Wednesday, August 20, 2014

Hukuman fisik dalam konteks



Hukuman fisik dalam konteks Indonesia
M.Rakib, LPMP Pekanbaru Riau Indonesia


وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qisas itu adalah kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berfikir, supaya kamu bertakwa.” (surah Al-Baqarah, 2: 179)



            Di tengah budaya masyarakat Indonesia yang menjujunjung tinggi disiplin, hukuman fisik dianggap suatu yang sangat wajar dan masih banyak para orang tua atau para pendidik yang memberikan hukuman fisik. Suatu data menyebutkan sepanjang kwartal pertama 2007 terdapat 226 kasus kekerasan terhadap anak.[1] di sekolah. Adapun rinciannya, kekerasan fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan kekerasan psikis 210 kasus. Dari jumlah itu 226 kasus terjadi di sekolah,[2] ujar Seto Mulyadi dalam diskusi di Jakarta. Pemegang otoritas pendidikan menetapkan suatu norma guna menata aksi warga komunitas pendidikan agar kegiatan belajar-mengajar berlangsung tertib dan tenteram. Sebagai pendukung norma itu, ditetapkan juga sanksi.

          Kalau aksi mereka melanggar norma, maka sanksi diwujudkan menjadi hukuman kepada pelaku aksi melanggar norma. Jika hukuman itu lebih besar, lebih berat daripada sanksinya, atau tidak sesuai dengan hakikat pendidikan, maka terjadilah kekerasan.Ada kesenjangan antara kepentingan peserta didik dengan kepentingan pendidik. Timbul masalah. Hukuman yang dijalankan kepada peserta didik sebagai kewajiban guru mempertahankan disiplin bertentangan dengan hakikat pendidikan dan hak azasi anak.
"pendidikan harus menanamkan tanggung jawab, kehormatan, tetapi tanpa menjadi beo atau bebek. Anak harus dipimpin supaya berdiri sendiri."[3]Seorang murid, menceritakan pengalaman traumatisnya semasa kecil sampai remaja, yang menjadi bagian tak terlupakan dalam sejarah hidupnya. Anak seorang guru, selalu menjadi teladan yang menerapkan sistem hukuman fisik dalam mendidik anak-anaknya di rumah. Karena sebagian besar anak di keluarganya laki-laki, perilaku orangtuanya semakin terwajarkan secara jender.[4]
            Dipukuli dan dibentak adalah makanan kami sehari-hari sejak umur lima tahun, bahkan sampai remaja lima belas tahun." Begitu ceritanya. Matanya yang marah seketika berubah menjadi berair mata saat dia mencoba menceritakan satu per satu kisah hidupnya.Sekali lagi, yang terungkap dari ceritanya ialah mengenai kekerasan terhadap anak dan remaja yang masih terekam sempurna dalam memori seseorang yang telah dewasa.
F. Metode Penelitian
1.Obyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah  hukuman fisik terhadap anak-anak, berdasarkan informasi yang tertulis yang memberikan isyarat kepada pelarangan “memukul”, sebaliknya yang melegalkan hukuman fisik, hukuman sebagai objek kajian dalam kegiatan penelitian mempunyai banyak konsep atau definisi. Sesungguhnya tidak ada konsep tunggal tentang hukum. Hukum merupakan realita sosial-budaya, yang konstruksi konsepsionalnya akan tersusun berbeda-beda dari perspektif yang satu ke perspektif yang lain. Seseorang yang meninjau hukum dari perspektif filsafat atau moral, misalnya tentu akan melihat hukum dalam manifestasinya yang lain daripada kalau  melihatnya dari perspektif politik atau sosial. Adanya pluralitas konsep tentang hukum ini dapatlah dimengerti, mengingat kenyataannya bahwa hukum itu sendiri sesungguhnya merupakan suatu konsep yang sangat abstrak, sementara itu dalam realitanya, apa yang disebut hukum itu amat beragam.
            Menurut Wignjosoebroto, salah memilih cara penelitian atau pencariannya, suatu  kesalahan yang akan menyebabkan kebenaran-kebenaran yang telah diperoleh melalui penelitian itu tidak laku lagi (tidak sahih) untuk menjawab masalah yang diajukan. Peringatan tentang hal ini perlu untuk diperhatikan, khususnya dalam penelitian sosial dan lebih khusus lagi dalam penelitian-penelitian hukum, mengingat kenyataan bahwa dalam ilmu dan kajian kedua bidang ini orang lebih banyak membicarakan objek-objek yang tidak berujud materi yang empiris dan kasad mata, melainkan berupa fenomena-fenomena yang eksistensinya berada di suatu alam abstrak yang dibangun lewat konstruksi-konstruksi rasional.
2.Sumber data
             Adapun data primer [5], pada penelitian ini adalah kitab suci yaitu Al-Qur’an dan  hadits khususnya tentang masalah “Hukuman Fisik”,dan  UU No. 23 Tahun 2002 yang mungkin saja bertentangan, mungkin pula tidak, tentang pengertian kekerasan khususnya hukuman memukul anak-anak. Adapun data primer ini yang sudah penulis miliki ialah Al-Qur’an cetakan Arab saudi dan Beirut, lengkap dengan terjemahannya tafsir dan asbabunnuzul-nya, kemudian kitab-kitab hadits. Ditambah dengan  kitab-kitab fiqih dan usul fiqih, juga jurnal tentang kriminologi sosiologi hukum dan kitab Udang-Undang Hukum Pidana, tentu saja tentang perlindungan anak, yaitu UU No. 23 Tahun 2002.
            Data lainnya yang terkait dengan data primer ini adalah buku-buku perbandingan mazhab yang sudah popular antara lain, buku dari timur tengah terutama fiqih dan usul fiqih merupakan sumber utama untuk mengolah tulisan ini. Misalnya Al-Mustasfa, oleh Al-Gazali. Al-Muwaqat, oleh Al- Syathiby. Al-Ikhkam fi Al-Ushul Al-Ahkam oleh Al –Amidy, ditambah dengan buku-buku tafsir Al-Qur’an dan tafsir hadits. Kebanyakan buku-buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi penulis dengan bermodalkan pengetahuan bahasa Arab yang pernah didapati di pesantren dan IAIN sebelumnya.

2.Data Sekunder[6]
           Data sekunder penelitian ini ialah jurnal-jurnal hasil penelitian lainnya yang searah dan relevan dengan kajian yang sedang penulis lakukan. Pelacakan data awal, sudah penulis lakukan, misalnya buku-buku tentang analisis kekerasan terhadap anak-anak. Tentang catatan Komnas Perlindungan Anak Indonesia(KPAI) mencatat, terdapat 1.998 pengaduan sepanjang tahun 2009. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya, 2008, yaitu 1.736 pengaduan. 62,7% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual berupa sodomi, perkosaan, pencabulan, serta incest, selebihnya adalah kasus kekerasan fisik dan psikis.
    Buku-buku penunjang lainnya yang penulis pandang dapat memperjelas tentang nilai-nilai filosofis pelarangan pornografi pada anak-anak ialah buku patologi sosial, oleh Kartini Kartono yang memberikan informasi tentang agama dan adat istiadat yang sebenarnya mempunyai nilai pengontrol dan nilai sansional terhadap tingkah laku masyarakatnya. Prosedur untuk menemukan kebenaran hukum haruslah objektif, yaitu sebuah kegiatan yang terbuka dan dapat diulangi juga menemukan kebenaran hukum tersebut. Dalam penemuan kebenaran mungkin saja sebuah prosedur dirahasiakan, agar yang lain tidak dapat mendapatkan kebenaran tertentu, namun jika prosedur yang dirahasiakan itu dapat diterima oleh dunia ilmu (hukum) pada umumnya dan dapat diulangi serta menghasilkan kebenaran yang sama, sifat objektivitas prosedur keilmuan tetap terpenuhi.[7]
  Di sisi lain, dapat terjadi bahwa sebuah kebenaran telah ditemukan, namun seseorang tidak dapat menjelaskan prosedur penemuannya atau ternyata tidak dapat diulang kembali cara penemuannya. Maka, kegiatan yang demikian tidaklah dapat dikatakan sebagai sebuah kegiatan penelitian dan mungkin hanya kegiatan coba-coba saja atau kebetulan tanpa adanya rencana atau maksud guna menemukan kebenaran tertentu.
3      Data tertier
            Data tertier pada penelitian ini adalah kamus hukum, kamus agama dan ensiklopedi yang menerangkan tentang pengertian hukuman fisik, serta hukum-hukum yang terkait, atau istilah-istilah lain yang selama ini kurang dikenal. Kemudian artikel-artikel yang terpilih dari surat kabar dan majalah Tempo, Forum Keadilan, Gatra dan Sabili. Di samping media cetak itu, penulis juga menggunakan media elektronik yaitu radio dan televisi, terutama internet.
4      Fokus penelitian
             Sesuai dengan disiplin ilmu hukum, fokusnya adalah tentang hukuman fisik pada pendidikan formal, yang berkaitan dengan dasar-dasar hukum di dalam Al-Qur’an dan hadits serta pendapat ulama fiqih, untuk mendapatkan dalil yang tepat yang memberikan informasi tentang hukuman fisik penulis terlebih dahulu menganalisis dan membuat perbandingan, serta merancang beberapa hal, antara lain :
            1. Pemahaman tujuan ayatnya yang jelas
            2. Adanya keterkaitan masalah  dengan pembahasan
            3. Adanya metode pengambilan dalil  ayat hukum dan kemudian melakukan komparatif yang tepat.

            Karena penelitian ini berupa studi kepustakaan, menelaah  teks, dari hukum yang normatif, tidak memakai populasi dan sampel. Yang diandalkan ialah ketersediaannya buku- buku teks berupa tafsir ayat-ayat        Al-Qur’an yang benar-benar dapat dikaitkan dengan hukuman fisik bagi anak-anak. Secara etimologi, teks ayat sebagai burhan yang menurut al-Jabiri ,al-bayan memiliki beberapa arti diantaranya al-zhuhur wa al-wudhuh (ketampakan dan kejelasan), sedangkan secara terminologi albayan berarti pencarian kejelasan yang berporos pada al-ashl (pokok) yakni teks (naql-nash) baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung berarti langsung menganggap teks sebagai pengetahuan jadi. Secara tidak langsung berarti melakukan penalaran dengan berpijak pada teks itu. Dalam paradigma ini, akal dipandang tidak akan dapat memberikan pengetahuan kecuali jika akal itu disandarkan (berpijak) pada nas (teks).[8] Kecendrungan ini berlaku pada tradisi setelah Ibn Rusyd terutama pada prakarsa al-Syatibi. Berpegang pada maksud teks ini baru digunakan bila teks zahir ternyata tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang relatif baru.[9]
           Seseorang tidak akan sempurna (dalam menguak) kandungan syariat selama ia belum menguasai Nahwu dan Bahasa Arab”.[10] Paradigma di atas sebenarnya bisa difahami karena ahli hukum Islam (ushul fiqih) klasik memaknai hukum itu berasal dan titah ilahi sehingga hanya melalui teks-teks suci yang didengar Rasulullah sajalah pemanifestasian hukum itu dapat diketahui.[11] Dalam hal ini, mayoritas ahli hukum Islam menganut faham optimisme bahasa yang dipengaruhi oleh teologi kekuasaan Ilahi, suatu faham yang menganggap bahwa bahasa adalah sarana memadai untuk melakukan komunikasi, suatu sunnah yang baku dan karena itu menjadi milik publik.[12]
Akibatnya pendekatan yang digunakan pun adalah pendekatan bayan atau tekstualis. Pandangan optimisme bahasa ini kemudian mengarah pada ber kembangnya logika deduktif sehingga model pendekatan yang digunakanpun adalah teologis normative deduktif.[13]  Paradigma ini berlangsung selama kurang lebih lima abad (dari abad ke-2 H sampai 7 H) dan mengalami perbaikan dengan munculnya asy-Syatibi pada abad ke 8 H yang menambahkan teori maqashid al-syari‘ah yang mengacu pada maksud Allah sehingga tidak lagi terpaku pada literalisme teks.[14]
5 .Analisis data[15]
            Pengumpulan, pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini, dilakukan secara terpadu, semenjak dari analisis data diartikan sebagai upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga karakteristik atau sifat-sifat data tersebut dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat untuk menjawabmasalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian.Dengan demikian, teknik analisisdata dapat diartikan sebagai cara melaksanakan analisis terhadap data, dengan tujuan mengolahdata tersebut menjadi informasi, sehingga karakteristik atau sifat-sifat datanya dapat denganmudah dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengankegiatan penelitian, baik berkaitan dengan deskripsi data maupun untuk membuat induksi, atau menarik kesimpulan tentang karakteristik  (parameter) berdasarkan data yang diperoleh dari  objek yang diteliti.


               [1]  Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan kwartal yang sama tahun lalu yang berjumlah 196. Ketua Umum Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Seto Mulyadi menyatakan selama Januari-April 2007 terdapat 417 kasus kekerasan terhadap anak.
                 [2] Seto Mulyadi dalam diskusi di Jakarta, Rabu (3/5 2011).
               [3]"Karya Lengkap" Driyarkara, 2006 : 422
                [4] Suatu konsep, rancangan atau nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-laki, dikarenakan perbedaan biologis atau kodrat, yang oleh masyarakat kemudian dibakukan menjadi ’budaya’ dan seakan tidak lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itulah yang tepat bagi perempuan. Apalagi kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik, ekonomi, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, gender adalah nilai yang dikonstruksi oleh masyarakat setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kitaseakan mutlak dan tidak bisa lagi diganti.Jadi, kesetaraan gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki sama-sama menikmati status, kondisi, atau kedudukan yang setara, sehingga terwujud secaraenuh hak-hak an potensinya bagi pembangunan di segala aspek kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara.Islam mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan,keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkunganalamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos(manusia), makrosrosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapatmenjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapaiderajat abid sesungguhnya.Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada ayat-ayat (al-Qur’an) substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syari’ah (maqashid al-syariah),antara lain: mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q.S. an-Nahl [16]: 90):

                           [5] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat PT.GrafindoPersada,(Jakarta,2006), 29, ditambahkan bahwa, bahan / sumber primer juga, laporan penelitian,majalah, disertasi atau tesis, paten dan buku-buku.
                 [6]Ibid, berisikan informsi tentang bahan primer, menakup : Abstrak, Index, Bibliografi, Penerbitan Pemerintah dan bahan acuan lainnya.Lihat Amiruddin dan Zainal Hakim, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta,Raja Grafindo,2004) 97
              [7]Ibid,  71
             [8] Muhammad Abed al-Jabiri,  Bun-yah al-‘Aql al’-‘Arabi, 20.
             [9] Loc.Cit, Takwin al Aql al- ‘Arabi (Beirut al-Markaz as-Saqafi al-‘Arabi, 1993), 96-98. Lihat juga kutipan Muhyar Fanani terhadap pemikiran al-Jabiri ini dalam Muhyar Fanani, Menelusuri Epistemologi, tt, 29.
 [10] Al-Juwayni, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, cet. 4, Editor, Abdul Adzim Mahmud ad-Dib (Manshurah, Mesir: al-Wafa, 1418),I, 130.
[11] Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam dalam al-Musytasyfa min `Ilm al-Ushul Karya al-Ghazali (450-505/1058-1111), Disertasi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,. 163.
[12] Khaled Abou el-Fadl sendiri mengungkapkan bahwa “Islam mendefenisikan dirinya dengan merujuk kepada sebuah kitab, dengan demikian, mendefenisikan diri dengan merujuk kepada suatu teks... karena itu, kerangka rujukan paling dasar dalam Islam adalah teks. Teks itu dengan sendirinya memiliki tingkat otoritas dan reabilitas yang jelas. Oleh karena itu peradaban Islam ditandai dengan produksi literer yang bersifat massif terutama dibidang al-Shari’ah (hukum Islam). Ada banyak faktor yang turut mendukung proses produksi ini, tetapi sudah pasti bahwa teks memainkan peran penting dalam penyusunan kerangka dasar referensi keagamaan dan otoritas hukum dalam Islam”. Khaled M. Abou el-Fadl, Melawan “Tentara Tuhan”; yang berwenang dan sewenang-wenang dalam wacana Islam, terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), 54.
[13] Akh. Minhaji membagi model pendekatan ushul fikih menjadi 2, pertama, teologis normative deduktif dan kedua, empiris historis induktif Lihat Akh. Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqih”, dalam Jurnal al-Jami‘ah No. 63/VI/1999, h1m. 16. lihat juga tulisannya Hukum Islam Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial), Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2004, hlm. 40-46.

[14] Al-Syatibi sendiri mengungkapkan bahwa ia memang berupaya menjadikan ushul fiqih sebagai ilmu burhani yang qath’i sehingga dapat mendatangkan dan menghasilkan pengetahuan hukum Islam yang valid secara ilmiah. Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, edisi Abdullah Darraz (Mesir: tnp., t.t), I, 29-34.
         [15] Pada Penelitian Kuantitatif:Strategi Pendekatannya Deduktif-Verifikatif.Peneliti bertolak dari konsep-konsep tertentu dan landasan-landasan teori tertentu. Konsep-konseptersebut diberi batasan-batasan operasional, termasuk memecahnya kedalam variabel-variabel, jugadirumuskan hipotesis-hipotesis. Atas dasar hipotesis (kesimpulan logis-deduktif) dan batasan konsep/variabel yang telah dirumuskan, kemudian dikembangkan alat-alat ukur untuk mendapatkanukuran dalam kenyataan empiris sekiranya hipotesis itu benar atau sekiranya hipotesis itu salah.Lihat Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, ( Jakarata, PT.Raja Grafindo Persada : 2006),95

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook