Monday, August 11, 2014

MEMUKUL ANAK SEBHAGIAN DARI HUKUMAN FSIK.



MEMUKUL ANAK SEBHAGIAN DARI HUKUMAN FSIK.

By M.Rakib LPMP Riau Indonesia.2014

           Di antara  sekian banyak ketentuan Hukum Islam, penulis tertarik meneliti tentang hukuman fisik terhadap anak-anak, berupa hukuman ta’zir,[1] terhadap anak-anak yang  masih terus berlangsung di madrasah dan pesantren, bahkan dalam rumah tangga, yang tujuannya untuk mencegah kenakalan mereka. Lebih-lebih lagi Al-Quran secara filosofis,[2] menyatakan bahwa di antara anakmu ada kemungkinan menjadi musuhmu, karena itu hati-hatilah menghadapi mereka. Selama ini, setiap orang tua dan guru merasa berhak, memberikan hukuman fisik terhadap anak-anak mereka dengan tujuan mendidik, tapi hal ini, merupakan suatu yang dilematis. Apakah tindakan memukul anak, bertentangan dengan ketentuan hukum nasional dan hukum Islam. Sebaliknya, tidak sedikit pula anak-anak yang memusuhi orang tuanya, bahkan ada tega membunuh orang tuanya.  Firman Allah  sudah mengingatkan  sejak 15 abad yang lalu, melalui al-Quran  sebagai berikut:
64:14
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[3]
            Menarik untuk diteliti, apa hukumnya memukul anak, demi menegakkan disiplin, karena  dianggap melanggar  hak asasi manusia. Terjadi pro kontra tentang penggunaan kekerasan berupa  hukuman  fisik.[4] Bagi anak yang nakal, hukuman itu bisa saja tidak berguna. Menggunakan hukuman omelan  berlebihan akan melukai harga diri anak, membuat jurang antara anak dan orang tua. Akhirnya seperti kata pepatah, bagaikan memakan buah semalakama.[5]
                        Penjelasan yang gamblang tentang hukuman yang  diberikan, menurut para ahli, sebaiknya orang tua atau guru memberikan penjelasan mengapa mereka dihukum dan dilarang melakukan sesuatu, sehingga hasilnya akan lebih baik, selain mendidik anak untuk mengatasi masalah.[6]  Ironisnya, beberapa tindak kekerasan, disangkal oleh pihak sekolah yang menyatakan tindakan itu, bukan bermaksud melakukan penganiayaan.[7]
            Hal ini kemudian ditunjang dengan pengunaan kekerasan dalam membina sikap disiplin di dunia militer, khususnya pendidikan kemiliteran. Ketika kemudian cara-cara pendidikan kemiliteran diadopsi oleh dunia pendidikan sipil, maka cara kekerasan juga ikut diambil alih. Berbagai tindakan kekerasan oleh guru seakan menjadi cara-cara biasa dalam membina kedisiplinan anak didik, khususnya di bidang pelajaran yang melatih fisik, seperti olahraga. Tidak ada maksud untuk mengatakan bahwa semua guru olahraga suka main pukul, tetapi sejarahnya sering kali mengidentikkan guru olahraga dengan guru yang suka menghukum push up atau lari keliling lapangan dan suka menampar, memukul  yang dianggap bandel.[8]
            Dalam budaya pendidikan, hukuman fisik masih dianggap sebagai sebuah kewajaran ketika siswa melakukan kesalahan. Pandangan yang dikemukakan Freud  tentang kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswanya, akan terekam dalam alam bawah sadarnya yang sesekali bisa muncul dengan tindakan destruktif  yang jauh lebih hebat dari apa yang dialaminya di sekolah. Membaca berita tentang tindakan guru olahraga di Sragen, membuat sebagian orang tua siswa merasa ngeri dan khawatir, karena tindakan seorang guru yang menampar siswanya jelas memberikan dampak psikologis  yang tidak baik,[9] yang dapat berujung pada traumatik.
Penulis tertarik dengan apa yang diulas oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)
Anak tak selamanya harus disikapi lembut. Terkadang kita perlu menghukumnya karena kenakalan atau kesalahan mereka. Tentunya semua itu dalam bingkai pendidikan. Sehingga tidak bertindak berlebihan yang justru mempengaruhi kejiwaan si anak.
Anak, bagaimanapun juga tak terlepas dari berbagai macam tingkah dan polahnya. Beragam perilaku dapat kita saksikan pada diri mereka. Masing-masing anak dalam satu keluarga pun seringkali berbeda perangainya. Terkadang di antara mereka ada yang nampak amat patuh dan sangat mudah diatur. Sedangkan yang lain, demikian bandel atau sering melakukan berbagai pelanggaran.
Yang demikian ini tentu tak boleh dibiarkan. Mau tak mau, orang tua harus mengetahui seluk-beluk mengarahkan anak. Haruskah segala keadaan dihadapi dengan kelemahlembutan dan penuh toleransi? Atau sebaliknya, selalu diatasi dengan hardikan dan wajah yang garang?
Selayaknya orang tua mengetahui sisi-sisi yang perlu dipertimbangkan ketika hendak menghukum anak, karena setiap keadaan menuntut sikap yang berbeda. Orang tua perlu meninjau, apakah permasalahan yang terjadi merupakan sesuatu yang betul-betul tercela atau tidak? Apakah si anak yang melakukannya mengetahui akan kejelekan dan bahaya hal tersebut, ataukah dia dalam keadaan tidak mengerti tentang hal itu maupun hukumnya?
Pada dasarnya, orang tua perlu menyertakan kelemahlembutan dalam mengarahkan anak-anaknya. Demikianlah contoh yang dapat ditemukan dari sosok Rasulullah n dalam mengarahkan dan membimbing umat beliau. Bahkan demikianlah sifat Rasulullah n yang disebutkan dalam Kitabullah:
“Maka karena rahmat Allah-lah engkau bersikap lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kaku dan keras hati, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)
Al-Hasan Al-Bashri t mengatakan: “Ini adalah akhlak Muhammad n yang Allah I utus dengan membawa akhlak ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/106)
Bukankah termasuk kewajiban terbesar dan perkara terpenting bagi seseorang untuk meneladani akhlak beliau yang mulia ini? Serta bergaul dengan manusia sebagaimana beliau bergaul, dengan sikap lembut, akhlak yang baik dan melunakkan hati mereka, dalam rangka menunaikan perintah Allah I dan memikat hati hamba-hamba Allah I  untuk mengikuti agama-Nya? (Taisirul Karimir Rahman, hal. 154)
Begitu banyak anjuran Rasulullah n untuk bersikap lemah lembut. Di antaranya disampaikan oleh istri beliau, ‘Aisyah x, ketika beliau bersabda:
“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Allah memberikan pada kelembutan apa yang tidak Dia berikan pada kekerasan dan apa yang tidak Dia berikan pada yang lainnya.” (HR. Muslim no. 2593)
Maknanya, Allah I memberikan pahala atas kelembutan yang tidak Dia berikan pada yang lainnya. Al-Qadhi mengatakan bahwa maknanya, dengan kelembutan itu akan dapat meraih berbagai tujuan dan mudah mencapai apa yang diharapkan, yang tidak dapat diraih dengan selainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/144)
Demikian pula ‘Aisyah x mengisahkan bahwa Rasulullah r pernah memerintahkan kepadanya:
“Hendaklah engkau bersikap lembut. Karena tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali pasti memperindahnya. Dan tidaklah kelembutan itu tercabut dari sesuatu, kecuali pasti memperjeleknya.” (HR. Muslim no. 2594)
Maksudnya, hendaklah engkau bersikap lembut dengan berlemah lembut kepada siapa pun yang ada di sekitarmu, sederhana dalam segala sesuatu dan menghukum dengan bentuk yang paling ringan dan paling baik. (Faidhul Qadir, 4/334)
Dalam riwayat dari Jarir bin Abdillah z, Rasulullah n bersabda:
“Barangsiapa yang terhalang dari kelembutan, dia akan terhalang dari kebaikan.” (HR. Muslim no. 2592)
Oleh karena itu, apabila orang tua ingin memperbaiki keadaan anaknya, hendaknya menggunakan kata-kata yang lembut dan berbagai bentuk anjuran. Apabila tidak memungkinkan menggunakan kata-kata yang baik, maka dapat digunakan ucapan yang mengandung hardikan, juga ancaman sesuai dengan kesalahan dan perbuatan dosa yang dilakukan. Apabila hal itu tidak dapat dilakukan dan tidak memberi manfaat, maka saat itulah dibutuhkan pukulan.
Namun bagaimanapun, keadaan setiap anak berbeda. Demikian pula tabiat mereka. Di antara mereka ada yang cukup dengan pandangan mata untuk mendidik dan memarahinya, dan hal itu sudah memberikan pengaruh yang cukup mendalam serta membuatnya berhenti dari kesalahan yang dilakukannya. Ada anak yang bisa mengerti dan memahami maksud orang tua ketika orang tua memalingkan wajahnya sehingga dia berhenti dari kesalahannya. Ada yang cukup diberi pengarahan dengan kata-kata yang baik. Ada pula anak yang tidak dapat diperbaiki kecuali dengan pukulan. Tidak ada yang memberi manfaat padanya kecuali sikap yang keras. Saat itulah dibutuhkan pukulan dan sikap keras sekedar untuk memperbaiki keadaan si anak dengan tidak melampaui batas. Ibarat seorang dokter yang memberikan suntikan kepada seorang pasien. Suntikan itu memang akan terasa sakit bagi si pasien, namun itu hanya diberikan sesuai kadar penyakitnya. Sehingga boleh seseorang bersikap keras terhadap anak-anaknya manakala melihat mereka lalai atau mendapati kesalahan pada diri mereka. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 170-171)
Rasulullah r memerintahkan orang tua untuk memukul anaknya apabila mereka enggan menunaikan shalat ketika telah berusia 10 tahun. Demikian yang disampaikan Abdul Malik bin Ar-Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah r bersabda:
“Perintahkanlah anak untuk shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun. Dan bila telah berusia sepuluh tahun, pukullah dia bila enggan menunaikannya.” (HR. Abu Dawud no. 494, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih)
Banyak contoh yang dapat dilihat dari para pendahulu kita yang shalih. Di antaranya dikisahkan oleh Nafi’ t, maula (bekas budak) Abdullah bin ‘Umar c:
“Bahwasanya Abdullah bin ‘Umar z apabila mendapati salah seorang anggota keluarganya bermain dadu, beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1273. Asy-Syaikh Al-Albani t berkata dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad mauquf)
Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah x, sebagaimana penuturan Syumaisah Al-’Atakiyyah:
“Pernah disebutkan tentang pendidikan bagi anak yatim di sisi ‘Aisyah x, maka beliau pun berkata, ‘Sungguh, aku pernah memukul anak yatim yang ada dalam asuhanku hingga dia telungkup menangis di tanah.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 142, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad)
Akan tetapi, ada yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Orang tua tidak diperkenankan memukul wajah. Hal ini secara umum dilarang Rasulullah r, sebagaimana dalam hadits Abi Hurairah z:
“Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.” (HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)
Para ulama mengatakan bahwa ini adalah larangan memukul wajah secara tegas. Karena wajah merupakan sesuatu yang lembut yang terkumpul padanya seluruh keindahan. Anggota-anggota tubuh yang ada di wajah demikian berharga, dan sebagian besar penginderaan seseorang diperoleh dengan anggota tubuh tersebut. Sehingga terkadang pukulan di wajah bisa menghilangkan atau mengurangi fungsi anggota tubuh itu, terkadang pula menjadikan wajah cacat. Sementara cacat di wajah itu sendiri demikian buruk karena nampak jelas dan tidak mungkin ditutupi. Dan pada umumnya pukulan di wajah itu tidak lepas dari kemungkinan timbulnya cacat. Termasuk pula dalam larangan ini seseorang yang memukul istri, anak, ataupun budaknya dalam rangka mendidik, hendaknya dia hindari wajah. (Syarh Shahih Muslim, 16/164)
Hal lain yang perlu diperhatikan pula, pukulan pada si anak adalah semata-mata dalam rangka mendidik. Yang dimaksud dengan pukulan yang mendidik adalah pukulan yang tidak membahayakan. Sehingga tidak diperkenankan seorang ayah memukul anaknya dengan pukulan yang melukai, tidak boleh pula pukulan yang bertubi-tubi tanpa ada keperluan. Namun bila dibutuhkan, misalnya sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai. Karena Rasulullah r memerintahkan orang tua untuk memukul bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. (Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/123-124)
Semua ini perlulah kiranya untuk diketahui oleh orang tua yang hendak mengarahkan anak-anak mereka, mengingat tanggung jawab yang dibebankan ke pundak mereka, manakala Rasulullah r bersabda:
“Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan akan ditanyai tentang tanggung jawabnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanya tentang mereka. Seorang laki-laki adalah penanggung jawab atas keluarganya dan kelak dia akan ditanya tentang mereka. Seorang istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak suaminya, dan kelak akan ditanya. Seorang hamba sahaya adalah penanggung jawab harta tuannya dan kelak dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.




           [1] Ta’zir boleh dilakukan terhadap anak dan istrinya -dengan syarat mereka tidak melakukannya dengan berlebih-lebihan. Dibolehkan menambah ta’zir untuk mencapai maksud (dalam memberi pelajaran) atas suatu kesalahan. Tetapi jika menambah ta’zir bukan untuk tujuan mendidik, berarti dia telah melampaui batas dan menimpakan hukuman yang menyebabkan binasanya seseorang.Lihat Sa’id Abdul ‘Adhim (penerjemah: Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi) Kafarah Penghapus Dosa, penerbit:,( Malang, Cahaya Tauhid Press : 2005)73-76.
              [2]Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta.)  (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan ”.Kata  filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
               [3] QS al-Taghabun (64): 14. Yang terkait dengan ayat ini, dikisahkan Surat kabar  Sijori, Batam, Selasa, 03 November 2009, yang menggambarkan tentang suatu yang amat senjang.Seaharusnnya guru tidak boleh menghukum muridnya,m dengan hukuman fisik. Hal ini jelas merukan suatu contoh dari hal yang  bertentangan antara das sein dan das Sollen. Das Sein berarti "kenyataan", "keadaan factual". Das Sollen berarti "norma moral" atau "yang seharusnya dilakukan". Pasangan kata Jerman ini sering dipakai dalam konteks bahwa das Sein bertolak belakang dengan das Sollen. Sudah jelas apa yang harus dilakukan, tetapi dalam kenyataan tidak dilakukan juga. Sebuah kesenjangan menganga antara das Sein dan das Sollen. Kasus hukuman fisik terhadap anak-anak , yang paling mengejutkan di Riau, yaitu  kasus  oknum guru yang memaksa muridnya, minum  air liur. Air liur  yang  sengaja dikumpulkan gurunya di dalam  gelas bekas air mineralitu, berasal dari air liur teman sekelasnya dan air liur ibu guru. Akibat pemberian hukuman   itu, oknum guru dipindahkan ke sekolah  lain yang lebih jauh letaknya sebagai hukuman  pula  baginya.[3]­­­­­­­ Kemudian ada pula kasus pemukulan murid. Jika murid nakal, tidak dipukul, tingkahnya semakin nakal. Jika dipukul, gurunya  bisa masuk penjara, karena melanggar UU Perlindungan Anak (UU.RINo.23 Tahun 2002).Inilah kasus yang sangat dilematis. Ada kesenjangan antara kepentingan peserta didik dengan kepentingan pendidik. Seharusnya tidak ada lagi kekerasan di sekolah.Timbul masalah, hukuman ta’zir, yang dijalankan kepada peserta didik sebagai kewajiban guru mempertahankan disiplin, bertentangan dengan hakikat pendidikan dan hak azasi anak, tentulah tidak sesuai dengan harapan.Saat ini , para pembela hak asasi berkoar dengan  teori psikologi hukum  Barat, dan  membuat konsep baru tentang larangan  memukul anak. Hasilnya, mungkin  munculnya tawuran dan perkelahian pelajar.
                [4] Batas-batas kekerasan menurut Undang-undang perlindungan anak nomor 23 tahun 2002 ini, tindakan yang bisa melukai secara fisik maupun psikis yang berakibat lama, dimana akan menyebabkan trauma pada anak atau kecacatan fisik akibat dari perlakuan itu. Dengan mengacu pada defenisi, segala tindakan apapun yang seakan-akan harus dibatasi, dan anak-anak harus dibiarkan berkembang sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya (Hak Asasi Anak), hak anak untuk menentukan nasib sendiri tanpa intervensi dari orang lain. Lihat pasal 64 ayat (2), (Jakarta, Sinar Grafika :2008), 23
          [5] Bagai makan buah simalakama: gambaran suatu keadaan yang serba salah. Biasanya digunakan untuk orang yang sedang menghadapi dua pilihan, dan kedua-duanya akan menyebabkan orang tersebut mengalami hal yang buruk.  Pengambil keputusan akan berada diantara dua sisi mata uang yang sangat mustahil untuk di pilih tetapi ketika kita menyadarinya bahwa keduanya perlahan - lahan membunuh kita secara menyakitkan.Buah Simalakama ikhtisar dari kejadian Baginda Nabi Adam beserta istri beliau Siti Hawa tatkala beliau memakan buah kuldi terlena dengan kalam - kalam syaitanbuah ini terlalu indah untuk dilihat, terlalu nikmat untuk dimakan, terlalu sempurna untuk dimiliki, ketika manusia telah menguasai buah tersebut sesungguhnya secara perlahan-lahan buah ini telah menyiksanya hingga tanpa sadar akan terasa menyedihkan di akhirnya.Lihat Arini el-Ghaniy, Saat Anak Harus Dihukum, , (Jogjakarta, Power Books Ihdina : 2009), 40
              [6] Ibid, 42
                [7] Aini el-Ghaniy, Op.Cit., 47
          [8] Hakekat pelanggaran hukum oleh siswa di sekolah, terbentuknya pertahanan diri apabila diserang, dimana pertahanan itu berupa ,balas membentak apabila dimarahi, melawan dengan fisik kalau disakiti, lari bila dia merasa tidak mempunyai kemampuan membalas, atau melaporkan kepada orangtuanya di rumah atas peristiwa yang dialaminya. Cara pendidikan dengan kekerasan, ibaratnya digambarkan sebagai sebuah pilihan bagi seorang guru pendidik yang melihat kesalahan seorang siswa, apakah dia akan menyalahkannya, menggunakan kekerasan untuk memaksa siswa memperbaiki kesalahan itu atau sekedar menasehati siswa tanpa kekerasan. Bandingkan dengan Anri Priyana, op.cit., 84.
                  [9] Ibid, 87

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook