Monday, August 11, 2014

Masalah hadhonah dan perlindungan terhadap anak,



HADHANAH (Hak Asuh Anak)
M.Rakib Lpmp Riau Indonesia
           Masalah hadhonah dan perlindungan terhadap anak, begitu lengkap di dalam Hukum Islam[1] karena menjadi manifestasi kehendak Syari’ dalam realitas kehidupan manusia menuntut terjadinya dialektika antara teks dan realitas. Karena itu, para fuqaha’ berusaha menemukan inovasi dan progresifitas, untuk mewujudkan kemashlahatan universal manusia dunia  akhirat. Karakter Hukum Islam tidak saja ma’qûl sekaligus  ma’mûl.[2] Sebagai upaya menjadikan hukum Islam  inovatif  progresif. Berbagai langkah ditempuh agar hukum Islam tidak menjadi  asing, pada lingkungan yang mengitarinya.[3]

            Hukum Islam, tidak hanya   eksis pada ranah normatif (law in book)  juga   riil (law in action)  historis kritis, memperjuangkan nasib anak-anak dan  emansipasi dengan melepaskan tradisi perbudakan dalam budaya Arab melalui sanksi memerdekakan budak. Tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan hidup masyarakatnya. Hukum Islam  dituntut berdialektika, sesuai dengan tingkat berfikir masyarakat dan lingkungan  sosial, budaya maupun politik,[4]secara simultant dan continue. Kemandekan pada salah satu sisinya akan menjadikan pincang dan problematik dalam segala sisi kehidupan sosial maupun kebangsaan.[5] Berdasarkan kajian segala segi Hukum Islam, sudah  banyak dilakukan oleh para ulama, dapat menjadi bahan kajian yang dinamis. Dalam kehidupan manusia, tidak ada ide hukum yang bersifat final, maka kesinambungan kajian tentang pemikiran yang berkembang,  menjadi suatu keniscayaan dan  sebagai bagian dari sunnatullah di alam ini. Formulasi pemikiran yang sistematis dan benar tentunya sangat membutuhkan akan artikulasi dan kontribusi yang dialogis. Dengan demikian prospek dan perspektif hukum Islam yang akomodatif-transformatif akan bisa terwujud secara sistematis, jelas dan komprehensif. [6]
             Indonesia sebagai negara hukum, memiliki hukum nasional sendiri, dimaksudkan sebagai pedoman untuk melaksanakan sistem pemerintahan. Dalam membentuk hukum nasional, bangsa Indonesia mengambil dari tiga sumber hukum, yaitu  hukum adat, hukum Islam dan hukum eks-Barat. Masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut  agama Islam, tentu harus senantiasa melaksanakan ajaran ajaran itu. Namun sebagai bangsa yang berpalsafahkan Pancasila juga harus dapat mengakomodir seluruh kepentingan komponen bangsa, di antaranya kepentingan umat beragama.[7]

Pengertian hadhanah
Kata hadhanah adalah bentuk mashdar dari kata hadhnu ash-shabiy, atau mengasuh atau memelihara anak. Mengasuh (hadhn) dalam pengertian ini tidak dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping dan dada atau lengan.
Secara terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhanah inihanya dilaksanakan ketika pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk berpisah dari ibunya. Hal ini diseabkan karena sianak masih perlu penjagaan, pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi kemaslahatannya. Inilah yang dimaksu dengan perwalian (wilayah).

Hukum Hadhanah
Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya.
Hadhanah sangat terkait dengan tiga hak:
  1. Hak wanita yang mengasuh.
  2. Hak anak yang diasuh.
  3. Hak ayah atau orang yang menempati posisinya.
Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus didahulukan daripada yang lainnya. Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
pertama, pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya yang dipandang pantas untuk menasuh anak.
kedua, si ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang tidak mengharuskan demikian. sebab mengasuh anak itu adalah haknya dan tidak ada mudharat yang dimungkinkan akan menimpa sianak karena adanya mahram lain selain ibunya.
ketiga, seorang ayah tidak berhak merampas anak dari orang yang lebih berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu memberikannya kepada wanita lain kecuali ada alsan syar’i yang memperbolehkannya.
keempat, jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan haknya mengasuh anak.

Urutan Orang yang Berhak Mengasuh Anak.
Mengingat bahwa wanita lebih memahami dan lebih mampu mendidik, disamping lebih sabar, lebih lembut, lebih leluasa dan lebih sering berada bersama anak, maka ia lebih berhak mendidik dan mengasuh anak dibandingkan laki-laki. Hal ini berlangsung hanya pada usia-usia tertentu, namun pada fase-fase berikutnya laki-laki yang lebih mampu mendidik dan mengasuh anak dibandingkan wanita.

Ibu adalah wanita yang paling berhak mengasuh anak
Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki, maka -sesuai ijma ulama- ibu kandung sianak tentu lebih berhak mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan (antara suami dan istrinya), baik karena talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena ibu jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika ada penghalang yang menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.
Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari : “rkakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasulullah Wahai RAsulullah, anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya, payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku. bersabdar” Rasulullah  kepada wanita ini “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah lagi“. (hasan HR Abu Daud, Ahmad dan Al-Baihaqi)

Urutan orang yang berhak mengasuh anak setelah ibu kandung
Ulama berbeda pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah ibu kandung atau urutan hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang menghalangi ibu kandung untuk mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak adanya dalil qath’i yang secara tegas membahas masalah ini. Hanya saja ke-empat imam madzhab lebih mendahulukan kalangan kerabat dari pihak ibu dibandingkan dari kalangan kerabat dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang sama (misalnya mendahulukan nenek dari pihak ibu dari pada nenek pihak ayah).
Kalangan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang palin berhak mengasuh anak adalah:
1.      Ibu kandungnya sendiri
2.      Nenek dari pihak ibu
3.      nenek dari pihak ayah
4.      saudara perempuan (kakak perempuan)
5.      bibi dari pihak ibu
6.      anak perempuan saudara perempuan
7.      anak perempuan saudara laki-laki
8.      bibi dari pihak ayah
Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari:
1.      Ibu kandung
2.      nenek dari pihak ibu
3.      bibi dari pihak ibu
4.      nenek dari pihak ayah
5.      saudara perempuan
6.      bibi dari pihak ayah
7.      anak perempuan dari saudara laki-laki
8.      penerima wasiat
9.      dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama
Kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari:
1.      Ibu kandung
2.      nenek dari pihak ibu
3.      nenek dari pihak ayah
4.      saudara perempuan
5.      bibi dari pihak ibu
6.      anak perempuan dari saudara laki-laki
7.      anak perempuan dari saudara perempuan
8.      bibi dari pihak ayah
9.      dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi sianak yang mendapatkan bagian warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta warisan. Pendapat Madzhab Syafi’i sama dengan pendapat madzhab Hanafi.
Kalangan Madzhab Hanbali
1.      ibu kandung
2.      nenek dari pihak ibu
3.      kakek dan ibu kakek
4.      bibi dari kedua orang tua
5.      saudara perempuan se ibu
6.      saudara perempuan seayah
7.      bibi dari ibu kedua orangtua
8.      bibinya ibu
9.      bibinya ayah
10.  bibinya ibu dari jalur ibu
11.  bibinya ayah dari jalur ibu
12.  bibinya ayah dari pihak ayah
13.  anak perempuan dari saudara laki-laki
14.  anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah
15.  kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.

SYARAT MENDAPATKAN HAK ASUH ANAK (HADHANAH)
Kalangan ahli fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang harus dipenuhi. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang, syarat-syarat tersebut adalah:
Syarat pertama dan kedua, berakal dan telah baligh, sebab kelompok ini masih memerlukan orang yang dapat menjadi wali atau bahkan mengasuh mereka. Jika mereka masih membutuhkan wali dan membutuhkan pengasuha, maka merekpun tidak pantas untuk menjadi pengasuh untuk orang lain.
Syarat kedua, Agama yang mengasuh haruslah sama dengan agama anak yang diasuh, sehingga orang kafir tidak berhak mengasuh anak Muslim. Hal ini didasarkan pada dua hal:
  1. Orang yang mengasuh pasti sangat ingin anak yang diasuhnya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. dan ini adalah bahaya terbesar yang dialami sianak. Dan telah dijelaskan dalam :“rsabda Rasulullah Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa agama anak tidak aman jika diasuh oleh orang kafir.
  2. Hak asuh anak itu sama dengan perwalian.  berfirman :IAllah
    dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS Ani-Nisaa’:141)
Syarat ke empat, mampu mendidik, sehingga orang yang buta, sakit, terbelenggu dan hal-hal lain yang dapat membahayakan atau anak disia-siakan maka tidak berhak mengasuh anak.
Syarat kelima, ibu kandung belum menikah lagi dengan lelaki yang lain, berdasarkan sabda rNabi  : “Kamu lebih berhak dengannya selama kamu belum menikah lagi” (hasan. ditakhrij oleh Abud Dawud 2244 dan An-Nasa’i 3495)

Berakhirnya Masa Pengasuhan dan Konsekuensinya.
Jika si anak sudah tidak lagi memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sehari-hari, telah mencapai usia mumayyiz dan sudah dapat memenuhi kebutuhandasarnya seperti makan, minum memakai pakaian dan lain-lainnya, maka masa pengasuhan telah selesai.
Manakala masa pengasuhan ini telah berakhir, apakah yang harus dilakukan si anak ? Jika kedua orang tua sepakat untuk mengikutkan anak tinggal bersama salah seorang dari kedua orang tua, maka kesepakatan ini dapat dilaksanakan. tetapi jika kedua orangtua masih berselisih, maka ada duahal yang harus diperhatikan:
Pertama, anak yang diasuh adalah laki-laki. Terkait dengan anak laki-laki yang telah selesai masa pengasuhannya, muncul tiga pendapat dikalangan ulama:
  1. Madzhab Hanafi, Ayah lebih berhak mengasuh si anak. dengan alasan bahwa jika seorang anak laki-laki sudah bisa memnuhi kebutuhan dasarnya, maka yang ia butuhkan adalah pendidikan dan perilaku seorang laki-laki. Dalam hal ini si ayah lebih mampu dan lebih tepat.
  2. Madzhab Maliki, Ibu lebih berhak selama si anak belum baligh.
  3. Madzhab Asy-syafi’i dan Ahmad, Anak diberi kesempatan untuk memilih salah satu diantara keduanya, berdasrkan hadits Abu Hurairah: Seorang perempuan datang menghadap  dan berkata, “rNabi Wahai Rasulullah. suamiku ingin membawaserta anakku dan anakku telah meminumiku dari sumur Abu Inabah serta memberi manfaat padaku. bersabda: “r” Rasulullah Berundilah kalian berdua untuknya.” Si suami menukas “Siapa yang lebih berhak daripada aku terhadap anakku? bersabda pada sianak agar memilih, “r” Nabi Ini ayahmu dan ini Ibumu. Ambillah tangan salah satu dari keduanya yang kamu suka” Ia meraih tangan ibunya, dan lantas si ibupun pergi dan mebawanya. (Haduts shahih, ditakhrij oleh Abu Dawud 2277, An-Nasa’i 3496 dan At-Tirmidzi 1357). Dari hadits diatas diketahui bahwa konsep pengundian (qur’ah) harus didahulukan daripada memberikan kesempatan memilih. Akan tetapi dengan melihat apa yang dilakukan oleh para khalifah, memberikan kesempatan memilih lebih didhalukan daripada cara pengundian. Diriwayatkan bahwa ada orang yang mengadukan perselisihan . Ia menjawab, “tmasalah anak kepada Umar Ia sebaiknya tinggal bersama ibunya sampai ia pandai berbicara, kemudian ia diberi kesempatan untuk memilih.“(Sanad shahih, ditakhrij oleh Abdurrazaq 12606 dan Sa’id bin Manshur 2263).
Diriwayatkan  telah memberikan kesempatantjuga dari Imarah bin Ru’aibah bahwasannya Ali  kepadanya untuk memilih antara (ikut) dengan ibunya atau pamannya. Imarah lebih memilih ikut ibunya. Ali berkata “Kamu dapat hidup bersama ibumu. Nanti jika saudaramu (baca:adikmu) telah mencapai usia seperti usiamu saat ini, maka berikanlah kesempatan kepadanya untuk memilih seperti yang kau lakukan ini.” Imarah berkata, “Ketika itu saya sudah beranjak remaja (ghulam).” (Sanadnya Dha’if ditakhrij oleh Abdurrazaq 12609, Sa’id bin Manshur 2265 dan al-Baihaqi 8/4).
Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa memberi kesempatan memilih dan mengundi hanya dapat dilakukan apabila kedua cara ini memberikan kemaslahatan bagi si anak. Kalau memang ibu dipandang lebih dapat melindungi anak dan lebih bermanfaat dibanding ayahnya, maka dalam kasus ini merawat anak harus didahulukan tanpa harus mempertimbangkan cara mengundi dan memilih.
Kedua, anak yang diasuh adalah anak perempuan. Para Ulama berbeda pendapat, Kalangan       Madzhab Maliki berpendapat bahwa anak tetaptinggal bersama ibunya hingga anaka perempuan tersebut menikah dan telah berhubungan intim dengan suaminya. Dengan mengacu padapendapat Imam Ahmad, kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa manakala telah mengalami menstruasi anak perempuan diserahkan kepada ayahnya. Kalangan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa anak diserahkan kepada ayahnya apabila telah mencapai usia 7 tahun.
Ketiga Imam madzhab sepakat bahwa anak ini tidak diberi kesempatan untuk menentukan pilihan. Sementara itu Syafi’i berpendapat bahwa perempuan diberi kesempatan menentukan pilihan seperti anak laki-laki dan dia berhak untuk hidup bersama orang yang menjadi pilihannya (ayahnya atau ibunya).
Ibnu Taimiyyah lebih memilih berpendapat bahwa anak perempuan tidak diberi kesempatan memilih. Ia bisa hidup bersama salah satu dari keduanya  apabila orangtua yang ia ikuti ini taat kepada Allah dalam mendidik anak. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah) (Dalam abiyazid.wordpres: syarat mendapatkan hak asuh anak hadhanah)

http://www.blogger.com/img/icon18_email.gif



           [1] Istilah hukum Islam terdiri dari dua kata: hukum dan Islam, dan secara mendasar tidak terlalu salah jika dikatakan bahwa kedua kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang kemudian telah meng-Indonesia. Dalam bahasa Latin lainnya, hukum Islam itu dikenal dengan Islamic law (Inggris), droit musulman  (Prancis),  Islam-recht (Belanda), Lihat Akh. Minhaji, Hukum Islam: Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial),Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam Pada Fakultas Shari’ah Tanggal 25 September (Yogyakarta: UIN, 2004) , 30.
             [2] Kajian tentang  ma’qûl (sensible) sekaligus  ma’mûl (applicable) yang komprehensif, baca misalnya Sayyid Shalih, Athar AL-‘Urf fi al-Tashri’ al-Islami (Cairo: Dar al-Kitab al-Jami’, t.t.).
             [3] Yayan Sopyan, Tarkh Tasyari’, Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Lihat juga Joseph Scacht, An Introduction to Islamic Law (London: Clarendon Press, 1996), 1. Pernyataan senada, yang menunjukkan arti penting hukum bagi orang Muslim, juga dilontarkan oleh Frederick M. Denny, “Islamic Theology in the New World, Some Issues and Prospects,” dalam Journal of the American Academy of Religion, Vol. LXII, No. 4 (1994), 1069; Liebesny, The Law of the Near and Midle East, Readings, Cases, and Materials (New York: State University of New York Press, 1975), 3; J.N.D. Anderson, Law Reform in the Muslim World (London: The Clarendone Press, 1976), 1; dan H.R. Gibb, Mohammedanism  (Oxford: Oxford University Press, 1967), 7.
             [4] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 240.
             [5] Untuk kajian tentang masyarakat Madani (civil society), baca beberapa tulisan misalnya, Nurcholis Madjid, “Menuju Masyarakat Madani,” dalam Ulumul Qur’an, No. 2/VII (1996), 51-55; Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society ((Jakarta: LP3ES, 1999); Dawam Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah Penjajakan Awal,”; Bahtiar Effendy, “Wawasan al-Qur’an tentang Masyarakat Madani: Menuju Terbentuknya Negara-Bangsa yang Modern,” dan Muhammad AS Hikam, “Wacana Intelektual tentang civil Society di Indonesia, “ dalam Jurnal Pemikiran Paramadina, Vol.1, No.2 (1999), 7-87; Ahmad Syafi’i Ma’arif, Universalisme Nilai-Nilai Politik Islam Menuju Masyaakat Madani,” dalam Profetika, Vol. 1, No.2 (1999), 165-176; Ahmad Basho, Civil Society Versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999),
                [6] Mahfud MD, “Politik Hukum,(Jakarta, Gramedia : 1999), 31-36.
          [7] Hairul Sani,  Peranan hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional, Undergraduate es Dissertation from LAPTIAIN / 2002-06-21 10:00:00IAIN Raden Intan Bandar Lampung
 2001-05-31, dengan 1 file. Internet. Lihat juga Muhammad Khubairi, Kecerdasan Fuqaha’dan Kecerdikan Khulafa’(terj), (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2007), 91.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook