-T}ayâlîsî, Mûsâ bin Ismâ-îl, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain.
Abû Dâwud menyampaikan hadis kepada Ibrâhin bin Hamdân al-‘Âqûlî, Abû Îsâ, dan lain-lain.
Penilaian ulama terhadap kualitas Abû Dâwud tidak bisa disangsikan karena dia termasuk salah satu periwayat/perawi kitab hadis standar (al-kutub al-sittah) yang menjadi kitab rujukan di bidang hadis.
2.    Jalur Ahmad bin Hanbal
Dari jalur Ahmad bin Hanbal penulis hanya menjelaskan riwayatnya Wke bin Jaroh dengan Ahmad bin Hanbalnya sendiri, karena dari Sawwar bin Dawud (ke atasnya) sampai Abdullah bin Amru satu jalur dengan jalur Abu Dawud (penjelsan masing-masingnya sudah penulis uraikan di atas).
a.       Wake (Wafat tahun 196 H)
Nama lengkapnya Wake bin Jarah bin Malih. Nama Kunyahnya Abu Sufyan. Ia menetap di Kufah dan meninggal di sana pada tahun 196 Hijriyah.
Wake bin Jarah menerima hadits dari Ibn bin Sum’ah, Ibn bin Abdullah bin Abi Hajm, Ibn bin Yazid, Ibrahim bin Ismail bin Majmu bin Yazid, Ibrahim bin Tohmah bin Syu’aib, dan Ibrahim bin Afdhal.
Wake bin Jaroh menyampaikan hadits kepada Ibrahim bin Ishaq bin Ais, Ibrahim bin Sa’id,  Ibrahim bin Musa bin Yazid bin Zudan, Ahmad bin Abdullah bin Abi Syua’ib Muslim, Ahmad bin Muhammad bin Tsabit, Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Abi Raja, Ahmad bin Mani’ bin Abdur Rahman, dan Ishaq bin Ibrahim bin Muholid.
Kualitas periwayatan Amru bin Syu’aib dapat diketahui dari perkataan Ahmad bin Hanbal yang menyatakan maroatu io ‘iy lil’ilmi wala ikhfado minhu, Yahya bin Mu’in yang menyatakan “saya melihat di hafal”, Ajli yang menyatakan Tsiqoh, Yaqub bin Syaebah yang menyatakan Hafidz, Muhammad bin Sa’d yang menyatakan Tsiqoh, dan Ibn Hiban yang menyatakan Hafidz.
b.      Ahmad bin Hanbal (Wafat tahun 241 H)
Nama lengkapnya  Ahmad bin Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî. Ia lahir di Baghdad 20 Rabi’ul Awwal 164 H., dan dan meninggal di Baghdad pada tanggal 22 Rabi’ul Awwal tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal menerima hadis dari Hasyim bin Basyîr, Ibrahîm bin Sa’ad, Yahya bin Adam, Wakî’ bin al-Jarrâh, Abd al-Rahmân bin Mahdi, Qâd}i Abû Yûsuf, Muhammad bin Ja’far, Suraij bin al-Nu’mân bin Marwân, dan lain-lain.
Para ulama yang mengambil hadis dari Ahmad bin Hanbal antara lain adalah para periwayat kutub al-sittah, ‘Ali al-Madîni, Yahya bin Ma’în, Dah}îm al-Syâmî, Ahmad bin Abî al-Harâwî, Ahmad bin Sâlih al-Misrî, dan lain-lain.
Karena  termasuk salah seorang ulama fiqh dan hadis, maka tidak ada satupun ulama yang menjarh Ahmad bin Hanbal, sehingga ia sangat terpercaya.
Berdasarkan penelitian terhadap sanad hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits tersebut yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad bin Hanbal berkualitas Shahih al-Sanad, karena seluruh rawi dinyatakan Tsiqoh dan seluruh sanadnya bersambung, serta tidak terdapat Syudzudz dan ‘illah.

D.      Penelitian Matan
Menurut M. Syuhudi Ismail, sebuah hadits dinilai shahih matannya apabila, tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an. Kedua, tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat. Ketiga, tdak bertentangan dengan akal, indra dan sejarah, dan keempat, susunan kalimatnya menunjukan sabda kenabian.[2]
  1. Tidak Bertentangan dengan Petunjuk Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an banyak ayat berbicara tentang shalat, tetapi di sini penulis hanya mengambil ayat-ayat yang mengandung perintah shalat dan tanggung jawab orangtua terhadap keluarga (anak), diantaranya adalah:
a.    Ayat tentang Kewajiban Orangtua, QS. At-Tahrim ayat 6:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3‹Î=÷dr&ur #Y‘$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou‘$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).
Di dalam tafsir al-Maraghi diterangkan bahwa yang dimaksud dengan al-ahl (keluarga) di sini mencakup istri, anak, budak laki-laki, dan budak perempuan.[3] Di dalam ayat ini terdapat isyarat mengenai kewajiban seorang suami/bapak mempelajari fardhu-fardhu agama yang diwajibkan baginya dan mengajarkannya kepada istri dan anak-anaknya.
b.      Ayat-Ayat tentang Perintah Shalat secara Umum. Yaitu terdapat dalam QS. An-Nur ayat 56 dan QS. Al-Ankabut ayat 45:
(#qßÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# öNà6¯=yès9 tbqçHxqöè? ÇÎÏÈ  
Artinya: Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. An-Nur: 56).
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ  
Artinya:  Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut: 45).
      c.   Ayat tentang Perintah Shalat untuk Keluarga, yaitu terdapat dalam QS. Maryam ayat 55 dan QS. Thaha ayat 132:





No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook